Hari berganti Minggu, Minggu berganti bulan. Irsyad tak lagi mual dan sudah melewati masa-masa couvade Syndrome nya.Hari ini usia kandungan Hana menginjak bulan ketujuh, dan seperti biasa, ia akan melakukan USG di rumah sakit langganan keluarga Irsyad. Kali ini, Irsyad bersikeras untuk ikut, bahkan sang ibunda, Nur, juga telah bersiap sejak pagi.Sementara itu, Sandra tak menunjukkan ketertarikan untuk ikut. Wanita itu masih disibukkan dengan bisnis skincare miliknya yang kini tengah berkembang pesat di pasaran. Di ruang tunggu rumah sakit, Nur tampak tak sabar menunggu giliran. Tangannya terus mengelus-elus punggung tangan Hana yang duduk di sampingnya."Aduh, nggak sabar lihat cucu nenek ini," gumam Nur dengan mata berbinar.Irsyad berdiri di depan mereka, menyandarkan tubuh ke dinding, namun tak henti memandangi perut Hana yang makin membesar. Matanya penuh harap, sekaligus cemas."Hana, kamu udah siap masuk?" tanya Irsyad lembut.Hana mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, cum
Pagi itu, udara masih terasa segar, tapi suasana hati Sandra justru terasa resah. Suaminya, Irsyad, masih terbaring lemah di ranjang. Meski dokter telah memastikan tak ada penyakit serius selain gejala Couvade Syndrome, pemulihan Irsyad berjalan lambat.Sandra berdiri di sisi tempat tidur sambil melipat tangan di dada. Tatapannya tertuju pada wajah Irsyad yang baru saja membuka mata, masih terlihat lelah dan pucat."Kapan kamu mau balik kerja?" tanyanya tiba-tiba.Irsyad menoleh pelan. "Belum tahu, Sandra. Badanku masih sering lemas. Kemarin juga sempat pusing lagi waktu bangun terlalu cepat.""Kamu nggak bisa terus-terusan di rumah, Mas. Kantor butuh kamu. Banyak pekerjaan yang kamu tinggalin," ucap Sandra, suaranya terdengar tajam.Irsyad terdiam. Ia memahami maksud ucapan istrinya, tapi juga merasa tak adil jika ia dipaksa pulih dengan cepat hanya karena alasan pekerjaan atau mungkin, karena alasan lain yang belum Sandra ucapkan."Aku juga mau cepat sembuh, Sandra," ucap Irsyad lem
Malam di lewati Hana dengan perasaan resah, ia memikirkan nasibnya setelah bayi dalam kandungannya lahir. Statusnya hanya istri siri, tidak semua orang tahu jika Irsyad memiliki 2 istri, sebab pernikahannya dengan Irsyad hanya di saksikan tetangga dekat saja."Ya Allah aku gak bisa lupain ucapan Mbak Sandra tadi. Setelah anak ini lahir apakah Mbak Sandra dan mas Irsyad akan mengakui anak ini, tanpa mengakui aku sebagai ibu kandungnya?" gumam Hana."Apakah nantinya aku akan jadi orang asing untuk anak kandungku sendiri?" gumam Hana seraya menggelengkan kepala.Ia pernah membaca novel drama rumah tangga, juga drama-drama di televisi. Hana tak ingin kisah menyedihkan seperti itu terjadi padanya.Hana sudah tak punya keluarga, kini satu-satunya yang ia miliki adalah anak dalam kandungannya, wanita cantik itu pun bertekad apapun yang terjadi, ia tak akan membiarkan siapapun memisahkan ia dan anaknya nanti.Di kamar lain."Sandra kamu sudah tidur?" tanya Irsyad."Belum, tapi udah ngantuk ba
"Mas, aku istirahat di kamar ya! Kamu mau nyusul mbak Sandra ke kamarnya, kan." ucap Hana dengan suara lemas.Ia tahu jika Sandra sudah pulang, biasanya Irsyad akan menyusul istri pertamanya itu ke kamar. Tanpa menunggu jawaban Irsyad, Hana pun berjalan menuju kamarnya. Sementara Irsyad menggelengkan kepala menatap punggung Hana yang menghilang dibalik pintu kamar."Aku sedang sakit begini, harusnya Sandra yang menghampiriku dan bertanya bagaimana keadaanku. Bukan aku yang harus menyusulnya ke kamar," gumam Irsyad dalam hati.Irsyad memejamkan mata, lalu menutupnya dengan telapak tangan. Irsyad menyadari perubahan sikap Hana saat ia melepas genggaman tangannya ketika Sandra pulang, tapi ia tak tahu harus menjelaskan apa pada Hana.Irsyad hanya terbiasa setia dan menjaga perasaan Sandra, ketika Sandra tak ada ia merasa nyaman dengan Hana bahkan sejenak lupa dengan istri pertamanya itu. Namun, ketika melihat Sandra ia refleks melepas tangan Hana, seolah ia merasa seperti seorang lelaki
Mobil melaju pelan menyusuri jalanan menuju rumah. Langit sore terlihat redup, dihiasi awan kelabu yang menggantung. Di dalam mobil, suasana tampak hangat namun diam-diam sarat emosi.Sepanjang perjalanan, senyum Nur tak pernah lepas dari wajahnya. Tatapannya berkali-kali ia arahkan ke Hana, memastikan menantunya baik-baik saja."Hana, kamu ngidam nggak, Nak?" tanya Nur penuh perhatian. "Kamu mau makan apa? Atau kepingin sesuatu? Bilang aja sama Mama ya, nanti Mama beliin."Hana tersenyum tipis. Ia menggelengkan kepala pelan."Enggak, Ma. Hana nggak kepingin apa-apa," jawabnya dengan suara pelan.Nur menoleh ke belakang lagi, menatap Hana dengan tatapan penuh kasih. "Yakin, Nak? Biasanya perempuan hamil suka ngidam aneh-aneh. Dulu waktu Mama hamil Irsyad, Mama sampai kepengin nasi padang jam dua malam," katanya sambil terkekeh.Hana kembali tersenyum, tapi di hatinya, ada sesuatu yang tak mampu ia ungkap. Ada rasa sungkan yang membelenggu. Perhatian itu terlalu manis, terlalu hangat,
Setelah selesai makan malam, Hana,Nur, Irsyad, dan Sandra beristirahat seperti biasa. Seharusnya malam ini Irsyad tidur di kamar Sandra, seperti rutinitasnya sebagai suami yang ingin tetap menjaga keseimbangan hubungan. Namun, tubuh Irsyad kembali melemah. Ia terduduk di pinggir ranjang sambil menekan perutnya yang mual. Wajahnya pucat dan dingin oleh keringat yang mengalir dari pelipis.Sandra yang baru saja menyelesaikan panggilan telepon bisnis di tempat tidur, memutar tubuh dan menatap Irsyad dengan kesal."Apa lagi sih, Kamu mual lagi, Mas?" keluh Sandra, nadanya terdengar lelah.Irsyad hanya mengangguk pelan, lalu buru-buru bangkit dan berlari ke kamar mandi. Suara muntah terdengar jelas dari balik pintu.Sandra menutup wajahnya dengan telapak tangan, kemudian bangkit dan menghampiri pintu kamar mandi. Ia berdiri beberapa detik, tak tahu harus melakukan apa, lalu menghela napas keras."Aku nggak bisa tidur kalau kamu begini terus, Mas," katanya setengah berteriak. "Udah sana kam