Share

Bertemu

Wajah keduanya tiba-tiba pucat. Mata mereka membulat saat menatap apa yang kugenggam. Masihkah mereka berdalih sekarang?

Ibu seketika bangkit dari duduknya dan mendekatiku. Mengambil pakaian bayi itu, lalu sejenak ia mengamati.

"Oo, ini kemarin baju anaknya Fina pas main di sini. Karena kotor pas disuapi, jadi diganti. Ketinggalan di kursi."

Duh, mertuaku ini. Masa semua barang Fina ketinggalan? Haruskah aku percaya, sementara bahasa tubuh Ibu begitu mencurigakan?

"Kalau punya Fina, kenapa ditaruh ke keranjang kotor, Bu?"

"Ya, Ibu pikir biar sekalian aja dicuci. Nanti kalau Fina main ke sini lagi udah bersih, jadi bawa pulangnya enak."

Aku hanya mengangguk ragu. Mas Zaki yang sejak tadi hanya memandang ke arah kami berdua, kini mulai angkat bicara.

"Udah, Wid. Lekas diselesaikan aja nyucinya. Nanti kita kesiangan ke pasarnya."

"Iya, Mas."

Dengan pikiran yang dipenuhi pertanyaan, aku beranjak ke belakang. Melanjutkan aktivitas mencuci pakaian sambil memikirkan semua keanehan yang ada di rumah ini.

Ibu adalah mertua dan suami yang baik. Mas Zaki pun suami yang tidak pernah berlaku tak elok. Selama ini mereka tak pernah berkata atau bersikap kasar padaku. Keduanya pun tak pernah mengeluhkan tentangku. Baru kemarin mulai terasa ada yang janggal. Entahlah. Mungkin itu hanya perasaanku saja.

Setelah hampir satu jam, akhirnya aku selesai mencuci semua pakaian kotor dan menjemurnya. Kemudian aku mandi dan bersiap ke pasar bersama Mas Zaki. Aku masih mendengar mereka berbincang di ruang depan.

"Nggak usah belanja banyak-banyak, Ki. Ibu cuma sendirian, makannya cuma sedikit."

"Aku lebih tenang kalau Ibu tidak kekurangan apa pun, karena nggak bisa sering-sering ke sini juga."

Aku tak tahu lagi apa yang mereka bicarakan karena sibuk membersihkan diri. Selesai mandi, aku duduk di depan meja rias untuk menyisir rambut dan menaburkan bedak tipis ke wajah. Tiba-tiba terdengar suara dering ponsel dari arah meja di samping tempat tidur.

Segera aku mendekat ke arah sumber datangnya suara. Layar handphone Mas Zaki menampakkan panggilan melalui aplikasi hijau. Tak ada nama, hanya nomor ponsel yang sepertinya belum disimpan oleh suamiku di daftar kontak.

Ragu-ragu kuambil benda pipih itu dari atas meja. Bimbang hendak memberikan ponsel pada Mas Zaki, atau menjawab panggilan dari nomor tak dikenal itu.

Baru saja aku hendak menjawab, panggilan itu berhenti, berganti suara yang terdengar dari luar kamar.

"Jangan lama-lama dandannya, Wid. Ditunggu suamimu, nih."

"Iya, Bu."

Diiringi rasa penasaran dan jantung yang berdegup kencang, aku membuka ponsel Mas Zaki yang memang tidak pernah terkunci, sambil sesekali menoleh ke arah pintu karena khawatir ada yang datang. Kubuka aplikasi W******p. Tak ada pesan yang mencurigakan di sana. Namun, sejenak aku teringat pagi tadi saat Mas Zaki terlihat seperti melakukan video call. Segera aku lihat riwayat panggilan.

Benar saja. Ada panggilan video call yang masuk ke ponsel Mas Zaki, tepat di jam sebelum aku memanggilnya untuk sarapan bersama. Nomornya pun belum disimpan. Kucoba melihat profil penelepon. Tak ada foto, tapi masih ada satu pesan di sana.

Iya. Besok aku transfer.

Singkat dan tak dibalas lagi oleh nomor asing itu. Kulihat tanggalnya. Ternyata pesan itu dikirim Mas Zaki kemarin. Namun, tak ada pesan lain di atasnya. Mungkin sudah dihapus, pikirku.

Aku harus mencari tahu, nomor siapa itu. Segera deretan angka yang tertera aku salin di handphone. Siapa tahu ini adalah jawaban dari keanehan yang aku temui di rumah ibu mertua.

Setelah selesai, aku mengembalikan ponsel Mas Zaki di tempatnya, lalu bersiap. Dengan mengenakan gamis katun dan pashmina instan, aku melangkah menuju ruang keluarga. Ibu dan Mas Zaki tampak masih berbincang sambil duduk di sofa. Namun, kali ini tidak seperti tadi. Mereka seperti sedang berbisik.

"Ayo kita berangkat, Mas."

Dua orang ibu dan anak itu sangat terkejut mendengar suaraku.

"Eh, Wid. Ka-kamu udah siap?" tanya Ibu agak sedikit gugup.

"Udah, Bu."

"Sebentar, aku ambil kunci mobil dulu." Mas Zaki bangkit dan menuju ke kamar.

"Ibu udah minum obat?"

"Udah, Wid. Tenang aja. Kamu nggak usah khawatir."

Aku tersenyum dan mengusap punggung ibu dengan lembut. Wanita ini sudah kuanggap ibu sendiri. Sejak kecil aku sudah kehilangan ibu kandung. Ia meninggal karena kanker ganas yang menggerogoti tubuhnya. Itu sebabnya sejak menikah dengan Mas Zaki, aku merasa mendapatkan ibu baru.

"Ayo," seru Mas Zaki sambil menarik tanganku.

"Bu, kami berangkat dulu, ya," ujarku sambil mencium punggung tangan Ibu.

"Hati-hati."

"Ya, Bu."

Kami berjalan keluar rumah dan masuk ke mobil.

"Kamu udah tulis apa aja yang mau kita beli?" tanya Mas Zaki saat mobil sudah meluncur membelah lalu lintas.

"Udah, Mas. Semua kebutuhan Ibu dan juga rumah kita, sudah aku catat di handphone."

"Besok-besok jangan di handphone, Wid. Bisa aja tiba-tiba ponsel kita mati saat di lokasi. Inget 'kan, pas kita mau cetak tiket kereta tahun lalu? Tiba-tiba ponselmu nggak bisa dinyalakan. Untung aja kamu udah kirim kode tiketnya ke handphone aku."

"Iya, Mas. Waktu itu karena aku masih pakai HP butut. Kalau sekarang, kamu udah beliin aku ponsel baru dan bagus, kan."

"Iya, sih. Tetap aja harus jaga-jaga."

"Iya."

Tak terasa mobil kami sudah sampai di pasar. Tempat ini adalah pasar sayur ternyaman menurutku. Konsepnya modern dengan tempat parkir yang luas dan bersih.

Setelah mematikan mesin mobil, Mas Zaki turun dan membukakan pintu untukku. Ia selalu melarang aku turun lebih dahulu jika belum dibukakan.

"Aku harus memastikan kamu aman saat keluar dari mobil," jawab Mas Zaki setiap aku bertanya alasannya.

Biasanya ia langsung ikut denganku masuk ke dalam pasar, dan kami akan belanja bersama. Namun, Sepertinya tidak saat ini.

"Kamu belanja aja duluan, ya. Nanti aku nyusul."

"Mas mau ke mana?"

"Ke ATM sebentar. Mau ambil uang."

"Aku ikut aja ke ATM. Setelah itu baru belanja bareng."

"Nanti kelamaan, Wid. Keburu siang. Kita harus ke supermarket juga setelah ini."

Akhirnya walau agak kesal, aku menurut. Berjalan memasuki area pasar sambil mengingat pesan di ponsel Mas Zaki yang tadi pagi kulihat. Pasti suamiku bukan ingin ambil uang, tapi akan mentransfer ke orang yang mengirim pesan itu. Siapa dia? Kenapa Mas Zaki tidak mentransfer melalui aplikasi mobile banking? Apakah ia takut aku akan melihat riwayat transfernya?

Perlahan aku mulai masuk ke lorong tempat penjual sayur dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi kepala. Saat memilih kangkung dan kacang panjang, aku melihat Fina. Ia sedang berjalan mendekat ke arah tempatku berdiri.

"Hai, Fin!" seruku saat jarak kami sudah cukup dekat.

"Eh, Widia. Kamu lagi belanja juga?"

Perempuan itu tak terlihat terkejut melihatku. Wajahnya yang mulus tanpa cela, terlihat ceria dengan mata berbinar. Mungkin itu efek softlens warna biru yang ia kenakan. Fina mengenakan kulit hitam yang dipadu dengan tunik katun warna putih dengan aksen renda yang semakin menonjolkan kecantikannya.

"Iya, Fin. Kamu sama siapa? Anakmu nggak diajak?"

"Sendiri. Repot kalau ke pasar bawa bayi, Wid."

Mendengar kata bayi, aku langsung teringat bubur dan pakaian yang ada di rumah Ibu.

"O, iya. Mangkuk kamu ketinggalan di rumah ibu mertuaku, Fin. Lupa, ya?"

Fina tampak terkejut. Dahinya agak mengernyit.

"Mangkuk? Mangkuk apa, ya?"

"Ibu mertuaku bilang, bubur bayi anakmu ketinggalan pas kemarin main di sana. Ada baju anakmu juga. Semuanya udah kucuci bersih, jadi kamu tinggal ambil aja kalau udah sempet."

"Eh, tunggu, Wid. Aku beneran bingung, lho. Bubur bayi, lalu baju, maksudnya apa, ya? Udah lama aku nggak ke rumah ibu mertuamu. Seminggu terakhir aku bahkan nginap di Bogor. Baru pulang tadi pagi, nih."

"Hah?"

Apa yang sebenarnya sedang terjadi di rumah itu? Kenapa ibu mertuaku seperti menutupi banyak kejanggalan yang nyata terlihat? Apa yang sedang dirahasiakan dariku sebenarnya?

***

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status