"Dia bisa tetap bahagia, walau hanya bersama ibunya," sanggahku. "Nggak, Wid. Hidupnya akan pincang. Tak ada figur ayah, adalah bencana untuknya.""Aku bisa mencarikan figur ayah untuknya."Mata lelaki di depanku itu membulat. Mulutnya setengah terbuka. Detik berikutnya ia meraih daguku dan sedikit mengangkatnya. Perlahan wajahnya mendekat, hingga hampir tak ada jarak di antara kami. Bibirnya bergerak, lalu mengucap satu kalimat."Kamu pikir, aku rela dia hidup dengan ayah tiri?"Napas Mas Zaki terasa panas menyapu seluruh wajahku. Aroma khas tubuh kekar itu sejenak membuatku ingin memeluknya. Namun, semua yang terjadi beberapa hari terakhir masih meninggikan egoku. Sekali lagi, aku ingin menjajaki kedalaman rasa di hatinya."Kalau bertahan hanya demi anak ini, bukankah kita berdua akan hancur? Untuk apa menahanku, kalau nggak ada cinta di hatimu?"Mata suamiku seketika berkilat marah. Ia meletakkan mangkuk ke meja di samping tempat tidur. Tangan kirinya kini menahan kepalaku dari be
Mas Zaki tersenyum. "Memangnya, kamu udah siap?"Hening menyelimuti kami beberapa menit. Aku diam tak mampu mengucap kata, juga tidak bergerak. Hanya tangan Mas Zaki yang terus menelusuri wajahku. Mata, hidung, pipi, dan bibir. Gerakan itu dilakukannya berulang-ulang, hingga ia menjatuhkan tubuh, dan membenamkan wajahnya di lebat rambutku. "Aku hanya akan melakukan yang kamu suka," lirihnya. ***Sejak hamil, Mas Zaki hampir tak pernah mengajakku ke rumah Ibu. Mertuaku itulah yang kini sering berkunjung bersama Laras. Tak jarang mereka bahkan menginap. Seperti hari ini. Sejak kemarin keduanya bermalam di rumahku. Kangen katanya. Aku dengan senang hati menyambut keduanya, apalagi Mas Zaki ada jadwal tugas keluar kota.Namun, Ibu dan anak itu sepertinya sudah diamanahi oleh Mas Zaki agar menjaga dan mengawasiku. Laras terutama. Dia sangat protektif dan seakan menggantikan posisi Mas Zaki saat suamiku itu tidak di rumah. "Udah, Mbak Widia duduk aja di sini. Nonton drakor sama aku. Bia
Tak lama setelahnya suara bel terdengar. Aku sengaja menunggu hingga dia menekannya tiga kali, baru kemudian membukakan pintu."Wah, aku tersanjung karena tuan rumah langsung yang membukakan pintu," ujar perempuan itu disertai senyum yang lebih mirip seringai.Dia memiliki kulit putih tanpa cela, dengan garis wajah seperti yang kulihat bertebaran di majalah mode. Berbeda denganku, mata Hana cenderung sipit, ditambah softlens yang membuatnya terlihat biru.Dari jarak dekat seperti ini, aku bisa tahu, semua yang dikenakannya memang brand kelas atas. Termasuk pashmina yang dipakainya. Tidak, aku bukan iri. Mas Zaki memberikan uang yang berlebih setiap bulannya. Dia juga membekaliku tiga kartu debit dengan saldo yang terus bertambah setiap bulan. Walau sebanyak apapun aku berbelanja, jumlah uang di tiga rekening itu terus saja membukit. Hanya saja aku memang tidak berminat untuk mengoleksi barang mewah."Maaf, Mbak siapa dan ada keperluan apa?" tanyaku pura-pura tak mengenalinya. Dia tert
"Jangan senang dulu," lanjutnya. "Jika berpikir akan bisa membuat dia bahagia sepanjang hidup, kau sangat keliru.”Aku tersenyum dingin, sampai perempuan berbibir tebal itu kembali berbisik.“Dia memiliki kebutuhan yang aku yakin tak bisa kau berikan."Saat ini rasanya kemarahanku sudah terbit. Kutepis tangannya yang ada di bahu. Lonjakan adrenalin di dalam sini semakin terasa. Berani-beraninya wanita itu menghina tuan rumah tempatnya bertamu. Kupikir Hana adalah perempuan terhormat yang juga punya etika saat bicara. Ternyata tidak sama sekali.“Kau membuat kesalahan besar di sini, Hana. Tak usah mengajari tentang apa yang harus kulakukan untuk memuaskan kebutuhan Mas Zaki. Lelaki yang kau panggil Indra itu awalnya memang tidak memilihku. Widia Afridia Sukma ini memang ditakdirkan untuk hadir dalam hidupnya," ucapku dengan napas memburu."Hah, percaya diri sekali." Dia tertawa sejenak. "Kau pikir dirimu spesial, Widia? Nggak sama sekali. Kita lihat, berapa lama lagi Indra akan mempert
Aku menelan ludah dan menarik diri jadi tegak. Perlahan bangkit dan berjalan ke arahnya. Tangannya yang masih terkepal itu hendak kuraih, tapi dia menghalangi. Matanya masih berkilat mengerikan.Dia menarikku. Merengkuhku dalam pelukan erat. Aroma khas tubuhnya langsung menyergap.Tiba-tiba dia menggendongku dan berjalan ke arah ranjang. Meletakkan tubuhku dengan sangat hati-hati, seolah yang ada di tangannnya kini adalah boneka porselen. Mudah hancur saat diperlakukan salah.Dia mendekatkan wajah kami. Matanya menatap lekat, dan memberi pesan yang sangat kukenal. Detik berikutnya dia telah sangat menuntut."Terima kasih," bisiknya lembut setelah kami selesai.Aku tak menjawab. Ini kali pertama penyatuan kami sejak aku hamil. Kali pertama pula dia melakukannya di tengah gelombang amarah"Aku nggak akan pernah memaafkan diri sendiri, kalau sampai Hana menyakitimu, Wid."Aku menatap ke dalam mata kelamnya. Bukankah sakit tak hanya tersebab laku, tapi juga kata, pikirku. Setelah ini, b
"Udah kuduga dia bakal melakukan ini. Keyakinannya memang belum terlalu mantap, tapi sangat tidak bisa ditolerir kalau ini dilakukannya sebagai aksi protes terhadapku. Biar saja dulu. Aku tetap berangkat seperti jadwal biasa."Aku memeluknya. Menghirup lebih dalam wangi tubuhnya yang menyegarkan. Dia mengusap rambutku perlahan. Mas Zaki butuh ketenangan saat ini, membuat kami tetap dalam posisi itu, hingga jarum jam menunjukkan sudah waktunya dia berangkat.Sejak insiden Hana datang ke rumah ini beberapa bulan lalu, aku sudah tidak ambil pusing, apakah dia akan berangkat langsung ke kantor atau ke apartemen. Aku mencoba menerima kenyataan, bahwa Hana lebih dulu berhak atas dirinya. Saat kami berjalan menuju pintu, handphone Mas Zaki kembali berbunyi. Kembali Rizal yang menghubunginya."Ya.""....""Ngapain dia ke sana?""....""Oke. Aku berangkat sekarang."Mas Zaki menatapku dengan pandangan lemah. Aku tak berani bertanya. Hanya menunggu dia menjelaskan kegalauan di wajahnya. "Hana
Hana menoleh ke arah wartawan yang mengenakan kerudung hitam itu. Ada kilat tak suka yang segera dia tutupi dengan senyuman. "Gosip macam apa itu? Kami baik-baik aja, bahkan tambah hot sekarang. Lagi program hamil. Mohon doanya, ya," ujarnya sambil menatap kamera.Tatapannya seakan mengejekku. Dia kembali melempar senyuman dari bibirnya yang merah merona. Entah kenapa ada yang tergores di dalam sini menyaksikan video singkat itu. Ternyata benar, harusnya aku mengikuti perintah Mas Zaki untuk tidak membuka media sosial. Segera aku menutup layar Instagram. Mengambil remote dan hendak mematikan televisi. Namun, sebuah tayangan telah lebih dulu menyita perhatianku. Tampak para wartawan yang mengejar Hana persis seperti di akun gosip tadi. Perempuan itu mengenakan stelan kerja yang terlihat elegan dan sangat cocok dengan tubuhnya. Di tangannya ada handphone dan sebuah buku kecil berlogo KGE. Kiprah Group Enterprise.Adegan dalam tayangan itu hampir sama dengan di Instagram. Bedanya ada
Aku membuang segala pikiran yang berpeluang membuat diri sendiri tidak nyaman. Menikmati perawatan tubuh adalah salah satu caraku agar bisa rileks. Mencoba menggapai bahagia dengan caraku sendiri.Setelah tiga jam, aku keluar dari tempat perawatan kecantikan mewah itu dan meminta Pak Wawan mengantar ke mal. Selama ini aku jarang berbelanja. Bahkan Mas Zaki sering memaksaku untuk bersama-sama ke pusat perbelanjaan di dalam atau luar negeri. Aktivitas yang justru membuat Mas Zaki lebih banyak membeli barang-barang baru untuknya sendiri dibanding aku. "Yang disuruh belanja siapa, yang khilaf siapa," kelakarnya setiap kami selesai berbelanja.Namun, kali ini aku ingin memuaskan mata. Melihat fashion terbaru yang sedang trend, juga mencari novel. Buku-buku di rumah sudah hampir semua kubaca. Tak ada salahnya aku menggunakan kartu debit Mas Zaki untuk memborong bahan bacaan. Sampai di mal tujuanku ternyata tempat itu cukup lengang. Mungkin karena hari kerja dan belum waktunya orang keluar