Share

Baju Bayi

Apa? Nitip bubur bayi sehat lagi? Jadi, kecurigaanku sepertinya benar. Bubur bayi yang ada di dapur Ibu memang bukan ketinggalan. Kalau begitu, bisa jadi bubur itu juga bukan milik Fina.

"Widia!" seru Mas Zaki dari dalam, tepat saat tanganku hendak meraih handle pintu.

"Udah, biar Ibu aja. Itu Zaki manggil kamu." Tiba-tiba saja Ibu sudah ada di dekatku. Tergopoh-gopoh ia membuka pintu dan setengah mendorong tubuhku agar segera masuk ke dalam. Masih sempat kulihat Ibu mengedipkan sebelah matanya pada perempuan di depan pintu, yang ternyata adalah Mbak Rinda. Ia tetangga di sebelah rumah ini.

Aku melangkah masuk sambil kepala menoleh ke belakang beberapa kali. Memperhatikan Ibu yang merengkuh bahu Mbak Rinda dan melangkah menjauh dari rumah. Aneh. Melihat pertanyaan Mbak Rinda tadi, sepertinya Ibu memang pernah membeli bubur bayi sehat. Namun, untuk siapa bubur itu jika tak ada anak kecil di rumah ini? Atau memang ada bayi di sini? Kalau benar, anak siapa dan di mana sekarang?

"Sayang, kamu habiskan dulu sarapannya. Jangan pakai lama, ya."

"Kenapa memangnya, Mas?"

"Aku mau ngajak kamu ke pasar untuk belanja bahan makanan buat Ibu. Setelah itu kita ke supermarket buat beli yang kering-kering. Sekalian belanja bulanan buat rumah kita."

"Iya, tapi aku nyuci dulu, ya? Kasihan baju Ibu banyak yang kotor. Selama ditinggal Laras, mungkin Ibu hanya sesekali nyuci bajunya. Apalagi sekarang beliau sakit."

"Ya udah, habis nyuci aja kita berangkat. Agak cepat sedikit, ya."

Aku hanya mengangguk dan melanjutkan makan. Detik berikutnya kembali bersuara karena teringat ucapan Mbak Rinda.

"Mas, kayaknya ada yang aneh, deh," ucapku lirih karena tak ingin terdengar oleh Ibu.

"Kamu itu kenapa, sih? Dari bangun tidur bilangnya ada yang aneh terus."

"Memang aneh, Mas. Tadi Mbak Rinda teriak dari luar. Dia nanya apa Ibu mau nitip bubur bayi sehat lagi atau nggak. Kalau nanyanya gitu, berarti Ibu pernah nitip bubur bayi sehat itu, kan? Aneh, dong? Buat siapa? Di rumah ini 'kan nggak ada bayi."

Wajah Mas Zaki seketika terlihat tegang. Namun, ia segera menggerakkan tangannya di depan wajahku.

"Ah, udah. Itu urusan Ibu. Kita nggak usah ikut campur. Nggak semua aktivitas orang tua harus kita ketahui."

Aku kembali diam. Baiklah, Mas. Kalau kamu enggan mencari tahu, biar aku saja. Atau jangan-jangan ini ada kaitannya denganmu? Tentu saja pertanyaan itu tak kuucapkan, hanya bergema di dalam hati.

Tak lama kemudian Ibu masuk. Wajah perempuan yang melahirkan suamiku itu tak secerah sebelumnya, tampak sedikit tegang dan terlihat resah. Tangannya hanya memainkan sendok tanpa menyuapkan makanan ke mulutnya sama sekali.

"Kenapa, Bu? Masakanku nggak enah, ya?"

"Eh, ng-nggak. E-enak, kok. Masakanmu selalu enak, Wid."

Karena ingat ucapan Mas Zaki agar tak terlalu mencampuri urusan Ibu, aku kemudian memilih diam dan hanya mengangguk-anggukkan kepala. Kami bertiga kemudian melanjutkan makan dalam hening. Hanya sesekali terdengar suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Semua larut dalam pikirannya masing-masing.

Setelah menyelesaikan sarapan, aku membereskan meja makan, lalu mencuci piring. Ibu dan suamiku beranjak ke ruang keluarga.

Hanya butuh waktu sebentar untuk aku menyelesaikan cucian piring dan beralih ke pakaian kotor. Pertama aku memilah pakaian yang bisa dicuci dengan mesin, dan merendam yang harus dikucek dengan tangan. Setelah hampir separuh pakaian itu kukeluarkan dari keranjang, ada satu yang mengejutkan di sana. Sebuah baju bayi perempuan teronggok di antara pakaian kotor yang lain.

Aku mengambil baju berwarna merah muda dengan renda di tepi bawahnya itu. Ada noda makanan di bagian dada. Aku mengorek perlahan bekas makanan itu, merasakannya dengan kulit di jemari, lalu mendekatkannya ke hidung. Walau sudah tercium bau basi, aku masih bisa merasakan aroma aslinya. Tak salah lagi. Sama persis dengan bubur bayi yang kutemukan di meja dapur Ibu kemarin.

Aku beranjak dari depan mesin cuci dan melangkah ke ruang keluarga. Di sana Ibu tampak sedang berbicara serius dengan Mas Zaki. Keduanya langsung terdiam saat melihatku datang.

"Ada apa, Wid?"

Aku masih diam dengan tangan kanan yang memegang baju bayi ada di belakang punggung. Sengaja benda itu kusembunyikan terlebih dahulu.

"Ini baju bayi siapa, Bu?" tanyaku setelah dekat, sambil menunjukkan baju itu ke arah Ibu dan Mas Zaki.

Wajah keduanya tiba-tiba pucat. Mata mereka membulat saat menatap apa yang kugenggam. Masihkah mereka berdalih sekarang?

***

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status