Share

Bad Luck

Penulis: Franciarie
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-06 23:55:33

Rumah adalah tempat paling nyaman. Setelah seharian Gia merasakan siksaan, akhirnya lenyap setelah berada di rumah. Hanya sekadar rebahan sambil nonton tv saja sudah menjadi surga dunia bagi Gia. Sayangnya, hari ini dia tidak bisa menikmati surga dunianya.

Gia baru tiba di rumah saat matahari baru saja tenggelam. Dia langsung mandi, membasuh tubuhnya yang lengket karena keringatnya terlalu banyak seharian. Aroma matahari, keringat, dan sisa parfum diskonan di tubuhnya bercampur sangat memuakkan. Gia sendiri nyaris muntah saat mengecek aroma ketiaknya.

"Baunya mirip sisa janji manismu yang nggak pernah ditepati, busuk banget," celetuk Gia sebelum masuk ke kamar mandi. Dia menghabiskan waktu lumayan lama di dalam kamar mandi. Mungkin di dalam kamar mandi dia sekaligus membangun peradaban baru dunia.

Selesai mandi, perut Gia berontak minta jatah preman. "Bunda masak apa?" tanya Gia yang sudah berada di samping Bunda. Dia membuka kulkas, lalu meraih sekotak susu cokelat. Dengan cepat Gia meneguk habis susu dingin dan manis itu hingga tandas.

"Ini bikin capjay kesukaan kamu," jawab Bunda sambil terus mengaduk masakannya di wajan. "Panggil Ayah sana. Ini udah hampir matang. Kita makan bareng," perintahnya tanpa mengalihkan pandangan.

Gia menurut. Dia memanggil Ayah yang sedang santai di ruang keluarga. Berdua mereka kemudian duduk di ruang makan, menunggu Bunda selesai masak.

"Gimana hari ini, Gi?" tanya Ayah sesaat setelah duduk di kursi. Matanya memandang Gia, penasaran dengan kegiatan pertama anak gadisnya sebagai mahasiswi.

"Gia telat tadi pagi. Jadi kena omel senior, deh. Gia upacaranya baris sendirian di pojokan. Ternyata itu bukan hukuman lho, Yah. Gia kena tambahan hukuman hormat bendera sejam. Panas-panas sendirian coba. Udah kayak barang nggak guna aja gitu. Ikan asin aja dijemur rame-rame, lho, masa Gia yang cakep sendirian?" jawab Gia menceritakan kejadian tadi pagi. Tangannya terus bergerak sebagai penunjang cerita menyedihkannya.

Ayah tertawa mendengar cerita Gia.

"Ih, Ayah malah ketawa. Ini anak gadis kesayangannya sampai gosong gini lho," keluh Gia lalu menunjukkan kedua tangannya yang menghitam. "Belang, deh, mirip kuda zebra." Gia memajukan bibirnya.

"Itu kan kesalahan kamu sendiri, dinikmati ajalah. Besok kalau udah punya anak, kan, bisa jadi cerita," kata Ayah menenangkan.

"Ih, nggak mau, ah, cerita beginian ke anak Gia besok. Gia bisa diledekin nanti," tolak Gia. "Lagian, ya, Yah. Senior Gia tadi, sumpah, mulutnya sadis banget. Itu emaknya kebanyakan julid sama tetangga kali waktu hamil dia." Gia melanjutkan ceritanya. Membayangkan muka sadis kakak seniornya membuat Gia bergidik ngeri.

"Jangan sampe benci dia, lho, Gi. Nanti kamu malah jadi cinta," komentar Bunda, lalu meletakkan semangkuk besar capjay dan ayam goreng buatannya di tengah meja. Bunda mengambil piring dan menyendokkan nasi dan capjay ke piring tersebut, kemudian memberi paha ayam goreng. Bunda menyerahkannya ke Ayah. Ayah tersenyum menerima pemberian Bunda.

Aroma capjay sudah mengganggu hidung Gia. Campuran sayuran, ayam, udang, bakso, dan sosis itu memang menjadi makanan kesukaan Gia. "Eh, bisa gitu ya, Bun, benci jadi cinta? Udah kayak sinetron aja gitu ya," sahut Gia yang segera mengambil nasi lengkap beserta capjay dan ayam goreng.

Ayah dan Bunda tertawa mendengar ocehan Gia. Anak gadisnya itu memang anak ceria yang selalu bisa menghangatkan suasana. Selalu ada celotehan riangnya di meja makan. Bahkan saat Gia bercerita tentang nasib sialnya saja bisa membuat orang lain iba dan tertawa sekaligus.

"Rumah depan kita itu udah laku, ya, Bun?" tanya Ayah, lalu memasukkan sesendok penuh nasi beserta potongan wortel ke mulut. "Rumput liarnya udah bersih." 

"Iya, udah laku. Tadi ada yang beresin rumahnya. Katanya, sih, lusa udah ditempatin," jawab Bunda sambil mengambil ayam goreng.

"Akhirnya punya tetangga baru. Punya anak ganteng nggak, ya? Boleh, tuh, kalau pengin ngapelin deket, kayak lagu dangdut," celetuk Gia dengan mulut penuh makanan. Dia lalu menyanyikan lagu dangdut pacar lima langkah dengan suara cemprengnya.

"Nanti senior galak tadi gimana, dong?" Bunda usil menggoda Gia.

Gia yang mengingat wajah iblis senior jahatnya pun langsung menghentikan nyanyiannya dan manyun. "Ih, Bunda ngapain ngingetin sama senior sadis gitu, sih? Bikin kesel aja, deh."

"Ati-ati jadi cinta, lho," goda Bunda yang membuat Gia semakin melipat wajahnya.

"Besok bangunin Gia pagi-pagi banget ya, Bun," minta Gia sambil masang tampang memelas.

"Tumben?" Bunda mengerutkan keningnya, heran.

"Gia nggak mau telat lagi. Gia udah diancam dapet hukuman yang lebih berat lagi. Hukuman apaan coba yang lebih berat? Angkat sekarung beras? Dorong mobil? Mindahin menara Eiffel ke Bandung? Atau ditinggalin pas lagi sayang-sayangnya?" Gia mengeluh nggak jelas.

Ayah dan Bunda tertawa mendengar kata-kata tidak jelas dari anak gadisnya tersebut.

***

Hari kedua OSPEK. Gia sudah bangun dari subuh, tentu berkat bantuan Bunda.

"Udah wangi. Udah rapi. Udah cantik. Udah kenyang. Siap berangkat," seru Gia riang. Dia yakin hari ini akan jadi hari yang menyenangkan.

Gia memasuki mobil Honda jazz putihnya. Dia meletakkan ransel di kursi sampingnya, lalu duduk dan menyalakan mobil.

"Bunda, Gia berangkat, ya," pamit Gia kepada Bunda yang mengantarnya sampai teras depan.

"Ati-ati, ya, Sayang," nasihat Bunda sambil melambaikan tangan. Gia hanya membalas dengan klakson sambil berlalu.

Gia menyalakan radio dan memilih saluran favoritnya. Lagu Girls Like You milik Maroon 5 feat Cardi B mulai terdengar. Gia pun ikut menyanyi dengan suara rusaknya. Dia berusaha menghilangkan rasa takutnya. Gia takut bertemu senior galak kemarin. Tapi, kali ini Gia yakin kalau tidak akan terjadi masalah.

Sekarang baru jam 6.30 pagi, masih sangat aman untuk berangkat ke kampus. Jalanan macet tidak akan menghalanginya tiba di kampus tepat waktu. Tidak ada kemacetan berarti di jam ini. Masih terlalu pagi bagi Gia untuk datang terlambat.

Gia menghentikan mobilnya di perempatan. Traffic light menunjukkan warna merah, tanda dia harus berhenti. Gia memandang sekeliling sambil merapikan rambutnya yang masih dikuncir dua.

Aturan OSPEK untuk mahasiswi baru di kampusnya adalah kemeja putih, rok hitam, sepatu hitam, dan rambut dikucir dua. Penampilannya sangat simple, tanpa harus menggunakan tambahan ornamen mencolok yang sering dipakai saat OSPEK, misalnya tas dari karung atau rok rumbai dari tali rafia warna-warni.

Gia berterima kasih kepada siapa pun yang menghapus aturan norak OSPEK yang nggak berperikemanusiaan. Sekarang Gia dan teman satu angkatannya bisa merasakan OSPEK yang damai.

Oh, oke. Ospek-nya tidak sepenuhnya damai karena ada satu orang sadis di kampusnya. 

Tidak lama traffic light berubah warna hijau. Gia bersiap menjalankan mobilnya lagi menuju ke kampus. Perjalanannya memang belum ada setengah jalan, tapi masih bisa dilalui dengan santai. Kurang dari sepuluh menit dia sudah berhasil sampai tujuan dengan selamat dan bahagia. Tidak akan ada hukuman lagi untuknya.

Nyatanya, takdir berkata lain.

Mendadak mobil Gia berhenti di tengah jalan. Untungnya tidak sampai terjadi kecelakaan. Mobil-mobil di belakangnya masih sempat mengerem sebelum menyentuh pantat mobil Gia.

Gia masih tenang. Dia mencoba menyalakan kembali mobil Honda jazz yang sudah menjadi miliknya sejak SMA itu. 

Sayangnya, gagal. Mobilnya menolak menyala. Gia berusaha menyalakan lagi. Gagal lagi. Gia mulai cemas. Dia mencoba lagi, tapi masih gagal.

Klakson mobil di belakang mobil Gia mulai bersautan, protes dengan kemacetan yang terjadi. Ini membuat Gia semakin cemas.

Gia berkali-kali meminta maaf dengan mobil yang mendahuluinya. Tidak jarang dia menerima makian. Berulang kali Gia berusaha menyalakan mobil kesayangannya itu. Tapi, hasilnya masih sama. Sama sekali tidak ada tanda-tanda mobilnya akan menyala.

"Ya Allah. Ini kenapa pakai mogok gini sih, ah?"

Sepertinya, hari ini belum menjadi hari yang menyenangkan bagi Gia. Seharusnya dia benar-benar membeli jimat tolak bala.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Love by Choice   Endless Love

    Calon mertua itu menyeramkan. Ibu mertua itu musuh paling nyata bagi istri dari anaknya lelakinya. Bapak mertua adalah pria galak yang tidak akan bisa berbicara santai dengan menantunya. Saudara ipar jelas tidak akan pernah membiarkan hidup istri kakaknya hidup tenang. Isi kepala Gia dipenuhi pikiran buruk tentang orang tua Restu. Tangannya dingin, sedangkan kepala dan hatinya panas karena terus membayangkan suasana mencekam yang menantinya. Bibir bawah Gia bahkan sudah berdarah. Tanpa disadari, Gia terus menggigit bibir bawahnya untuk meredakan gugup. "Kamu tidak perlu cemas, Gi. Orang tua saya bukan drakula yang gemar menghisap darah perawan." Berulang kali Restu mencoba menenangkan, tapi tidak berhasil. Gia justru semakin banyak mengomel. "Om ini nggak tahu gimana rasanya jadi Gia. Ya, gila aja Gia harus ketemu calon mertua. Calon mertua lho ini, Om. Ini menyangkut hidup Gia. Gimana kalau ternyata orang tua Om Restu nggak suka sama Gia? Gimana kalau Gia diusir terus harus pulang

  • Love by Choice   Make Over

    Matahari semakin condong ke barat, menyisakan berkas oranye. Daun-daun bergoyang pelan tanpa ada iringan musik. Tukang siomai berhenti di ujung jalan, berharap ada yang mau membeli dagangannya. Gavin memukul samsak dengan sekuat tenaga berkali-kali. Baju yang digunakannya sudah basah dengan keringat. Dia sudah mulai kehabisan napas. Sudah satu jam dia berlatih boxing hari ini. Restu sedang sangat bersemangat sore ini. Sejak menjemput Gavin di sekolah, dia sudah memintanya langsung tidur siang, agar sorenya memiliki cukup tenaga untuk berlatih. Seperti biasa, Gavin selalu menuruti permintaan sang Papa. "Pukul yang keras, Gav! Perhatikan sasarannya," perintah Restu yang berdiri di belakang Gavin. Gavin lalu memukul samsak lebih kencang lagi. Samsak di depannya bergoyang pelan. "Gavin, sudah dulu latihannya, sudah hampir Magrib. Nggak baik di luar rumah mau Magrib gini, bisa diculik wewe gombel. Iya, kalau itu Wewe Gombel bisa jadi ibu yang baik buat Gavin, sih, nggak masalah. Kalau te

  • Love by Choice   Kneeling

    Gia berlari menjauh dari rumah Restu. Matanya seperti pipa PDAM yang bocor, air matanya mengucur deras. Dadanya seperti disengat puluhan lebah, pedih dan bengkak. Bayangan Restu yang nyaris sempurna hancur sekarang. Gia kecewa kepada Restu. Gia marah, marah pada Restu yang ternyata jahat sekaligus marah pada dirinya sendiri yang bodoh sudah memilih Restu. Ternyata seorang Restu yang dikiranya berpikiran dewasa, tidak jauh berbeda dengan Hugo. Lelaki di mana pun sama, selalu lemah lihat wanita seksi. Belum sempat Gia masuk ke dalam rumah, ada yang menarik tangannya. Gia terpaksa berhenti kalau tidak mau tangannya lepas. Dia masih belum siap tangannya diganti dengan tangan robotik. Selain harganya mahal, berburu upil dengan tangan robotik pasti tidak semenyenangkan dengan tangan asli. Restu berdiri di belakang Gia masih bertelanjang dada. Dia terlihat cemas sampai tidak peduli deretan tahu di perutnya terekspos jelas. "Lepasin!" bentak Gia sambil mencoba melepaskan genggaman tangan R

  • Love by Choice   Moaning

    Kuliah ternyata tidak selalu menyenangkan. Ini sudah hampir di akhir semester pertama Gia. Tumpukan tugas yang harus segera diselesaikan semakin menggunung. Materi pelajaran yang harus dipahami semakin menumpuk. Kepala Gia selalu panas setiap hari. Penjelasan dosen bukannya membuatnya paham, malah semakin membuatnya bertambah pusing. Beruntung, Gia punya Jessica yang dengan sabar, dan bonus sedikit makian, masih mau membagi ilmunya. Walau tidak sempurna, Jessica berhasil membuat Gia sedikit lebih paham dengan pelajaran. Iya, cuma sedikit. Gia terlalu malas belajar, jadi tidak ada perkembangan signifikan dalam nilainya. Hari ini Gia pulang kuliah lebih cepat dari biasanya. Harusnya, dia ada dua mata kuliah lagi. Tapi, dosen pengampu dua mata kuliah itu berhalangan hadir dengan alasan ada tugas ke luar kota. Setelah mendapat kepastian kelas kosong, Gia segera menghubungi Restu. Dia meminta Restu untuk menjemputnya. Siapa tahu hari ini bisa jalan-jalan sebentar, nongkrong di mall atau d

  • Love by Choice   Meaning of Marriage

    Cowok di depan Gia masih berhasil membuatnya salah tingkah. Ada gelitik aneh di dadanya. Rasanya beda dengan debaran yang dulu dia rasakan, waktu masih berharap Hugo bisa membalas cintanya. Rasa ini membuat perasaannya membaik."Ngagetin aja, Bang! Gia kira setan. Kalau jantung Gia copot, gimana? Bang Hugo mau tanggung jawab?" omel Gia mencoba bersikap biasa saja, padahal perasaannya berantakan. Dia sadar sudah salah. Kalau dia terus bersama Hugo, pasti rasa bersalah pada Restu ini akan semakin meningkat."Sebenernya, kalau disuruh tanggungjawab, gue mau aja. Tapi, gue nggak mau ngerebut calon istri orang," sahut Hugo. Dia berkata seperti itu dengan serius. Sengaja dia memberi jeda supaya Gia semakin salah tingkah, lalu tertawa, seakan ini memang hanya ocehan tanpa makna. Nyatanya, Hugo memang berharap menggantikan posisi Restu sebagai calon suami Gia."Bang," panggil Gia pelan, nyaris tidak terdengar Hugo.Hugo memandang Gia sambil tersenyum. "Lo manggil gue?""Ajakin gue ke KUA sekar

  • Love by Choice   Liar

    Matahari sudah tenggelam, saat Gia memasukkan mobil ke dalam garasi rumah. Hari ini tidak seburuk yang Gia bayangkan. Bertemu dengan Hugo setelah beberapa minggu ini dia menghindari Gia, ternyata tidak terlalu buruk. Tadinya, Gia mengira pertemuannya ini akan berakhir dengan kondisi aneh atau bahkan terjadi pertengkaran. Tapi, sebaliknya, Hugo masih tetap Hugo, senior menyebalkan yang berhasil membuat hati Gia berbunga-bunga. Sekarang, Gia sadar bahwa perasaan itu belum sepenuhnya hilang. Hugo masih punya tempat spesial di hati Gia.Baru saja Gia mematikan mesin mobil, ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk. Gia mengurungkan niatnya keluar mobil. Dia meraih ponsel yang disimpannya di dalam tas. Sebuah pesan dari Hugo membuat jantungnya malas berdetak dalam beberapa detik.Senior Galak KesayanganMakasih buat hari ini, Gi. Gue seneng ketemu lo.Gia tersenyum lebar membaca pesan dari Hugo. Apa yang dirasakannya ternyata dirasakan juga oleh Hugo. Mereka dua orang yang saling menikmati pertem

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status