Ara terhenyak di sela lamunannya. Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Bahkan hampir memasuki jam tiga pagi. Entah mengapa hatinya bergetar memanggil nama Fery. Rasa khawatir menghinggapi pikiran tanpa sebab.“Kenapa malah mikirin dia, sih? Dia sekarang pasti lagi sama si Ria!” gumamnya.Ara pun memutuskan untuk tidur kembali.***Esoknya, pukul 07:17 WIB.Rasa khawatir yang Ara rasakan semalam muncul kembali dan ia tidak bisa memungkirinya. Akhirnya, Ara meraih ponsel di atas ranjang, lalu memikirkan apa harus menghubungi suaminya atau jangan. Ketika masih memikirkannya, ponsel Ara berbunyi, ternyata mertuanya yang menghubungi.“Hallo, Ma? Ada apa?”“Ra, Mama mau tanya. Fery balik lagi nggak ke rumah kamu? Semalem, waktu Mama hubungi tiba-tiba panggilan diputus dan gak bisa dihubungi lagi,” paparnya bertanya.Bu Asti sengaja sedikit berbohong dan tidak ingin mengatakan bahwa semalam ia sempat ribut lewat telepon dengan Ria.“Enggak, Ma. Mas Fery semalam pulang dan enggak balik
“Tidak mungkin ....” “Apa Anda mengenalnya?” tanya pihak medis. “Dia ... suami sa-saya,” jawab Ara terbata. Baru saja semalam rasa benci menyelimuti diri, kini berubah menjadi sebaliknya, bahkan ada penyesalan dalam hati, kala melihat sosok Fery yang terbujur kaku di hadapannya. Tetesan demi tetesan air mata mulai mengaburkan penglihatan. Ara sungguh emosional. Ara akhirnya ikut ke dalam mobil jenazah. Selama perjalanan, tangisnya tidak berhenti. Dirinya meraih ponsel dalam saku celana jeans yang dipakai dan langsung menghubungi keluarganya dan juga keluarga Fery sendiri.Namun, di sela tangis yang membuncah itu, tiba-tiba ada pergerakan dalam bodybag. Ara membiarkannya sebab menganggap hanya halusinasi saja. “Uhuk!“ Tiba-tiba suara batuk terdengar, membuat Ara terperangah sesaat sebelum akhirnya ia membuka bodybag yang membungkus tubuh Fery. Wanita itu langsung memeluk sang suami dan segera memberitahukan pada sang supir dan rekannya bahwa Fery masih hidup, bahkan napas dan de
Ara yang hatinya dikuasai kemarahan pun masih terus mencekik Ria dengan sekuat tenaga. Namun, tiba-tiba seseorang masuk dan langsung menarik tangan Ara secara kasar. “Uhuukk! Uhuuk!” Ria terbatuk sambil berusaha menghirup udara sebisanya. Sementara Ara, dia menoleh dan membeku menatap orang yang baru saja menariknya. Orang itu adalah sosok Rangga. Setelah acara akad pernikahan adiknya selesai, Rangga langsung pergi untuk menjenguk Fery seusai berita tentang kecelakaan tersebut sampai di telinganya. “Ara! Kamu apa-apaan?!” sentak Rangga. Ara membatu sambil menatap intens pada mantan kekasihnya itu. “Mas gak perlu tahu, dan seharusnya mas gak usah ikut campur!” ucap Ara dengan nada tinggi, lalu berlalu meninggalkan ruang rawat Ria. Ria masih saja terbatuk, tetapi kini tidak separah tadi. Rangga tidak menghiraukan Ria, ia berlari menyusul Ara yang tampak kesal karenanya. Lelaki itu memperlambat langkahnya kala melihat Ara menyandarkan diri di depan ruang mayat. Baginya, itu adala
Ara tidak sanggup lagi menahan air mata kala mertua dan adik iparnya menangis di hadapan Fery yang terbaring koma. Monitor detak jantung terlihat normal, tetapi membuat wanita itu tidak berhenti cemas. Ingat kata dokter bahwa Fery mungkin saja akan meninggal sewaktu-waktu. Memang belum ada kepastian lelaki itu akan sadar atau tidak. Namun, dalam hati, Ara tidak mampu berbohong. Apakah nanti setelah suaminya sadar, ia bisa merawat suaminya yang kemungkinan besar tidak bisa lagi menjalani kehidupan normal? “Ma, aku keluar dulu. Mau beli air mineral,” sela Ara di tengah isakan mertua dan adik iparnya. Mertuanya menoleh dan mengangguk pelan. Ara langsung saja keluar sebab tidak tahan melihat kesedihan mereka kala itu. Rangga yang masih menemani pun ikut melangkah menyusul Ara yang entah mau pergi kemana. “Ra, tunggu saja di sini. Biar saya belikan,” tawar Rangga. Ara melirik Rangga dengan intens. “Mas, gak usah. Lebih baik kamu pulang dan istirahat. Mertuaku, kan sudah datang,” balas
Ara turun dari ojek di depan gang. Ia berjalan menuju rumahnya dengan mata sembab dan lelah.Malam ini Ara pulang atas saran mertua dan adik iparnya.“Loh, Ra? Kenapa enggak bilang kalau mau pulang? Kan, bisa saya jemput.” Rangga yang melihat Ara melintas saat itu langsung menghampiri, bertanya dengan cemas.Sebenarnya Ara masih agak tak nyaman dengan perhatian Rangga. Bagi Ara itu tak perlu. Ia takut menimbulkan gosip yang berakhir menjadi sebuah kesalahpahaman orang kampung.“Mas Rangga. Oh, iya. Pulang dulu aja, besok pagi mau ke sana lagi. Hari ini mama mertua sama adik ipar yang jaga,” sahut Ara tanpa merespons soal Rangga yang mengatakan bisa menjemput.“Kamu baik-baik saja, kan?”“Aku baik-baik saja, Mas. Mas enggak perlu seperhatian ini,” terang Ara menegaskan.“Saya hanya khawatir, dan ....”“Terima kasih, Mas. Tidak perlu. Maaf kalau menyinggung perasaan Mas. Tapi, aku harap Mas bisa menjaga sedikit sikap. Aku enggak mau perhatian baik Mas menjadi buah bibir tetangga.”Rangg
Pagi-pagi sekali Ara sudah berusaha bangun, membuka mata rapatnya yang sudah dilingkari warna hitam.“Bu, mertuaku titip salam. Juga katanya minta maaf karena enggak bisa menyempatkan datang ke sini karena harus jaga mas Fery di rumah sakit. Vina ... Ibu tahu sendiri dia itu agak pemalu kalau datang sendiri.” Ara berkata pada ibunya yang sedang masak.Ibunya adalah notabene orang yang lempeng-lempeng saja. Meski permasalahan rumah tangga Ara agak serius, wanita setengah tua itu tak ingin mencampurinya sedikitpun, walau sejatinya dalam hati agak marah atas pengkhianatan yang dilakukam Fery menantunya.“Ibu paham. Enggak apa-apa, kan memang sudah seharusnya jagain di sana.”“Makasih, ya, Bu, udah ngertiin Ara. Em ... dan ada lagi yang mau Ara sampaikan. Ini sangat penting, bapak harus tahu, Bu.” Ia sudah berniat ingin mengatakan soal rencana kembalinya mengurus Fery serta perusahaan dan akan segera pergi ke Jakarta.Ibunya menatap lekat. Ia tahu Ara ingin menyampaikan suatu pesan yang s
“Ga, kamu mau kemana malam-malam begini? Bawa tas segala. Jangan-jangan mau kabur, ya?”Rangga terkesiap ketika baru akan mengetuk pintu kamar ibunya. Ia bermaksud untuk meminta izin pergi. Namun, ternyata ibunya telah berada di balik pintu.“Ah, ini, Bu. Rangga mau minta izin pergi ke Jakarta,” jawabnya sambil menggaruk tengkuk.“Jakarta? Ngapain? Kerja? Masa malam-malam gini mau pergi?”Rangga bingung mau bilang apa, tetapi akhirnya lelaki itu mengatakan juga dengan jujur. Dirinya pergi ke Jakarta karena dipinta Pak Wisnu untuk menemani Ara pulang. Itu saja. Namun, Rangga juga mengatakan tidak akan langsung pulang lagi dan akan mencari pekerjaan di sana.Awalnya ibunya ragu, tetapi karena Rangga bersi keras, ia pun akhirnya mengizinkan. Putra dari tiga bersaudara itu pun akhirnya pamit pada ibunya. Tidak lupa dirinya mencium takzim punggung tangan ibunya, lalu mengucap salam.****“Pak! Ngapain, sih nyuruh mas Rangga nemenin Ara ke Jakarta?” sergah Ara.Wanita itu benar-benar marah.
“Aku kesiangan!” teriak Ara sambil melonjak dari sofa.Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Wanita itu benar-benar heboh sendiri. Ia berlari ke kamar mandi hanya untuk menggosok gigi dan mencuci muka saja. Tidak ada waktu untuk mandi.“Gawat! Gawat! Padahal hari ini mau ke kantor!” gumamnya sambil menyisir rambut di depan cermin.Setelah semua selesai, Ara langsung bergegas menuju kendaraan putih milik suaminya di garasi, lalu mengendarainya untuk pergi ke kantor.“Malah kesiangan! Padahal hari pertama aku balik ke kantor! Duh, dasar!” gerutu Ara.Saat masih mengendarai mobil, ponselnya berbunyi. Langsung ia sambar dan menempelkannya di telinga.“Hallo, Ma. Ada apa?” sapa Ara bertanya. Ternyata mertuanya yang menghubungi.Ibu mertuanya hanya memastikan bahwa Ara sudah sarapan dan berpesan agar tidak perlu mampir ke rumah sakit.“Iya, Ma. Ara nggak mampir. Paling nanti malem ke sana, maaf merepotkan,” jawab Ara.Setelah itu, panggilan diakhiri.“Ya ampun, kirain mas Fery