Aku membuang segala pikiran yang berpeluang membuat diri sendiri tidak nyaman. Menikmati perawatan tubuh adalah salah satu caraku agar bisa rileks. Mencoba menggapai bahagia dengan caraku sendiri.Setelah tiga jam, aku keluar dari tempat perawatan kecantikan mewah itu dan meminta Pak Wawan mengantar ke mal. Selama ini aku jarang berbelanja. Bahkan Mas Zaki sering memaksaku untuk bersama-sama ke pusat perbelanjaan di dalam atau luar negeri. Aktivitas yang justru membuat Mas Zaki lebih banyak membeli barang-barang baru untuknya sendiri dibanding aku. "Yang disuruh belanja siapa, yang khilaf siapa," kelakarnya setiap kami selesai berbelanja.Namun, kali ini aku ingin memuaskan mata. Melihat fashion terbaru yang sedang trend, juga mencari novel. Buku-buku di rumah sudah hampir semua kubaca. Tak ada salahnya aku menggunakan kartu debit Mas Zaki untuk memborong bahan bacaan. Sampai di mal tujuanku ternyata tempat itu cukup lengang. Mungkin karena hari kerja dan belum waktunya orang keluar
Saat tersadar, tiba-tiba air mata kepahitan menyengat mataku. Refleks aku menahannya dengan menggigit bibir bawah agar tidak terisak tepat di depan Mas Zaki.Sementara lelaki itu terdengar sedang menelepon seseorang. Dia berdiri memegang ponsel. Satu tangannya dimasukkan ke dalam saku celana sementara jas kerja entah dia letakkan di mana. Yang tersisa adalah kemeja putih dengan lengan panjang yang sudah digulung sampai ke siku."Nggak, Zal. Gue mau yang perempuan dua orang, khusus buat gantian jaga Widia. Sopir tetap Pak Wawan."Menutup panggilan, seketika dia berlari saat melihatku sedang memandang ke arahnya. "Ya, Tuhan. Aku nggak tahu harus marah atau bagaimana ke kamu," geramnya saat sampai di sisi tempat tidur.Mendekatkan wajahnya padaku, Mas Zaki langsung memangkas jarak di antara kami. Dia baru berhenti saat dirasakannya kami berdua butuh bernapas. "Maaf. Aku nggak tahu bakal begini jadinya."Dia mengacak rambutku, lalu membantu untuk duduk."Tugasmu saat ini tak hanya menja
"Aku nggak pernah mempermasalahkan segala permintaannya. Dengan omset yang terus meningkat, aku bisa memenuhi semuanya. Namun, hasutan terus datang. Mereka minta Hana kembali terjun ke perusahaan ayahnya."Beberapa saat lamanya dia terdiam. Mengambil tangan kiriku dan membawanya ke wajah. Aku membelai rahang kokohnya. "Kamu tenang aja, Cinta. Aku sudah mempersiapkan semuanya. Apapun yang terjadi, dirimu dan bayi kita akan aman."Aku mencoba tersenyum, tapi wajahku pasti tak bisa menyembunyikan kegalauan. Bukan tentang harta yang kupikirkan, melainkan keselamatan kami. "Apakah kondisinya sangat mengkhawatirkan, sampai kamu harus membayar dua orang lagi untuk menjagaku?"Mas Zaki bangkit dari pangkuanku. Dia menepuk bantal sebagai tanda menyuruhku berbaring. Saat kami sudah bersisian, dia melingkarkan tangannya di perutku. "Aku sangat tahu bagaimana Hana dan keluarganya. Semua itu hanya antisipasi, tapi tenang aja. Aku jamin kamu aman, Cinta."Tiba-tiba aku teringat sesuatu."Harusny
Kami tiba saat hari sudah gelap, dengan dua mobil beriringan. Memasuki halaman yang sangat luas, mobil berhenti tepat di depan pintu. Mas Zaki turun lebih dulu membimbingku hingga kami masuk ke dalam.Rumah ini dua kali lebih besar dibanding yang kami tempati sebelumnya. Bernuansa Eropa dengan tembok tinggi di sekeliling. Sepertinya aku dan Mas Zaki akan menjadi keluarga yang tertutup di sini, demi menghindari kejaran wartawan atau pun orang-orang suruhan Hana. Warna putih dindingnya sesuai dengan seleraku, ditambah tirai keemasan yang dipasang hampir di setiap ruangan yang berjendela. Kamar tidur utama terletak di lantai bawah, sementara untuk tamu di atas. Tentu saja seperti rumah ini, ukuran semua ruangan dua kali lebih besar dibanding yang ada di tempat kami sebelumnya. Jelas aku senang, karena artinya perpustakaan di sini juga lebih banyak menampung buku-buku. Aku belum menjelajahi semua ruangan. Rasa lelah dan syok akibat peristiwa penyerangan sore tadi, membuat enggan untuk b
Aku mengangguk lalu mulai merebahkan diri saat dia keluar ruangan dan menutup pintu. Ternyata aku memang butuh istirahat dan tidur sejenak. Rasanya seluruh tulangku remuk.***Aku terbangun tengah malam, saat tenggorokan terasa sakit. Tak ada tanda bahwa Mas Zaki sudah masuk ke kamar ini setelah tadi dia meninggalkan aku sendirian. Mungkinkah suamiku itu masih di ruang kerjanya bersama Rizal?Aku melangkah keluar kamar untuk menuju ruang makan. Minum segelas air hangat sepertinya akan mebuat tenggorokanku lebih enak. Perkiraanku benar. Duduk di ruang makan sendiri seperti ini membuat pikiranku menerawang ke mana-mana. Tentang hubunganku dengan Mas Zaki dan juga Hana. Tentang wartawan yang pasti masih akan memburu kami demi mendapatkan berita menarik menurut mereka. Tiba-tiba aku mendengar seperti suara seseorang berseru tertahan. Arahnya dari ruang kerja Mas Zaki. Karena penasaran, aku melangkah mendekati tempat itu. Ternyata pintunya sedikit terbuka, hingga aku dapat mendengar pem
"Wid, kamu ngapain di sini?"Wajahku mungkin saat ini sudah sepucat mayat. Berbagai asumsi tentang Mas Zaki memenuhi kepala. Lalu, sekarang dia di sini, dan menatap dengan curiga. Maaf jika aku harus berbohong, Mas. Tentu saja itu hanya kuucapkan dalam hati. "Eh, i-itu ... ta-tadi aku haus, lalu ambil minum dan mau dibawa ke kamar. Entah kenapa tiba-tiba kayak ada yang bikin aku kaget, dan gelasnya jatuh."Mas Zaki memandang pecahan gelas di lantai, kemudian beralih padaku. "Mba Jum!" serunya memanggil salah satu asisten di rumah ini. Rizal ikut memperhatikan lantai. Sekilas dia melirik hingga tatapan kami beradu. Detik berikutnya Mas Zaki sudah menggenggam tanganku dan melangkah ke kamar kami. Aku mengikutinya di belakang. "Ada apa, Cinta?" tanya Mas Zaki saat kami sudah di dalam kamar."Ng-nggak ada apa-apa, Mas. Aku cuma kaget tadi."Mas Zaki mengulurkan tangannya dan membelai lembut pipiku."Tidur lagi, ya? Aku temani."Kami naik ke peraduan. Mas Zaki menggeser tubuhku hingga
Karena menurutku tidak mungkin, maka pertanyaan itu hanya tenggelam di dalam benak saja. Yang sangat membahagiakan, walau hari dan malamnya kini terbagi, Mas Zaki masih hapal semua jadwal terkait bayi yang ada di rahimku. Seperti hari ini, dia mengantarku untuk kontrol ke dokter kandungan. Sebenarnya Mas Zaki ingin aku diperiksa di rumah saja. Lebih aman katanya. Namun, aku memaksanya agar bisa kontrol di rumah sakit."Aku juga ingin bertemu banyak orang dan merasakan udara luar, Mas. Bosan.""Iya, aku mengerti, tapi wartawan belum berhenti mencarimu, Cinta.""Aku yakin kamu pasti bisa membuat aku aman."Mas Zaki hanya menggelengkan kepala menghadapi kerasnya keinginanku. Ke rumah sakit kali ini, Pak Wawan yang menyetir karena Mas Zaki enggan."Aku ingin memanfaatkan waktu bersamamu, Cinta. Kalau nyetir, fokusnya ke jalan, bukan pada istri cantikku ini," ujarnya sambil mencubit pipiku. Tentu saja hal itu membuat wajahku memanas. Pipiku pastinya seperti kepiting rebus saat ini.Di s
Mas Zaki membimbing aku ke kamar setelah Nela dan Pak Wawan memastikan di sana aman. "Tunggu di sini. Nela akan berjaga di pintu," pesannya saat kami sudah di dalam. Aku hanya mengangguk, lalu duduk di bibir ranjang. Menatap punggungnya sampai hilang di balik pintu, lalu mencoba melerai rasa sesak yang tiba-tiba membekap dada. Mencintai Mas Zaki ternyata harus siap menghadapi banyak gelombang. Aku membuka ponsel yang sejak tadi dalam mode silent. Ada banyak pesan masuk yang semuanya kuabaikan. Satu yang menggelitik rasa penasaranku. Sepertinya dari Arsi, tapi kenapa banyak sekali?[Fri, lu baik-baik aja, kan?][Fri, tolong jawab. Gue udah lihat semua berita di TV dan Instagram. Sekarang lu di mana? Gue ke rumah lu, katanya semua orang udah pindah.][Fri, gue baru liat berita lagi. Lu beneran istri keduanya Zaki?]Aku baru hendak menjawab pesan dari Arsi ketika laki-laki itu terlihat online. Belum satu huruf pun aku tuliskan di kolom, dia sudah lebih dulu menelepon. Aku ragu hendak