Share

5. Gadis Hujan

Kutatap pantulanku yang tampak letih di cermin. Rambut panjang sebahuku kucepol dengan asal di bagian atas, menyisakan anak-anak rambut yang tak rapi di bagian kening. Muka yang baru saja kubasuh dengan air dingin tampak pucat dan tak menarik. Aku cukup beruntung dengan warna kulit cerah dan sedikit warisan proporsi wajah yang manis dari nenekku. Tetapi, itu tidak cukup menolong. Pukul tiga sore di tempat kerja begini hanya menyisakan sepasang alis yang telah pudar warna arangnya, sepasang bibir yang pucat dan kering dan sisa keringat yang mungkin saja menguarkan bau tak sedap.

Aku mengeluh lagi di depan cermin. Seharusnya aku belajar dari para gadis itu. Kini aku menyesal mengkritik penampilan dan gaya hidup mereka. Bu Lauren juga menyebalkan. Buat apa dia menyuruhku untuk menemani Pak Bob makan malam? Memangnya dia tak berani makan malam sendiri? Oh, tidak…

Aku kembali ke ruang Manajer Kantor dan mendapati Bu Lauren dan Pak Bob sedang serius berdiskusi. Bu Ana telah berhasil mendapatkan meja yang kuminta dan bersama timnya dia menempatkan meja itu sedemikian rupa di dalam ruangan ini hingga tak mengurangi keindahan interior tempat ini. Aku berutang semangkok bakso padanya. Bukan, satu gerobak.

“Sejauh ini circle dari Manajemen Kantor belum ada yang pernah meraih medali emas dalam kompetisi nasional itu.” Kudengar Bu Lauren bicara. “Tugasmu berat, anak muda.”

Pak Bob mengangguk-angguk sambil membuka-buka berkas dalam map. “Hanya ada tiga circle di Manajemen Kantor.”

Aku membuat suara dengan tenggorokan untuk mengumumkan kehadiranku di ruangan itu. Pak Bob menoleh sekilas, lalu kembali lagi pada mapnya. Sedangkan Bu Lauren sama sekali tak bereaksi. Rasanya aku ingin mengumpat atas kecanggungan ini.

“Kompetisi ini tidak dirancang dengan adil,” Pak Bob meletakkan map di meja.

“Apa?” suara Bu Lauren terdengar tajam.

“Kita tidak mungkin bisa mengalahkan manajemen produksi dalam kompetisi apapun jika satu-satunya pertimbangan mereka adalah besaran nominal cost yang berhasil ditekan. Perbandingan kantor dan produksi tidak apple to apple. Kecuali jika mereka membagi kompetisi ini dalam kategori-kategori. Kantor lawan kantor, produksi lawan produksi, pembelian lawan pembelian. Barulah kita ada peluang untuk menang.”

Bu Lauren terpaku, begitu juga aku. Lama berumah di perusahaan ini dan empat tahun terakhir ini mengikuti kompetisi di ajang Pandawa Improvement Competition, kami tak pernah punya pikiran seperti itu.

“Anda benar, Pak Bob,” gumam Bu Lauren. “Kompetisi ini tidak cukup adil. Sekuat apapun circle kantor berusaha mencari celah penghematan, kita akan tetap kalah dengan bagian produksi.”

“Lalu solusi apa yang Anda tawarkan?” Aku tahu pertanyaan itu tidak sopan untuk dilontarkan jika maksudku adalah untuk mengintimidasi Pak Bob. Bagaimanapun, dia baru bergabung siang ini.

“Sayangnya, saya tak memiliki solusi apapun, Bu Ambika.” Suara Pak Bob terdengar berat dan dalam, serta tenang. “Paling tidak belum.”

Aku menahan baik dengusan maupun cibiran.

“Tetapi, jika Anda bisa menulis masalah ini untuk buletin Pandawa, barangkali mereka akan mulai memperhatikan ketidakadilan ini.” Pak Bob menatapku dengan sepasang matanya yang menyipit.

“Setuju.” Bu Lauren menyambar. “Sampaikan ide ini melalui tulisan. Dan saya rasa Ambika bisa meluangkan sedikit waktunya untuk itu.”

Pak Bob melempar senyum untuk Bu Lauren sebelum menatapku tajam lagi. Dua lawan satu. Baiklah, aku kalah. Bu Lauren menepuk bahuku selagi dia pamit keluar untuk ke toilet.

“Masih ada waktu satu jam sebelum bel pulang. Maksimalkan otakmu. Aku tahu kamu bisa.”

Aku duduk menghadap laptop dengan bahu melorot. Dengan tidak semangat kubuka Ms. Word dan berpikir kata pertama apa yang harus kuketik. Bibirku terkunci rapat dan terasa terlalu kaku untuk dapat tersenyum. Huh, salahku sendiri mengapa harus ikut campur dalam pembicaraan kedua bosku itu. Akhirnya aku sendiri juga yang repot.

Akhirnya setelah mencari inspirasi dengan membaca artikel-artikel ringan di Internet aku berhasil menulis opini sebanyak dua lembar. Aku tidak mencari inspirasi dari bulletin Pandawa karena jujur saja tulisan di sana sangat monoton dan membosankan.

“Pak Bob, boleh minta email Anda?”

Pak Bob mendongak dari berkas-berkas yang sedang ditekuninya.

“Buat apa?” tanyanya singkat.

Buat ngirim santet. Aku membatin kesal.

“Buat kirim hasil tulisan saya. Saya rasa Bapak dan Bu Lauren perlu memeriksanya lebih dulu.”

Pak Bob mengangguk. Lalu menuliskan sesuatu di atas selembar post it dan menyerahkan padaku. Tulisan itu berbunyi bobdylan88@g***l.com.

“Terimakasih.” Kataku singkat sambil berlalu.

Aku kembali ke meja kerjaku dan menghadap laptop. Kukirim tulisanku tadi ke dua alamat email milik Bu Lauren dan Pak Bob Dylan. Ketika aku akan membuang post it berisi alamat email Pak Bob aku melihat tulisan lain di belakang kertas kuning itu.

“Happy Birthday, Gadis Hujan.”

Aku yakin tulisan itu adalah tulisan tangan yang sama yang digunakan untuk menuliskan alamat email Pak Bob. Yang itu berarti Pak Bob lah yang menulis ucapan selamat ulang tahun itu. Tetapi, buat siapa ucapan itu? Apakah dia tahu kalau aku sedang berulang tahun hari ini? Dari siapa dia tahu.

Aku berpikir lagi. Bisa saja Pak Bob secara tidak sengaja mengetahui pesta kecil untukku dari para staf yang menyiapkan kue di luar ruang rapat. Bukankah pak Bob sudah ada di gedung ini sejak pagi? Atau bisa jadi malah dari Bu Lauren sendiri.

Jadi sudah jelas bahwa tulisan ini ditujukan padaku. Tetapi kenapa dia memanggilku Gadis Hujan? Tunggu, aku ingat sesuatu.

Peristiwa itu terjadi ketika aku masih duduk di bangku kelas dua SMA. SMA Negeri 1 Pelepat Ilir tempatku menempuh pendidikan adalah sekolah mengengah atas paling favorit di kecamatan Pelepat Ilir. Siswa yang diterima di sekolah ini harus melalu serangkaian seleksi. Pertama, seleksi administrasi. Mereka melihat nilai rata-rata raport dari kelas satu hingga tiga SMP. Yang kedua seleksi akademis. Para calon siswa harus menjalani ujian tertulis dengan seratus soal mencakup mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Yang terakhir adalah seleksi bakat minat. Calon-calon siswa yang berhasil melewati kedua tes pertama diminta menunjukkan bakat kesenian yang mereka miliki seperti menyanyi, menari, melukis, memainkan alat musik hingga membaca puisi.

Aku bukanlah anak dengan otak cemerlang dan bakat kesenian yang membuat orang terkagum-kagum. Kelebihanku hanyalah di mata pelajaran Bahasa Inggris. Sedang untuk Bahasa Indonesia bisa dibilang lumayan. Jangan tanyakan aku soal Matematika. Aku bahkan harus mengulang Ujian Nasional karena nilai Matematikaku tidak memenuhi passing grade. Tetapi entah bagaimana aku bisa lolos seleksi akademis dengan nilai cukup tinggi. Aku berada di urutan ke-sebelas. Ajaib bukan?

Masalah belum berakhir ketika aku pusing harus menunjukkan bakat apa di hadapan panelis. Aku tak bisa menari. Huh, jangankan menari, senam pagi saja aku sering melakukan gerakan konyol. Bagaimana dengan menyanyi? Haha, aku sering diketawai Ibu karena nada sumbangku saat menyanyikan lagu apapun. Satu-satunya bakat seniku adalah menulis puisi. Hanya menulis, tidak mendeklamasikannya. Paling tidak, selama ini aku belum pernah membacakan puisi karyaku secara serius. Tetapi, saat ini aku tak punya pilihan lain. Jika mau diterima SMA paling favorit sekecamatan, aku harus berani menampilkan pembacaan puisi.

Ibu membantu memilih koleksi puisi karyaku. Aku memang punya buku khusus semacam diary untuk menampung karya-karyaku. Setelah berdiskusi ngalor-ngidul kami memutuskan untuk memilih puisi berjudul “Hujan.”

Di hari H aku membacakan puisi itu di hadapan Kepala Sekolah, guru seni dan beberapa juri dari luar. Tanpa disangka-sangka, penampilanku memikat para juri dan mendapat apresiasi di luar ekspektasi kami. Sejak saat itu orang-orang memanggilku “Gadis Hujan.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status