共有

Luka di Ujung Senja
Luka di Ujung Senja
作者: Novi R

Bab 1

作者: Novi R
last update 最終更新日: 2025-11-08 08:13:39

"Aku tidak bisa menikahimu.”

Kalimat itu menghantam dada Anggi seperti palu godam. Tubuhnya membeku di teras rumah Ardi, sementara dirinya masih menggenggam sebuah kotak cincin beludru merah marun—cincin yang harusnya melingkar di jari manis mereka sebagai tanda sah tujuh tahun hubungan.

Angin bulan Maret menusuk kulit, namun dinginnya tak sebanding dengan rasa yang merayap ke dadanya.

“Ulangi,” suara Anggi gemetar. “Tadi kamu bilang apa?”kata Anggi

Ardi menunduk. Sebuah amplop putih tebal tergeletak di meja. Tangannya meraih amplop itu dan menyodorkannya pada Anggi, tanpa sanggup menatap mata perempuan yang telah menemaninya hampir seperempat hidupnya.

“Aku… akan tanggung jawab semuanya. Kehamilanmu, biaya hidupmu. Tapi aku tidak bisa menikahimu.”ucap Ardi

Amplop itu terayun begitu dekat di hadapan Anggi, seakan cinta bisa ditukar dengan lembaran rupiah.

Anggi menatapnya lama, lalu tertawa. Tawanya getir, patah, seperti kaca yang pecah.

“Ini lelucon? Kau pikir anak di kandunganku ini bisa dibayar?” ucap Anggi sambil membuka kotak cincin, menunjukkan perak berukir nama mereka. “Tujuh tahun, Di. Tujuh tahun aku percaya sama kamu.”ucap Anggi

Ardi memejamkan mata, menahan napas dalam. Tatapannya kemudian beralih ke halaman kosong, menghindari Anggi seperti pengecut yang menanti pengampunan dari Anggi

“Ang… aku dijodohkan. Ayahku sakit keras. Dia minta aku menikahi putri sahabatnya—pemilik perusahaan besar. Ini demi masa depan keluarga.”Ucap Ardi kemudian

“Demi masa depanmu, maksudmu,” sahut Anggi cepat. Suaranya meriap tajam. “Lalu aku dan anak ini apa? Kesalahan? Sampah yang harus dibuang?”tanya Anggi

Ardi mencoba meraih tangan Anggi, namun Anggi menepis kasar. “Aku tetap akan bertanggung jawab—”ucap Ardi.

“Tanggung jawab?” suara Anggi meninggi, matanya basah. “Kalau itu namanya tanggung jawab, kau tidak akan memberiku amplop. Kau akan menikahiku.”

Perempuan itu menghempaskan amplop ke dada Ardi. Uang berhamburan jatuh ke lantai seperti serpihan harga diri. “Ambil uangmu. Aku bukan perempuan murahan yang bisa dibeli.”ucap Anggi dengan emosi

Ardi terdiam, sementara Anggi melangkah mundur dengan air mata yang mulai jatuh ,air mata yang ia tahan selama berminggu-minggu.

“Aku janji, aku akan datang jenguk kamu dan anak kita. Aku akan ada—”Kata Ardi

Anggi menghentak kaki. “Kau tidak akan ada! Kau sudah memilih menjadi suami orang lain. Dan aku… akan memastikan anakku tidak mengenal seorang pengecut sepertimu.”ancam Anggi

Anggi melempar kotak cincin tepat ke dada Ardi, lalu berbalik dan lari. Nafasnya memburu, dadanya sesak, tapi ia tidak menoleh ke belakang sama sekali. Seolah menoleh berarti mengakui dirinya kalah.

Saat Anggi berlari, satu hal yang ia rasakan hanyalah denyut kecil di perutnya.

Maafkan Ibu… tapi kita harus pergi. kata Anggi

TIGA BULAN KEMUDIAN

Berita pernikahan Ardi memenuhi media sosial. Gaun mewah. Senyum bahagia. Caption panjang tentang cinta dan restu keluarga.

Anggi menutup layar ponselnya sambil menahan mual—sebagian karena kehamilan, sebagian karena rasa jijik.

Desas-desus mulai terdengar di kampung kecil itu.

“Makanya jangan pacaran lama-lama kalau nggak jelas.”

“Anaknya siapa nanti? Kasihan orang tuanya.”sindir ibu ibu julid

Ibunya menangis setiap malam, ayahnya sulit menatap mata Anggi. Rasa malu menggerogoti rumah mereka.

Malam itu, Anggi berdiri di depan kamar orang tuanya. Ia mengecup kening ibunya yang tertidur sambil memeluk surat kecil.

“Maaf, Ma. Pa. Anggi janji akan kembali saat sudah sukses.”

Ia melangkah keluar dengan ransel lusuh, membawa sisa uang hasil menjual perhiasan peninggalan neneknya dan tekad untuk bertahan.

Di stasiun bus, ia memandang langit.

Tidak ada yang bisa lebih menyakitkan daripada ini… kan?

KOTA BESAR

Ternyata lebih kejam.

Anggi melamar pekerjaan ke mana pun ia bisa. Toko roti, restoran, pabrik. Namun setiap kali pewawancara melihat perutnya yang mulai membesar, jawabannya selalu sama:

“Maaf, kami akan menghubungi nanti.”

Tidak ada yang menghubungi.

Uang makin menipis. Ia makan sekali sehari. Pusing sering datang. Suatu malam, perutnya seolah memeras isi tubuhnya dari dalam. Lapar. Pusing. Putus asa.

Ia berjalan tanpa tujuan, melewati lorong-lorong kota yang diterangi lampu neon. Lalu matanya menangkap papan nama yang mencolok:

THE RED DRAGON CLUB

Lampunya menyala merah–ungu–biru, berkedip-kedip seperti sedang memanggil.

Anggi berhenti. Ia tahu tempat itu—tempat perempuan dijual seperti barang hiburan. Tempat di mana harga diri bisa hilang hanya dengan satu keputusan.

Ia menelan ludah.

Tidak… jangan sampai seperti ini.

Namun perutnya menegang. Janinnya seakan memberi sinyal: lapar.

“Maaf… Nak,” bisiknya pelan.

Suara musik dari dalam klub memecah pikiran. Tawa laki-laki. Dentuman bass. Gemerlap dunia yang tidak seharusnya disentuh.

Anggi memejamkan mata, air mata menetes.

Jika ia tidak masuk, ia mungkin tidak makan malam ini.

Jika ia masuk, ia mungkin tidak pernah kembali menjadi Anggi yang dulu.

Dengan napas terputus-putus, ia menyentuh gagang pintu.

Perlahan, ia melangkahkan satu kaki ke dalam dunia gelap itu.

Namun suara seseorang dari belakang menghentikan langkahnya.

“HEY! Kamu hamil? Kamu tidak boleh masuk ke sana!”

Anggi tersentak. Ia menoleh dan—

Matanya melebar.

Sosok yang berdiri beberapa meter di belakangnya adalah seseorang yang tidak pernah ia duga akan muncul di kota ini.

Seseorang dari masa lalunya.

Seseorang yang tahu semua rahasianya.

Anggi membeku.

Lantai klub memantulkan cahaya merah darah.

Dan dunia Anggi—sekali lagi—berubah.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Luka di Ujung Senja   Bab 7

    "DI MANA ANAKKU?!”Jeritan itu menggema di seluruh lorong rumah sakit.Anggi terbangun dari koma dengan napas terengah, tubuhnya lemah, selang oksigen menghalangi geraknya. Namun tatapan matanya tajam—penuh kepanikan liar. Ia mencoba bangkit dari ranjang, tapi rasa sakit di perut akibat operasi membuatnya meringis.Perawat menahan bahunya.“Ibu belum boleh bangun, jahitannya baru—”“Aku mau anakku! Sekarang!”Pintu kamar terbuka. Raka masuk tergesa.“Anggi, kamu bangun… puji Tuhan.” Ia mendekat, hendak memegang tangan Anggi.Namun Anggi menepisnya dengan sisa tenaga.“Mana anakku, Raka? Aku dengar alarm NICU barusan. Kenapa kamu tidak ada di sana?!”Pertanyaan itu menghantam dada Raka seperti pisau. Ia menunduk, tak sanggup menatap Anggi.“Bayi kita… sedang kritis.”Anggi terdiam sejenak. Dunia seolah membeku. Tubuhnya menjadi dingin—dingin yang menusuk jantung.“Aku harus ke sana.” Ia mencoba bangun lagi.Raka menahan. “Anggi, kamu baru sadar. Kamu masih—”“AKU IBU NYA!” Anggi berter

  • Luka di Ujung Senja   Bab 6

    Bip.Bip.Bip.Lalu… sunyi.Hanya suara mesin ventilator yang mendorong napas untuk bayi mungil di inkubator. Ruang NICU dingin seperti ruang antara dunia dan kematian.Raka berdiri tepat di depan kaca transparan, menatap tubuh kecil itu. Tubuh bayi perempuan yang belum pernah sekalipun merasakan pelukan ibunya.Tiba-tiba alarm berbunyi keras.“Detak jantung turun!”Dua perawat berlari masuk, mendorong dokter yang menyusul dari belakang. Raka terlonjak, napasnya tercekat.“Dok?! Apa yang terjadi?!”“Bayi mengalami henti napas sesaat!”Raka memukul kaca, putus asa. “Lakukan sesuatu! Tolong selamatkan dia!”Ardi baru muncul di pintu NICU, wajahnya kaget melihat keributan. Ia melangkah mendekat, tapi tubuhnya seakan memberat.Raka ingin berlari masuk, tapi perawat menahan dadanya.“Tidak boleh masuk. Harap tunggu di luar.”Raka meronta. “Itu anakku!”Ardi menahan lengan Raka. “Bukan. Itu anak Anggi.”Suara itu mematikannya.Mata Raka menyala penuh amarah.“Kalau kamu tidak peduli, mundur

  • Luka di Ujung Senja   Bab 5

    Bip. Bip. Bip— BIP BIP BIP!!! Alarm monitor detak jantung bayi memekik dari balik pintu ruang tindakan. Suaranya tajam, menusuk, seakan menyayat udara penuh ketegangan. “Tekanan darah ibu turun!” teriak dokter dari dalam. Raka terpaku. Tubuhnya kaku seperti batu. Yang bisa ia lakukan hanya menatap pintu putih itu, berharap Anggi mendengarnya dari balik dinding besi. Bertahan, Anggi. Tolong bertahan. Ardi berdiri di ujung lorong rumah sakit, basah oleh hujan dan kemarahan. Tatapannya terfokus pada lampu “EMERGENCY SURGERY” yang terus berkedip. Raka tak tahan lagi. “Apa kamu puas sekarang?” suaranya serak. “Jika sesuatu terjadi pada Anggi atau bayinya… itu salahmu.” Ardi tidak menoleh. “Aku tidak memintanya lari.” Raka maju dan mendorong Ardi sampai punggungnya membentur dinding. “Kamu tidak pernah memberi dia pilihan!” Perawat muncul terburu-buru dari ruang tindakan. “Siapa keluarga pasien Anggi Pramesti?” Raka dan Ardi menjawab bersamaan: “Aku!” Perawat menatap keduan

  • Luka di Ujung Senja   Bab 4

    Air ketuban mengalir membasahi kaki Anggi. Di tengah hujan, lampu neon dari klub memantulkan warna merah seperti darah yang tersebar di atas trotoar. Tubuh Anggi gemetar hebat, tangan meremas lengan Raka seperti pegangan terakhir sebelum dunia runtuh. “Rak… tolong… sakit…” Suaranya lirih, terputus-putus. Raka langsung menunduk, wajahnya pucat. “Anggi, ini terlalu cepat. Kamu baru tujuh bulan…” Anggi menahan napas. Gelombang nyeri mencengkram bagian bawah perutnya, memaksa tubuhnya membungkuk. “Aku nggak siap… Rak… bayinya terlalu kecil.” Raka mengangkat Anggi, setengah memeluk, setengah menopang. Nafasnya terburu-buru, panik namun berusaha tenang. “Aku bawa kamu ke rumah sakit sekarang.” Anggi menggeleng lemah. “Uangku… kita nggak punya biaya…” “Aku nggak peduli soal biaya!” Raka hampir membentak. “Yang penting kamu dan bayinya selamat.” Raka menggendong Anggi menuju motor, hujan semakin deras seperti menertawakan keadaan mereka. Tetapi tepat saat ia hendak menghidupkan mes

  • Luka di Ujung Senja   Bab 3

    Hujan semakin deras ketika pintu mobil hitam itu terbuka. Ardi melangkah keluar—jas mahal, rambut rapi, aroma parfum mahal yang dulu Anggi hafal. Cahaya lampu parkiran memantulkan wajah yang pernah ia cintai selama tujuh tahun. Wajah yang kini terasa seperti mimpi buruk. Raka berdiri refleks di depan Anggi, melindungi. “Pergi,” suara Ardi datar. “Ini urusan kami berdua.” “Urusan kalian?” Raka mendengus. “Dua bulan dia berjuang sendirian. Di mana kamu waktu itu?” Ardi menatap Raka tajam, tapi kemudian pandangannya beralih ke perut Anggi yang membesar. “Kamu benar-benar akan kabur membesarkan anakku dengan laki-laki lain?” Nada suaranya merendahkan. “Kalian pikir aku tidak mencari kalian?” Anggi tertawa hambar. “Kau mencari, atau keluargamu takut skandal?” Ardi terdiam. Sebuah jawaban yang tidak terucap sudah cukup menjadi bukti. “Anggi masuk mobil,” perintah Ardi. “Kita bicara di tempat lain.” “Aku tidak ikut denganmu.” Anggi menggeleng. Tangannya mengepal di sisi tubuh. “

  • Luka di Ujung Senja   Bab 2

    "Tunggu!” Suara itu menghentikan langkah Anggi seperti rem mendadak di tengah jalan tol. Ia menoleh pelan—setengah berharap itu hanya halusinasi akibat lapar dan putus asa. Tapi bukan. Sosok itu berdiri di bawah lampu neon merah klub, membuat wajahnya terlihat separuh gelap, separuh muram. Rambutnya sedikit basah karena gerimis. Napasnya terengah seakan sudah berlari jauh hanya untuk mengejar Anggi. Raka. Sahabat SMA yang dulu selalu membela Anggi dari segala ejekan temannya Orang yang pergi ke kota besar mengejar mimpi. Orang yang Anggi kira tak akan pernah ia temui lagi. Dan sekarang, berdiri di depan sebuah klub malam. Di saat Anggi hampir masuk ke tempat yang bisa mengubah hidupnya selamanya. “Kamu ngapain di sini?” suara Anggi patah. Raka mendekat, matanya turun ke perut Anggi yang sudah membuncit. Ia terdiam beberapa detik, seolah mencoba memproses kenyataan yang terpampang jelas. “Kamu hamil?”tanya Raka Anggi menelan ludah yang terasa seperti pecahan

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status