Home / Romansa / Luapan Gairah Panas Ayahmu / Bab 4. Ketagihan. 

Share

Bab 4. Ketagihan. 

Author: Ucing Ucay
last update Last Updated: 2025-07-16 18:13:14

Rayhan menatapnya dalam diam. Di detik itu, dunia di luar seolah tak ada. Yang tersisa hanya mereka berdua—dan dosa yang tak bisa mereka hentikan.

“Aku sayang kamu, Lesha …,” ucapnya, penuh keyakinan. “Malam ini … biarkan aku tunjukkan pakai tubuhku. Bukan kata.”

Dan malam itu pun milik mereka.

Tertutup rapat oleh dinding-dinding rumah besar yang sunyi.

Namun di dalam kamar itu, antara dada, bibir, napas, dan kulit—mereka tak lagi berpikir. Tak lagi menimbang. Tak lagi bisa lari.

Mereka meleleh dalam satu rasa yang tak bisa didefinisikan: ingin.

Alesha terbaring diam, memeluk tubuh Rayhan dengan perasaan bercampur. Tubuhnya menyatu dalam pelukan hangat pria itu, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Antara rasa bersalah yang menusuk dan kenikmatan yang memabukkan.

Selimut menutupi sebagian tubuh mereka. Tapi hawa panas di kamar belum reda. Bukan hanya dari sisa-sisa keintiman—melainkan dari guncangan batin yang belum reda sepenuhnya.

Kepalanya bersandar di dada Rayhan, mendengarkan detak jantung pria itu. Tapi tak sehangat tadi. Kini Alesha mendengarnya dengan rasa bersalah perlahan menyusup masuk.

Ia menggigit bibir. Lalu menutup mata rapat-rapat.

Kenapa rasanya seperti ini? Kenapa yang salah justru terasa ... begitu benar? Kenapa tubuhnya masih ingin ... meski hatinya mulai meragu?

Rayhan mengusap rambutnya perlahan. Dan di pelukan itu, Alesha tak menjawab apa-apa.

Ia hanya memeluk lebih erat.

Seolah dengan itu, semua rasa bersalah akan sirna.

Padahal, justru baru saja dimulai.

Tak ada yang bicara. Tak ada kata yang cukup untuk menggambarkan apa yang baru saja terjadi. Tapi diam mereka tidak hampa. Justru … terlalu penuh. Sampai rasanya sesak.

Rayhan kembali mengusap rambut Alesha perlahan. Jemarinya menyisir helai-helai kusut yang masih basah oleh keringat dan ciuman yang tak semestinya terjadi. Ia mencium pelipisnya, pelan—penuh rasa bersalah sekaligus rasa memiliki yang mengakar dalam.

Alesha hanya diam. Tapi pelukannya menguat, tubuhnya merapat. Ia menempelkan wajah ke dada pria itu, mencari kehangatan di tengah kebingungan yang pelan-pelan mulai merayapi hatinya.

Tubuhnya masih bergetar halus. Bukan karena takut, bukan karena dingin, tapi karena satu kenyataan pahit: ia menyukai semua itu. Terlalu suka, bahkan.

Rayhan menarik napas dalam, lalu menghembuskannya di rambut Alesha. “Kamu baik-baik aja?” suaranya berat, nyaris serak.

Alesha mengangguk kecil. Tapi saat mengangkat kepala, sorot matanya menghindari Rayhan sejenak, lalu baru menatap pria itu. Pandangannya kosong, menyimpan terlalu banyak pertanyaan yang tak terucapkan.

“Iya …,” desahnya pelan, nada suaranya samar.

Dan itu jujur. Tapi juga mengganggunya. Sebab sesuatu yang salah tidak seharusnya terasa sebaik ini, bukan?

Rayhan memejamkan mata sebentar. Ada luka dalam yang mengintip di balik kerut dahinya. Luka yang lahir dari keputusan yang terlalu impulsif, terlalu egois. Tapi juga … terlalu lama ditahan.

“Alesha … kamu tahu ini gak bisa balik. Sekali kita lewati garis ini .…”

Alesha menggeleng cepat, seolah ingin membuang semua keraguan itu. Tubuhnya menegang, menolak gagasan untuk kembali.

“Aku tahu, Om. Aku tahu ini bukan … normal. Tapi aku juga tahu apa yang aku rasain bukan salah.” Batinnya berteriak, mencoba meyakinkan diri.

Benarkah?

Ia ingin percaya pada kata-katanya sendiri. Tapi ada bagian kecil di dalam dirinya—yang lebih tenang, lebih rasional—yang berbisik: ini salah. Dan kamu akan menyesal.

Rayhan menatapnya. Tatapan itu berat, penuh pertarungan batin yang tak selesai. Ia menyentuh pipi Alesha dengan ibu jarinya, mengusap pelan. “Kamu masih muda. Masih panjang hidup kamu. Aku … bukan orang yang seharusnya ada di sana.”

Alesha menggeleng. Tapi kali ini gerakannya lebih pelan, penuh penolakan yang tak terucapkan. Tangannya menyentuh bibir Rayhan, menghentikan kata-kata yang terlalu menyakitkan, kata-kata yang mengancam untuk meruntuhkan tembok yang baru saja ia bangun di hatinya.

“Lalu? Jika sudah begini, bagaimana?”

Rayhan menarik Alesha ke dadanya, memeluk lebih erat. Tapi pelukannya pun bergetar. Sebab ia tahu, ini bukan sekadar pelukan. Ini penyerahan. Ini pengakuan. Dan itu berbahaya.

Mereka diam lagi.

Tapi kali ini, bukan karena ragu. Melainkan karena tahu apa yang terjadi tadi tidak akan berhenti di sini. Dan mungkin … tak akan pernah bisa dihentikan.

Tubuh mereka telah menyatu. Tapi justru hati Alesha-lah yang kini berteriak—bukan meminta pergi, tapi meminta lagi.

Semakin Dalam. 

Malam masih sama. Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Langit di luar gelap, hujan sudah reda. Tapi badai di dalam kamar itu belum juga pergi.

Alesha masih dalam pelukan Rayhan, matanya terbuka menatap langit-langit. Tubuhnya lelah. Tapi ada kegelisahan aneh yang menggeliat pelan di balik kulitnya.

Rayhan menatap ke langit-langit yang sama. Tapi pikirannya jauh lebih berantakan. Ia berpikir ini harus berhenti—sekarang. Tapi tubuhnya berkata lain. Dan ketika ia menunduk, melihat wajah Alesha yang tenang tapi memerah … ia tahu: ia sudah terlambat.

“Alesha …,” panggilnya pelan.

“Heum?” 

Tangan Rayhan tergerak, membelai punggung Alesha perlahan. Sentuhan yang semula lembut itu berubah menjadi pengakuan diam-diam akan hasrat yang kembali muncul.

Dan Alesha? Ia tidak menarik diri. Justru merapat. Sebuah respons insting, bukan keputusan sadar.

“Om …,” rintihnya lirih, seakan ia sendiri tak tahu mengapa ia mengatakannya, seperti suara dari bagian terdalam dirinya yang sudah menyerah.

Rayhan menoleh. “Kamu bikin aku gila malam ini.”

Alesha tak menjawab. Matanya tetap terpejam, wajahnya memerah.

“Aku gak bisa berhenti lihat kamu,” lanjut Rayhan. “Kamu sadar nggak, kamu cantik banget waktu—”

Sebuah erangan kecil lolos dari Alesha, pipinya memerah, menolak pujian itu namun tubuhnya justru bereaksi. Senyum tipis itu lenyap, digantikan ekspresi rumit yang tak terbaca, menyembunyikan badai di dalamnya.

Rayhan menunduk, mencium bahunya. “Setelah malam ini … aku tidak akan melepas kamu, Lesha.”

Alesha memejamkan mata. Tubuhnya bereaksi lebih cepat dari pikirannya. Getaran itu datang lagi—cepat, mengendap-endap. Sebuah respons tak sadar terhadap janji kepemilikan yang menakutkan sekaligus memikat.

“Tubuh kamu masih gemetar,” gumam Rayhan, lalu mencium lehernya.

Alesha menggigit bibir. Desahan berat keluar dari tenggorokannya.

Rayhan mencium lagi. Tak sabar, tapi pelan. Tangannya menjelajah lagi ke bawah. Sentuhannya membakar.

“Aku pengen kamu lagi …,” suaranya nyaris seperti erangan. “Kalau kamu gak siap, aku bisa—”

Tapi Alesha mengangkat wajahnya, menatapnya.

Sebuah desahan nyaris tak terdengar keluar dari bibirnya, sebuah pengakuan tanpa kata. Ia mengangguk, gerakan kepala yang berat.

Dengan itu, Rayhan membalik tubuh mereka. Menindihnya perlahan. Nafas mereka saling bersilangan, panas, berlapis keraguan dan nafsu.

“Om …,” rintihnya, nyaris tak bersuara, “pelan ya … aku masih … kerasa.” Sebuah permintaan yang lebih mirip kepasrahan.

Rayhan menatap wajah Alesha yang memerah, lalu mencium dagunya. “Aku gak akan nyakitin kamu.”

Alesha hanya menggeliat pelan, menyambut, menyerah lagi. Bukan karena keinginan yang diucapkan, melainkan karena tubuhnya yang sudah tak mampu menolak.

Lidah Rayhan menyapu perutnya, turun … lalu menyentuh bagian paling sensitif dari Alesha. Sentuhan itu tak asing lagi—tapi juga terlalu baru untuk tidak mengguncang.

“Om … ahhh … nanti aku—” Desahan itu terputus, bercampur dengan rintihan yang tak mampu ia tahan.

“Sstt … biar aku yang urus,” bisik Rayhan.

Alesha menegang. Tubuhnya melengkung, pinggulnya terangkat. “Om … ya Tuhan … jangan, Om ….” Suaranya pecah, sebuah jeritan dari lubuk hati yang sudah tenggelam dalam sensasi.

Dan Rayhan tidak berhenti. Ia melahap setiap gelombang yang menghantam tubuh Alesha. Sampai gadis itu menggeliat, menjerit lirih, dan menyerah sepenuhnya—pada kenikmatan, pada dirinya sendiri, dan pada dosa yang kini terasa begitu memikat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 6. Pagi Setelah Itu. 

    Pagi itu, Alesha terbangun dalam keheningan yang terasa terlalu utuh.Udara kamar masih sarat aroma tubuh dan malam—sisa-sisa dari pelukan yang seharusnya tidak terjadi.Matanya terbuka perlahan, dan kesadaran datang bersama nyeri lembut di pangkal pahanya. Gerakan kecil saja cukup untuk mengingatkan tubuhnya tentang semua yang telah mereka lakukan. Tentang bagaimana ia menggenggam, menyerahkan, menerima … dan larut.Tapi bukan nyeri itu yang membuatnya resah.Bukan pula sentuhan.Melainkan perasaan lain yang tak bisa ia beri nama.Bingung.Kosong.Terhisap dalam sesuatu yang seharusnya tak ia rindukan, tapi kini menuntut ruang di dalam dadanya.Tangannya meraba sisi ranjang yang satunya—kosong.Dingin.Tak ada jejak tubuh Rayhan di sana.Alisnya bertaut pelan. Tubuhnya menggeliat bangun, selimut melorot dari pundak telanjangnya. Ia meraih baju kaos yang tergeletak di lantai, memakainya sebelum bangkit perlahan."Om?" panggilnya, suara serak karena tidur dan emosi yang belum tuntas.Ta

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 5. Sentuhan yang Tak Bisa Dilupakan

    Ketika Rayhan naik lagi, mereka saling menatap. Napas masih memburu. Tubuh sama-sama lelah, tapi hasrat tak juga reda.“Sekarang, aku pengen kamu yang pimpin. Kamu yang gerak.”Alesha diam sejenak, napasnya tak beraturan. Matanya tetap terkunci pada Rayhan, mencari jawaban yang tak ada. Perlahan, dengan gerakan kaku, ia duduk. Tangannya menyentuh dada Rayhan, lalu turun … dan menyatukan tubuh mereka.Gerakan pertama membuatnya terengah. Tapi ia tak berhenti. Kali ini, ia yang memimpin. Namun dengan itu, ia juga menyadari satu hal:Ia bukan cuma menyerah. Ia mulai ketagihan. Dan kesadaran itu adalah cambuk paling menyakitkan.“Aku ngerasa … kayak mimpi,” bisik Alesha di tengah goyangan tubuh mereka yang lebur.Rayhan menatap dari bawah, suaranya berat, dalam, penuh. “Kalau ini mimpi … jangan bangunin aku.”Dan malam itu, sekali lagi, mereka larut—dalam tubuh, dalam nafsu, dalam ketagihan yang belum tentu bisa mereka hentikan. Sebuah lingkaran setan yang baru saja dimulai.Alesha memeja

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 4. Ketagihan. 

    Rayhan menatapnya dalam diam. Di detik itu, dunia di luar seolah tak ada. Yang tersisa hanya mereka berdua—dan dosa yang tak bisa mereka hentikan.“Aku sayang kamu, Lesha …,” ucapnya, penuh keyakinan. “Malam ini … biarkan aku tunjukkan pakai tubuhku. Bukan kata.”Dan malam itu pun milik mereka.Tertutup rapat oleh dinding-dinding rumah besar yang sunyi.Namun di dalam kamar itu, antara dada, bibir, napas, dan kulit—mereka tak lagi berpikir. Tak lagi menimbang. Tak lagi bisa lari.Mereka meleleh dalam satu rasa yang tak bisa didefinisikan: ingin.Alesha terbaring diam, memeluk tubuh Rayhan dengan perasaan bercampur. Tubuhnya menyatu dalam pelukan hangat pria itu, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Antara rasa bersalah yang menusuk dan kenikmatan yang memabukkan.Selimut menutupi sebagian tubuh mereka. Tapi hawa panas di kamar belum reda. Bukan hanya dari sisa-sisa keintiman—melainkan dari guncangan batin yang belum reda sepenuhnya.Kepalanya bersandar di dada Rayhan, mendengarkan

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 3. Malam Pertama. 

    Rayhan menunduk. Bibir mereka bertemu, pertama kali, dalam ciuman yang sangat pelan, sangat hati-hati. Seolah mereka berdua takut membuat dunia runtuh, atau mungkin, takut mengakui betapa rapuhnya batas yang selama ini mereka bangun.Dan untuk pertama kalinya, bibir mereka bersatu dalam ciuman yang mulai kasar, terburu, dan terlalu panas untuk disebut ragu-ragu. Sebuah badai yang sudah lama tertahan, kini tumpah ruah.Tangan Rayhan berpindah, menyentuh pipi Alesha, menelusuri garis rahangnya. Napas mereka bertaut, beradu di antara ciuman yang makin dalam, makin dalam lagi. Setiap sentuhan terasa seperti sebuah pengakuan terlarang.“Alesha …,” bisik Rayhan di sela-sela ciuman, suaranya serak, penuh perih dan ingin. “Aku … terlalu lama ingin ini.”Alesha tak menjawab. Lidahnya terasa kelu, seolah ada suara peringatan yang menahan di tenggorokannya. Tapi ia tak menjauh. Justru matanya menutup perlahan—dan itu jawaban yang paling jujur malam itu, sekaligus pengkhianatan pada akal sehatnya

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 2. Malam Itu, Di Rumah Rayhan. 

    Pikirannya segera penuh kemungkinan. Tapi tubuhnya terlalu lemah untuk menyuarakan protes yang sepenuhnya juga tak yakin ingin ia sampaikan.Alesha sudah kembali, membawa nampan. Dia menurunkan nampan ke meja kecil di depan sofa, lalu duduk di karpet dekat kaki Rayhan. Kakinya bersila, posisi nyaman sekali—dan sangat dekat. Ia membuka tutup mangkuk, aroma bubur ayam langsung memenuhi udara.“Makannya pelan-pelan ya. Panas.”Rayhan mengerjap. Matanya diam-diam memperhatikan wajah Alesha yang serius menyendokkan bubur, bibirnya sedikit mengerucut saat meniup uap panas. Pipinya halus, bersih, lehernya panjang. Ia kelihatan sangat muda … dan sangat … hidup.Dan untuk pertama kalinya sejak demam itu datang, Rayhan merasa tubuhnya sedikit lebih hangat—bukan karena bubur, tapi karena seseorang ada di situ, terlalu dekat. Terlalu nyaman.Dan mungkin …Terlalu berbahaya.“Aku tidur di kamar Zira aja, ya. Tadi aku ambil piyamanya sekalian. Badan kami kan mirip-mirip.”Rayhan tercekat.Zira.Put

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 1 — Malam yang Tak Pernah Direncanakan

    Pintu rumah besar itu terbuka perlahan, dan Alesha melangkah masuk dengan membawa kantong plastik berisi bubur hangat dan obat-obatan.“Om Rayhan?” panggilnya pelan.Tidak ada jawaban.Alesha memijak pelan lantai marmer yang dingin. Rambutnya dikuncir setengah ke atas, poni jatuh sedikit ke dahi. Ia hanya memakai jeans ketat robek di lutut dan kaos putih ketat lengan pendek yang cukup tipis, memperlihatkan garis samar bra berenda yang berwarna hitam. Sederhana. Tapi tubuh Alesha sudah bukan anak-anak lagi, dan Rayhan melihat itu dengan sangat jelas … saat ia muncul dari balik pintu kamar dengan langkah malas dan suara serak.“Lesha … kamu?”Alesha berbalik dan langsung tersenyum manis, tulus. “Om Rayhan! Aku bawain bubur. Kata Zira Om sakit?”Zira dan nenek sedang liburan ke Eropa selama dua minggu. Baru dua hari berlalu ketika Alesha menerima pesan itu.[Papa aku sakit. Please dong, jagain sebentar. Asisten rumah tangga juga lagi pada mudik. Aku khawatir, Lesh .…]Zira selalu manja s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status