Rayhan menunduk, bibir mereka bertemu untuk pertama kali. Ciuman itu pelan, hati-hati. Ada ketegangan yang berat, seperti dua orang yang takut batas rapuh di antara mereka runtuh. Atau mungkin, takut mengakui bahwa dinding yang selama ini mereka bangun ternyata setipis kaca.
Namun, perlahan, ciuman itu berubah. Dari yang lembut jadi kasar, terburu-buru, dan terlalu panas untuk disebut ragu-ragu. Badai yang selama ini terpendam tumpah ruah, membakar hingga ke tulang.
Tangan Rayhan berpindah, menyentuh pipi Alesha, menelusuri garis rahangnya yang halus. Napas mereka beradu di sela ciuman yang semakin dalam. Setiap sentuhan terasa seperti pengakuan terlarang, yang selama ini dipendam rapat.
“Alesha …,” bisik Rayhan, suaranya serak dan penuh perih sekaligus ingin. “Aku … sudah terlalu lama ingin ini.”
Rayhan menatap Alesha yang diam di hadapannya. Dia tak bergerak, tak mengucap sepatah kata pun, hanya membiarkan tubuhnya tetap dekat. Mata Alesha perlahan tertutup, dan dalam diam itu, Rayhan menangkap kerentanan yang sulit diartikan—sebuah keheningan yang sekaligus menjadi tanda, sekaligus misteri. Diamnya Alesha seperti bisu, tapi bagi Rayhan itu sudah cukup sebagai jawaban.
Ciuman mereka pecah, bukan lembut atau malu-malu, tapi kasar dan terburu-buru, seolah mencoba mengambil kembali waktu yang hilang, menenggelamkan bisikan nurani yang berontak.
Rayhan membeku sejenak, memandang tubuh Alesha dengan mata yang tak bisa bohong. Dia bukan anak kecil lagi. Wanita itu sudah berubah—dada penuh, pinggul yang mulai matang, perut halus yang bergetar saat napasnya makin cepat.
Darahnya mendidih. Tapi di sisi lain, dadanya sesak. Konsekuensi yang harus ditanggung mulai terasa nyata, dan menekan.
Dia menunduk, mencium bahu Alesha dengan perlahan, lalu lehernya. Rahangnya bergeser, menempelkan ciuman lembut yang meninggalkan jejak hangat. Setiap tarikan napas Alesha yang semakin terasa di dekatnya membuat Rayhan sulit bernapas dengan normal. Gerakan halus itu, entah sadar atau tidak, membakar kesabarannya. Ia merasakan jemarinya sendiri mengepal lemah, menahan dorongan yang semakin sulit dikendalikan.
Ciuman turun ke tulang selangka, lalu ke dada. Lidah Rayhan menyapu lembut, diikuti gigitan kecil yang membuat Alesha menegang, bibirnya tergigit.
Ada denyut aneh—campuran gairah dan rasa bersalah.
Namun Rayhan tidak terburu-buru. Ia bukan pria yang hanya menginginkan puncak cepat.
Malam itu, dia mencintainya. Dengan tubuh, dengan hati, dan dengan segala kerinduan yang selama ini disembunyikan rapat.
Rayhan berhenti sejenak, menatap wajah Alesha yang sudah terbaring di bawahnya. Tidak ada ketakutan yang jelas. Tidak ada penolakan yang nyata. Hanya sepasang mata yang menghangat dan bibir yang sedikit terbuka—napas tertahan, bukan ajakan, tapi sudah cukup baginya. Di balik itu, Rayhan menangkap bayangan samar sesuatu yang tahu ia tidak seharusnya ada.
Dengan tangan sedikit gemetar, Rayhan membuka kaosnya. Kain itu jatuh ke lantai, memperlihatkan tubuhnya yang matang dan kekar—otot-otot di dadanya yang jelas terlatih, hasil dari latihan rutin yang sudah jadi bagian hidupnya.
Alesha menatap pundak dan dadanya dengan intens. Rayhan tahu, dia melangkah semakin jauh ke jurang yang berbahaya.
Tangannya mulai menyusuri dadanya perlahan. Menyentuh otot yang mengeras karena ketegangan dan hasrat yang sama-sama mereka rasakan. Lalu naik ke bahu dan lengan yang kuat, tapi kini sedikit bergetar, menahan luapan perasaan yang membakar.
Setiap sentuhan membakar. Setiap desahan dari Alesha seolah melumerkan sedikit demi sedikit dinding yang masih mencoba Rayhan pertahankan.
Alesha membuka kedua pahanya perlahan, napasnya berat, dada naik turun cepat. Jari-jarinya mencengkeram seprei erat, tubuhnya seperti menyambut Rayhan, meskipun ada keraguan yang tak bisa diabaikan.
Di luar, suara hujan semakin deras, seperti langit pun menjadi saksi — atau mungkin, hakim atas pilihan yang sudah mereka buat.
Rayhan kembali berhenti sejenak, tubuhnya masih menyatu dengan Alesha. Nafasnya berat, suaranya parau ketika berkata, “Kalau aku lanjut … aku gak akan bisa berhenti, Lesha.”
Matanya menatap dalam ke arah Alesha yang kini menatap balik dengan mata menggenang. Bukan karena takut, tapi penuh dengan keinginan yang ia tahu salah—perasaan yang semestinya ia tolak, tapi justru ia biarkan.
Sebuah anggukan kecil dari Alesha jadi jawaban yang tak terucapkan, berat dan penuh konsekuensi, seolah menyegel takdir yang akan mereka jalani malam itu.
Alesha melenguh tertahan, tubuhnya melengkung di bawah Rayhan. Tangan yang mencengkeram seprei dengan kuat, jari-jari yang bergetar, menunjukan pertarungan batin yang tersembunyi.
Rayhan merasakan getaran itu juga di dirinya sendiri.
Saat tubuhnya perlahan menyatu dengan Alesha, suara kecil itu keluar—“Ahhh … Om …” Desahan yang tertahan, gemetar, napas tercekat. Sensasi yang asing, menakutkan, namun juga memabukkan dan memuaskan sekaligus.
Rayhan memejamkan mata, menunduk dan mencium bibir Alesha, membungkam rintih pelan yang lolos dari mulutnya. Ciuman itu lembut, penuh penghargaan, tapi tubuhnya tegang, berusaha menahan diri agar tidak terburu-buru.
Di dalam benaknya, konflik berkecamuk: antara apa yang benar dan dorongan nafsu yang tak bisa ia abaikan.
“Tenang … aku akan pelan-pelan, ya,” bisik Rayhan di telinga Alesha, suaranya serak dan hampir pecah. Ia berusaha keras menahan diri, mencoba memberi ruang agar semuanya berjalan perlahan. “Kamu … terlalu sempit … Alesha … Ohhh ….”
Rayhan menahan pinggulnya, menyatu dengan tubuh Alesha secara perlahan. Tubuhnya bergetar dalam kehangatan itu, membuatnya menghela napas panjang penuh desahan yang tak tertahankan.
“Kamu … kamu indah sekali,” ucapnya lirih, sambil menekan dahi ke pundak Alesha, mencoba menenangkan diri sekaligus menyampaikan perasaannya yang campur aduk.
Rayhan membalas dengan mencium bahunya, lalu menurunkan ciuman ke dada yang naik turun cepat mengikuti napas yang berat.
“Kamu yakin?” tanyanya dengan suara yang mengandung keraguan, seolah takut mengambil keputusan yang salah. Keraguan itu justru membuat suasana semakin berat, membelit antara benar dan salah.
Alesha diam. Bibirnya bergetar, pandangannya tertunduk, menghindari tatapan Rayhan seolah takut melihat cermin dosa yang mereka jalani.
Ada jeda hening. Detik yang menggantung di antara nafsu yang membakar dan moralitas yang berbisik keras.
Rayhan menatapnya dalam, memastikan. Ketika Alesha tak mundur, walaupun matanya masih penuh keraguan, Rayhan mulai bergerak perlahan. Keraguan itu terlihat jelas, namun tubuhnya yang lain tidak menolak—justru seakan memohon untuk diselamatkan dari pergulatan batin yang tiada akhir.
Satu tarikan napas.
Satu gesekan kulit.
“Alesha …,” desah Rayhan, suara seraknya hampir pecah. “Kamu membuat aku … gak bisa mikir jernih.”
Dalam diam, ia tahu apa yang mereka lakukan salah. Tapi dorongan nafsu dan kehangatan di antara mereka terlalu sulit dilawan. Batin Rayhan berkecamuk—antara penyesalan dan keinginan, antara benar dan salah yang perlahan memudar dalam gelap malam.
Tangan Rayhan perlahan menjelajah tubuh Alesha. Ia merasakan tubuh gadis itu menggigil, bukan hanya karena sentuhannya, tapi juga karena pergulatan batin yang tersembunyi. Rayhan tahu, ini salah. Seratus persen salah. Tapi mengapa tubuh Alesha tetap menerima? Mengapa jiwanya seolah terbelah antara mundur dan menyerah? Dan mengapa dosa ini terasa begitu manis, seakan mengundang tanpa ampun?
Bibir Rayhan mengecup leher Alesha dengan lembut. Ia menangkap napas tertahan, lalu sebuah air mata meluncur di sudut mata gadis itu. Bukan air mata karena luka atau sakit, tapi air mata dari campuran rasa yang rumit: nikmat, sesal, takut, rindu, dan sesuatu yang nyaris menyerupai cinta. Campuran emosi yang aneh dan menakutkan, namun terasa begitu hidup di malam itu.
“Kamu milik aku sekarang …,” bisik Rayhan, suaranya berat dan dalam. “Semua bagian dari kamu ….”
Alesha mengangguk pelan. Namun Rayhan tahu, hatinya masih berkecamuk. Ada perang batin yang hebat di balik anggukan itu.
Erangan panjang keluar dari bibir Alesha, penuh pasrah. Ia menekan wajahnya ke pundak Rayhan, seolah berusaha menyembunyikan diri dari keputusan yang baru saja diambilnya.
Rayhan terdiam sesaat. Namun tubuhnya terus menekan, lebih dalam, lebih dalam lagi. Alesha melenguh pelan, suara setengah pasrah, setengah tenggelam dalam badai rasa yang sulit dikendalikan. Dia tahu ini salah, tapi sudah terlalu jauh. Dan sensasi itu terlalu kuat untuk ditolak.
—
Langit pagi itu muram, seakan menyimpan rahasia yang enggan diungkap. Awan kelabu menggantung rendah, menutupi sebagian cahaya matahari yang seharusnya menebar hangat. Angin berembus pelan, menyapu dedaunan di sepanjang jalan menuju kompleks apartemen modern yang menjulang di tengah kota.Zira memarkir mobilnya di basement. Ia mengambil kantong plastik berisi buah segar dan beberapa camilan kesukaan Alesha, lalu melangkah mantap ke arah lift. Meski Alesha sempat berpesan semalam agar tidak usah repot menjenguk, Zira tetap memutuskan untuk datang.Ada sesuatu dalam dirinya yang tak bisa diam hanya dengan pesan singkat. Rasa peduli sebagai sahabat bercampur dengan kegelisahan yang tak bisa ia jelaskan. Ia ingin memastikan Alesha benar-benar baik-baik saja.Namun, begitu sampai di lobby, langkahnya mendadak terhenti.Dari arah lift, muncul sosok yang begitu dikenalnya: Rayhan. Dengan sweater abu-abu dan tas kulit cokelat tua di tangan, pria itu tampak seperti baru saja keluar dari unit a
Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Di kamar bernuansa krem muda dengan meja belajar yang dipenuhi buku kuliah dan sticky notes warna-warni, Zira berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke taman belakang. Daun-daun mangga bergoyang pelan tertiup angin, sementara suara cengkerik dan sesekali gonggongan anjing tetangga menjadi musik latar yang tak ia harapkan.Tangannya terlipat di dada, bibirnya terkatup rapat, dan matanya menatap kosong ke luar. Baru saja ia selesai video call dengan teman kampus, pura-pura tertawa, pura-pura baik-baik saja. Padahal, ada satu hal yang membuat dadanya terasa sesak: pesan singkat dari ayahnya.[Papa harus mantau pasien pasca operasi malam ini, jaga di RS. Jangan tungguin ya. Istirahat yang cukup, Sayang.]Zira menatap layar ponsel itu lama, seperti mencoba membaca kebenaran di balik kata-kata. Ia menggertakkan gigi. Ini sudah kali ketiga dalam seminggu Rayhan mendadak ‘jaga pasien’. Dulu, setiap kali ayahnya mengatakan hal itu, Zir
Begitu sampai di lobi, mobil hitamnya sudah menunggu. Supir pribadi membukakan pintu, tapi Rayhan sendiri yang menuntun Alesha masuk, memastikan gadis itu duduk nyaman di kursi penumpang.Perjalanan pulang ke apartemen berlangsung hening, namun bukan berarti kosong. Jalanan Jakarta sore itu ramai, kendaraan saling berebut jalur, klakson terdengar di sana-sini. Namun di dalam mobil hitam yang melaju pelan itu, seakan tercipta dunia kecil yang hanya berisi dua orang: Rayhan dan Alesha.Rayhan memegang kemudi dengan tenang, matanya fokus ke jalan, tapi sesekali ia melirik ke arah kursi penumpang. Di sana, Alesha sudah terlelap. Rambut hitam panjangnya terurai di bahu, sebagian menutupi wajah pucatnya. Bibirnya terbuka sedikit, napasnya teratur—meski masih ada sisa letih dari sakit yang baru saja ia lawan.Setiap kali Rayhan menoleh, dadanya menghangat sekaligus menegang. Ada rasa lega melihat wanita itu bisa tidur dengan tenang, tapi juga ada ketakutan samar: bagaimana kalau tadi ia terl
“Aku masuk, ya?” suaranya dalam, berat, tapi hangat—suara yang selalu punya cara menenangkan sekaligus mengguncang hati Alesha.Ia hanya mengangguk pelan. Ada rindu samar di matanya, meski ia tak berani mengucapkannya.Rayhan menutup pintu dengan perlahan, melangkah mendekat. Kursi di samping ranjang ia tarik, lalu duduk di sana. Tangannya—besar, kokoh, tapi selalu terasa hangat—menyentuh punggung tangan Alesha. Sentuhan itu pelan, hati-hati, seakan takut terlalu kuat akan menyakiti.“Arif nggak bisa jemput,” ucap Rayhan dengan nada lirih. “Dia harus langsung ke bandara. Ada meeting mendadak di Eropa. Katanya minta maaf … dan titip kamu padaku.”Alesha menunduk. Kata-kata itu menohok lebih dalam dari yang ia kira. Tenggorokannya tercekat, rasa sesak merayap naik. Bukan hanya karena sakit fisik, tapi karena perasaan ditinggalkan yang terlalu sering ia telan sejak kecil.“Kenapa selalu begitu, ya …,” bisiknya pelan. “Aku bahkan belum benar-benar sembuh ….”Rayhan menatapnya tanpa berked
“Zira!” serunya, suaranya serak tapi hangat.Zira cepat melangkah mendekat dan memeluk sahabatnya pelan. “Kamu kelihatan jauh lebih baik, Lesha,” bisiknya.Alesha mengangguk, matanya berbinar. “Sudah lebih enakan kok. Makasih banget ya udah datang.”Zira duduk di kursi dekat ranjang. Ia membuka kantong plastik, mengeluarkan bento berisi nasi dengan lauk pauk ala Jepang. “Aku bawain makanan kesukaan kamu. Aku tahu makanan rumah sakit pasti nggak seenak ini.”Alesha tertawa kecil, meski suaranya parau. “Kamu perhatian banget.”Zira ikut tersenyum, tapi ekspresi matanya berubah serius. Ia menatap Alesha lurus, membuat sahabatnya langsung gugup.“Tapi kamu harus jujur, ya, Lesh.”Alesha terdiam. Jemarinya kaku di atas selimut.Zira mencondongkan tubuh, suaranya lebih pelan. “Kamu ada hubungan spesial sama Papa ku, nggak?”Pertanyaan itu menghantam dada Alesha seperti palu. Tangannya gemetar, sumpit yang baru ia pegang jatuh ke bento dengan bunyi kecil. “Zi—Zira ….”Zira menatapnya, kali i
Hati Alesha mencelos. Kata-kata itu menusuk dalam, membuat pertahanannya goyah. Air matanya menggenang, tapi ia buru-buru memalingkan wajah.Tidak lama setelah suster mengantar obat, dokter jaga datang memeriksa kondisi Alesha. Rayhan ikut berdiri di samping ranjang, menjawab sebagian pertanyaan dengan nada klinis. Tapi tatapan matanya pada Alesha tak pernah biasa—penuh kehangatan dan kepemilikan.“Tekanan darah sudah stabil. Kalau tidak ada keluhan tambahan, kemungkinan besok bisa dipulangkan,” kata dokter jaga.Alesha mengangguk. “Terima kasih, Dok.”Rayhan menepuk bahunya lembut, seakan menegaskan, aku yang akan urus semuanya.Saat dokter keluar, Alesha langsung menarik napas lega. “Kalau Papa tahu aku cepat sembuh, dia pasti lega.”Rayhan menoleh, menatapnya penuh arti. “Bukan cuma Papa. Aku juga.”“Aku tahu,” bisik Alesha. “Tapi … kalau terus begini, Om, aku takut … kita terlalu jauh.”Rayhan mendekat, matanya membara. “Sudah terlalu jauh dari awal, Lesha. Dan aku nggak menyesal