Share

Sesal

Salsa melangkah ke dalam rumahnya, 'Istana mungil' bergaya modern minimalis yang dibeli Arkan dua tahun lalu. Di sini mereka pernah merajut cinta hari demi hari. Pria tersebut selalu memperlakukan dirinya begitu lembut, perhatian, dan penuh cinta, seakan hanya dia satu-satunya ratu di singgasana hatinya. Nyatanya, Salsa hanya selir karena wanita berkulit kuning langsat itu tak pernah bisa menggantikan posisi Nadia di hati Arkan.

Nadia dan pesonanya. Salsa tidak pernah berpikir bersaing dengan wanita itu, dia cinta pertama Arkan. Mereka menjalin cinta sejak masih berseragam putih abu-abu. Hubungan itu berlanjut hingga di universitas. Di sanalah dia bertemu Arkan. Dia terpesona dengan keramahan serta tindak-tanduk pria itu. Pria bertubuh tinggi-tegap itu tidak pernah merendahkannya walaupun dia seorang mahasiswi miskin.

Perlahan benih-benih cinta tumbuh di hati Salsa. Tetapi, benih itu urung tumbuh ketika dia tahu Arkan memiliki Nadia. Pria itu begitu memuja dan tergila-gila padanya. Wajar saja, sosok Nadia begitu cantik. Dengan tubuh tinggi semampai serta tubuh terawat tanpa cacat, yang membuat dirinya secantik dewi-dewi dalam mitologi Yunani. Bahkan, seujung kuku pun Salsa tak sebanding dengannya.

Salsa membuka kopernya, lalu memasukkan pakaiannya tanpa dilipat. Tidak semua, hanya pakaian yang dibeli dengan uangnya, sementara  barang-barang pemberian Arkan tidak disentuhnya. Sepanjang kegiatannya, wanita bertubuh kurus itu terus menangis. Rongga dadanya  penuh dengan rasa sakit. Kelopak matanya pun tak berhenti menurunkan hujan. Berkali dihapus tetap saja luruh tak tertahankan. Lelah, dia terduduk di tepi ranjang, menatap ke depan melihat pantulan dirinya di dalam cermin. Terlihat di sana seorang wanita bertubuh ringkih dengan wajah berantakan dan mata sembab. Sungguh menyedihkan.

Perlahan mata Salsa jatuh ke perutnya. Dia tersenyum kecut. Tadinya wanita itu berharap, di perayaan ulang tahun pernikahannya akan menjadi momen yang tak akan terlupakan bagi mereka berdua. Rahim Salsa akhirnya dianugerahi Tuhan benih cinta keduanya setelah beberapa tahun menunggu. Meskipun Arkan selalu berujar belum mau memiliki anak, tetapi wanita itu yakin sang suami tidak akan menolak kehadiran buah hati mereka. Bahkan, dia bersemangat membuat pesta kejutan untuk prianya.

Harusnya Salsa tak perlu membeli bahan masakan ke supermarket, harusnya dia menunggu tukang sayur langganannya datang. Namun, wanita itu begitu bersemangat sejak pagi hingga memutuskan berbelanja ke sebuah supermarket besar di dekat kantor Arkan. Dia juga berencana mampir sejenak menyambangi sang suami. Harusnya pria itu sudah pulang dari luar kota. Akan tetapi,  dunia seakan jatuh menimpa kepala Salsa ketika melihat pemandangan di depan mata. Sang suami berjalan sambil merangkul seorang wanita cantik. Dia merasa familiar dengan wajah wanita itu. Benaknya mencoba mengingat di mana pernah bertemu, tetapi tak satu pun informasi datang karena hatinya lebih dulu terasa perih melihat kemesraan keduanya yang tidak menyadari keberadaannya.

Salsa masih berpegang pada kepercayaannya meski hanya setipis kulit ari. Meraih ponsel dari tas selempangnya, lalu menekan tombol satu yang langsung terhubung kepada Arkan. Jantung wanita itu seperti melompat dari tempatnya ketika panggilan itu dijawab oleh pria di depannya. Dia mencoba menolak kenyataan itu, tetapi suara sang pria menyadarkannya itu memang dirinya.

"Hallo, ada apa, Sa?"

Salsa tercekat. "I-iya, Mas. Kamu di mana?"

"Aku masih di luar kota. Maaf belum sempat menghubungimu."

Salsa menekan dadanya. Menghalau ngilu yang kini merambati tubuhnya berkurang. "Mas jadi pulang, 'kan, hari ini?" tanyanya dengan nada serak.

"Maaf, sepertinya tidak bisa. Aku ada pertemuan mendadak."

Saat itu juga Salsa merasa jatuh ke dalam kubangan nestapa. Arkan berdusta! Perlahan panas merambat di matanya mendorong bulir-bilur bening berlinang. Dia masih mencoba meyakinkan diri sendiri jika pria itu mencintainya. "Mas, aku mencintaimu," ujarnya parau.

Tak ada jawaban di seberang sana, tetapi dia bisa melihat dari tempatnya berdiri Arkan sedang tersenyum dan mengecup lembut pucuk kepala wanita di sebelahnya.

"Mas ...." panggil Salsa tercekat, kepayahan wanita bermata bulat itu menahan gejolak di dada yang ingin dilampiaskan.

"Udah dulu, ya. Nanti Mas hubungi lagi."

"Mas, jangan pergi ..." erang Salsa pelan, tetapi pria itu tidak mendengar karena lebih dulu menutup telponnya.

Tertatih langkah Salsa mengikuti Arkan yang keluar dari supermarket, dan masuk ke dalam sedan mewah keluaran terbaru. Wanita itu jatuh terduduk di pelataran parkir memandangi mobil sang suami berlalu. Dia tidak peduli pandangan orang-orang padanya, bagi wanita itu dunianya sudah hancur.

*

Salsa mengerjap, membuat kesadarannya kembali pulih. Pandangan wanita itu menyapu sekeliling kamar. Seakan ingin merekam tempat di mana dia pernah menjadi milik Arkan seutuhnya, di mana pria itu pernah memujanya sepenuh hati. Lalu matanya tertumbuk pada pigura besar yang tergantung di atas kepala ranjang. Di sana terlihat dirinya tengah mengenakan kebaya putih dengan Arkan memeluknya posesif. Keduanya tersenyum lebar. Itu adalah foto pernikahan mereka. Walaupun jauh dari kata mewah untuk standar keluarga Nanyendra, tetapi mereka bahagia.

Sekali lagi Salsa merasakan tusukan ngilu di dada. Merutuki diri yang begitu naif. Harusnya dia sadar tidak akan pernah menjadi yang utama di hati Arkan. Bagi pria itu, cinta hanya berdegup untuk Nadia, rela melakukan apa pun demi wanita itu, bahkan dia sudah mengabdikan dirinya sejak dulu untuk Nadia. Salsa menyesal menilai dirinya terlalu tinggi.

Perlahan wanita itu bangkit, menyeret kopernya keluar kamar. Malam ini dia memutuskan menjauh dari hidup Arkan, membawa benih pria itu di rahimnya. Dia bersumpah tidak akan membiarkan keluarga Nanyendra menyentuh anaknya, bahkan bayangannya sekali pun.

*

Pintu dibuka kasar dari luar. Sosok Arkan muncul dari sana, lalu dengan langkah cepat berderap masuk. Dia berkeliling rumah mungilnya untuk mencari keberadaan Salsa. Jangankan wujudnya, bayangannya saja tidak ditemui Arkan. Pria itu hanya mencium aroma apel, parfum kesukaan wanita tersebut. Lelah, pria itu terduduk di sofa yang ada di ruang tamu. Matanya nanar menjelajahi setiap sudut ruangan. Di sana dia masih bisa melihat bayangan wanita itu. Masih bisa mendengar tawa renyah khas Salsa.

Arkan mengakui dia sangat mencintai Nadia. Wanita itu begitu memengaruhinya. Nadia pemilik hatinya hingga rasanya tak ada tempat untuk wanita lain. Sementara Salsa, dia menyayangi wanita itu. Cinta Nadia begitu menggairahkan dan bergelora, membuat dirinya merasa hidup, sedangkan cinta Salsa membuatnya tenang dengan segala kepolosannya. Ketika segala tekanan dan gundah mengimpit hati, pelukan wanita itu mampu menenangkannya. Kehangatan si wanita membuatnya merasa damai dan kemandiriannya membuat Arkan bisa bersandar di kala rapuh.

"Salsa ... harusnya tidak seperti ini, Sayang. Sulitkah menerima Nadia di sisimu?" gumam Arkan sendu.

Perlahan bulir-bulir bening segera berkumpul di kelopak matanya. Pria itu mendongak, hendak menghalau linangan yang ingin tumpah saat dia berkedip. Bibir Arkan tersenyum kecut. Dia tidak menyangka kehilangan Salsa membuatnya menjadi cengeng.

Dering ponsel membuyarkan lamunan Arkan. Meraih benda pipih itu dan menggeser icon hijau setelah melihat nama Nadia di layar.

"Hallo."

"...."

"Ya. Aku hanya mengemasi barang-barangku."

"...."

"Baiklah. Sebentar lagi aku pulang."

Arkan mengembuskan napas lelah setelah Nadia memutus sambungan telpon. Dia beranjak keluar, menutup pintu, dan memandang sekeliling. Mungkin ini adalah yang terakhir dia ke sini. Pria itu tidak munafik ada yang hilang di sudut hatinya. Setelah ini tidak akan ada lagi pelukan hangat yang menenangkan, tidak ada lagi tempat dia pulang di kala gundah karena dialah yang telah menghancurkan rumahnya sendiri.

Tbc

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status