Share

4. Bob Dylan

Lelaki dalam balutan setelan serba hitam dengan kemeja soft peach itu berdiri di samping Bu Lauren dan membungkuk memberi salam sebelum dipersilakan duduk. Bu Lauren bilang namanya Bob Dylan. Aku ingat dia adalah lelaki yang gagal masuk lift tadi pagi gara-gara aku enggan menekan tombol hold. Tiba-tiba perutku bergejolak. Aku merasa tidak nyaman. Siapakah Bob Dylan dan untuk apa dia ada di sini?

“Saudara-saudara,” Bu Lauren memulai lagi, “saya punya suatu hal penting yang akan saya sampaikan. Tadinya saya ingin mengumumkannya tepat pada harinya, tetapi karena satu dan lain hal, saya rasa itu tidak bijak.”

Semua pasang mata yang ada di ruangan ini menuju ke satu titik. Bu Lauren. Perutku bergejolak lagi. Apakah Bu Lauren akan mengumumkan pertunangan? Atau malah pernikahan? Dengan lelaki berondong itu? Rasanya tidak mungkin. Pasti sesuatu yang akan disampaikan oleh bosku itu jauh lebih buruk dari sekadar pengumuman perubahan yang menyangkut status lajangnya.

“Pertama-tama saya minta maaf jika ini akan mengejutkan kalian, atau malah mengecewakan.” Bu Lauren terkesan mengulur-ulur waktu untuk mendramatisasi keadaan. Kami menunggu dengan tak sabar. Aku memohon dalam hati agar bosku itu cepat-cepat mengatakan apa keinginannya.

“Saya akan resign. Saya sedang mengajukan pensiun dini pada diri saya sendiri.”

Aku mendongak kaget. Yang benar saja. Delapan jam bersama dengannya setiap hari Senin sampai Jumat dan kebersamaan makan malam atau sekadar belanja ke mall yang tak terhitung itu, tak pernah sekalipun Bu Lauren menyinggung soal rencananya untuk resign.

“Anda bercanda, Bu.” Keluh Pak Mawardi, Kepala Divisi Keuangan.

“Oh, tidak,” Bu Lauren menggeleng-gelengkan kepalanya dengan bersemangat, “saya sama sekali tidak bercanda.”

Seketika terjadi keriuhan di ruang rapat. Aku hanya bisa menatap semuanya dengan bingung. Di antara riuh rendah berbagai suara itu aku sedikit mengamati sosok lelaki dalam balutan setelan hitam bernama Bob Dylan itu dan tiba-tiba aku merasa pernah mengenalnya di suatu tempat, di suatu masa.

Bukan, tidak mungkin Bob yang itu. Pasti bukan.

“Saudara-saudara yang baik,” Bu Lauren mengeraskan suaranya untuk mengambil kembali kendali di ruang rapat, “biar saya perjelas. Saya tidak bercanda mengenai keputusan saya untuk resign. Untuk itulah Pak Bob Dylan ada di sini untuk menggantikan saya.”

“Apa?!” tanpa sadar aku berteriak.

Bu Lauren menoleh padaku untuk memberi tatapan menyesal. “Maaf jika mengecewakanmu, sobat. Tapi ini keputusan top management Pandawa Group.”

Kalau Bu Lauren mengira aku kecewa karena bukan aku yang menggantikan posisinya sebagai Manajer Kantor, dia salah. Demi Tuhan, aku sudah bahagia dan puas dengan posisi dan pencapaianku sekarang ini. Aku hanya tidak siap jika lelaki itu yang akan menjadi bosku. Berbagi ruangan dengan lelaki asing? Rasanya aku ingin pingsan membayangkan kemungkinan itu.

Bu Lauren melanjutkan penjelasan rencananya dengan lebih detil. “Seperti yang saya katakan tadi, Pak Bob di sini untuk menggantikan saya. Secara resmi beliau akan menempati posisi Manajer Kantor bulan depan. Sementara sebulan ini beliau akan di sini untuk menjalani masa training. Saya sakin kita akan bisa membuat beliau nyaman.”

Kini, Bu Lauren menoleh kepada lelaki yang dipanggil Pak Bob Dylan. “Nah, Pak Bob. Saya rasa Anda harus memperkenalkan diri Anda agar kami semua sayang pada Anda.”

Lagi-lagi Bu Lauren dengan candaan konyolnya yang membuat orang-orang tertawa lepas. Pak Bob Dylan tersenyum tipis dan mulai berdiri.

Bob Dylan berdeham sebentar sebelum bicara. “Selamat siang Bapak-bapak dan Ibu-ibu,” aku tidak menyangka laki-laki ini bersuara berat dan dalam. Aku benci mengakui jika suaranya cukup berwibawa. “Nama saya Bob Dylan. Kalau Anda bertanya-tanya apakah orangtua saya penggemar Bob Dylan yang itu, maka jawabannya adalah benar. Saya ditunjuk oleh top management Pandawa Group untuk menggantikan posisi Bu Lauren sebagai Manager Kantor. Semoga kita bisa bekerja sama.” Bob Dylan membungkuk dalam dan semua orang bertepuk tangan.

Dari tempatku duduk, aku mendengus kecil dan demi alasan sopan santun aku ikut bertepuk tangan ringan. Tiba-tiba Bu Ana dari Divisi Procurement mengangkat tangan. Dari gelagatnya, perempuan beranak satu itu sepertinya akan membuat kehebohan. 

“Ya?” Bob Dylan mengangguk ke arah Bu Ana.

“Apakah Anda sudah memiliki pasangan? Maksud saya istri atau pacar?”

Orang-orang mulai menyoraki Bu Ana yang sangat percaya diri dengan pertanyaannya. Lagi-lagi Bob Dylan berdeham. Pipinya sedikit memerah kali ini. Aku merasa dia sedikit melirik ke arahku dan terus terang saja itu membuat kedua pipiku memanas. Aku takut kalau-kalau ada seseorang yang menangkap lirikan matanya itu. 

“Saya masih sendiri.”

Aku hampir tersedak mendengar jawabannya. Tadinya aku tidak berharap calon bos baruku itu sudi menjawab pertanyaan semacam itu. Bu Ana meletakkan kedua tangannya di dadanya dengan ekspresi menyesal berlebihan yang membuatnya terlihat lucu. 

“Sayang aku sudah tidak sendiri.”

Sebelum keadaan semakin tidak terkendali, Bu Lauren berdiri dan mengambil kendali lagi.

“Kawan-kawan, mari kita akhiri kekisruhan ini, maksud saya, rapat ini. Kalian dapat kembali pada pekerjaan masing-masing. Selamat siang.”

Orang-orang mulai meninggalkan ruangan rapat untuk kembali ke ruang masing-masing. Bu Lauren memberi kode padaku untuk mendekat.

“Hun, Pak Bob akan duduk di ruangan kita. Tolong siapkan meja untu beliau, ya.”

Untuk alasan professional, aku tak mengajukan protes. Bagaimanapun masuk akal jika Pak Bob Dylan mendapat meja di ruang manajer. Dia kan memang calon Manajer Kantor yang baru. Segera kuhubungi bagian Procurement untuk menyediakan meja bagi pendatang baru itu.

“Ingat, Bu Ana, tidak boleh sembarang meja. Harus sama besar dan mewah dengan meja Bu Lauren. Kita tidak ingin melukai harga diri calon Manajer Kantor yang baru, kan?” Aku mengintimidasi perempuan bertubuh subur itu.

Bu Ana memijit-mijit kepalanya dengan panik. “Ya, Tuhan, Ka. Bunuh saja aku. Darimana aku bisa dapat meja seperti itu dalam waktu tiga puluh menit?!”

Aku menyatukan telapak tangan dan menggosok-gosokkannya untuk membuat gerakan memohon. “Tolonglah, Bu Ana, kerahkan anak buahmu. Aku yakin Bu Ana bisa menolongku, ya.” Kataku memelas. Tak bisa kubayangkan bagaimana nasibku jika kami gagal mendapat meja untuk Pak Bob. 

Bu Ana menatapku tajam dan lama. “Bakso satu mangkok?”

Aku memberikan jari kelingkingku untuk kutautkan pada jari kelingking Bu Ana. “Jangankan satu mangkok, satu gerobak juga akan saya berikan buat Bu Ana.”

Bu Ana tersenyum lebar. “Baiklah, anak muda.”

Aku bersorak sambil meninju udara. “Yes! Aku tahu Bu Ana selalu bisa diandalkan.”

Kuserahkan urusan meja sepenuhnya pada Bu Ana dan duduk sejenak sambil menenangkan pikiran. Aku juga sempat memejamkan mata untuk menikmati tidur singkat setidaknya selama tiga menit. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status