Home / Romansa / Luapan Gairah Panas Ayahmu / Bab 2. Malam Itu, Di Rumah Rayhan. 

Share

Bab 2. Malam Itu, Di Rumah Rayhan. 

Author: Ucing Ucay
last update Last Updated: 2025-07-16 18:12:42

Pikiran Rayhan dipenuhi berbagai kemungkinan, namun tubuhnya terlalu lemah untuk menyuarakan protes yang bahkan ia sendiri tak yakin ingin diutarakan.

Alesha sudah kembali, kali ini membawa panci kecil berisi bubur hangat. Dengan hati-hati, ia menuangkan bubur ke dalam mangkuk, lalu duduk bersila di karpet dekat kaki Rayhan. Posisi mereka sangat dekat—hangat dan nyaman, namun juga membawa gelombang rasa yang tak seharusnya.

“Om, aku buat bubur sendiri, supaya Om cepat sembuh,” katanya lembut sambil menyuapi Rayhan perlahan.

Rayhan menatap wajahnya, serius dan penuh perhatian. Bibir Alesha sedikit mengerucut saat meniup uap panas dari sendok yang hendak diberikannya. Pipinya halus, lehernya panjang, dan matanya yang jernih menatapnya penuh kasih.

Hangatnya bubur bukan satu-satunya yang membuat tubuh Rayhan terasa berbeda malam itu. Hadirnya Alesha, begitu dekat dan penuh perhatian, membuat dadanya berdebar tak karuan.

“Pelan-pelan, Om. Jangan sampai kepanasan,” ucap Alesha dengan suara lembut.

Makan malam itu terasa begitu intim, seperti saat dua orang yang sudah lama saling mengenal, namun juga menyimpan perasaan yang tak terucap.

Setelah makan, Alesha membersihkan meja dengan cekatan. Ia kemudian berdiri, menatap Rayhan dengan mata lembut.

“Om, aku tidur di kamar Zira saja ya. Aku sudah ambil piyamanya. Badan kami mirip-mirip,” katanya ringan, seolah hal itu biasa saja.

Rayhan tercekat, teringat putrinya.

“Lesha … kamu yakin?” tanyanya pelan, nyaris berat.

“Iya dong, daripada bolak-balik. Om istirahat aja. Aku cuma di kamar sebelah,” jawab Alesha sambil tersenyum manis sebelum melangkah ke lorong kamar.

Rayhan menatap ke arah lorong itu, hatinya campur aduk. Ia tahu, malam itu baru saja dimulai.

***

Pukul sebelas malam.

Rayhan tak bisa tidur.

Bukan karena demamnya, tapi karena Alesha yang tidur di kamar sebelah.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka perlahan, dan Alesha muncul dengan piyama satin milik Zira—crop top dan celana pendek yang nyaris seperti hot pants.

“Om … aku ambil air putih ya,” katanya pelan, tanpa menyadari Rayhan sudah menatapnya dari balik sofa.

Mata pria itu membelalak, lalu cepat-cepat menoleh. “Iya, Lesh .…”

Alesha berjalan ke dapur. Cahaya kulkas menyinari tubuhnya dari samping—garis lengannya yang mulus, paha jenjang yang terbuka, punggung ramping yang terekspos saat ia mencondong ke rak bawah.

Rayhan menahan napas, tubuhnya menggeliat, pikirannya liar.

Saat Alesha kembali ke kamar, Rayhan tetap membisu. Matanya menatap langit-langit, namun bagian tubuhnya bereaksi berbeda. Ia menutup wajah dengan bantal, meracau dalam hati.

“Tuhan … ini bukan mimpi, kan?”

***

Menjelang subuh.

Rayhan sempat terlelap, tapi terbangun oleh suara langkah kaki. Alesha muncul dari kamar, mengenakan cardigan tipis yang menutupi atas tubuhnya, tapi celananya tetap pendek—sangat pendek.

Ia berjalan ke dapur, mulai menyiapkan sarapan.

Rayhan hanya bisa berbaring di sofa, menatap diam-diam sambil menahan napas. Suhu tubuhnya masih hangat, tapi bukan karena demam. Ia mencium aroma pancake, suara teflon beradu membuatnya sadar dia tidak sendiri.

Ia duduk pelan di sofa.

Saat pandangannya jatuh ke arah dapur, ia melihat Alesha dengan piyama satin crop top dan celana super pendek milik Zira, membungkuk di depan kompor. Cardigan tipis yang tadi ia kenakan sudah dilepas, disampirkan di kursi.

Satu tangan menopang tubuh di meja dapur, tangan lain memegang spatula. Gerakannya lincah dan luwes, tapi tanpa sadar menyiksa pandangan Rayhan.

Matanya otomatis tertuju ke bagian tubuh Alesha yang terekspos: pinggang ramping, celana tipis yang sangat membentuk lekuk, dan kemeja tidur ketat yang nyaris tak mampu menutupi lengkungan payudaranya ketika ia menoleh sedikit.

“Om Rayhan, sudah bangun?” Alesha menoleh dengan senyum lebar, rambutnya diikat tinggi seperti gadis kuliahan biasa, wajah polos tanpa makeup yang justru membuat dada Rayhan berdebar.

“Iya … udah agak mendingan,” jawab Rayhan cepat, mengalihkan pandangan ke jendela, padahal pikirannya sudah berlari kemana-mana.

“Bagus deh.” Alesha mengambil dua piring dan membawanya ke meja makan. “Om duduk di sini ya. Aku udah bikinin teh manis anget juga.”

Rayhan bangkit dengan napas berat, berjalan pelan ke meja. Tapi saat duduk, ia kembali kaget—Alesha membungkuk mengambil garpu yang jatuh tepat di depannya.

Pandangan Rayhan langsung terisi pemandangan dada Alesha dari balik kemeja satin ketat itu, yang terbuka cukup rendah dan lebar. Napasnya tercekat.

“Sori, sorry. Jatoh,” ucap Alesha polos, tanpa menyadari gerakannya sudah cukup membuat Rayhan butuh mandi es.

Rayhan mengangguk, mencoba tetap tenang.

“S-semalam tidur kamu nyenyak?”

“Banget. Kasurnya empuk. Tapi kok kamu bangun pagi sih, Om? Harusnya istirahat.”

Rayhan hanya mengangguk pelan. Pandangannya tertahan di paha Alesha yang bergerak naik turun saat ia duduk menyilangkan kaki.

Gadis itu menyuap potongan pancake sambil ngobrol ringan, seolah tak ada yang salah.

Rayhan hanya menjawab sepatah dua patah, berusaha menahan degup jantung yang terasa seperti di palu.

Setelah makan, Alesha mencuci piring. Rayhan kembali ke sofa, berusaha menenangkan diri, tapi pikirannya masih penuh satu hal:

Alesha bukan anak kecil lagi.

Dan dia tidur di kamar sebelah.

***

Malam itu.

Kamar Zira remang. Hanya lampu meja kecil menyala, menyebarkan cahaya kuning hangat ke dinding penuh poster vintage. Alesha meringkuk di atas ranjang, mengenakan tanktop satin berenda dan celana pendek tipis milik Zira. Ia tampak pucat, satu tangan memegangi perut.

Rayhan berdiri di ambang pintu, masih mengenakan kaos lengan panjang dan celana santai. Wajahnya khawatir.

“Alesha? Kamu kenapa?” suaranya pelan tapi penuh perhatian.

“Perutku … kayak keram,” jawab Alesha lirih, matanya sedikit berair. “Mungkin masuk angin ....”

Rayhan mendekat, duduk di tepi ranjang. Matanya sempat teralihkan ke pundak Alesha yang terbuka, ke garis leher yang terpapar cahaya lampu, tapi cepat ia alihkan.

“Kalau begitu aku ambil minyak angin ya?”

Alesha mengangguk pelan. Tak lama, Rayhan kembali dengan botol kecil beraroma mentol. Ia ragu sejenak.

“Boleh Om bantu usapin?”

Alesha tak menjawab, hanya menggeser posisi tidurnya, memberi isyarat persetujuan. Tanktop tipis itu naik sedikit saat ia mengangkat tangan, memperlihatkan kulit perut halus yang dingin terkena udara malam.

Rayhan duduk di sampingnya, mengusap minyak dengan lembut ke perut Alesha. Sentuhan itu membuat keduanya menahan napas.

“Alesha ...,” gumamnya, suaranya serak.

“Heum?”

“Bagaimana?”

Alesha menoleh, pandangannya bertemu sorot mata Rayhan yang dalam dan hangat. Keheningan melingkupi mereka—hening yang bukan canggung, tapi penuh gelombang perasaan yang tak terucap.

Jari-jari Rayhan mengusap perlahan perut Alesha, gerakannya penuh perhatian. Tapi dari kelembutan itu, muncul api yang menyala pelan.

“Sudah lebih baik …,” bisik Alesha nyaris tak terdengar, “terima kasih...”

Rayhan menatapnya lama. Tubuh Alesha begitu dekat, aroma parfum ringan bercampur mentol memenuhi udara. Malam itu, semuanya terasa berbeda. Bukan lagi sekadar sahabat anaknya. Bukan lagi tamu yang menginap. Tapi seorang perempuan dewasa dalam peluk jarak yang sangat rapuh.

Perasaan yang selama ini coba ia tahan mulai meluap. Jantungnya berdegup kencang, napasnya memburu, dan pikiran yang berusaha bertahan dengan kewarasan perlahan runtuh.

Rayhan menunduk, matanya tertutup sejenak. Ada rasa takut, tapi lebih besar dari itu adalah keinginan yang sulit ditahan.

Dengan hati-hati, ia mengangkat wajahnya kembali, menatap mata Alesha. 

Dalam keheningan yang tegang, Rayhan memberanikan diri mendekat. Bibir mereka bertemu untuk pertama kali, dalam ciuman yang sangat pelan dan hati-hati. Seolah mereka takut membuat dunia ini runtuh dengan sentuhan itu.

Namun seiring detik berlalu, ciuman itu berubah. Dari yang pelan menjadi lebih panas, terburu-buru, dan terlalu intens untuk disebut ragu-ragu.

Rayhan akhirnya melepaskan semua pertahanan yang selama ini membelenggunya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 57. Kecurigaan Zira Semakin Dalam. 

    “Lesha, kamu pikir aku nggak mikirin itu? Aku udah atur jadwalku. Kita berangkat pagi-pagi sebelum Zira sempat lihat. Pulangnya, aku jemput malam. Kita nggak usah turun dekat gerbang. Aman.”Alesha menelan ludah. Matanya bergetar menatap sosok pria yang sudah terlalu dalam mengikat hatinya. “Aku cuma … takut hubungan kita jadi bencana kalau ketahuan.”Rayhan mengangkat tangan, membelai pipi pucat itu. Jari-jarinya hangat, kontras dengan kulit dingin Alesha. “Aku bukan anak kecil. Aku tahu risikonya. Tapi aku juga tahu, kamu penting buatku. Selama kamu belum pulih total, aku nggak akan biarkan kamu sendirian.”Alesha menunduk. Perkataan itu menyusup ke hati, membuatnya semakin sulit melawan. Ia ingin mengatakan tidak, tapi tubuh dan perasaannya justru berkhianat.“Jadi kamu rela menyamar sebagai sopir pribadi?” gumamnya, mencoba bercanda.Rayhan terkekeh, lalu menunduk dan cepat mencium leher Alesha. “Sopir pribadi yang bisa kamu peluk dan cium sesuka hati—tapi hanya di tempat tertutu

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 56. Antar Jemput Alesha

    “Mau kupotongin buah?” Zira berinisiatif, mengubah arah obrolan.“Mau banget,” Alesha cepat menyambut.Zira menyiapkan piring, pisau, dan memotong apel satu per satu. Sementara itu, Alesha duduk di sofa, menatap sahabatnya dengan senyum tipis.“Kamu tahu, aku seneng banget kamu dateng,” kata Alesha. “Aku butuh banget temen ngobrol.”Zira mengangguk, tersenyum kecil. “Aku juga. Kangen ngobrol sama kamu.”Namun jauh di dalam hati, Zira masih merasa ada yang tak beres. Kata-kata ayahnya di lobby, ekspresi gugup Alesha, dan aroma ruangan yang seperti baru saja dipaksa segar—semuanya menumpuk menjadi pertanyaan besar.Kenapa Papa ada di sini pagi-pagi? Apa yang sebenarnya terjadi di balik semua alasan itu?Ia menahan diri untuk tidak langsung menanyakan. Untuk saat ini, ia masih mencoba percaya. Masih ingin percaya bahwa semua ini hanyalah kecurigaan berlebihan.Meski begitu, satu hal pasti: bayangan tadi pagi, ketika ia berpapasan dengan ayahnya di lobby, akan terus menghantuinya.Percaka

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 55. Berpapasan di Apartemen

    Langit pagi itu muram, seakan menyimpan rahasia yang enggan diungkap. Awan kelabu menggantung rendah, menutupi sebagian cahaya matahari yang seharusnya menebar hangat. Angin berembus pelan, menyapu dedaunan di sepanjang jalan menuju kompleks apartemen modern yang menjulang di tengah kota.Zira memarkir mobilnya di basement. Ia mengambil kantong plastik berisi buah segar dan beberapa camilan kesukaan Alesha, lalu melangkah mantap ke arah lift. Meski Alesha sempat berpesan semalam agar tidak usah repot menjenguk, Zira tetap memutuskan untuk datang.Ada sesuatu dalam dirinya yang tak bisa diam hanya dengan pesan singkat. Rasa peduli sebagai sahabat bercampur dengan kegelisahan yang tak bisa ia jelaskan. Ia ingin memastikan Alesha benar-benar baik-baik saja.Namun, begitu sampai di lobby, langkahnya mendadak terhenti.Dari arah lift, muncul sosok yang begitu dikenalnya: Rayhan. Dengan sweater abu-abu dan tas kulit cokelat tua di tangan, pria itu tampak seperti baru saja keluar dari unit a

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 54. Rasa Curiga yang Menyelinap

    Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Di kamar bernuansa krem muda dengan meja belajar yang dipenuhi buku kuliah dan sticky notes warna-warni, Zira berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke taman belakang. Daun-daun mangga bergoyang pelan tertiup angin, sementara suara cengkerik dan sesekali gonggongan anjing tetangga menjadi musik latar yang tak ia harapkan.Tangannya terlipat di dada, bibirnya terkatup rapat, dan matanya menatap kosong ke luar. Baru saja ia selesai video call dengan teman kampus, pura-pura tertawa, pura-pura baik-baik saja. Padahal, ada satu hal yang membuat dadanya terasa sesak: pesan singkat dari ayahnya.[Papa harus mantau pasien pasca operasi malam ini, jaga di RS. Jangan tungguin ya. Istirahat yang cukup, Sayang.]Zira menatap layar ponsel itu lama, seperti mencoba membaca kebenaran di balik kata-kata. Ia menggertakkan gigi. Ini sudah kali ketiga dalam seminggu Rayhan mendadak ‘jaga pasien’. Dulu, setiap kali ayahnya mengatakan hal itu, Zir

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 53. Kembali ke Apartemen. 

    Begitu sampai di lobi, mobil hitamnya sudah menunggu. Supir pribadi membukakan pintu, tapi Rayhan sendiri yang menuntun Alesha masuk, memastikan gadis itu duduk nyaman di kursi penumpang.Perjalanan pulang ke apartemen berlangsung hening, namun bukan berarti kosong. Jalanan Jakarta sore itu ramai, kendaraan saling berebut jalur, klakson terdengar di sana-sini. Namun di dalam mobil hitam yang melaju pelan itu, seakan tercipta dunia kecil yang hanya berisi dua orang: Rayhan dan Alesha.Rayhan memegang kemudi dengan tenang, matanya fokus ke jalan, tapi sesekali ia melirik ke arah kursi penumpang. Di sana, Alesha sudah terlelap. Rambut hitam panjangnya terurai di bahu, sebagian menutupi wajah pucatnya. Bibirnya terbuka sedikit, napasnya teratur—meski masih ada sisa letih dari sakit yang baru saja ia lawan.Setiap kali Rayhan menoleh, dadanya menghangat sekaligus menegang. Ada rasa lega melihat wanita itu bisa tidur dengan tenang, tapi juga ada ketakutan samar: bagaimana kalau tadi ia terl

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 52. Diperbolehkan Pulang. 

    “Aku masuk, ya?” suaranya dalam, berat, tapi hangat—suara yang selalu punya cara menenangkan sekaligus mengguncang hati Alesha.Ia hanya mengangguk pelan. Ada rindu samar di matanya, meski ia tak berani mengucapkannya.Rayhan menutup pintu dengan perlahan, melangkah mendekat. Kursi di samping ranjang ia tarik, lalu duduk di sana. Tangannya—besar, kokoh, tapi selalu terasa hangat—menyentuh punggung tangan Alesha. Sentuhan itu pelan, hati-hati, seakan takut terlalu kuat akan menyakiti.“Arif nggak bisa jemput,” ucap Rayhan dengan nada lirih. “Dia harus langsung ke bandara. Ada meeting mendadak di Eropa. Katanya minta maaf … dan titip kamu padaku.”Alesha menunduk. Kata-kata itu menohok lebih dalam dari yang ia kira. Tenggorokannya tercekat, rasa sesak merayap naik. Bukan hanya karena sakit fisik, tapi karena perasaan ditinggalkan yang terlalu sering ia telan sejak kecil.“Kenapa selalu begitu, ya …,” bisiknya pelan. “Aku bahkan belum benar-benar sembuh ….”Rayhan menatapnya tanpa berked

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status