Share

Bab 3

Kutekan tombol jawab. 

ya’lamu ma baina aidihim wa ma khalfahum, wa la yuhituna bisyai’ im min ilmihi illa bima sya... 

Kudengar potongan ayat kursi. Ica memang sering mendengar murottal. 

Bulu kudukku berdiri. Tiba - tiba aku menangis lagi. Terasa sesak didada. Ada yang bergejolak dari hati yang paling dalam. 

"Assalamualaikum Mbak. Gimana kabarnya?"

Tak kujawab salam Ica. 

"Kabar baik Ca."

"Mbak tau ga Ibu belum sadar juga sampai hari ini."

Aku diam. 

"Mbak, Mbak punya adik empat orang. Aku tiga orang. Ingat ga dulu kita bilang sama Ibu, jatah kita 1 satu orang. Aku sama Santi dan Mbak sama Fizi. Biar Doni sama Ibu aja karena ga mungkin lagi sama Mbak Rika. Mbak, kalau Mbak nikah sekarang gimana kita menepati janji kita sama Ibu?"

Aku diam. Hanya suara isakan ku yang terdengar. 

"Mbak, nangis ga menyelesaikan masalah loh. Ga ada gunanya Mbak nangis. Mau nangis darah juga ga ada gunanya Mbak. Mbak pulang ya sama Mas Rey."

"Mas Rey marah Ca. Mbak ga berani ngomong sama Mas Rey."

"Ga apa Mbak. Biar Ica yang bilang sama Mas Rey. Tapi Mbak beneran pulang ya. Janji ya Mbak."

"Iya Ca."

"Yaudah Ica matikan teleponnya ya biar Ica telepon Mas Rey dulu. Assalamualaikum."

Aku diam. 

"Jawab salamku donk Mba."

"Wa'alaikum salam."

Kembali aku bergabung ke teras. 

"Minum dulu Ras!" Bu Murni menyodorkan teh. Aku langsung meneguknya sampai habis. 

Kulihat gelas teh Mas Rey masih terisi penuh. 

"Kita pulang kan Ras."

Tadi aku sudah memutuskan akan pulang setelah Ica menelepon. Tapi sekarang aku ragu lagi. Kenapa bisa seperti ini? 

"Tadi Ica bilang kamu mau pulang Ras. Kenapa sekarang ragu lagi?"

Aku juga berpikir. Kenapa aku seperti ini? 

"Ras, kamu tau ga tadi perjalanan kesini Mas diancam sama dia!"

Mas Rey menunjuk Mas Ifan. 

"Dia bawa Mas mutar - mutar dulu. Takut Mas bawa polisi. Jadi dia mutar dulu buat mastiin ga ada polisi bareng Mas. Dan tadi tau ga Bapak ini bilang apa sama Mas. Jangan berani macam-macam disini kalau masih mau hidup. Ya Mas ketawa donk. Bapaknya mungkin berpikir dia malaikat Izrail ya sampe bisa ngomong gitu. Serem ihhh. Atau jangan - jangan kamu dikasih sesuatu Ras!"

Mas Rey menatap Bu Murni dan Pak Danar penuh selidik, dan yang ditatap berubah pucat. Mas Ifan tetap menunduk. 

"Ras, kamu ikut pulang atau gak?"

Suara Mas Rey meninggi. 

"Gak Mas. Aku tinggal aja."

Mas Ifan sekeluarga tersenyum lega dan Mas Rey membuang nafas menahan marah. 

"Kamu yakin Ras? Kalau kamu takut ga dikasih Bapak Ibu ini, Mas bisa menelpon polisi."

"Yakin Mas. Sampaikan maaf Laras untuk Mbak Rika dan juga Ibu Bapak."

"Yasudah, kalau ini keputusan kamu Ras. Tapi ingat, jika nanti kamu kenapa - kenapa jangan cari kami. Karena ini pilihan kamu sendiri. Kami angkat tangan mulai sekarang!"

Mas Rey beranjak hendak pulang. 

"Mari Mas saya antar lagi." Mas Ifan menawarkan diri dengan senyum lebar. 

Ponselku bergetar lagi. 

"Maafin Mbak ya Ca. Mbak ga bisa pulang sama Mas Rey."

"Uda hamil berapa bulan Mbak?"

Aku diam. 

"Berapa bulan Mbak?"

Suara Ica meninggi. 

"Mbak ga tau Ca."

Ica terdiam. 

"Oke. Yasudahlah. Assalamualaikum."

Ica mengakhiri panggilan. 

"Ayo masuk Mbak. Istirahat aja dulu. Nanti sore aja kita belanja ke grosir depan." Bu Murni membimbingku masuk kerumah. Aku langsung menuju kamar. Kutarik nafas dalam - dalam, kutenangkan pikiranku, dan bayangan Ibu hilang dari pikiranku. 

***

"Ehh Bu Murni. Sama siapa Bu? Kok aku baru lihat?" Sri, pemilik grosir bertanya penuh selidik. 

"Calon mantuku Sri. Tadi malam tiba dirumah sama Ifan!" Bu Murni menjelaskan dengan penuh semangat. 

"Cantik. Bukan orang sini ya Bu!" Sri bertanya lagi. Aku hanya senyum ramah sambil mengikuti Bu Murni dari belakang. 

"Begini Sri. Aku mau beli keperluan untuk pesta nanti. Tapi seperti biasa ya. Bayarnya tunggu panen dulu."

"Pesta? Kapan Bu Mur?"

"Nanti aku antar undangan deh. Coba liat ini Sri. Kira-kira uda cukup belum ya?"

Bu Murni menyerahkan catatan yang sudah disiapkan entah sejak kapan. 

"Mmm ini beras sama gula sepertinya masih kurang deh Bu Mur."

"Yaudah Sri tolong atur aja ya. Bon nya nanti aku ambil. Tapi bayarnya tunggu panen ya Sri."

"Aman Bu Mur."

"Ayo Ras. Kita ke warung itu dulu. Pesan perbumbuan."

Bu Murni menarik tanganku dengan semangat empat lima. 

Sepanjang jalan aku berpikir. Kok bisa bisanya ya, semua diserahkan ke pemilik grosir. Apa ga takut ditipu. Ahh bodo amat. Yang penting sebentar lagi aku udah sah jadi istri orang yang kucintai. 

Allahuas-aamad.

Lam yalid wa lam yulad

Wa lam yakul lahu kufuwan ahad. 

Aku mendengar potongan Surah Al Ikhlas saat melewati rumah bercat hijau dengan gaya sederhana. Aku merinding. Entah kenapa, sejak tiba dirumah Mas Ifan tiap kali aku mendengar lantunan ayat-ayat Al-qur'an, bulu kudukku selalu merinding. Dan tiba-tiba aku menyadari satu hal. Shalat yang tidak pernah kutinggalkan, begitu tiba dirumah Mas Ifan, aku belum shalat sekalipun. Begitu juga dengan Mas Ifan dan keluarga. Ingin nyebut, tapi lidahku kelu. Isi kepalaku hanya Mas Ifan dan Mas Ifan. Aku bahkan hampir melupakan kedatangaan Mas Rey untuk membawaku pulang. Aku juga tidak menanyakan apakah Mas Rey pulang dengan selamat atau tidak. 

"Ini rumah pak Ustadz. Biasanya empat kali seminggu ngajar anak-anak ngaji di mesjid itu!" Bu Murni menjelaskan. Tampak Bu Murni mempercepat langkahnya. 

"Ayo Ras, buruan. Nanti warungnya keburu tutup."

Bu Murni langsung menarik tanganku. 

Di dalam rumah Pak Ustadz, 

"Ayah, kenapa orang yang dibelakang Mbah Murni pakaiannya hitam semua?" 

Anak pak Ustadz yang baru tiga tahun menunjuk Bu Murni. 

"Kok tiga orang nak? Itu kan cuma dua orang. Coba perhatikan sekali lagi."

"Itu tiga orang Ayah."

Pak Ustadz diam. 

Setelah perbumbuan selesai, aku kembali kerumah bersama Bu Murni. 

"Eh Bu Murni, dari mana bu? Eh sama siapa ini?" sapa Pak Ustadz yang berdiri di pekarangan rumahnya. Tapi pandangan Pak Ustadz tak lepas dariku dan ke arah belakangku. Ah mungkin karena beliau seorang ustadz jadi tak elok jika harus menatap Bu Murni. 

"Dari kedai depan Pak Ustadz. Ini calon mantu saya. Baru tiba semalam!" Bu Murni seperti tak suka dengan Pak Ustadz. 

Pak Ustadz menatapku sangat tajam. Aku bingung. 

"Mari Pak Ustadz!" Bu Murni langsung menarik tanganku. 

"Mbak jangan lupa shalat ya. Ngaji, banyakin shalawat." 

Pak Ustadz setengah berteriak kepadaku. Aku menoleh. Ada jejak kekhawatiran diraut wajah pak Ustadz. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status