Share

Nitip Lagi

Penulis: NH. Soetardjo
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-15 12:05:33

"Mungkin memang punya Fina juga," ujar Mas Zaki saat aku menyampaikan padanya tentang hal-hal aneh di rumah Ibu.

Aku baru menceritakannya pagi ini setelah salat subuh. Semalam tak sempat karena sudah tidur saat Mas Zaki pulang.

"Kayaknya ada sesuatu yang disembunyikan sama Ibu, Mas. Beliau terlihat gugup saat kutanya."

"Jangan sembarangan kamu, Wid," tukas Mas Zaki dengan nada tinggi. "Beliau ibuku. Masa iya kamu curiga ke mertua sendiri."

Aku terdiam, sementara Mas Zaki menatapku dengan pandangan menusuk.

"Lebih baik sekarang kamu bantu Ibu bikin sarapan. Jangan sampai keduluan beliau buat turun ke dapur."

Tanpa bicara lagi, aku segera melangkah keluar kamar. Sampai di dapur, bergegas aku hendak menghangatkan soto. Saat membuka tutup panci, aku tertegun melihat isinya yang sudah raib. Padahal semalam masih banyak di sana. Sementara sebelum tidur aku sudah memisahkan untuk Ibu dan Mas Zaki masing-masing satu mangkok. Mungkinkah mereka yang menghabiskannya? Rasanya mustahil keduanya sanggup menghabiskan soto sebanyak itu.

Haruskah aku bertanya pada Ibu? Ah, tak usah saja. Aku tak mau dianggap menantu yang cerewet dan perhitungan.

Kalau begitu lebih baik aku membuat nasi goreng dan omelet saja. Segera bahan-bahannya aku siapkan dan racik sesuai selera ibu mertua. Saat aku hampir selesai menggoreng nasi, terdengar suara pintu kamar dibuka.

"Wah, kamu udah selesai bikin sarapan, Wid?"

"Iya, Bu. Aku masak nasi goreng teri kesukaan Ibu. Tanpa kecap pastinya," ujarku sambil tersenyum pada perempuan berusia hampir enam puluh tahun itu.

"Makasih, ya. Kamu selalu perhatian sama Ibu."

"Ah, Ibu. Nggak usah berterima kasih, karena sudah kewajibanku untuk berbakti pada Ibu."

Perempuan yang rambutnya sudah hampir putih semua itu tersenyum. Ia berjalan ke arah tempat cucian kotor dan mulai meraih beberapa pakaian dari sana.

"Lho, Ibu mau ngapain?"

Segera aku meletakkan spatula dan mengecilkan kompor, lalu mendekat ke arah Ibu.

"Udah, Ibu istirahat aja. Biar aku yang nyuci semuanya nanti setelah sarapan," ucapku lembut dan mengambil cucian kotor di tangan mertua.

"Nanti kamu capek, Wid."

"Nggak, Bu. Aku udah biasa nyuci. Ibu yang nggak boleh capek. Harus istirahat dulu biar cepat sembuh."

Ibu akhirnya menyerah. Ia meninggalkanku sendiri di dapur dan melangkah kembali ke kamarnya. Segera aku menyelesaikan membuat nasi goreng dan omelet. Setelah semuanya siap, aku memberi tahu Ibu bahwa makanan sudah tersaji di meja makan, kemudian melangkah ke kamar untuk mengajak Mas Zaki sarapan.

"Mas, sarapan dulu, yuk," seruku sambil membuka pintu kamar.

Mas Zaki terlonjak karena terkejut. Tergesa ia menurunkan handphone dari depan wajahnya. Aku terkesiap melihat tingkah lelaki itu. Masih sempat kulihat ada sosok wajah perempuan di layar, sebelum Mas Zaki mematikan ponselnya.

"Mas lagi video call sama siapa?"

"Ng-nggak, kok. Nggak video call."

"Aku nggak salah lihat kayaknya. Tadi jelas ada wajah perempuan di layar ponselmu. Siapa dia, Mas?"

"Oh, i-itu selebgram. Aku lagi lihat story dan postingannya, karena perusahaan mau pakai dia buat bintang iklan produk baru."

Aku hanya diam. Dalam hati masih tidak percaya dengan penjelasannya, tapi biar saja aku tunda dulu untuk menyelidiki kebenarannya nanti.

"Katanya mau ngajak sarapan. Kok, malah bengong? Ayo."

Mas Zaki merengkuh bahuku. Kami keluar kamar dan bersama menuju meja makan. Di sana Ibu sudah menunggu.

"Nasi goreng buatanmu selalu pas dengan selera Ibu, Wid. Laras dan Ratih saja nggak pernah bisa bikin yang kayak gini. Padahal Ibu udah ngajarin berkali-kali."

Ratih adalah kakak suamiku yang sekarang tinggal bersama suaminya di Surabaya. Ia anak pertama di rumah ini.

"Ah, Ibu terlalu memuji."

"Ibu benar, Wid. Kamu itu selalu cepat dan berhasil mempelajari sesuatu. Nggak salah memang kamu jadi istriku."

Sepertinya wajah ini sudah memerah seperti udang rebus karena mendengar pujian dari Mas Zaki. Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu.

"Biar aku aja yang lihat ke depan."

Ibu dan Mas Zaki mengangguk. Mereka melanjutkan makannya sementara aku melangkah ke ruang tamu. Terdengar pintu diketuk sekali lagi. Aku baru saja hendak membukanya saat terdengar suara perempuan.

"Assalamualaikum. Bu Kartika mau nitip bubur bayi sehat lagi, nggak?"

Apa? Nitip bubur bayi sehat lagi? Jadi ....

***

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Luka Istriku karena Cinta   Langkah Menguak Tabir

    Waktu yang hanya tinggal beberapa jam sebelum grand opening restauran, membuatku tidak bisa santai. Walau banyak pihak membantu, tetap saja aku menjadi orang yang paling tidak tenang saat ini. Apalagi banyak tokoh dan pejabat penting yang diundang oleh Ayah. "Fri, kamu nggak apa?"Aku menoleh ke arah datangnya suara yang sangat akrab di telinga. Sosok yang cukup banyak berperan dalam berdirinya bisnis ini."Aku baik-baik aja, Ar. Hanya sedikit nervous."Arsi tersenyum menatapku dengan matanya yang berbinar seperti embun pagi terkena pantulan sinar matahari. Tak seperti tamu undangan lainnya, lelaki itu mengenakan kemeja dengan kerah s"Aku yakin semuanya akan berjalan dengan lancar. Persiapan hampir tidak ada yang meleset. Pemikiran cemerlangmu, ditambah kekompakan seluruh karyawan baru, pastinya akan membawa sukses untuk restauran ini sejak hari pertama.""Bagaimana juga, aku tetap khawatir, Ar. Beberapa tahun terakhir, aku sam

  • Luka Istriku karena Cinta   Terlibat

    Hidup terkadang berubah terlalu cepat, hingga kita tak sempat beristirahat. Semua yang ada di depan mata kadang berganti dalam sekejap. Harapan yang hilang mungkin bisa diraih kembali. Namun, semua perubahan itu harusnya disyukuri, karena ada saat di mana tak akan ada lagi perubahan dalam hidup. Itulah hari saat kita harus pulang pada-Nya. Bagiku, malam adalah rasa sakit, karena harus melaluinya dalam kesendirian yang dipenuhi bayang masa lalu. Itu sebabnya aku enggan menjumpai hari yang gelap. Namun, ternyata siang ini jauh lebih buruk dibanding dinginnya udara setelah senja. Aku berada di tempat dan waktu yang salah, saat datang ke sebuah kafe. Ada janji temu dengan seorang mitra siang ini. Jam di tanganku masih menunjukkan pukul 10.55 WIB. Lima menit lagi ia akan datang untuk makan siang bersama. Aku mencari tempat duduk yang nyaman. Sebuah sudut menghadap jendela sangat pas untuk bincang bisnis di tengah lunch. Sambil menunggu, aku memesan minuman d

  • Luka Istriku karena Cinta   Tersangka (POV Zaki)

    Melihatnya diantar Arsi jelas membuat darahku mendidih. Tak adanya ikatan lagi di antara aku dan Widia pasti membuat lelaki itu merasa berhak mendekat. Saat Arsi turun dari SUV miliknya, lalu membukakan pintu untuk Widia, seketika tanganku bergetar. Harusnya aku yang ada di sana. Walau diucapkan dengan lirih, aku bisa mendengar kalimat Widia untuk mantan kekasihnya itu. "Sebaiknya kamu langsung pulang aja, Ar." "Kenapa? Kamu takut Zaki marah?""Bukan gitu, tapi ....""Tenang, Fri. Dia udah nggak berhak marah saat melihatmu pulang bersama siapa pun sekarang. Udah nggak ada ikatan di antara kalian. Masa iddahmu juga udah lewat."Ya, statusku saat ini memeng sudah tidak punya hak untuk melarang Widia melakukan apapun dan bertemu siapapun. Namun, kenapa harus Arsi? Aku yakin masih ada cinta di antara keduanya. Walau Widia Telah mengungkapkan perasaannya padaku, bukan tidak mungkin di ruang hatinya yan

  • Luka Istriku karena Cinta   Menikah

    "Aku sama sekali nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini, Fri. Janji temu dibuat sama Samudera dan Arta. Mereka juga cuma menyebutkan nama restoran kamu aja, tanpa nyebut pemiliknya."Penjelasan Arsi tentu saja masuk akal. Membuatku urung menelepon Arta dan meminta penjelasan. "Sejak kapan kamu membuka jasa konsultasi bisnis?""Udah lama sebenarnya, tapi kemarin-kemarin aku nggak terjun langsung." "Bisnis bakery dan kafe kamu masih jalan juga?""Masih, tapi aku hanya tinggal mengawasi aja. Sekarang kuminta ponakan buat mengelola langsung."Pembicaraan berlanjut pada rencana bisnisku. Kemampuan Arsi patut diacungi jempol. Semua saran dan usulannya tepat sesuai yang kuinginkan untuk perencanaan perkembangan resto. "Kenapa tiba-tiba kamu terjun ke bisnis ini, Fri?""Sementara ini aku hanya berpikir untuk mengisi waktu, Ar.""Hah? Mengisi waktu dengan hal seserius ini? Sampai kamu harus bayar konsul

  • Luka Istriku karena Cinta   Luka yang Terlalu Dalam

    Ternyata perpisahan adalah satu fase kehidupan yang sangat berat untuk kuhadapi. Aku pernah mengalaminya sebelum ini, yaitu saat Ibu meninggal. Sakit dan nyerinya teramat dahsyat. hingga membuat dadaku sesak. Perpisahan kedua ketika aku harus melepaskan Arsi karena bakti pada orang tua. Yang menyakitkan bukan karena aku tak bisa bersamanya, melainkan ketika harus melihat luka di mata lelaki itu.Memang benar, tak pernah ada yang mudah ketika menghadapi kata pisah. Bahkan saat telah kucoba meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Melihat mata Mas Zaki, aku hampir tak sanggup membendung air mata. Namun, aku tak ingin terlihat lemah di matanya. Widia bukan perempuan cengeng yang akan menangis dan mengharap belas kasih sang mantan. Kalau dia kemudian berkata masih cinta, haruskah aku mendadak tersenyum bahagia? Lelaki itu duduk diam menunggu reaksiku. Berusaha tenang, aku menatap matanya. Membiarkan helaan napas menyelimuti diam dan hening

  • Luka Istriku karena Cinta   Upaya Rujuk

    "Satu lagi, kenapa ponsel kamu nggak aktif lebih dari satu jam?"Ya, Tuhan. Kenapa orang ini? Dia sudah bukan siapa-siapa, lalu kenapa harus mengganggu dengan sikap posesifnya?"Lupa ngecas aja," jawabku santai.Seketika aku teringat perhatian Mas Zaki lainnya saat kami masih bersama. Dia yang selalu memperhatikan banyak benda milikku, termasuk ponsel. Malam sebelum tidur, Mas Zaki akan memeriksa semua gadget, lalu mengisi dayanya. Ternyata dalam beberapa hal, kehidupanku menjadi kacau sejak tidak bersamanya. Ah, kenapa aku jadi merasa seperti ini? Seharusnya aku bisa move on dari mantan suami, menguras rindu menjadi debu, bukan malah teringat kenangan-kenangan kami. "Sampai kapan kamu di puncak?""Belum tahu, kenapa memangnya?""Hanya ingin memastikan keamananmu, Wid.""Kenapa harus peduli, Mas? Kita udah nggak ada hubungan apapun, dan aku bisa menjaga diriku sendiri.""Keselamatan Cyra juga bergantung padamu. Jadi aku harus memastikan kamu aman."Ah, iya. Kenapa aku terlalu perca

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status