Rayhan menatap Alesha dalam diam, seolah waktu berhenti di antara mereka. Dunia luar lenyap, tersisa hanya dua jiwa yang terjerat dalam dosa yang tak bisa dihentikan.
“Aku sayang kamu, Lesha …,” suaranya penuh keyakinan, berat dan dalam. “Malam ini … biarkan aku tunjukkan dengan tubuhku. Bukan kata.”
Malam itu jadi milik mereka. Tertutup rapat oleh dinding rumah besar yang sunyi.
Namun di dalam kamar itu, di antara dada, bibir, napas, dan kulit yang saling bersentuhan, mereka tak lagi berpikir. Tak lagi menimbang benar atau salah. Tak bisa lari dari rasa yang menyelimuti.
Mereka melebur dalam satu kata yang tak bisa diucap: ingin.
Rayhan merasakan pelukan Alesha yang rapat, tubuhnya membalut hangat. Tapi pikirannya liar, melayang jauh. Terjebak antara rasa bersalah yang menyakitkan dan kenikmatan yang memabukkan.
Selimut menutupi tubuh mereka, tapi hawa panas dalam kamar tak juga mereda. Bukan hanya karena sisa-sisa keintiman, melainkan juga karena guncangan batin yang belum usai.
Kepala Alesha bersandar di dadanya, detak jantung yang bisa didengarnya berirama tak sehangat dulu. Rasa bersalah mulai menyusup pelan, mengendap di sela kehangatan.
Rayhan mengusap rambutnya dengan lembut, jemarinya menyisir helai-helai kusut yang masih basah oleh keringat dan kehangatan yang baru saja mereka bagi. Ia mencium pelipisnya perlahan, suara hatinya bergejolak antara menyesal dan merasa memiliki.
Alesha tetap diam. Namun pelukannya menguat, tubuhnya merapat mencari kehangatan di tengah kebingungan yang perlahan merayapi.
Getaran halus terasa di tubuhnya. Bukan ketakutan, bukan dingin. Tapi sesuatu yang jauh lebih rumit: ketagihan yang membahayakan.
Rayhan menarik napas panjang, lalu menghembuskannya di rambut Alesha. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya dengan suara berat, hampir serak.
Alesha mengangguk pelan. Ketika mengangkat kepala, sorot matanya menghindar sejenak, sebelum menatapnya. Kosong, penuh dengan pertanyaan yang tak mampu terucap.
“Iya …,” desahnya lirih. Jujur, tapi juga mengguncang hati Rayhan. Sesuatu yang salah tapi terasa terlalu benar.
Rayhan memejamkan mata sejenak. Kerutan di dahinya menandai luka yang dalam—luka keputusan impulsif yang ia tahu tak bisa ditarik kembali. Tapi juga beban yang sudah lama ia pendam.
“Alesha … kamu tahu ini gak bisa balik. Sekali kita lewati garis itu …,” ucap Rayhan perlahan, penuh tekanan.
Alesha menggeleng cepat, menolak gagasan itu. Tubuhnya menegang, menepis pikiran untuk mundur.
“Aku tahu, Om. Aku tahu ini bukan … normal. Tapi aku juga tahu apa yang aku rasain bukan salah.” Suaranya hampir terdengar dalam batin, berusaha meyakinkan dirinya.
Rayhan menatap dalam ke matanya, berat oleh pertarungan batin yang terus mengusiknya. Ia menyentuh pipi Alesha dengan lembut, mengusap pelan. “Kamu masih muda. Hidupmu masih panjang. Aku … bukan orang yang seharusnya ada di sana.”
Alesha menggeleng lagi, kali ini lebih pelan, menolak kata-kata itu tanpa suara. Tangannya menyentuh bibir Rayhan, menahan kata-kata yang terlalu menyakitkan, yang mengancam runtuhkan tembok rapuh di hatinya.
“Kalau begitu, bagaimana?” tanyanya tanpa suara, tapi penuh makna.
Rayhan menarik Alesha ke dalam pelukan lebih erat. Tapi pelukan itu sendiri bergetar, penuh kecemasan. Ini bukan sekadar pelukan biasa. Ini penyerahan, pengakuan, dan itu sangat berbahaya.
Mereka terdiam. Kali ini, bukan karena ragu, tapi karena sadar bahwa apa yang terjadi malam itu takkan berhenti begitu saja. Mungkin takkan pernah bisa dihentikan.
Malam terus berlanjut. Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Hujan sudah reda, langit gelap pekat. Namun badai di dalam kamar masih bergemuruh.
Rayhan menatap langit-langit itu, tapi pikirannya kacau. Ia tahu ini harus berhenti sekarang. Namun tubuhnya berkata lain.
Tatkala ia menunduk melihat wajah Alesha yang tenang tapi memerah, ia tahu: sudah terlambat.
“Alesha …,” panggilnya lembut.
“Heum?”
Tangannya bergerak membelai punggungnya perlahan. Sentuhan yang semula lembut berubah menjadi pengakuan bisu atas hasrat yang kembali membara.
“Om …,” rintihnya lirih, suara dari tempat terdalam yang sudah menyerah.
Rayhan menoleh, tersenyum tipis. “Kamu bikin aku gila malam ini.”
Alesha diam, matanya terpejam, wajah memerah.
“Aku gak bisa berhenti lihat kamu,” lanjut Rayhan, “Kamu sadar gak, kamu cantik banget waktu—”
Sebuah erangan kecil dari Alesha mengiringi kalimatnya. Pipi memerah, menolak pujian, namun tubuhnya justru bereaksi. Senyum tipis itu lenyap, digantikan ekspresi rumit yang tak terbaca.
Rayhan menunduk, mencium bahunya. “Setelah malam ini … aku gak akan melepas kamu, Lesha.”
Mata Alesha terpejam. Rayhan merasakan tubuh Alesha yang masih gemetar di bawahnya, getaran itu datang cepat dan menyelinap, seolah menanggapi janji kepemilikan yang menakutkan sekaligus memikat.
“Tubuh kamu masih gemetar,” gumamnya, sambil mencium lehernya.
Pria itu juga menangkap getaran halus saat Alesha menggigit bibirnya, disusul desahan berat yang keluar dari tenggorokannya. Ia tahu tubuhnya merespon lebih dari pikirannya.
Rayhan mencium lagi, kali ini lebih dalam tapi tetap pelan. Tangannya mulai menjelajah ke bawah, sentuhannya membakar.
“Aku pengen kamu lagi …,” bisiknya nyaris seperti erangan. “Kalau kamu gak siap, aku bisa—”
Melihat Alesha mengangkat wajah dan menatapnya. Sebuah desahan halus terdengar seperti pengakuan tanpa kata, diikuti oleh anggukan yang berat dari gadis itu. Rayhan membalik tubuh mereka perlahan, menindihnya. Nafas mereka beradu, panas dan penuh keraguan serta nafsu.
“Om …,” rintih Alesha nyaris tak bersuara, “pelan ya … aku masih … kerasa.” Permintaan yang lebih seperti kepasrahan.
Rayhan menatap wajahnya yang memerah, mencium dagu Alesha. “Aku gak akan nyakitin kamu.”
Lidah Rayhan menyapu perutnya, turun … menyentuh titik paling sensitif Alesha. Sentuhan itu bukan lagi asing, tapi tetap mengguncang.
“Om … ahhh … nanti aku—” Desahan itu terputus, bercampur rintihan tak tertahankan.
“Sstt … biar aku yang urus,” bisik Rayhan.
Alesha menegang, tubuh melengkung, pinggul terangkat. “Om … ya Tuhan … jangan, Om ….” Jeritan batin yang tenggelam dalam kenikmatan.
Malam sudah dalam. Hujan deras yang sedari senja turun kini tinggal sisa rintik, menetes pelan di atap rumah keluarga itu. Jam dinding di ruang keluarga menunjuk hampir pukul satu dini hari. Semua penghuni rumah terlelap dalam tidurnya, kecuali satu orang: Alesha.Ia berbaring di ranjang empuk kamar Zira, tapi matanya menolak tertutup. Cahaya lampu tidur remang-remang hanya membuat pikirannya makin bising. Di sampingnya, Zira sudah terlelap sejak lama, bernapas pelan dengan posisi meringkuk.Alesha menatap langit-langit kamar, lalu menoleh ke jendela yang tertutup tirai tipis. Suara rintik hujan masih terdengar samar, beradu dengan desir angin. Ia merasa gelisah. Entah karena suasana asing dari rumah besar itu, atau … karena sosok seseorang yang terus membayang di kepalanya.Rayhan.Nama itu muncul tanpa diundang. Setiap kali ia mencoba memalingkan hati, bayangan pria itu semakin kuat menjerat. Tadi sore, di ruang keluarga, tatapan mereka berulang kali bersua. Bahkan di depan Zira sek
Alesha buru-buru menunduk, pura-pura sibuk dengan kertas kado. Ia takut Zira membaca sesuatu di wajahnya.Beberapa kali, situasi kecil kembali menciptakan jarak yang penuh ketegangan.Saat Alesha meraih kotak kado di pojok, tangannya hampir bersentuhan dengan tangan Rayhan yang juga ikut merapikan meja. Keduanya sama-sama menarik tangan dengan cepat, tapi justru itu membuat momen makin jelas terasa.“Aku taruh sini saja ya,” kata Rayhan pelan, suaranya nyaris berbisik ke arah Alesha.“Baik, Dok—eh, Om,” Alesha tergagap.Rayhan menahan senyum tipis, lalu mundur perlahan.Zira masih sibuk dengan boneka baru, tidak memperhatikan apa pun.Waktu berjalan, tumpukan kado berkurang satu demi satu. Hingga tanpa terasa, senja berubah jadi malam. Rintik hujan terdengar di luar, makin lama makin deras.Alesha duduk bersila di karpet, sedikit letih. Rambutnya jatuh ke bahu, pipinya memerah karena udara hangat.Rayhan, dari sofa, mengamati dalam diam. Ada sesuatu pada cara Alesha menghela napas, pa
Beberapa saat kemudian, Zira menepuk bahu Alesha. “Aku haus, ayo ke dapur ambil minum.”Mereka berdiri. Rayhan menoleh, menutup sejenak tabletnya. “Boleh ambilin Om juga segelas, Lesh?” katanya santai.Alesha mengangguk cepat. “Iya, Om.”Langkah mereka menuju dapur terasa aneh bagi Alesha, seolah ada sepasang mata yang mengikuti tiap geraknya.Di dapur, Zira sibuk mencari kue di kulkas. Alesha menuang air ke gelas, tangannya sedikit gemetar.“Lesh, kamu kenapa sih? Dari tadi kayak nggak fokus,” tanya Zira sambil melirik.“Enggak kok. Mungkin capek aja,” jawab Alesha, buru-buru meneguk air.Zira tidak curiga. Ia kembali asyik dengan kudapan, sementara Alesha berusaha mengatur napas.Mereka kembali ke ruang keluarga, membawa minuman dan sepiring kue. Alesha meletakkan segelas air di meja kecil dekat Rayhan. “Ini, Om,” ucapnya singkat.Rayhan mengangguk, pandangan matanya menahan sesuatu. “Terima kasih, Lesha.” Suaranya pelan, tapi cukup membuat Alesha menunduk buru-buru.Zira tidak sada
Suara riuh mahasiswa di kantin siang itu memenuhi udara, aroma nasi goreng dan mie instan bercampur dengan asap kopi sachet yang mengepul dari meja-meja kecil. Alesha mengaduk jus alpukatnya dengan sendok, matanya sesekali melirik ke arah pintu kantin, seolah mencari udara segar di tengah kebisingan.Zira duduk di hadapannya, sedang sibuk menyendok ayam penyet ke mulut. “Lesh, habis ini jangan buru-buru pulang, ya,” katanya dengan mulut penuh, lalu meneguk es teh manisnya.Alesha menoleh, keningnya berkerut. “Kenapa?”“Aku mau kamu ikut ke rumah, sekalian buka kado-kado yang kemarin belum sempat. Banyak banget, aku sampai pusing sendiri. Bantuin aku, please?” Zira meraih tangan Alesha, menggoyangnya manja.Alesha terdiam sejenak. Rumah Zira berarti … Rayhan. Pria itu, ayah sahabatnya sendiri, sekaligus rahasia yang ia simpan dalam-dalam. Rasanya belum siap berhadapan lagi setelah malam-malam yang membekas. Tapi menolak Zira? Itu sama saja menimbulkan kecurigaan.“Ya sudah,” jawab Ales
Langkah Alesha kembali ke kantin terasa seperti melewati lorong panjang penuh tatapan, meski sebenarnya tak ada seorang pun yang memperhatikan. Jantungnya masih berdegup kencang, telapak tangannya basah dingin. Ia baru saja menghapus pesan itu, pesan berisi foto dirinya bersama Rayhan di parkiran semalam, lengkap dengan caption singkat yang membuat dadanya sesak. Nomor tak dikenal itu jelas bukan orang asing. Hanya ada satu orang yang punya motif: Livia.Alesha menarik napas panjang, lalu mendorong pintu kantin. Suara riuh mahasiswa, derit kursi, dan aroma nasi goreng langsung menyambutnya. Ia memaksa wajahnya tenang, senyumnya muncul tipis. Kamu harus terlihat biasa. Jangan biarkan Zira membaca wajahmu.Zira masih di meja yang sama, menunduk menatap layar ponselnya. Di sampingnya ada nampan dengan sisa makanan. Rambut panjangnya tergerai, kacamata tipis bertengger di hidung, memberi kesan serius tapi manis. Begitu melihat Alesha, ia langsung menegakkan tubuh.“Kok lama banget, Lesh?
Kantin masih riuh. Gelas-gelas berbenturan, tawa mahasiswa meledak di beberapa meja, dan denting sendok terdengar jelas. Tapi di telinga Alesha, semuanya kabur, seperti gema jauh yang tak masuk ke kepalanya.Ia menunduk, menutup ponselnya rapat-rapat, seolah benda kecil itu bisa meledak kapan saja.“Zir, aku ke toilet sebentar ya,” katanya tiba-tiba, suara serak.Zira menoleh sambil masih mengunyah kentang goreng. “Oke. Aku tungguin di sini.”Alesha berusaha tersenyum, lalu bangkit. Langkahnya terasa berat saat meninggalkan meja. Jantungnya berdegup terlalu kencang, sampai ia merasa orang-orang di kantin bisa mendengarnya.Toilet perempuan berada di ujung koridor. Begitu pintu tertutup, suara riuh kantin langsung teredam. Ruangan putih itu sepi, hanya ada dengung AC dan samar tetesan air dari keran.Alesha masuk ke bilik paling pojok, menutup pintu, lalu bersandar di dinding dingin. Tangannya masih gemetar saat meraih ponsel. Ia menekan tombol rekam voice note, suaranya tercekat sejak