Share

Bab 2

Author: Novi R
last update Last Updated: 2025-11-08 08:13:44

"Tunggu!”

Suara itu menghentikan langkah Anggi seperti rem mendadak di tengah jalan tol.

Ia menoleh pelan—setengah berharap itu hanya halusinasi akibat lapar dan putus asa.

Tapi bukan.

Sosok itu berdiri di bawah lampu neon merah klub, membuat wajahnya terlihat separuh gelap, separuh muram. Rambutnya sedikit basah karena gerimis. Napasnya terengah seakan sudah berlari jauh hanya untuk mengejar Anggi.

Raka.

Sahabat SMA yang dulu selalu membela Anggi dari segala ejekan temannya

Orang yang pergi ke kota besar mengejar mimpi.

Orang yang Anggi kira tak akan pernah ia temui lagi.

Dan sekarang, berdiri di depan sebuah klub malam.

Di saat Anggi hampir masuk ke tempat yang bisa mengubah hidupnya selamanya.

“Kamu ngapain di sini?” suara Anggi patah.

Raka mendekat, matanya turun ke perut Anggi yang sudah membuncit. Ia terdiam beberapa detik, seolah mencoba memproses kenyataan yang terpampang jelas.

“Kamu hamil?”tanya Raka

Anggi menelan ludah yang terasa seperti pecahan kaca.

“Jangan tanya,” suaranya serak. “Aku hanya butuh kerja.”jawab Anggi

“Di dalam?” Raka mendengus tak percaya. “Kamu nggak tahu tempat itu apa?”tanya Raka

“Aku bukan bodoh, Rak.”

Suara Anggi bergetar, tapi sorot matanya keras.

“Tapi aku lapar. Anakku juga.”jawab Anggi

Raka menghela napas pendek, mendekat lebih dekat, seolah ingin menghalangi pintu itu dengan tubuhnya.

“Kalau lapar, kita cari makan. Aku traktir.”Ajak Raka

“Dengan apa?” Anggi tersenyum getir. “Dengan kasihan?”jawab Anggi

Raka diam. Anggi menoleh lagi ke pintu klub. Musik EDM menggema, suara tawa laki-laki menyatu dengan dentuman bass. Dunia di balik pintu itu menawarkan uang—cepat, kotor, sekaligus menghancurkan.

“Aku cuma mau kerja jadi pelayan,” bisik Anggi.

“Kubersihin gelas, sapu lantai. Yang penting aku dibayar.”ucap Anggi

Raka menatapnya lama. “Tidak ada pelayan hamil di klub seperti itu.”

Kalimat itu menghantam Anggi lebih keras daripada penolakan pekerjaan mana pun.

Tiga menit berlalu.

Dan dalam tiga menit itu, antara genggaman pintu klub dan tatapan Raka, hidup Anggi terasa seperti tali yang siap putus.

“Anggi,” Raka bersuara pelan, “kamu ikut aku.”ajak Raka

“Aku tidak mau merepotkan siapa pun lagi.”ucap Anggi

“Kamu nggak merepotkan,” desak Raka, suaranya meninggi. “Kamu butuh pertolongan.”

“Aku butuh uang.”kata Anggi

Anggi mengepalkan tangan.

Raka meraih lengan Anggi — tidak kasar, tapi cukup kuat untuk membuatnya berhenti.

“Aku punya pekerjaan untukmu.”tawar Raka

Kalimat itu membuat Anggi membeku.

“Aku kenal pemilik kafe,” lanjut Raka cepat. “Dia teman kerja. Mereka butuh kasir. Gajinya memang nggak besar, tapi cukup untuk—”

“Raka.”

Anggi memotong dengan suara lemah.

“Mereka pasti menolak saat tahu aku hamil.”kata Anggi

“Kalau aku yang minta, mereka akan terima.”jawab Raka

Anggi menatap sahabat lamanya itu. Mata Raka masih sama: jernih, tenang, penuh keyakinan. Tidak seperti mata Ardi, yang penuh alasan dan pengecut.

Namun Anggi terlalu sering disakiti janji manis.

“Kalau mereka tahu aku hamil tujuh bulan,” suaranya pecah, “mereka tetap akan menolak. Semua orang selalu menolak.”ucap Anggi

Raka menggenggam kedua bahu Anggi, membuatnya menatap lurus ke mata.

“Aku tidak akan membiarkan kamu jatuh di tempat seperti ini.”kata Raka

Dan itu—ketulusan itu—justru membuat air mata Anggi pecah.

Untuk pertama kalinya sejak ia meninggalkan rumah, ia menangis bukan karena sakit, tapi karena ada seseorang yang masih memandangnya sebagai manusia.

Raka melepas jaketnya dan menyampirkannya ke tubuh Anggi yang gemetar. “Ayo. Aku antar ke tempat yang aman dulu.”ajak Raka

“Aku nggak punya tempat tinggal…”ucap Anggi

“Sekarang kamu punya.”ucap Raka

Anggi menggeleng cepat. “Gila ya kamu? Nanti orang-orang salah paham.”kata Anggi

Raka tersenyum miring. “Anggi, aku lebih peduli kamu makan daripada apa kata orang.”kata Raka

Anggi menunduk. Perutnya bergerak pelan, seperti mendorong dari dalam.

Seakan bayinya tahu: ini kesempatan terakhir.

Dan tiba-tiba…

BRAK!

Pintu klub terbuka keras dari dalam. Seorang security bertubuh besar keluar sambil menatap Anggi dan Raka dengan curiga.

“Kalian mau masuk atau enggak? Kalau cuma drama, minggir!”

Anggi terperanjat. Raka refleks menarik Anggi ke belakang, menghalangi security itu.

“Kami mau pergi,” kata Raka tegas.

Security melirik Anggi dari atas sampai bawah—perutnya, wajahnya, tubuhnya yang bergetar. Ia mendengus.

“Kalau kamu butuh uang cepat, balik lagi aja,” katanya sinis. “Yang kayak kamu biasanya nggak punya pilihan.”

Kata-kata itu menusuk seperti belati.

Anggi menunduk. Lututnya melemas. Ia hampir menangis lagi.

Tapi Raka meraih tangannya.

“Kamu salah,” Raka menatap security itu tajam. “Dia punya pilihan.”

Raka menggenggam tangan Anggi, membawanya pergi dari lampu merah itu. Hujan turun tipis, menerpa wajahnya.

Untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu…

Anggi merasa ada yang menuntun, bukan melepaskan.

Beberapa menit kemudian, mereka tiba di tempat parkir motor. Raka meminjamkan helm.

Namun sebelum Anggi naik, Raka berkata lirih:

“Mulai malam ini, kamu tidak sendirian.”

Anggi menatapnya.

“Aku takut, Rak.”

“Aku tahu.”

Raka menyalakan motor. Lampu depan menyala, menerangi jalan gelap.

“Tapi selama kamu sama aku, kamu aman.”

Namun saat Raka hendak membawa motor keluar dari parkiran…

sebuah mobil hitam berhenti di depan mereka.

Jendela mobil turun.

Seseorang menatap Anggi dari dalam.

Dan wajah itu… membuat darah Anggi berhenti mengalir.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Luka di Ujung Senja   Bab 51

    Pernikahan tidak mengubah ritme hidup secara drastis. Tidak ada bulan madu panjang, tidak ada rumah baru yang langsung terasa sempurna. Anggi tetap bangun pagi untuk menyiapkan Rafa, tetap mengecek email kantor sebelum matahari benar-benar naik. Rendra tetap menyesap kopi dengan kebiasaan lamanya, hanya kini ada dua cangkir di meja. Yang berubah adalah kesadaran: mereka tidak lagi berjalan sejajar tanpa ikatan. Kini langkah mereka saling terkait. Dan keterikatan itu, pelan-pelan, menguji batas. Suatu sore, Anggi pulang lebih lambat dari biasanya. Rapat molor, klien meminta revisi mendadak. Ketika ia sampai rumah, Rafa sudah tertidur. Rendra menunggunya di ruang tamu, lampu temaram. “Kamu belum makan,” kata Rendra. “Aku nggak lapar,” jawab Anggi sambil melepas sepatu. Nada suaranya datar. Terlalu datar. Rendra memperhatikannya. “Kamu capek.” Anggi mengangguk, tapi tidak duduk. Ia mondar-mandir kecil, lalu berhenti. “Ren… aku takut kehilangan diriku lagi.” Kalimat itu jatuh ti

  • Luka di Ujung Senja   Bab 50

    Enam bulan setelah promosi itu, hidup Anggi terasa penuh. Terlalu penuh, jika ia jujur pada dirinya sendiri. Pagi dimulai lebih awal, malam berakhir lebih larut. Ada rapat yang tak bisa ditunda, ada tugas sekolah Rafa yang harus diperiksa, ada kontrol dokter yang menuntut perhatian penuh. Di sela-selanya, ada Rendra—hadir tanpa meminta, membantu tanpa menghitung. Anggi mulai belajar satu hal yang dulu ia anggap kelemahan: meminta bantuan. Namun ada satu keputusan yang terus ia tunda. Pernikahan. Bukan karena Rendra mendesak. Justru karena ia tidak pernah mendesak sama sekali. Dan diam itu membuat Anggi harus berhadapan dengan suaranya sendiri. Suatu malam, saat hujan turun tipis, Anggi berkata tiba-tiba, “Rendra… kamu pernah ingin menikah lagi?” Pertanyaan itu menggantung di ruang tamu kecil mereka. Rendra menatap Anggi, tidak terkejut. “Pernah. Tapi bukan karena status. Karena ingin pulang ke orang yang sama.” Anggi menunduk. “Aku takut.” “Apa yang paling kamu takutkan?” tan

  • Luka di Ujung Senja   Bab 49

    Keberanian yang tenang itu tidak datang sebagai sesuatu yang selalu terasa kuat. Kadang ia hadir justru sebagai kelelahan yang diterima, bukan dilawan. Anggi belajar itu pelan-pelan, setelah operasi Rafa, setelah malam-malam panjang di rumah sakit berubah menjadi rutinitas kontrol dan obat-obatan kecil yang harus diminum tepat waktu. Hidup tidak kembali “normal”. Ia menjadi versi baru dari normal—lebih rapuh, tapi juga lebih jujur. Rafa kembali ke sekolah dengan jadwal terbatas. Ia tidak boleh terlalu capek, tidak boleh ikut olahraga berat. Anak itu menerima semua larangan dengan kedewasaan yang membuat Anggi sering menoleh diam-diam, menahan rasa bersalah. Suatu sore, Rafa pulang dengan wajah murung. “Teman-teman latihan bola,” katanya pelan. “Aku cuma nonton.” Anggi jongkok di depannya. “Kamu sedih?” Rafa mengangguk. “Sedikit. Tapi aku juga senang… soalnya aku masih ada.” Kalimat itu membuat napas Anggi tersendat. “Ibu minta maaf,” ucapnya lirih, refleks lama yang masih ters

  • Luka di Ujung Senja   Bab 48

    Beberapa bulan setelah pernikahan itu, Anggi menerima kabar yang membuatnya terdiam lama di depan layar ponsel. Pesan singkat dari nomor rumah sakit. “Ibu Anggi, mohon datang. Ini tentang Rafa.” Jantungnya seperti berhenti sesaat. Ia berlari—tanpa sempat berpikir. Di rumah sakit, dokter menjelaskan dengan suara tenang namun tegas: Rafa mengalami kelainan jantung bawaan yang baru terdeteksi. Tidak langsung berbahaya, tapi perlu pemantauan ketat. Mungkin operasi di masa depan. Anggi mendengarkan dengan kepala berdenyut. Kata-kata dokter seperti gema jauh. Yang ia lihat hanya Rafa terbaring di ranjang kecil, wajahnya pucat tapi tetap tersenyum saat melihat ibunya. “Bu, aku nggak apa-apa,” kata Rafa lirih. Kalimat itu mematahkan sesuatu di dalam diri Anggi. Ia mengangguk, menggenggam tangan anaknya erat-erat. “Iya. Ibu di sini.” Malam itu, Anggi duduk sendirian di koridor rumah sakit. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena ketakutan yang terlalu lama ia kenal. K

  • Luka di Ujung Senja   Bab 47

    Beberapa bulan setelah pernikahan itu, Anggi menerima kabar yang membuatnya terdiam lama di depan layar ponsel. Pesan singkat dari nomor rumah sakit. “Ibu Anggi, mohon datang. Ini tentang Rafa.” Jantungnya seperti berhenti sesaat. Ia berlari—tanpa sempat berpikir. Di rumah sakit, dokter menjelaskan dengan suara tenang namun tegas: Rafa mengalami kelainan jantung bawaan yang baru terdeteksi. Tidak langsung berbahaya, tapi perlu pemantauan ketat. Mungkin operasi di masa depan. Anggi mendengarkan dengan kepala berdenyut. Kata-kata dokter seperti gema jauh. Yang ia lihat hanya Rafa terbaring di ranjang kecil, wajahnya pucat tapi tetap tersenyum saat melihat ibunya. “Bu, aku nggak apa-apa,” kata Rafa lirih. Kalimat itu mematahkan sesuatu di dalam diri Anggi. Ia mengangguk, menggenggam tangan anaknya erat-erat. “Iya. Ibu di sini.” Malam itu, Anggi duduk sendirian di koridor rumah sakit. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena ketakutan yang terlalu lama ia kenal. Ke

  • Luka di Ujung Senja   Bab 46

    Anggi mulai merasakan perubahan pada dirinya sendiri. Bukan perubahan besar yang bisa ditunjuk dengan jari, melainkan pergeseran halus di dalam dada. Ia lebih sering tertawa—bukan karena terhibur, tapi karena merasa aman. Ia mulai bercerita tanpa merasa harus menyensor setiap kalimat. Dan yang paling mengejutkan: ia tidak lagi merasa bersalah ketika bahagia. Namun justru di titik itulah ketakutan lama menyelinap. Suatu malam, setelah Rafa tertidur, Anggi duduk di meja makan sambil menatap secangkir teh yang sudah dingin. Rendra baru saja pulang setelah mengantar mereka makan malam. Tidak ada yang salah dengan malam itu—dan itulah yang membuat Anggi gelisah. “Kamu kenapa?” tanya Rendra sebelum pamit, seolah membaca raut wajahnya. “Tidak apa-apa,” jawab Anggi refleks. Kebohongan kecil itu menggantung di udara. Setelah pintu tertutup, Anggi memejamkan mata. Ia mengenali perasaan ini. Ketika semuanya mulai terasa baik, otaknya mencari ancaman. Seolah kebahagiaan selalu harus dibayar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status