Home / Romansa / Luapan Gairah Panas Ayahmu / Bab 3. Malam Pertama. 

Share

Bab 3. Malam Pertama. 

Author: Ucing Ucay
last update Last Updated: 2025-07-16 18:12:59

Rayhan menunduk, bibir mereka bertemu untuk pertama kali. Ciuman itu pelan, hati-hati. Ada ketegangan yang berat, seperti dua orang yang takut batas rapuh di antara mereka runtuh. Atau mungkin, takut mengakui bahwa dinding yang selama ini mereka bangun ternyata setipis kaca.

Namun, perlahan, ciuman itu berubah. Dari yang lembut jadi kasar, terburu-buru, dan terlalu panas untuk disebut ragu-ragu. Badai yang selama ini terpendam tumpah ruah, membakar hingga ke tulang.

Tangan Rayhan berpindah, menyentuh pipi Alesha, menelusuri garis rahangnya yang halus. Napas mereka beradu di sela ciuman yang semakin dalam. Setiap sentuhan terasa seperti pengakuan terlarang, yang selama ini dipendam rapat.

“Alesha …,” bisik Rayhan, suaranya serak dan penuh perih sekaligus ingin. “Aku … sudah terlalu lama ingin ini.”

Rayhan menatap Alesha yang diam di hadapannya. Dia tak bergerak, tak mengucap sepatah kata pun, hanya membiarkan tubuhnya tetap dekat. Mata Alesha perlahan tertutup, dan dalam diam itu, Rayhan menangkap kerentanan yang sulit diartikan—sebuah keheningan yang sekaligus menjadi tanda, sekaligus misteri. Diamnya Alesha seperti bisu, tapi bagi Rayhan itu sudah cukup sebagai jawaban.

Ciuman mereka pecah, bukan lembut atau malu-malu, tapi kasar dan terburu-buru, seolah mencoba mengambil kembali waktu yang hilang, menenggelamkan bisikan nurani yang berontak.

Rayhan membeku sejenak, memandang tubuh Alesha dengan mata yang tak bisa bohong. Dia bukan anak kecil lagi. Wanita itu sudah berubah—dada penuh, pinggul yang mulai matang, perut halus yang bergetar saat napasnya makin cepat.

Darahnya mendidih. Tapi di sisi lain, dadanya sesak. Konsekuensi yang harus ditanggung mulai terasa nyata, dan menekan.

Dia menunduk, mencium bahu Alesha dengan perlahan, lalu lehernya. Rahangnya bergeser, menempelkan ciuman lembut yang meninggalkan jejak hangat. Setiap tarikan napas Alesha yang semakin terasa di dekatnya membuat Rayhan sulit bernapas dengan normal. Gerakan halus itu, entah sadar atau tidak, membakar kesabarannya. Ia merasakan jemarinya sendiri mengepal lemah, menahan dorongan yang semakin sulit dikendalikan.

Ciuman turun ke tulang selangka, lalu ke dada. Lidah Rayhan menyapu lembut, diikuti gigitan kecil yang membuat Alesha menegang, bibirnya tergigit.

Ada denyut aneh—campuran gairah dan rasa bersalah.

Namun Rayhan tidak terburu-buru. Ia bukan pria yang hanya menginginkan puncak cepat.

Malam itu, dia mencintainya. Dengan tubuh, dengan hati, dan dengan segala kerinduan yang selama ini disembunyikan rapat.

Rayhan berhenti sejenak, menatap wajah Alesha yang sudah terbaring di bawahnya. Tidak ada ketakutan yang jelas. Tidak ada penolakan yang nyata. Hanya sepasang mata yang menghangat dan bibir yang sedikit terbuka—napas tertahan, bukan ajakan, tapi sudah cukup baginya. Di balik itu, Rayhan menangkap bayangan samar sesuatu yang tahu ia tidak seharusnya ada.

Dengan tangan sedikit gemetar, Rayhan membuka kaosnya. Kain itu jatuh ke lantai, memperlihatkan tubuhnya yang matang dan kekar—otot-otot di dadanya yang jelas terlatih, hasil dari latihan rutin yang sudah jadi bagian hidupnya.

Alesha menatap pundak dan dadanya dengan intens. Rayhan tahu, dia melangkah semakin jauh ke jurang yang berbahaya.

Tangannya mulai menyusuri dadanya perlahan. Menyentuh otot yang mengeras karena ketegangan dan hasrat yang sama-sama mereka rasakan. Lalu naik ke bahu dan lengan yang kuat, tapi kini sedikit bergetar, menahan luapan perasaan yang membakar.

Setiap sentuhan membakar. Setiap desahan dari Alesha seolah melumerkan sedikit demi sedikit dinding yang masih mencoba Rayhan pertahankan.

Alesha membuka kedua pahanya perlahan, napasnya berat, dada naik turun cepat. Jari-jarinya mencengkeram seprei erat, tubuhnya seperti menyambut Rayhan, meskipun ada keraguan yang tak bisa diabaikan.

Di luar, suara hujan semakin deras, seperti langit pun menjadi saksi — atau mungkin, hakim atas pilihan yang sudah mereka buat.

Rayhan kembali berhenti sejenak, tubuhnya masih menyatu dengan Alesha. Nafasnya berat, suaranya parau ketika berkata, “Kalau aku lanjut … aku gak akan bisa berhenti, Lesha.”

Matanya menatap dalam ke arah Alesha yang kini menatap balik dengan mata menggenang. Bukan karena takut, tapi penuh dengan keinginan yang ia tahu salah—perasaan yang semestinya ia tolak, tapi justru ia biarkan.

Sebuah anggukan kecil dari Alesha jadi jawaban yang tak terucapkan, berat dan penuh konsekuensi, seolah menyegel takdir yang akan mereka jalani malam itu.

Alesha melenguh tertahan, tubuhnya melengkung di bawah Rayhan. Tangan yang mencengkeram seprei dengan kuat, jari-jari yang bergetar, menunjukan pertarungan batin yang tersembunyi.

Rayhan merasakan getaran itu juga di dirinya sendiri.

Saat tubuhnya perlahan menyatu dengan Alesha, suara kecil itu keluar—“Ahhh … Om …” Desahan yang tertahan, gemetar, napas tercekat. Sensasi yang asing, menakutkan, namun juga memabukkan dan memuaskan sekaligus.

Rayhan memejamkan mata, menunduk dan mencium bibir Alesha, membungkam rintih pelan yang lolos dari mulutnya. Ciuman itu lembut, penuh penghargaan, tapi tubuhnya tegang, berusaha menahan diri agar tidak terburu-buru.

Di dalam benaknya, konflik berkecamuk: antara apa yang benar dan dorongan nafsu yang tak bisa ia abaikan.

“Tenang … aku akan pelan-pelan, ya,” bisik Rayhan di telinga Alesha, suaranya serak dan hampir pecah. Ia berusaha keras menahan diri, mencoba memberi ruang agar semuanya berjalan perlahan. “Kamu … terlalu sempit … Alesha … Ohhh ….”

Rayhan menahan pinggulnya, menyatu dengan tubuh Alesha secara perlahan. Tubuhnya bergetar dalam kehangatan itu, membuatnya menghela napas panjang penuh desahan yang tak tertahankan.

“Kamu … kamu indah sekali,” ucapnya lirih, sambil menekan dahi ke pundak Alesha, mencoba menenangkan diri sekaligus menyampaikan perasaannya yang campur aduk.

Rayhan membalas dengan mencium bahunya, lalu menurunkan ciuman ke dada yang naik turun cepat mengikuti napas yang berat.

“Kamu yakin?” tanyanya dengan suara yang mengandung keraguan, seolah takut mengambil keputusan yang salah. Keraguan itu justru membuat suasana semakin berat, membelit antara benar dan salah.

Alesha diam. Bibirnya bergetar, pandangannya tertunduk, menghindari tatapan Rayhan seolah takut melihat cermin dosa yang mereka jalani.

Ada jeda hening. Detik yang menggantung di antara nafsu yang membakar dan moralitas yang berbisik keras.

Rayhan menatapnya dalam, memastikan. Ketika Alesha tak mundur, walaupun matanya masih penuh keraguan, Rayhan mulai bergerak perlahan. Keraguan itu terlihat jelas, namun tubuhnya yang lain tidak menolak—justru seakan memohon untuk diselamatkan dari pergulatan batin yang tiada akhir.

Satu tarikan napas.

Satu gesekan kulit.

“Alesha …,” desah Rayhan, suara seraknya hampir pecah. “Kamu membuat aku … gak bisa mikir jernih.”

Dalam diam, ia tahu apa yang mereka lakukan salah. Tapi dorongan nafsu dan kehangatan di antara mereka terlalu sulit dilawan. Batin Rayhan berkecamuk—antara penyesalan dan keinginan, antara benar dan salah yang perlahan memudar dalam gelap malam.

Tangan Rayhan perlahan menjelajah tubuh Alesha. Ia merasakan tubuh gadis itu menggigil, bukan hanya karena sentuhannya, tapi juga karena pergulatan batin yang tersembunyi. Rayhan tahu, ini salah. Seratus persen salah. Tapi mengapa tubuh Alesha tetap menerima? Mengapa jiwanya seolah terbelah antara mundur dan menyerah? Dan mengapa dosa ini terasa begitu manis, seakan mengundang tanpa ampun?

Bibir Rayhan mengecup leher Alesha dengan lembut. Ia menangkap napas tertahan, lalu sebuah air mata meluncur di sudut mata gadis itu. Bukan air mata karena luka atau sakit, tapi air mata dari campuran rasa yang rumit: nikmat, sesal, takut, rindu, dan sesuatu yang nyaris menyerupai cinta. Campuran emosi yang aneh dan menakutkan, namun terasa begitu hidup di malam itu.

“Kamu milik aku sekarang …,” bisik Rayhan, suaranya berat dan dalam. “Semua bagian dari kamu ….”

Alesha mengangguk pelan. Namun Rayhan tahu, hatinya masih berkecamuk. Ada perang batin yang hebat di balik anggukan itu.

Erangan panjang keluar dari bibir Alesha, penuh pasrah. Ia menekan wajahnya ke pundak Rayhan, seolah berusaha menyembunyikan diri dari keputusan yang baru saja diambilnya.

Rayhan terdiam sesaat. Namun tubuhnya terus menekan, lebih dalam, lebih dalam lagi. Alesha melenguh pelan, suara setengah pasrah, setengah tenggelam dalam badai rasa yang sulit dikendalikan. Dia tahu ini salah, tapi sudah terlalu jauh. Dan sensasi itu terlalu kuat untuk ditolak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 177. Overprotective

    ​Sepuluh menit kemudian, Rayhan kembali. Ia sudah berganti pakaian dengan kaus abu-abu longgar dan celana training hitam—pakaian rumahan yang sangat santai, yang membuat otot-ototnya terlihat lebih menonjol. Aromanya telah berganti dari desinfektan menjadi aroma cologne maskulin yang segar dan bersih.​Kehadirannya di meja makan adalah siksaan bagi Alesha. Malam ini, mereka duduk dalam skenario keluarga yang normal, tetapi di bawahnya, ada arus listrik yang membakar.​Alesha menghindari kontak mata. Ia hanya fokus pada piringnya.​Rayhan mulai beraksi. Tiba-tiba, ia meraih sendok sup dan menyendokkan sedikit sup ayam ke piring Alesha.​“Kamu kurang nutrisi, Lesh. Terlihat dari lingkaran hitam di bawah matamu. Pasti begadang lagi untuk skripsi,” ujar Rayhan, suaranya terdengar prihatin, tetapi ada nada kepemilikan terselubung di dalamnya.​Alesha terkejut. “Eh, t-terima kasih, Om. Tapi aku bisa ambil sendiri.”​“Tidak apa-apa. Kamu tamu kami,” balas Rayhan, menyendokkan potongan daging

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 176. Intensitas Dramatis

    Alesha mulai menghitung jam. Pukul delapan malam. Rayhan, sebagai dokter ortopedi senior di rumah sakit swasta, biasanya pulang sangat larut. Ia memiliki sedikit waktu untuk menikmati kebersamaan santai ini sebelum teror itu datang.​“Kenapa sih, kamu terlihat tegang?” tanya Zira, menyikut lengan Alesha. “Kayak kamu mau ketemu calon mertua aja.”​Alesha terbatuk, pura-pura tersedak cokelat panasnya. “Apaan sih, Ra! Enggak. Aku cuma pusing sama tugas kuliah yang menumpuk.”​Calon mertua … Alesha bahkan tidak berani memikirkan Rayhan dalam konteks itu. Hubungannya dengan Rayhan masih mengambang, terombang-ambing antara godaan, kontak mata yang terlalu lama, dan pesan singkat yang tiba-tiba datang di tengah malam. Semua terjadi secara rahasia, di belakang Zira.​Zira tidak tahu apa-apa. Bagi Zira, Rayhan hanyalah ayah yang sibuk dan protektif, dan Alesha hanyalah sahabat terbaiknya. Zira adalah peredam sempurna yang memungkinkan Rayhan dan Alesha untuk berada di ruang yang sama tanpa har

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 175. Malam di Bawah Satu Atap

    Rayhan mencoba memikirkan solusi: Bagaimana cara main aman?​Bertemu di luar kota? Terlalu berisiko, seperti yang sudah pernah terjadi.​Mengatur perjalanan bisnis palsu? Bisa, tapi hanya sesekali.​Menggunakan alibi rumah sakit? Itu sudah hampir habis masa pakainya.​Rayhan tidak menemukan solusi yang aman. Ia hanya menemukan kenyataan yang memberatkan: ia harus mempertaruhkan segalanya demi Alesha.​Amarahnya kemudian beralih ke sumber masalah awal: Livia.​“Ini semua karena Livia yang berulah!” Rayhan menggeram. “Wanita itu tidak pernah bisa melihatku bahagia! Dia memanfaatkan Arif, dia menggunakan Zira, dia menciptakan masalah di mana tidak ada masalah!”​Rayhan yakin, jika Livia tidak mengirim foto itu kepada Arif, dan jika Livia tidak menemui Arif di Padel, ia dan Alesha akan bisa menjalani hubungan rahasia mereka dengan lebih tenang. Livia adalah biang keladi dari semua tekanan dan risiko yang ia hadapi.​Rayhan menginjak pedal gas, melaju kencang di jalanan sepi. Ia harus pula

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 174. Penolakan dan Sikap Dingin Alesha

    ​Malam itu, meskipun pertengkaran kecil telah mereda dalam pelukan Rayhan, suasana hati Alesha tidak sepenuhnya pulih. Rayhan telah mencabut usulan jaga jaraknya, tetapi luka karena merasa ditinggalkan masih terasa perih.​Mereka duduk berdampingan di sofa setelah Rayhan selesai merapikan sisa makan malam. Rayhan mencoba meraih tangan Alesha, tetapi Alesha menarik tangannya perlahan.​“Jangan, Om. Aku masih kesal,” ujar Alesha, suaranya dingin dan datar.​Rayhan menghela napas. Ia tahu ini adalah hukuman karena ia telah mengusulkan pemisahan. Malam itu tidak ada sex. Hasrat Rayhan menggebu, tetapi ia menghormati penolakan Alesha. Ia tahu, keintiman fisik tidak akan menyelesaikan masalah emosional ini.​Waktu menunjukkan semakin larut. Rayhan harus segera pergi, risiko untuk tertangkap semakin besar jika ia berlama-lama.​“Aku harus pergi, Sayang. Besok aku ada operasi pagi,” Rayhan berbisik, mencoba mencari kontak mata.​Alesha hanya mengangguk, cuek, dan menatap lurus ke televisi yan

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 173. Pertengkaran Kecil dan Keputusasaan

    Alesha membiarkan pelukan itu sejenak. “Rindu yang hampir membuat kita dalam masalah besar, Om,” keluhnya.​Rayhan membalikkan Alesha, mencium bibirnya sekilas. “Tidak akan terjadi lagi. Aku sudah memikirkan alasan barunya. Jika Zira atau Arif bertanya lagi tentang jaket itu, katakan saja begini:”​Rayhan menjelaskan alibi yang lebih rumit: Ia sengaja menitipkan jaket kulitnya kepada Alesha karena Arif—Ayah Alesha—memiliki relasi dengan penjahit kulit eksklusif yang biasa ia gunakan. Jaket itu perlu perbaikan kecil pada resletingnya.​“Alibi ini melibatkan Arif secara tidak langsung. Itu akan membuat Zira lebih percaya, karena dia tahu aku dan Arif sering saling membantu urusan pribadi,” jelas Rayhan.​Alesha menghela napas, tampak sedikit lebih tenang. “Baiklah. Itu terdengar lebih meyakinkan daripada ‘lupa’.”​Mereka duduk dan mulai makan malam. Makanan kesukaan Alesha, suasana tenang, dan kehadiran Rayhan perlahan meredakan ketegangan Alesha.​Di tengah keheningan, Rayhan berbicara

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 172. Mengalihkan Fokus ke Kisah Cinta Zira

    ​“Sudahlah, jangan bahas mereka yang menyebalkan itu!” Alesha memotong dengan nada pura-pura marah. “Aku sudah malas mendengar dramamu. Sekarang, coba jelaskan padaku!”​Alesha mengubah ekspresinya menjadi cemberut. “Kapan kamu dan Revan jadian/berpacaran? Kenapa kamu tidak cerita padaku?! Aku sahabatmu, Ra! Kamu jahat sekali menyembunyikannya dariku!”​Taktik Alesha berhasil. Zira langsung melupakan jaket itu. Wajahnya berseri-seri, bersemangat untuk berbagi berita baik.​“Oh, ampun! Maafkan aku, Sayang! Itu terjadi baru-baru ini. Kami … kami sepakat untuk lebih serius,” Zira bercerita, matanya berbinar.​Alesha memainkan peran sebagai sahabat yang terluka namun bersemangat. “Astaga, Ra! Revan! Sejak kapan? Kenapa kamu tidak cerita! Aku kan harusnya jadi yang pertama tahu!”​Zira meraih tangan Alesha. “Aku minta maaf! Tapi kan kamu juga sulit ditemui, Lesh!” Zira berkelit. “Aku tahu kamu sedang sibuk skripsi, makanya aku tunggu sampai aku bisa bawa sarapan dan bicara langsung! Aku ti

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status