Share

Baju Bayi

Penulis: NH. Soetardjo
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-15 12:24:44

Apa? Nitip bubur bayi sehat lagi? Jadi, kecurigaanku sepertinya benar. Bubur bayi yang ada di dapur Ibu memang bukan ketinggalan. Kalau begitu, bisa jadi bubur itu juga bukan milik Fina.

"Widia!" seru Mas Zaki dari dalam, tepat saat tanganku hendak meraih handle pintu.

"Udah, biar Ibu aja. Itu Zaki manggil kamu." Tiba-tiba saja Ibu sudah ada di dekatku. Tergopoh-gopoh ia membuka pintu dan setengah mendorong tubuhku agar segera masuk ke dalam. Masih sempat kulihat Ibu mengedipkan sebelah matanya pada perempuan di depan pintu, yang ternyata adalah Mbak Rinda. Ia tetangga di sebelah rumah ini.

Aku melangkah masuk sambil kepala menoleh ke belakang beberapa kali. Memperhatikan Ibu yang merengkuh bahu Mbak Rinda dan melangkah menjauh dari rumah. Aneh. Melihat pertanyaan Mbak Rinda tadi, sepertinya Ibu memang pernah membeli bubur bayi sehat. Namun, untuk siapa bubur itu jika tak ada anak kecil di rumah ini? Atau memang ada bayi di sini? Kalau benar, anak siapa dan di mana sekarang?

"Sayang, kamu habiskan dulu sarapannya. Jangan pakai lama, ya."

"Kenapa memangnya, Mas?"

"Aku mau ngajak kamu ke pasar untuk belanja bahan makanan buat Ibu. Setelah itu kita ke supermarket buat beli yang kering-kering. Sekalian belanja bulanan buat rumah kita."

"Iya, tapi aku nyuci dulu, ya? Kasihan baju Ibu banyak yang kotor. Selama ditinggal Laras, mungkin Ibu hanya sesekali nyuci bajunya. Apalagi sekarang beliau sakit."

"Ya udah, habis nyuci aja kita berangkat. Agak cepat sedikit, ya."

Aku hanya mengangguk dan melanjutkan makan. Detik berikutnya kembali bersuara karena teringat ucapan Mbak Rinda.

"Mas, kayaknya ada yang aneh, deh," ucapku lirih karena tak ingin terdengar oleh Ibu.

"Kamu itu kenapa, sih? Dari bangun tidur bilangnya ada yang aneh terus."

"Memang aneh, Mas. Tadi Mbak Rinda teriak dari luar. Dia nanya apa Ibu mau nitip bubur bayi sehat lagi atau nggak. Kalau nanyanya gitu, berarti Ibu pernah nitip bubur bayi sehat itu, kan? Aneh, dong? Buat siapa? Di rumah ini 'kan nggak ada bayi."

Wajah Mas Zaki seketika terlihat tegang. Namun, ia segera menggerakkan tangannya di depan wajahku.

"Ah, udah. Itu urusan Ibu. Kita nggak usah ikut campur. Nggak semua aktivitas orang tua harus kita ketahui."

Aku kembali diam. Baiklah, Mas. Kalau kamu enggan mencari tahu, biar aku saja. Atau jangan-jangan ini ada kaitannya denganmu? Tentu saja pertanyaan itu tak kuucapkan, hanya bergema di dalam hati.

Tak lama kemudian Ibu masuk. Wajah perempuan yang melahirkan suamiku itu tak secerah sebelumnya, tampak sedikit tegang dan terlihat resah. Tangannya hanya memainkan sendok tanpa menyuapkan makanan ke mulutnya sama sekali.

"Kenapa, Bu? Masakanku nggak enah, ya?"

"Eh, ng-nggak. E-enak, kok. Masakanmu selalu enak, Wid."

Karena ingat ucapan Mas Zaki agar tak terlalu mencampuri urusan Ibu, aku kemudian memilih diam dan hanya mengangguk-anggukkan kepala. Kami bertiga kemudian melanjutkan makan dalam hening. Hanya sesekali terdengar suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Semua larut dalam pikirannya masing-masing.

Setelah menyelesaikan sarapan, aku membereskan meja makan, lalu mencuci piring. Ibu dan suamiku beranjak ke ruang keluarga.

Hanya butuh waktu sebentar untuk aku menyelesaikan cucian piring dan beralih ke pakaian kotor. Pertama aku memilah pakaian yang bisa dicuci dengan mesin, dan merendam yang harus dikucek dengan tangan. Setelah hampir separuh pakaian itu kukeluarkan dari keranjang, ada satu yang mengejutkan di sana. Sebuah baju bayi perempuan teronggok di antara pakaian kotor yang lain.

Aku mengambil baju berwarna merah muda dengan renda di tepi bawahnya itu. Ada noda makanan di bagian dada. Aku mengorek perlahan bekas makanan itu, merasakannya dengan kulit di jemari, lalu mendekatkannya ke hidung. Walau sudah tercium bau basi, aku masih bisa merasakan aroma aslinya. Tak salah lagi. Sama persis dengan bubur bayi yang kutemukan di meja dapur Ibu kemarin.

Aku beranjak dari depan mesin cuci dan melangkah ke ruang keluarga. Di sana Ibu tampak sedang berbicara serius dengan Mas Zaki. Keduanya langsung terdiam saat melihatku datang.

"Ada apa, Wid?"

Aku masih diam dengan tangan kanan yang memegang baju bayi ada di belakang punggung. Sengaja benda itu kusembunyikan terlebih dahulu.

"Ini baju bayi siapa, Bu?" tanyaku setelah dekat, sambil menunjukkan baju itu ke arah Ibu dan Mas Zaki.

Wajah keduanya tiba-tiba pucat. Mata mereka membulat saat menatap apa yang kugenggam. Masihkah mereka berdalih sekarang?

***

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Luka Istriku karena Cinta   Langkah Menguak Tabir

    Waktu yang hanya tinggal beberapa jam sebelum grand opening restauran, membuatku tidak bisa santai. Walau banyak pihak membantu, tetap saja aku menjadi orang yang paling tidak tenang saat ini. Apalagi banyak tokoh dan pejabat penting yang diundang oleh Ayah. "Fri, kamu nggak apa?"Aku menoleh ke arah datangnya suara yang sangat akrab di telinga. Sosok yang cukup banyak berperan dalam berdirinya bisnis ini."Aku baik-baik aja, Ar. Hanya sedikit nervous."Arsi tersenyum menatapku dengan matanya yang berbinar seperti embun pagi terkena pantulan sinar matahari. Tak seperti tamu undangan lainnya, lelaki itu mengenakan kemeja dengan kerah s"Aku yakin semuanya akan berjalan dengan lancar. Persiapan hampir tidak ada yang meleset. Pemikiran cemerlangmu, ditambah kekompakan seluruh karyawan baru, pastinya akan membawa sukses untuk restauran ini sejak hari pertama.""Bagaimana juga, aku tetap khawatir, Ar. Beberapa tahun terakhir, aku sam

  • Luka Istriku karena Cinta   Terlibat

    Hidup terkadang berubah terlalu cepat, hingga kita tak sempat beristirahat. Semua yang ada di depan mata kadang berganti dalam sekejap. Harapan yang hilang mungkin bisa diraih kembali. Namun, semua perubahan itu harusnya disyukuri, karena ada saat di mana tak akan ada lagi perubahan dalam hidup. Itulah hari saat kita harus pulang pada-Nya. Bagiku, malam adalah rasa sakit, karena harus melaluinya dalam kesendirian yang dipenuhi bayang masa lalu. Itu sebabnya aku enggan menjumpai hari yang gelap. Namun, ternyata siang ini jauh lebih buruk dibanding dinginnya udara setelah senja. Aku berada di tempat dan waktu yang salah, saat datang ke sebuah kafe. Ada janji temu dengan seorang mitra siang ini. Jam di tanganku masih menunjukkan pukul 10.55 WIB. Lima menit lagi ia akan datang untuk makan siang bersama. Aku mencari tempat duduk yang nyaman. Sebuah sudut menghadap jendela sangat pas untuk bincang bisnis di tengah lunch. Sambil menunggu, aku memesan minuman d

  • Luka Istriku karena Cinta   Tersangka (POV Zaki)

    Melihatnya diantar Arsi jelas membuat darahku mendidih. Tak adanya ikatan lagi di antara aku dan Widia pasti membuat lelaki itu merasa berhak mendekat. Saat Arsi turun dari SUV miliknya, lalu membukakan pintu untuk Widia, seketika tanganku bergetar. Harusnya aku yang ada di sana. Walau diucapkan dengan lirih, aku bisa mendengar kalimat Widia untuk mantan kekasihnya itu. "Sebaiknya kamu langsung pulang aja, Ar." "Kenapa? Kamu takut Zaki marah?""Bukan gitu, tapi ....""Tenang, Fri. Dia udah nggak berhak marah saat melihatmu pulang bersama siapa pun sekarang. Udah nggak ada ikatan di antara kalian. Masa iddahmu juga udah lewat."Ya, statusku saat ini memeng sudah tidak punya hak untuk melarang Widia melakukan apapun dan bertemu siapapun. Namun, kenapa harus Arsi? Aku yakin masih ada cinta di antara keduanya. Walau Widia Telah mengungkapkan perasaannya padaku, bukan tidak mungkin di ruang hatinya yan

  • Luka Istriku karena Cinta   Menikah

    "Aku sama sekali nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini, Fri. Janji temu dibuat sama Samudera dan Arta. Mereka juga cuma menyebutkan nama restoran kamu aja, tanpa nyebut pemiliknya."Penjelasan Arsi tentu saja masuk akal. Membuatku urung menelepon Arta dan meminta penjelasan. "Sejak kapan kamu membuka jasa konsultasi bisnis?""Udah lama sebenarnya, tapi kemarin-kemarin aku nggak terjun langsung." "Bisnis bakery dan kafe kamu masih jalan juga?""Masih, tapi aku hanya tinggal mengawasi aja. Sekarang kuminta ponakan buat mengelola langsung."Pembicaraan berlanjut pada rencana bisnisku. Kemampuan Arsi patut diacungi jempol. Semua saran dan usulannya tepat sesuai yang kuinginkan untuk perencanaan perkembangan resto. "Kenapa tiba-tiba kamu terjun ke bisnis ini, Fri?""Sementara ini aku hanya berpikir untuk mengisi waktu, Ar.""Hah? Mengisi waktu dengan hal seserius ini? Sampai kamu harus bayar konsul

  • Luka Istriku karena Cinta   Luka yang Terlalu Dalam

    Ternyata perpisahan adalah satu fase kehidupan yang sangat berat untuk kuhadapi. Aku pernah mengalaminya sebelum ini, yaitu saat Ibu meninggal. Sakit dan nyerinya teramat dahsyat. hingga membuat dadaku sesak. Perpisahan kedua ketika aku harus melepaskan Arsi karena bakti pada orang tua. Yang menyakitkan bukan karena aku tak bisa bersamanya, melainkan ketika harus melihat luka di mata lelaki itu.Memang benar, tak pernah ada yang mudah ketika menghadapi kata pisah. Bahkan saat telah kucoba meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Melihat mata Mas Zaki, aku hampir tak sanggup membendung air mata. Namun, aku tak ingin terlihat lemah di matanya. Widia bukan perempuan cengeng yang akan menangis dan mengharap belas kasih sang mantan. Kalau dia kemudian berkata masih cinta, haruskah aku mendadak tersenyum bahagia? Lelaki itu duduk diam menunggu reaksiku. Berusaha tenang, aku menatap matanya. Membiarkan helaan napas menyelimuti diam dan hening

  • Luka Istriku karena Cinta   Upaya Rujuk

    "Satu lagi, kenapa ponsel kamu nggak aktif lebih dari satu jam?"Ya, Tuhan. Kenapa orang ini? Dia sudah bukan siapa-siapa, lalu kenapa harus mengganggu dengan sikap posesifnya?"Lupa ngecas aja," jawabku santai.Seketika aku teringat perhatian Mas Zaki lainnya saat kami masih bersama. Dia yang selalu memperhatikan banyak benda milikku, termasuk ponsel. Malam sebelum tidur, Mas Zaki akan memeriksa semua gadget, lalu mengisi dayanya. Ternyata dalam beberapa hal, kehidupanku menjadi kacau sejak tidak bersamanya. Ah, kenapa aku jadi merasa seperti ini? Seharusnya aku bisa move on dari mantan suami, menguras rindu menjadi debu, bukan malah teringat kenangan-kenangan kami. "Sampai kapan kamu di puncak?""Belum tahu, kenapa memangnya?""Hanya ingin memastikan keamananmu, Wid.""Kenapa harus peduli, Mas? Kita udah nggak ada hubungan apapun, dan aku bisa menjaga diriku sendiri.""Keselamatan Cyra juga bergantung padamu. Jadi aku harus memastikan kamu aman."Ah, iya. Kenapa aku terlalu perca

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status