Share

Arti Ketulusan

"Wow! Pangeran datang menyelamatkan sang putri rupanya."

"Hmh! Jangan harap kali ini kamu bisa lepas. Pelanggaran kontrak, kekerasan, penggunaan obat ilegal, serta pelecehan. Ku jamin agensimu akan segera pindah tangan dan kau membusuk di penjara!" terang Ishan pada Denny yang masih bisa tersenyum sombong.

Selang beberapa menit polisi tiba membekuk Denny bersama anak buahnya. Denny melemparkan tatapan tajam penuh dendam pada Ishan saat polisi memborgol kedua tangannya.

Sedangkan Lintang belum juga sadarkan diri. Ishan menggendongnya ke mobil dan membawanya ke rumah sakit. Namun di tengah perjalanan, Lintang mulai sadar.

"Ugh! Habis sudah ...," rancau Lintang yang masih setengah sadar. Perlahan ia membuka matanya dan tersentak ketika orang yang pertama ia lihat setelah membuka mata adalah Ishan yang sedang mengemudikan mobilnya.

"Sudah sadar rupanya? Kau tau betapa bodohnya dirimu? Apa kau sanggup menanggung akibatnya jika aku terlambat sedetik saja?!" Rentetan omelan bernada agak tinggi mencecar Lintang yang masih berusaha mengingat. 

"Kamu ini kenapa sih? Ngomel nggak jelas," jawab Lintang yang memegangi kepalanya karena efek obat bius tadi.

"Kenapa katamu! Aku khawatir! Kamu ini bodoh apa dungu? Hah! Sok-sokan nyelesein masalah sendiri. Kamu pikir kamu hebat?" Teriak Ishan meledak karena khawatir.

"Diam! Biarkan aku mengingat apa yang terjadi!" Bentak Lintang tak mau kalah. Ia menyalak galak pada Ishan.

Namun dengan santai Ishan menjawab, "tak perlu mengingatnya. Atau kamu akan bingung bagaimana cara membalasku nanti." Seolah sudah kehabisan tenaga, tiba-tiba Ishan merendahkan suaranya.

"Jam berapa sekarang?" tanya Lintang yang tiba-tiba ingat titah sang bunda.

"Jam lima sore. Kenapa?" jawab Ishan judes.

"Ugh sial!" umpat Lintang.

"Kalau gitu turunkan aku di halte bis depan aja," sambung Lintang yang nampak di buru waktu.

"Hebat ya kamu tang? Baru beberapa jam yang lalu kamu di semprot obat bius dan hampir diperkosa om-om, sekarang kamu masih mau pulang sendiri dalam keadaan seperti ini?!"

DEG!

Lintang tertegun dengan apa yang baru saja ia dengar.

Seketika ia terdiam. Tidak lagi memerintah ataupun protes. Lintang hanya diam sepanjang jalan menuju rumah sakit. Ia memalingkan wajahnya ke arah jendela. Matanya menatap kosong jalanan. Merasa aneh dengan keheningan yang di tunjukkan Lintang, tanpa ragu Ishan bertanya.

"Apa yang kamu pikirkan? Kenapa tiba-tiba diam?

"Bukan urusanmu!" jawab ketus Lintang.

Sesampainya di rumah sakit, Lintang masih diam membisu menjalani serangkaian pemeriksaan. Hingga saat dokter menyarankan Lintang untuk pergi juga ke psikolog untuk memeriksa kondisi psikisnya yang nampak syok karena kejadian tadi.

"Tidak perlu, saya lebih tau kondisi tubuh dan mental saya. Terimakasih." ucap Lintang dingin. Ia pergi begitu saja. Dokter menyarankan pada Ishan untuk terus menjaga Lintang. Setelah mendengar saran dokter, Ishan buru-buru menyelesaikan administrasinya dan bergegas mengejar Lintang.

Tak seperti biasanya yang tiba-tiba menghilang, kali ini Lintang masih berdiri di depan pintu masuk parkiran.

"Tumben kamu nggak ngilang?"

"Bukan urusanmu! Cepat antar aku ke kantor."

"Berhenti memerintahku! Aku bukan kacungmu!" protes Ishan tak terima di perintah-perintah seenaknya oleh Lintang.

"Kalau aku maunya begitu kamu mau apa?" jawab Lintang yang sengaja menggoda Ishan.

"Ya sudah! Pulang aja sendiri sana!"

Tanpa menoleh ataupun menjawab, Lintang beranjak pergi.

Tingkah Lintang ini membuat Ishan geram.

"Apa! Dia pergi gitu aja? Nggak ngajak berdebat lagi? Dasar cewek arogan!" gerutu Ishan yang kemudian berlari mengejar Lintang.

Sret!

Ishan menarik pergelangan tangan Lintang.

Dengan sigap Lintang langsung membanting Ishan.

BRUK ....

 Ishan terkapar tepat di depan Lintang.

"Aduuh ... lu tega banget sih tang!" keluh Ishan dengan wajah meringis kesakitan.

"Itu salahmu sendiri! Kenapa sembarangan pegang! Tadi kamu nyuruh aku pulang sendiri, kenapa tiba-tiba ngejar dan pegang-pegang? Jadi bukan salahku donk, kalau kamu ku perlakukan layaknya penjahat mesum!"

tegas Lintang membela diri, dengan mimik wajah yang seolah jijik dengan Ishan. Ia lantas mengambil tisu basah yang ada dalam tasnya dan mengelap tangan yang tadi di pegang Ishan berulang kali. 

"Iya ... iya ... itu salahku, tapi setidaknya kamu bantuin aku bangun kek!"

"Cih! NA-JIS!" umpat Lintang yang menyibukkan diri menghabiskan satu bungkus tisu basah untuk mengelap tangannya.

"Ya Gusti! Kamu pikir aku anjing? Nggak berperasaan banget sih tang! Kamu lupa ketika dulu pacaran juga kamu gandeng tanganku terus kemana-mana! Dasar ..."

"Syukur kalau kamu sadar! Aku heran, apa yang kamu dapat dari mengingat masa lalu?"

"Sebuah rasa yang kurindukan! Setidaknya kamu ucapin terimakasih kek! Kamu beneran nggak beretika banget sih! Aku dah baik hati nolong kamu dari om-om mesum itu, dah bawa kamu juga ke rumah sakit, dan kamu malah bersikap seperti ini? Salahku apa tang?"

"Kalau kamu menolongku cuma ingin membuatku merasa berhutang atau bersalah, lebih baik kamu biarkan aku hancur saat itu!"

"Hati-hati tu mulut! Keangkuhanmu sudah melampaui batas tang! Apa susahnya sih bilang 'maaf' dan 'terima kasih'? Kedua kalimat itu tidak akan menjatuhkan harga dirimu nona Arkania Lintang Jagat!" 

"Baiklah! Kau menolongku hanya untuk sebuah ucapan 'terima kasih' bukan? Baiklah TERIMA KASIH! Sudah puas?"

"Kau sebut itu ucapan terima kasih? Apa sekeras itu hatimu untuk orang yang dengan tulus menolongmu?"

"STOP! Jangan ajari aku tentang ketulusan sebelum kamu sendiri tau apa itu tulus! Apa sikapmu barusan itu layak untuk disebut TULUS? Baru saja kamu berkoar merengek untuk sebuah ucapan 'terima kasih'! Aku benar-benar berterima kasih! Tapi aku tak pernah menghargai atau menganggapmu tulus!"

"Bukan begitu maksudku, tang ...."

Enggan larut dalam perdebatan yang tak berarti, Lintang pergi mengabaikan Ishan.

 "Tang! Lintang!" teriak Ishan memanggil Lintang yang terus berjalan menjauh darinya.

"Akh! Kok malah jadi gini sih!" Teriak Ishan frustasi. Ia menendang dan memukul udara dan menggaruk keras kepalanya dengan kedua tangannya sebagai ungkapan rasa marah serta frustasi.

Sedangkan Lintang pulang dengan taksi. Sepanjang perjalanan pulang, dalam diam ada rasa penyesalan yang mengusik hatinya. Ia menyadari sepenuhnya jika sikapnya terhadap Ishan adalah salah. Walaupun ada niat terselubung ketika Ishan menolongnya, tetap saja sudah sepantasnya ia mendapat apresiasi walau sekedar ucapan terima kasih. 

Namun, karena itu adalah Ishan, ia sangat kecewa melihat sikap Ishan bersama niat terselubungnya. Sehingga ia justru mencari pembenaran untuk argumen dan tindakannya. 

Tepat pukul 18.45 Lintang sampai di rumahnya. Sosok wanita setengah baya yang sudah rapi dengan gaun malam seolah siap untuk pergi kondangan menyambutnya di depan pintu.

"Di mana mobilmu?" tanya Mayang, ibunda Lintang.

"Di kantor! Mama jangan tanya lagi! Lintang sedang malas untuk menjelaskan!"

"Kalau begitu, kamu pun pasti malas berdebat kan?"

"Hmm?" Lintang menoleh. Pertanyaan ibunya membuat alis hitam itu kusut karena tanda tanya.

"Cepat mandi, segera tunaikan kewajibanmu dan cepat bersiap! Kamu tidak lupa kan? Kalau malam ini mama mau ngenalin kamu sama calon suami mama?" Mayang mendorong Lintang ke kamarnya.

"Ma! Di mana-mana tuh ibu ngenalin anaknya dengan calon suami pilihan ibunya untuk anaknya! Nah ini, mama malah mau ngenalin calon suami mama sendiri! Anak sendiri aja masih jomblo. Tidakkah itu egois?"

"Memangnya kamu mau ngganti-in mama nikah sama om-om? Lebih dari itu, mama ragu kamu ini normal! Sejak kejadian itu, kamu bahkan tidak pernah pacaran!"

"Oh ... kali ini bukan brondong lagi?" tanya Lintang menghindar dari tanya ibunya.

"Jawab dulu pertanyaan mama! Kalau mama nggak serius, mana mungkin mama kenalin ke kamu!"

"Mama pikir karena siapa Lintang jadi begini? Lintang nggak yakin mama bisa serius setia, apa lagi sama om-om! Apa yang mama incar dari tua Bangka kali ini? Sekaya apa dia?"

"Hus! Mulutmu itu lho ... kalau ngomong kurang ajar suka nggak ada remnya! Apa mama sejahat itu di matamu? Sebaiknya kamu ke psikiater, kalau tidak kamu bisa kebablasan jadi jomblo seumur hidup!"

"Apa mama baru sadar kalau mama jahat? Sudahlah! Lintang mau istirahat!"

"Lintang! Kamu ingat ancaman mama tadi pagi nggak? Kamu lupa kalau mama suka nekat? Lima belas menit kamu belum siap, persiapkan mentalmu besok pagi!" ucap Mayang memperingatkan Lintang.

Dengan berat hati ia menuruti kemauan ibunya yang sudah seperti anak muda kebelet kawin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status