Fery masih berada di dalam kendaraan sembari menatap gang sempit yang baru saja dilewati. Lelaki itu menghidupkan mesin mobil berniat pergi.“Kalau aku kembali ke Jakarta, bisa-bisa nanti Ara mikir aku gitu lagi sama Ria,” gumamnya seraya mematikan lagi mesin mobil.Lelaki itu mengambil ponsel di saku, lalu menelepon Mirna yang tak lain adalah sekretarisnya. Tidak peduli meski waktu sudah tengah malam.“Mir, saya enggak ngantor, ya beberapa hari. Kerjaan kirim saja lewat e-mail. Untuk rapat dan pertemuan dengan klien, tolong tangani dulu.”“Iya, Pak. Semoga sukses, ya, merayu Bu Ara, hehe ... Semoga cepat baikan,” balas Mirna.“Ck. Apa, sih! Ngejek, kamu? Awas nanti saya potong gaji bulanan kamu, lho!” Fery mendengkus kesal.“Iya maaf, Pak. Saya enggak ngejek, kok. Serius, Bu Ara itu perfect wife menurut saya, tetap pertahankan!” serunya membalas.“Saya akan urus masalah rumah tangga saya sendiri. Sebaiknya kamu kerja yang benar. Ingat, jangan sampai ada gosip tentang yang tadi,” jela
Pagi telah tiba. Tidak! Ternyata sudah siang. Fery baru bangun pukul sembilan, Ara sudah tidak ada di kamar. Selimut bekas pakai Ara sudah rapi terlipat di ujung bed.‘Tega sekali, dia. Sampai enggak membangunkan!’ batin Fery.Lelaki itu mencari-cari pakaian yang semalam dilepasnya, tetapi tidak ada dilantai. Namun, dirinya menyadari bahwa di nakas sudah ada satu setel pakaian bersih. Fery menilik-nilik kemeja garis hijau hitam itu seksama.“Ini ...,” gumamnya mengeryitkan dahi.Setelan jeans dan kemeja itu adalah miliknya, pakaian yang dulu awal menikah yang tidak terbawa pulang ke Jakarta.“Pasti Ara yang sediain,” ucapnya sembari mengulum senyum.Setelah berpakaian, ia langsung ke kamar mandi mencuci muka.“Fer? Baru bangun? Ayo makan dulu,” sapa ibu mertuanya ketika Fery keluar kamar mandi.“I-ya, Bu. Ngomong-ngomong, Ara kemana, Bu?”“Dia lagi ke rumah Erin. Dua hari lagi dia mau menikah. Jadi, Ara kesana bantu-bantu. Ibu juga sebentar lagi mau ke sana.”“Ohh,” sahut Fery hanya m
Suasana canggung melanda hati Fery. Setelah sebelumnya kesalahpahaman tentang Ara dan Rangga sudah terluruskan. Fery terpaksa meminta maaf sebab telah memukulnya beberapa kali hingga memar timbul di wajah tampannya.Ara masih dirawat di puskesmas. Beruntung cepat dibawa, alhasil dirinya tidak sempat mengalami gejala yang disebut Rangga sebelumnya dan sudah boleh pulang saat malam. Sementara Rangga, lelaki itu pulang setelah mengetahui bahwa Ara baik-baik saja.Fery membisu di ambang pintu ruang rawat, sesekali ia melirik Ara yang terlihat kesal.“Ara, sudah. Jangan marah terus, kasian suamimu,’ ucap ibunya pelan.“Ck. Gimana enggak marah, Bu! Mas Fery keterlaluan!”Fery mengeryitkan dahi.“Mas sudah minta maaf kan, sama dia? Udah, dong. Jangan marah lagi, oke?”Ara tidak menjawab, ia malah memalingkan wajah. Ibunya menoleh pada Fery, menatap dengan sedikit senyum. Seolah mengisyaratkan untuk memaklumi anaknya.Di sela kebekuan antara Fery dan Ara, tiba-tiba seseorang datang memanggil
Fery bangun jam tiga pagi karena terganggu dengan sesuatu. Ketika tangannya mengucek mata, ia mendapati bapak mertuanya bernama Pak Wisnu sedang merapikan karung-karung di rumah.“Bapak.”“Eh, Fer. Kamu keganggu, ya.”Pak Wisnu melirik Fery sekilas, tetapi tangannya tak berhenti membereskan karung-karung tipis itu dan mengikatnya dengan tali rafia.“E-enggak, Pak.” Entah mengapa, ketika melihat penampakan sang mertua yang mirip preman itu Fery menciut sekali. Teringat soal permasalahan rumah tangganya, ia sedikit ngilu membayangkan bahwa mungkin Pak Wusnu akan sangat galak padanya.“Kamu ngapain tidur di tengah rumah? Di kamar sana,” suruh Pak Wisnu. Saat itu aktivitas beres-beras karung sudah selesai.“Di kamar gerah, Pak.”Itu hanya alasan. Terpaksa Fery berbohong tentang ia yang tak diizinkan masuk ke kamar oleh Ara.“Oh, gitu.” Pak Wusnu berdiri, menenteng gulungan karung. “Bapak pergi dulu, ya. Kamu bisa tidur lagi yang nyenyak,” sambungnya seraya pergi menuju pintu.Fery dengan
“Ria, kamu apa-apaan?! Lepas, nanti orang-orang pada salah paham!” Fery berusaha melepaskan rangkulan Ria.Perempuan gatal itu mengerucutkan bibir agak kecewa. Ternyata Fery sulit untuk ditaklukkan kembali hatinya.Ara di kejauhan ternyata melihatnya. Seketika ia memiringkan bibir. Jijik dengan pemandangan tersebut.“Ra, Ara, kamu dengar saya?”Ara terkesiap, menoleh pada Rangga yang ada di sampingnya. Tak lama dirinya mengangguk.“I-iya, dengar. Mas, kita langsung pergi sekarang aja gimana? Takutnya kesiangan nanti keburu lupa,” ajak Ara sembari menarik lengan Rangga.Sebenarnya ia ingin menyingkir saja dari tempat itu, malas melihat kemesraan Ria dan Fery.Rangga sedikit aneh akan sikap Ara, tetapi pada akhirnya ia setuju saja.Rencananya hari ini Ara akan pergi ke desa sebelah dengan diantar Rangga. Ia ingin memberikan undangan yang sempat ketinggalan. Ada beberapa.Mereka pun pergi bersama. Dan ketika Fery berhasil melepaskan diri dari Ria, saat melihat ternyata istrinya sudah hil
Pak Wisnu yang baru pulang pun kesal sebab mendengar ada keributan di dalam kamar Ara. Bagaimana tidak? Ia baru saja datang dan sudah disuguhi teriakan, bahkan makian. Membuat Pak Wisnu yang sedang kelelahan pun geram. Bukannya disambut dengan suguhan kopi, malah disambut dengan perkataan kotor.Lelaki yang sudah mulai menua itu berjalan dengan perasaan kesal ke arah kamar Ara. Awalnya Pak Wisnu hanya menyangka Ara sedang bertengkar dengan Fery. Namun, ia sangat kaget ketika melihat pertikaian kedua perempuan di sana, yaitu Ara dan wanita yang tidak diketahuinya. Sementara Fery terlihat sedang berusaha melerai mereka.“Ada apa, ini?!” sentaknya sembari berkacak pinggang.Ketiganya berhenti dan menatap lurus ke arah Pak Wisnu yang terlihat marah.***Meraka bertiga kini berhadapan dengan Pak Wisnu di ruang tengah. Awalnya hanya terdiam. Namun, Pak Wisnu yang bertempramen tinggi itu bertanya penuh penekanan agar diberi penjelasan. “Ara, jawab!”Ara menunduk kala bapaknya berteriak bert
Ara terhenyak di sela lamunannya. Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Bahkan hampir memasuki jam tiga pagi. Entah mengapa hatinya bergetar memanggil nama Fery. Rasa khawatir menghinggapi pikiran tanpa sebab.“Kenapa malah mikirin dia, sih? Dia sekarang pasti lagi sama si Ria!” gumamnya.Ara pun memutuskan untuk tidur kembali.***Esoknya, pukul 07:17 WIB.Rasa khawatir yang Ara rasakan semalam muncul kembali dan ia tidak bisa memungkirinya. Akhirnya, Ara meraih ponsel di atas ranjang, lalu memikirkan apa harus menghubungi suaminya atau jangan. Ketika masih memikirkannya, ponsel Ara berbunyi, ternyata mertuanya yang menghubungi.“Hallo, Ma? Ada apa?”“Ra, Mama mau tanya. Fery balik lagi nggak ke rumah kamu? Semalem, waktu Mama hubungi tiba-tiba panggilan diputus dan gak bisa dihubungi lagi,” paparnya bertanya.Bu Asti sengaja sedikit berbohong dan tidak ingin mengatakan bahwa semalam ia sempat ribut lewat telepon dengan Ria.“Enggak, Ma. Mas Fery semalam pulang dan enggak balik
“Tidak mungkin ....” “Apa Anda mengenalnya?” tanya pihak medis. “Dia ... suami sa-saya,” jawab Ara terbata. Baru saja semalam rasa benci menyelimuti diri, kini berubah menjadi sebaliknya, bahkan ada penyesalan dalam hati, kala melihat sosok Fery yang terbujur kaku di hadapannya. Tetesan demi tetesan air mata mulai mengaburkan penglihatan. Ara sungguh emosional. Ara akhirnya ikut ke dalam mobil jenazah. Selama perjalanan, tangisnya tidak berhenti. Dirinya meraih ponsel dalam saku celana jeans yang dipakai dan langsung menghubungi keluarganya dan juga keluarga Fery sendiri.Namun, di sela tangis yang membuncah itu, tiba-tiba ada pergerakan dalam bodybag. Ara membiarkannya sebab menganggap hanya halusinasi saja. “Uhuk!“ Tiba-tiba suara batuk terdengar, membuat Ara terperangah sesaat sebelum akhirnya ia membuka bodybag yang membungkus tubuh Fery. Wanita itu langsung memeluk sang suami dan segera memberitahukan pada sang supir dan rekannya bahwa Fery masih hidup, bahkan napas dan de