ホーム / Romansa / Luapan Gairah Panas Ayahmu / Bab 2. Malam Itu, Di Rumah Rayhan. 

共有

Bab 2. Malam Itu, Di Rumah Rayhan. 

作者: Ucing Ucay
last update 最終更新日: 2025-07-16 18:12:42

Pikirannya segera penuh kemungkinan. Tapi tubuhnya terlalu lemah untuk menyuarakan protes yang sepenuhnya juga tak yakin ingin ia sampaikan.

Alesha sudah kembali, membawa nampan. Dia menurunkan nampan ke meja kecil di depan sofa, lalu duduk di karpet dekat kaki Rayhan. Kakinya bersila, posisi nyaman sekali—dan sangat dekat. Ia membuka tutup mangkuk, aroma bubur ayam langsung memenuhi udara.

“Makannya pelan-pelan ya. Panas.”

Rayhan mengerjap. Matanya diam-diam memperhatikan wajah Alesha yang serius menyendokkan bubur, bibirnya sedikit mengerucut saat meniup uap panas. Pipinya halus, bersih, lehernya panjang. Ia kelihatan sangat muda … dan sangat … hidup.

Dan untuk pertama kalinya sejak demam itu datang, Rayhan merasa tubuhnya sedikit lebih hangat—bukan karena bubur, tapi karena seseorang ada di situ, terlalu dekat. Terlalu nyaman.

Dan mungkin …

Terlalu berbahaya.

“Aku tidur di kamar Zira aja, ya. Tadi aku ambil piyamanya sekalian. Badan kami kan mirip-mirip.”

Rayhan tercekat.

Zira.

Putrinya.

Gadis 21 tahun dengan koleksi pakaian tidur yang kadang bikin Rayhan geleng kepala sendiri saat melihatnya berseliweran di rumah.

Dan sekarang ... Alesha yang memakainya?

“Lesha ... kamu yakin?”

Suaranya rendah, nyaris berat.

“Iya dong, daripada bolak-balik. Om istirahat aja. Aku cuma di kamar sebelah.”

Lalu ia melambaikan tangan kecilnya sebelum masuk kamar.

Rayhan menatap lorong itu cukup lama.

Lama sekali. 

***

Saat jam menunjukkan pukul 11 malam.

Rayhan tak bisa tidur.

Bukan karena demamnya. Tapi karena Alesha di kamar sebelahnya.

Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka, Alesha muncul dengan piyama satin milik Zira—crop top dan celana pendek yang nyaris seperti hot pants.

“Om ... aku ambil air putih ya,” katanya pelan, tanpa sadar bahwa Rayhan sudah menatapnya dari balik sofa.

Mata pria itu membelalak, lalu cepat-cepat menoleh. “Iya, Lesh .…”

Alesha berjalan ke dapur. Cahaya kulkas menyinari tubuhnya dari samping—garis lengannya yang mulus, paha jenjangnya yang terbuka setengah, dan punggung ramping yang terekspos saat dia mencondongkan tubuh ke rak bawah.

Rayhan menahan napas.

Tubuhnya menggeliat.

Dan pikirannya ... liar.

Saat Alesha kembali ke kamar, Rayhan masih membisu. Matanya menatap langit-langit, tapi bagian tubuh lainnya bereaksi. Ia menutup wajah dengan bantal, meracau dalam hati.

“Tuhan ... ini bukan mimpi kan?”

*** 

Menjelang subuh.

Rayhan sempat terlelap—tapi terbangun oleh suara langkah kaki. Alesha muncul dari kamar, mengenakan cardigan tipis menutupi atasnya, tapi celananya tetap pendek, sangat pendek.

Dia berjalan ke dapur, membuat sarapan.

Rayhan hanya bisa berbaring di sofa, menatap diam-diam sambil menahan napas. Suhu tubuhnya masih hangat, tapi bukan lagi karena demam. Ia mencium aroma nasi goreng—dan suara panci beradu yang membuatnya sadar dia tidak sedang sendiri.

Ia duduk di sofa perlahan.

Dan saat pandangannya jatuh ke dapur ....

Alesha.

Dengan piyama satin crop top dan celana super pendek milik Zira, kini membungkuk di depan kompor. Cardigan tipis yang ia kenakan sudah dilepas dan disampirkan di kursi. Satu tangan menopang tubuh di meja dapur, satunya lagi memegang spatula. Gerakan tubuhnya lincah, luwes, tapi tanpa sadar—menyiksa. 

Rayhan menelan ludah. Matanya otomatis mengarah ke bagian tubuh Alesha yang terekspos: pinggang ramping, celana tipis yang sangat membentuk, dan kemeja tidur ketat yang nyaris tak mampu menutupi lengkungan payudaranya saat ia menoleh sedikit.

“Om Rayhan, bangun?” Alesha menoleh dengan senyum lebar, rambutnya diikat tinggi seperti gadis kuliahan pada umumnya, wajah polos tanpa makeup tapi justru membuat dada Rayhan berdebar.

“Iya … udah agak mendingan,” jawab Rayhan, cepat mengalihkan pandangan ke arah jendela, padahal pikirannya sudah kemana-mana.

“Bagus deh.” Alesha mengambil dua piring dan membawanya ke meja makan. “Om duduk di sini ya. Aku udah bikinin teh manis anget juga.”

Rayhan bangkit dengan napas berat, berjalan pelan ke meja. Tapi begitu duduk, dia kembali dibuat kaget—Alesha membungkuk untuk mengambil sendok yang terjatuh … tepat di depannya.

Pandangan Rayhan langsung terisi dengan pemandangan dada Alesha dari balik kemeja satin ketat itu, yang terbelah cukup rendah dan terbuka cukup lebar. Napasnya tercekat.

“Sori, sorry. Jatoh,” ucap Alesha polos, tak menyadari satu gerakannya saja sudah cukup membuat Rayhan butuh mandi es.

Rayhan mengangguk, mencoba tetap tenang.

“T-tadi tidur nyenyak?”

“Banget. Kasurnya empuk. Tapi kok kamu bangun pagi sih, Om? Harusnya istirahat.”

Rayhan hanya mengangguk pelan. Pandangannya kini tertahan di paha Alesha yang bergerak naik turun karena dia duduk menyilangkan kaki.

Gadis itu menyuap nasi gorengnya sambil ngobrol ringan, seolah tak ada yang salah.

Rayhan hanya bisa menjawab sepatah dua patah, sambil menahan degup jantung yang seperti dihantam palu godam.

Setelah makan, Alesha mencuci piring. Rayhan kembali ke sofa, berusaha menenangkan diri, tapi pikirannya masih penuh dengan satu hal:

Alesha bukan anak kecil lagi.

Dan dia tidur di kamar sebelah.

Malam Itu.

Kamar Zira remang. Hanya lampu meja kecil menyala, menebarkan cahaya kuning hangat ke dinding yang dipenuhi poster-poster vintage. Alesha meringkuk di atas ranjang, mengenakan salah satu pakaian tidur milik Zira: tanktop satin berenda dan celana pendek tipis. Ia tampak pucat, satu tangannya memegang perut.

Rayhan berdiri di ambang pintu, masih dengan kaos lengan panjang dan celana santainya. Rautnya khawatir.

"Alesha? Kamu kenapa?" suaranya pelan, tapi terasa dalam.

"Perutku ... kayak keram," jawab Alesha lirih. Matanya sedikit berair. "Mungkin masuk angin ...."

Rayhan mendekat, duduk di tepi ranjang. Matanya sempat teralihkan—ke pundak Alesha yang terbuka, ke garis leher yang terpapar cahaya lampu—tapi ia cepat mengalihkan pandangannya.

"Kalau gitu aku ambilin minyak angin ya?"

Alesha hanya mengangguk pelan. Tak lama, Rayhan kembali dengan botol kecil beraroma mentol. Ia ragu sejenak.

"Boleh Om bantu usapin?"

 Alesha tak menjawab, hanya menggeser posisi tidurnya, memberi isyarat persetujuan tanpa kata. Tanktop tipis itu naik sedikit saat ia mengangkat tangannya, memperlihatkan kulit perut yang halus dan dingin disentuh udara malam.

Rayhan duduk di sampingnya, mengoleskan sedikit minyak ke telapak tangan, lalu meletakkannya perlahan di atas perut Alesha.

Sentuhan itu membuat mereka berdua sama-sama menahan napas.

"Alesha ...," gumamnya. Suaranya lebih serak dari sebelumnya.

"Heum?"

"Bagaimana?"

Alesha menoleh, pandangannya menabrak sorot mata Rayhan yang dalam dan hangat. Ada keheningan di antara mereka—hening yang bukan canggung, tapi penuh gelombang perasaan yang tak terucap.

Jari-jari Rayhan mengusap pelan perut Alesha, gerakannya lambat dan penuh perhatian. Tapi justru dari kelembutan itu, ada api yang menyala perlahan.

"Sudah lebih baik ...," bisik Alesha nyaris tak terdengar, "terima kasih ...."

Rayhan menatapnya, lama. Tubuh Alesha begitu dekat, aroma parfum yang ringan bercampur mentol memenuhi udara. Dan malam itu, semuanya terasa berbeda. Bukan lagi sahabat anaknya. Bukan lagi sekadar ‘tamu yang menginap’. Tapi perempuan dewasa yang ada dalam peluk jarak yang rapuh.

Rayhan menunduk. Bibir mereka bertemu, pertama kali, dalam ciuman yang sangat pelan, sangat hati-hati. Seolah mereka berdua takut membuat dunia runtuh.

Dan untuk pertama kalinya, bibir mereka bersatu dalam ciuman yang mulai kasar, terburu, dan terlalu panas untuk disebut ragu-ragu.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 6. Pagi Setelah Itu. 

    Udara pagi menyusup pelan lewat celah jendela yang terbuka sebagian. Tirai putih tipis menari lembut diterpa angin, menciptakan bayangan samar di dinding kamar yang masih remang. Aroma samar tubuh mereka masih tertinggal di udara, bercampur wangi seprai hotel yang mewah dan sisa hujan semalam.Di ranjang besar bernuansa putih itu, Alesha terbangun lebih dulu.Kelopak matanya terasa berat, tapi pikirannya sudah tak bisa lagi diam. Ada sesuatu yang berdenyut di dada—bukan rasa takut, bukan pula penyesalan yang meledak-ledak—melainkan semacam ... kekosongan. Seperti setelah badai besar, hanya diam yang tersisa.Ia membalikkan tubuh pelan.Dan di sana, hanya sejengkal darinya, Rayhan masih terlelap.Lengan pria itu terentang ke arahnya, seolah secara naluriah ingin memastikan ia masih di sana—seolah malam itu bukan sekadar pelampiasan, melainkan sesuatu yang ... lebih. Nafasnya dalam dan teratur. Damai. Terlalu damai untuk seseorang yang semalam telah melampaui batas, dengan sahabat putri

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 5. Sentuhan yang Tak Bisa Dilupakan

    Ketika Rayhan naik lagi, mereka saling menatap. Napas masih memburu. Tubuh sama-sama lelah, tapi hasrat tak juga reda.“Sekarang, aku pengen kamu yang pimpin. Kamu yang gerak.”Alesha diam sejenak, napasnya tak beraturan. Matanya tetap terkunci pada Rayhan, mencari jawaban yang tak ada. Perlahan, dengan gerakan kaku, ia duduk. Tangannya menyentuh dada Rayhan, lalu turun … dan menyatukan tubuh mereka.Gerakan pertama membuatnya terengah. Tapi ia tak berhenti. Kali ini, ia yang memimpin. Namun dengan itu, ia juga menyadari satu hal:Ia bukan cuma menyerah. Ia mulai ketagihan. Dan kesadaran itu adalah cambuk paling menyakitkan.“Aku ngerasa … kayak mimpi,” bisik Alesha di tengah goyangan tubuh mereka yang lebur.Rayhan menatap dari bawah, suaranya berat, dalam, penuh. “Kalau ini mimpi … jangan bangunin aku.”Dan malam itu, sekali lagi, mereka larut—dalam tubuh, dalam nafsu, dalam ketagihan yang belum tentu bisa mereka hentikan. Sebuah lingkaran setan yang baru saja dimulai.Alesha memeja

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 4. Ketagihan. 

    Rayhan menatapnya dalam diam. Di detik itu, dunia di luar seolah tak ada. Yang tersisa hanya mereka berdua—dan dosa yang tak bisa mereka hentikan.“Aku sayang kamu, Lesha …,” ucapnya, penuh keyakinan. “Malam ini … biarkan aku tunjukkan pakai tubuhku. Bukan kata.”Dan malam itu pun milik mereka.Tertutup rapat oleh dinding-dinding rumah besar yang sunyi.Namun di dalam kamar itu, antara dada, bibir, napas, dan kulit—mereka tak lagi berpikir. Tak lagi menimbang. Tak lagi bisa lari.Mereka meleleh dalam satu rasa yang tak bisa didefinisikan: ingin.Alesha terbaring diam, memeluk tubuh Rayhan dengan perasaan bercampur. Tubuhnya menyatu dalam pelukan hangat pria itu, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Antara rasa bersalah yang menusuk dan kenikmatan yang memabukkan.Selimut menutupi sebagian tubuh mereka. Tapi hawa panas di kamar belum reda. Bukan hanya dari sisa-sisa keintiman—melainkan dari guncangan batin yang belum reda sepenuhnya.Kepalanya bersandar di dada Rayhan, mendengarkan

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 3. Malam Pertama. 

    Rayhan menunduk. Bibir mereka bertemu, pertama kali, dalam ciuman yang sangat pelan, sangat hati-hati. Seolah mereka berdua takut membuat dunia runtuh, atau mungkin, takut mengakui betapa rapuhnya batas yang selama ini mereka bangun.Dan untuk pertama kalinya, bibir mereka bersatu dalam ciuman yang mulai kasar, terburu, dan terlalu panas untuk disebut ragu-ragu. Sebuah badai yang sudah lama tertahan, kini tumpah ruah.Tangan Rayhan berpindah, menyentuh pipi Alesha, menelusuri garis rahangnya. Napas mereka bertaut, beradu di antara ciuman yang makin dalam, makin dalam lagi. Setiap sentuhan terasa seperti sebuah pengakuan terlarang.“Alesha …,” bisik Rayhan di sela-sela ciuman, suaranya serak, penuh perih dan ingin. “Aku … terlalu lama ingin ini.”Alesha tak menjawab. Lidahnya terasa kelu, seolah ada suara peringatan yang menahan di tenggorokannya. Tapi ia tak menjauh. Justru matanya menutup perlahan—dan itu jawaban yang paling jujur malam itu, sekaligus pengkhianatan pada akal sehatnya

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 2. Malam Itu, Di Rumah Rayhan. 

    Pikirannya segera penuh kemungkinan. Tapi tubuhnya terlalu lemah untuk menyuarakan protes yang sepenuhnya juga tak yakin ingin ia sampaikan.Alesha sudah kembali, membawa nampan. Dia menurunkan nampan ke meja kecil di depan sofa, lalu duduk di karpet dekat kaki Rayhan. Kakinya bersila, posisi nyaman sekali—dan sangat dekat. Ia membuka tutup mangkuk, aroma bubur ayam langsung memenuhi udara.“Makannya pelan-pelan ya. Panas.”Rayhan mengerjap. Matanya diam-diam memperhatikan wajah Alesha yang serius menyendokkan bubur, bibirnya sedikit mengerucut saat meniup uap panas. Pipinya halus, bersih, lehernya panjang. Ia kelihatan sangat muda … dan sangat … hidup.Dan untuk pertama kalinya sejak demam itu datang, Rayhan merasa tubuhnya sedikit lebih hangat—bukan karena bubur, tapi karena seseorang ada di situ, terlalu dekat. Terlalu nyaman.Dan mungkin …Terlalu berbahaya.“Aku tidur di kamar Zira aja, ya. Tadi aku ambil piyamanya sekalian. Badan kami kan mirip-mirip.”Rayhan tercekat.Zira.Put

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 1 — Malam yang Tak Pernah Direncanakan

    Pintu rumah besar itu terbuka perlahan, dan Alesha melangkah masuk dengan membawa kantong plastik berisi bubur hangat dan obat-obatan.“Om Rayhan?” panggilnya pelan.Tidak ada jawaban.Alesha memijak pelan lantai marmer yang dingin. Rambutnya dikuncir setengah ke atas, poni jatuh sedikit ke dahi. Ia hanya memakai jeans ketat robek di lutut dan kaos putih ketat lengan pendek yang cukup tipis, memperlihatkan garis samar bra berenda yang berwarna hitam. Sederhana. Tapi tubuh Alesha sudah bukan anak-anak lagi, dan Rayhan melihat itu dengan sangat jelas … saat ia muncul dari balik pintu kamar dengan langkah malas dan suara serak.“Lesha … kamu?”Alesha berbalik dan langsung tersenyum manis, tulus. “Om Rayhan! Aku bawain bubur. Kata Zira Om sakit?”Zira dan nenek sedang liburan ke Eropa selama dua minggu. Baru dua hari berlalu ketika Alesha menerima pesan itu.[Papa aku sakit. Please dong, jagain sebentar. Asisten rumah tangga juga lagi pada mudik. Aku khawatir, Lesh .…]Zira selalu manja s

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status