"Kenapa semua jadi melenceng dari plan begini? Gue kan udah bilang, jangan pernah melibatkan dia dalam semua aksi kita. Dia itu orangnya nekadan. Bisa berantakan semua ntar rencana kita kalo dia udah ikut campur. Lo kalau kerja yang bener dong? Katanya aja professional. Professional apaan coba?
Seorang pria tampan rupawan yang sedang bergoyang-goyang santai mengikuti alunan musik EDM, berjalan menjauhi dance floor. Tangan kanannya memegang ponsel yang masih ditempelkan di telinga. Setelah menemukan satu spot yang tidak begitu bising, ia kembali melanjutkan pembicaraannya.
"Sorry... sorry... ini semua gara-gara si Daniel sih pake acara ngaku segala. Katanya dia takut bakalan dibikin jadi perkedel daging sama itu duo veteran Alcatraz. Makanya persoalan jadi melebar begini. Tapi lo tenang aja. Menurut gue, perubahan yang melenceng dari rencana kita ini malah jadi lebih bagus lagi. Keadaan akan makin chaos. Kedua keluarga besar akan saling curig
"Tyza... Tyza bisa bantuin Pandan nggak?" Begitu kakaknya berlalu, Pandan segera menghubungi tantenya via ponsel. Alzahra Tjandrawinata alias Zaza alias Tyza. Tantenya ini mempunyai usia yang sama dengan Lautan, kakaknya. Hanya berbeda bulan saja. Karena itulah Tante Zaza tidak mau dipanggil Tante oleh mereka berdua yang nota benenya adalah keponakannya. Alhasil Tante Zaza merubah panggilannya menjadi lebih enak didengar, yaitu Aunty Zaza yang disingkat menjadi Tyza."Ahelah, lo ngomongnya serius begini gue jadi deg deg-an. Pas kayak anak perawan lagi ngintip calon jodoh yang mau ngelamar. Lo mau ngomong apaan, Ndan? Jangan bilang kalo lo lagi bunting ya?"Mampus! Tebakan Aunty Zaza memang tepat sasaran."Emang iya sih. Tapi tujuan utama Pandan--""Eh ponakan durhaka. Lo ngelangkahin gue sebagai Aunty lo ya? Gue aja yang udah akhir dua puluhan gini belum pernah sekalipun ena ena. Lah lo yang baru bro
"Assalamualaikum."Pintu kamar rawat inap Denver terbuka seiring dengan suara salam dari seseorang. Denver dan Pandan serempak menoleh ke arah arah pintu. Seorang gadis manis berhijab memasuki ruangan dengan tangan yang dipenuhi oleh bungkusan. Zivana Wisesa."Lho ternyata ada lo toh di sini, Ndan? Kalo gitu ngapain juga gue lelarian ke sini disuruh bunda ngejagain gorill--" Ziva nyaris menggigit lidahnya sendiri. Ia terpeleset omong memanggil Denver dengan sebutan gorilla. Begini ini kalau suka membatin dan memberi orang julukan sembarangan. Bisa keluar sendiri dari mulut tanpa sempat ditahan lagi. Alamat dimarahin lagi lah ia oleh gori--eh Mas Denver yang gualaknya nauzubillah ini."Mau ngomong apa kamu tadi? Gorilla? Lagian siapa juga yang minta kamu jagain saya?" Denver langsung ngegas. Orang lagi sakit malah dikata-katain. Di depan mata gebetan lagi? Kan bisa merusak pasaran kegantengannya yang hakiki. O
Suasana ruang tamu kembali tegang. Jikalau beberapa waktu lalu tegang karena di sidangnya Mahater dan Thomas, kali ini tersangkanya adalah Denver. Hanya saja ekspresi tersangkanya sangat santuy sekali. Tidak tampak ada ketakutan sedikit pun yang terbias di matanya. Padahal penampilannya mengerikan sekali. Kaki kanannya masih di gips dan di sanggah oleh kruk. Kepalanya juga masih dibalut perban. Memar-memar di wajahnya sudah berwarna ungu kekuningan. Yang artinya memarnya susah berusia beberapa hari. Hanya tinggal pemulihannya saja. Intinya penampilannya persis seperti tentara yang baru pulang perang dari negara konflik. Penampilannya sudah seperti itu pun, sikapnya masih dingin-dingin songong saja. Padahal ekspresi wajah ayah dan kakaknya sudah seperti ingin mengunyahnya mentah-mentah.Sedari Denver menginjakkan kaki di ruang tamu ini, Om Revan dan Lautan terus mengawasinya seperti seekor burung elang yang sedang mengintai mangsa lezatnya. Tinggal menunggu
"Harus banget kita ke sini ya, Bang?" Pandan ragu-ragu saat Denver membawanya masuk ke kantor polisi. Bukannya apa-apa, seumur hidupnya ia tidak pernah menginjak yang namanya kantor polisi. Jadi ada perasaan tidak nyaman saat harus masuk ke sarang pria-pria berseragam ini. Rasanya seperti akan di penjara saja. Tapi sepertinya Denver sudah membulatkan tekad untuk melaporkan kasus ini ke pihak yang berwajib. Ia ingin menuntaskan kasus ini melalui prosedur yang benar katanya. Ia tidak mau lagi bermain detektif-detektifan yang akhirnya malah akan berakhir dengan penghianatan. Makanya ia dengan sengaja menemui Kompol Galih Kurniawan Jati terlebih dulu untuk bertukar pikiran, sebelum benar-benar akan melaporkan kasus ini secara resmi. Dan di sinilah mereka sekarang. Dalam ruangan kerja asri Kompol Galih Kurniawan Jati."Bukannya saya bermaksud untuk mencampuri urusan pernikahan kalian ya, Pandan, Denver. Hanya saja situasinya saya rasa kurang tepat untuk membuat sebua
"Lo jadi nikah lusa ya, Ndan?" Ziva bertanya sambil lalu. Tangannya dengan cekatan membantu Pandan memilih-milih kebaya yang akan dikenakan pada saat akad. Pertanyaan Ziva sontak membuat Pandan menghentikan gerakannya yang sedang menyortir antara satu kebaya dengan kebaya lainnya.Karena pernikahannya mendadak, ia memutuskan untuk mengenakan kebaya jadi siap pakai saja. Ia tidak ingin merepotkan Tante Nisa, bundanya Ziva untuk membuat kebaya baru karena waktunya sudah terlalu mepet.Tante Annisa memang mempunyai beberapa butik yang khusus menyediakan gaun-gaun dan kebaya pernikahan. Ziva juga bekerja paruh waktu di sini. Ia suka mendesign kebaya-kebaya pernikahan muslimah. Hitung-hitung latihan membuat kebaya untuk akad sendiri nanti katanya."Jadi, Va. Soalnya Denver nggak suka ini debay keburu gede and nggak punya status yang jelas," sahut Pandan dengan dengan perasaan campur aduk. Ia merasa bersalah pada Ziva. Karena biar bagaimanapun Denv
Saat kata-kata sah terdengar, perasaan Pandan menjadi begitu plong. Bebannya selama hampir dua bulan ini seakan-akan terangkat semua dari pundaknya. Ingatannya melayang pada saat ia membayangkan akan menjadi seorang ibu tunggal bagi bayinya dua bulan lalu. Belum lagi bayangan akan dibuangnya dirinya ke Siam sana. Hujatan dari kanan kiri akibat hamil di luar nikah, semua menyerbu bagai air bah di benaknya. Namun ternyata semua ketakutannya itu tidak beralasan. Ia kini telah sah menyandang status sebagai istri dari Denver Delacroix Bimantara. Anaknya akan mempunyai orang tua yang lengkap, sekaligus ia juga memiliki suami yang insya allah akan menemaninya sampai maut memisahkan nanti. Mengenang semua itu membuat mata Pandan kembali berair.Ingatannya melayang lebih jauh lagi. Kembali pada saat kanak-kanak dan remajanya bersama pria berangasan yang kini telah resmi menjadi suaminya. Jujur setitik debu pun ia tidak pernah mengira bahwa Denverlah kelak laki-laki
"Sial!!" Pandan menghentikan suapan es krimnya saat mendengar suara rutukan kakaknya."Sial kenapa, Bang?" Tanya Pandan penasaran. Kakaknya terlihat sedikit kaget saat mendengar pertanyaannya. Ia kemudian buru-buru menutup ponselnya. Ada kemarahan yang bercampur dengan kegelisahan dalam raut wajahnya. Hari ini kakaknya menjemputnya ke rumah karena ia ribut ingin makan es krim. Sementara suaminya sedang ke luar kota. Ada beberapa masalah teknis yang memerlukan kehadiran suaminya di sana. Satu hal yang baru ia ketahui adalah ternyata suaminya itu sangat bertanggung jawab dalam masalah pekerjaan. Padahal kondisi tubuhnya masih kurang baik. Walaupun ia sudah tidak menggunakan kruk lagi. Tetapi kondisi tubuhnya belum seratus persen pulih. Sekarang ia baru benar-benar memahami peribahasa, jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya. Contohnya ya suaminya ini. Casingnya gahar tetapi hatinya rupanya lembut dan sabar. Gayanya slengean, tapi ternyata tanggung jawabnya
Pandan dulu adalah type orang yang sangat tidak percaya dengan yang namanya mitos. Khususnya mitos mengenai ibu hamil yang mengidam. Menurutnya aneh saja kalau kita menyalahkan anak dalam kandungan kita, jikalau kita menginginkan sesuatu. Ini bawaan bayi. Ini permintaan orok dan lain sebagainya. Apalagi jika seseorang tiba-tiba mengalami perubahan selera yang signifikan. Misalnya seseorang yang dulunya tidak menyukai durian, tetapi saat hamil orang tersebut jadi menyukainya. Menurutnya itu adalah hal yang tidak masuk akal. Alias aneh.Tetapi semua hal itu kini berbalik menyerangnya. Ia yang seumur hidup sangat geli melihat alpukat yang sudah dihaluskan, kini mendadak ingin mencicipi rasanya. Dulu setiap kali ia melihat alpukat yang dihaluskan, ia merasa geli sekali. Karena mirip dengan, maaf pupnya bayi. Melihatnya saja sudah membuatnya eneg. Apalagi jikalau harus memakannya. Perutnya langsung berontak hebat hanya dengan membayangkannya. Tetapi kali ini, s