“Ria, kamu apa-apaan?! Lepas, nanti orang-orang pada salah paham!” Fery berusaha melepaskan rangkulan Ria.Perempuan gatal itu mengerucutkan bibir agak kecewa. Ternyata Fery sulit untuk ditaklukkan kembali hatinya.Ara di kejauhan ternyata melihatnya. Seketika ia memiringkan bibir. Jijik dengan pemandangan tersebut.“Ra, Ara, kamu dengar saya?”Ara terkesiap, menoleh pada Rangga yang ada di sampingnya. Tak lama dirinya mengangguk.“I-iya, dengar. Mas, kita langsung pergi sekarang aja gimana? Takutnya kesiangan nanti keburu lupa,” ajak Ara sembari menarik lengan Rangga.Sebenarnya ia ingin menyingkir saja dari tempat itu, malas melihat kemesraan Ria dan Fery.Rangga sedikit aneh akan sikap Ara, tetapi pada akhirnya ia setuju saja.Rencananya hari ini Ara akan pergi ke desa sebelah dengan diantar Rangga. Ia ingin memberikan undangan yang sempat ketinggalan. Ada beberapa.Mereka pun pergi bersama. Dan ketika Fery berhasil melepaskan diri dari Ria, saat melihat ternyata istrinya sudah hil
Pak Wisnu yang baru pulang pun kesal sebab mendengar ada keributan di dalam kamar Ara. Bagaimana tidak? Ia baru saja datang dan sudah disuguhi teriakan, bahkan makian. Membuat Pak Wisnu yang sedang kelelahan pun geram. Bukannya disambut dengan suguhan kopi, malah disambut dengan perkataan kotor.Lelaki yang sudah mulai menua itu berjalan dengan perasaan kesal ke arah kamar Ara. Awalnya Pak Wisnu hanya menyangka Ara sedang bertengkar dengan Fery. Namun, ia sangat kaget ketika melihat pertikaian kedua perempuan di sana, yaitu Ara dan wanita yang tidak diketahuinya. Sementara Fery terlihat sedang berusaha melerai mereka.“Ada apa, ini?!” sentaknya sembari berkacak pinggang.Ketiganya berhenti dan menatap lurus ke arah Pak Wisnu yang terlihat marah.***Meraka bertiga kini berhadapan dengan Pak Wisnu di ruang tengah. Awalnya hanya terdiam. Namun, Pak Wisnu yang bertempramen tinggi itu bertanya penuh penekanan agar diberi penjelasan. “Ara, jawab!”Ara menunduk kala bapaknya berteriak bert
Ara terhenyak di sela lamunannya. Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Bahkan hampir memasuki jam tiga pagi. Entah mengapa hatinya bergetar memanggil nama Fery. Rasa khawatir menghinggapi pikiran tanpa sebab.“Kenapa malah mikirin dia, sih? Dia sekarang pasti lagi sama si Ria!” gumamnya.Ara pun memutuskan untuk tidur kembali.***Esoknya, pukul 07:17 WIB.Rasa khawatir yang Ara rasakan semalam muncul kembali dan ia tidak bisa memungkirinya. Akhirnya, Ara meraih ponsel di atas ranjang, lalu memikirkan apa harus menghubungi suaminya atau jangan. Ketika masih memikirkannya, ponsel Ara berbunyi, ternyata mertuanya yang menghubungi.“Hallo, Ma? Ada apa?”“Ra, Mama mau tanya. Fery balik lagi nggak ke rumah kamu? Semalem, waktu Mama hubungi tiba-tiba panggilan diputus dan gak bisa dihubungi lagi,” paparnya bertanya.Bu Asti sengaja sedikit berbohong dan tidak ingin mengatakan bahwa semalam ia sempat ribut lewat telepon dengan Ria.“Enggak, Ma. Mas Fery semalam pulang dan enggak balik
“Tidak mungkin ....” “Apa Anda mengenalnya?” tanya pihak medis. “Dia ... suami sa-saya,” jawab Ara terbata. Baru saja semalam rasa benci menyelimuti diri, kini berubah menjadi sebaliknya, bahkan ada penyesalan dalam hati, kala melihat sosok Fery yang terbujur kaku di hadapannya. Tetesan demi tetesan air mata mulai mengaburkan penglihatan. Ara sungguh emosional. Ara akhirnya ikut ke dalam mobil jenazah. Selama perjalanan, tangisnya tidak berhenti. Dirinya meraih ponsel dalam saku celana jeans yang dipakai dan langsung menghubungi keluarganya dan juga keluarga Fery sendiri.Namun, di sela tangis yang membuncah itu, tiba-tiba ada pergerakan dalam bodybag. Ara membiarkannya sebab menganggap hanya halusinasi saja. “Uhuk!“ Tiba-tiba suara batuk terdengar, membuat Ara terperangah sesaat sebelum akhirnya ia membuka bodybag yang membungkus tubuh Fery. Wanita itu langsung memeluk sang suami dan segera memberitahukan pada sang supir dan rekannya bahwa Fery masih hidup, bahkan napas dan de
Ara yang hatinya dikuasai kemarahan pun masih terus mencekik Ria dengan sekuat tenaga. Namun, tiba-tiba seseorang masuk dan langsung menarik tangan Ara secara kasar. “Uhuukk! Uhuuk!” Ria terbatuk sambil berusaha menghirup udara sebisanya. Sementara Ara, dia menoleh dan membeku menatap orang yang baru saja menariknya. Orang itu adalah sosok Rangga. Setelah acara akad pernikahan adiknya selesai, Rangga langsung pergi untuk menjenguk Fery seusai berita tentang kecelakaan tersebut sampai di telinganya. “Ara! Kamu apa-apaan?!” sentak Rangga. Ara membatu sambil menatap intens pada mantan kekasihnya itu. “Mas gak perlu tahu, dan seharusnya mas gak usah ikut campur!” ucap Ara dengan nada tinggi, lalu berlalu meninggalkan ruang rawat Ria. Ria masih saja terbatuk, tetapi kini tidak separah tadi. Rangga tidak menghiraukan Ria, ia berlari menyusul Ara yang tampak kesal karenanya. Lelaki itu memperlambat langkahnya kala melihat Ara menyandarkan diri di depan ruang mayat. Baginya, itu adala
Ara tidak sanggup lagi menahan air mata kala mertua dan adik iparnya menangis di hadapan Fery yang terbaring koma. Monitor detak jantung terlihat normal, tetapi membuat wanita itu tidak berhenti cemas. Ingat kata dokter bahwa Fery mungkin saja akan meninggal sewaktu-waktu. Memang belum ada kepastian lelaki itu akan sadar atau tidak. Namun, dalam hati, Ara tidak mampu berbohong. Apakah nanti setelah suaminya sadar, ia bisa merawat suaminya yang kemungkinan besar tidak bisa lagi menjalani kehidupan normal? “Ma, aku keluar dulu. Mau beli air mineral,” sela Ara di tengah isakan mertua dan adik iparnya. Mertuanya menoleh dan mengangguk pelan. Ara langsung saja keluar sebab tidak tahan melihat kesedihan mereka kala itu. Rangga yang masih menemani pun ikut melangkah menyusul Ara yang entah mau pergi kemana. “Ra, tunggu saja di sini. Biar saya belikan,” tawar Rangga. Ara melirik Rangga dengan intens. “Mas, gak usah. Lebih baik kamu pulang dan istirahat. Mertuaku, kan sudah datang,” balas
Ara turun dari ojek di depan gang. Ia berjalan menuju rumahnya dengan mata sembab dan lelah.Malam ini Ara pulang atas saran mertua dan adik iparnya.“Loh, Ra? Kenapa enggak bilang kalau mau pulang? Kan, bisa saya jemput.” Rangga yang melihat Ara melintas saat itu langsung menghampiri, bertanya dengan cemas.Sebenarnya Ara masih agak tak nyaman dengan perhatian Rangga. Bagi Ara itu tak perlu. Ia takut menimbulkan gosip yang berakhir menjadi sebuah kesalahpahaman orang kampung.“Mas Rangga. Oh, iya. Pulang dulu aja, besok pagi mau ke sana lagi. Hari ini mama mertua sama adik ipar yang jaga,” sahut Ara tanpa merespons soal Rangga yang mengatakan bisa menjemput.“Kamu baik-baik saja, kan?”“Aku baik-baik saja, Mas. Mas enggak perlu seperhatian ini,” terang Ara menegaskan.“Saya hanya khawatir, dan ....”“Terima kasih, Mas. Tidak perlu. Maaf kalau menyinggung perasaan Mas. Tapi, aku harap Mas bisa menjaga sedikit sikap. Aku enggak mau perhatian baik Mas menjadi buah bibir tetangga.”Rangg
Pagi-pagi sekali Ara sudah berusaha bangun, membuka mata rapatnya yang sudah dilingkari warna hitam.“Bu, mertuaku titip salam. Juga katanya minta maaf karena enggak bisa menyempatkan datang ke sini karena harus jaga mas Fery di rumah sakit. Vina ... Ibu tahu sendiri dia itu agak pemalu kalau datang sendiri.” Ara berkata pada ibunya yang sedang masak.Ibunya adalah notabene orang yang lempeng-lempeng saja. Meski permasalahan rumah tangga Ara agak serius, wanita setengah tua itu tak ingin mencampurinya sedikitpun, walau sejatinya dalam hati agak marah atas pengkhianatan yang dilakukam Fery menantunya.“Ibu paham. Enggak apa-apa, kan memang sudah seharusnya jagain di sana.”“Makasih, ya, Bu, udah ngertiin Ara. Em ... dan ada lagi yang mau Ara sampaikan. Ini sangat penting, bapak harus tahu, Bu.” Ia sudah berniat ingin mengatakan soal rencana kembalinya mengurus Fery serta perusahaan dan akan segera pergi ke Jakarta.Ibunya menatap lekat. Ia tahu Ara ingin menyampaikan suatu pesan yang s