Share

Bab 4

Pov Ita (Ibu Laras) 

Drrtttt drrttttt

Ponselku bergetar diatas meja mengajar ku. Ku lirik nama yang tertera, Laras. Anak keduaku yang saat ini sedang bekerja di Salon, dipulau seberang. 

"Assalamualaikum, halo nak."

"Ma, aku mau nikah. Restuin ya."

Tak ada jawaban salam atau sekedar basa basi dari Laras. 

"Alhamdulillah anak ku mau nikah." jawabku sekenanya. 

"Beneran Bu, aku udah di jalan mau kerumah calon menantu Ibu."

"Kamu kalau bercanda jangan kelewatan Ras."

"Aku ga bercanda Bu. Sumpah deh."

"Yang benar kamu Ras. Kamu mau nikah tapi kok kayak mau beli sayur." 

"Maaf Bu, ga sempat nelpon Ibu. Tapi ini beneren kami udah di jalan."

Tiba-tiba kepalaku berputar. Dan brukkkk aku ambruk. Hal terakhir yang aku lihat, anak didikku berlari sambil berteriak memanggilku, dan aku merasakan aliran darah di dadaku tidak terbendung. 

Bau aroma obat menusuk penciumanku. Perlahan-lahan aku membuka mata, dan terkejut ketika melihat aku terbangun dirumah sakit. 

"Alhamdulillah udah siuman Bu!"

Pak Rahmat, suamiku seketika menggenggam tanganku. Kemudian menghela nafas dengan berat. 

Setelah kesadaranku terkumpul,

"Pak, ini udah jam berapa? Kenapa aku disini? Aku kan harus mengajar."

"Ibu udah ga sadarkan diri selama sehari semalam bu. Ini hari kedua kita dirumah sakit ini. Alhamdulillah Ibu udah siuman!"

Mataku terbelalak. Kuputar kembali memoriku. Aku menerima telpon dari Laras dan kemudian aku ambruk. 

"Laras gimana Pak? Lakukan sesuatu biar pernikahan Laras di tunda dulu."

"Ibu istirahat dulu. Jangan banyak pikiran. Nanti bisa drop lagi."

"Tapi gimana dengan Laras Pak."

Tak ada jawaban dari suamiku. Mungkin apa yang kurasakan, begitu juga yang dirasakan suamiku. Laras ingin menikah, minta ijin tapi seperti hendak membeli sayur. Bahkan Laras juga belum pernah mengenalkan calon suaminya kepada kami. Apakah dia berasal dari keluarga baik-baik? Bagaimana dengan agamanya? Apakah dia bisa menghargai wanita? Apa yang membuat Laras bisa senekat ini? Berbagai pertanyaan kini menghantuiku. 

Ahh tapi jika calon suami Laras dari keluarga baik - baik, tak mungkinlah mereka menikah dengan cara seperti ini. Ya Allah, apa caraku salah dalam mendidik anak-anakku selama ini? 

"Bu, ini Mbak Rika nelpon!"

Bapak menyodorkan hp. 

"Assalamualaikum Bu. Alhamdulillah Ibu udah siuman."

"Wa'alaikum salam. Ia Mbak. Alhamdulillah. Laras Mbak. Gimana Laras?"

"Bu, Ibu sayang ga sama kami? Anak-anak Ibu yang lain dan juga cucu Ibu?"

"Apaan sih kamu Rika. Ya pastilah."

"Bu, janji ya bu jangan pingsan lagi. Masih ada kami kok sayang sama Ibu."

"Ada apa sih Ka?"

"Laras ga mau pulang Bu. Mereka ga mau menunda pernikahannya. Tadi Mas Rey baru tiba dari sana. Kata Mas Rey, Laras nurut aja apapun yang mereka bilang. Ica juga udah berusaha bujuk Laras Bu. Tapi Laras tetap ga mau pulang dulu."

Aku terdiam. 

"Ka, apakah Laras hamil duluan?"

"Ga tau Bu. Tadi kata Ica, pas Ica tanya hamil brapa bulan Laras jawab ga tau."

Hening. 

"Bu. Ibuuu..."

"Ia Ka. Ibu disini. Ibu ga apa apa."

"Yasudah. Ibu istirahat aja ya. Jangan terlalu dipikirkan. Anak anak Ibu masih banyak. Bukan dia aja. Ibu istirahat ya. Jangan lupa minum obat. Rika tutup dulu ya Bu. Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam."

Hancur hatiku. Hamil??? Mungkinkah? Seorang Laras yang tidak pernah pacaran? Anak ku yang paling kalem diantara anak anakku yang lain? Aku tak percaya. Tapi kenapa Laras ga mau menunda pernikahannya? Apa benar dia hamil? 

Kubuka aplikasi hijauku, berharap ada sepatah kata dari Laras. Tapi nihil. Bahkan menanyakan kabar apakah aku baik baik saja tak ada. Laras, ada apa dengan mu nak? 

Kukuatkan hatiku. Bagaimana pun aku harus menerima kenyataan ini. 

Teringat adikku Ani. Selama kuliah dan sampai Laras kerja di salon, Laras tinggal dirumah Ani. Mungkin Ani tau sesuatu. Ani, betapa malunya aku bahkan untuk berbicara dengan mu. 

Tiba-tiba Ani menelpon. 

"Assalamualaikum, ia An."

"Wa'alaikum salam. Sehat Mbak Ita?"

"Alhamdulillah sehat An. Langsung saja An. Mbak ga bisa berbasa-basi."

"Mbak masih di Rumah sakit?"

"Ia An. Tapi bentar lagi mau pulang aja lah. Nunggu Bapaknya anak-anak pulang dr mesjid. An, Laras ada sesuatu yang mencurigakan ga selama disana?"

"Itu lah Mba. Selama dia disini ga ada yang aneh. Aku juga kaget banget Mbak pas Rika tadi nanya soal Laras. Cuma kata Tia, seminggu yang lalu Laras kesini ngantar piring, gelas dan perkakas yang dia pake di salon. Diantar sama laki-laki. Tapi laki-laki itu nunggu di depan sana Mbak. Trus Laras juga langsung pergi. Tia bilang tunggu aku pulang aja baru Laras pergi lagi. Tapi Larasnya ga mau. Buru-buru katanya."

Ahh iya aku baru ingat. Sebulan terakhir ini Laras tinggal di salon lantai 2. Karena salonnya bisa juga untuk tempat tinggal. Laras pernah jatuh dari motor karena pulang malam. 

"Maaf ya An. Pada akhirnya Laras seperti itu. Mbak malu padamu An. Mbak malu. Sia-sia semua yang Ani berikan pada Laras. Bahkan Laras pun seperti tidak menghargaimu An. Maafkan Mbak An. Dan juga Laras."

"Sudahlah Mba. Entah salahnya dimulai dari mana juga kita ga tau Mbak. Yang pasti kita sudah berusaha memberikan yang terbaik untuk Laras. Laras juga udah dewasa. Udah bisa berpikir. Seandainya aku ga bolehin dia tinggal di salon mungkin juga ga seperti ini Mbak. Tapi apa gunanya kalau kita berandai-andai lagi. Rey juga udh dari sana kan, tetap aja Laras ga mau pulang dulu. Ini mungkin pilihan dia Mbak."

"Maafin Mbak An."

"Udah toh Mbak. Nanti lebaran lagi kita maaf-maafan. Yasudah Mbak, tadi An cuma mau menanyakan kabar Mbak aja. Alhamdulillah udah siuman. Saya tutup ya Mbak. Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam An."

Aku bersiap-siap untuk pulang. Sembari menunggu Pak Rahmad, kurapihkan kasurku, kubereskan pakaianku, obatku dan semuanya. Pada hal dokter belum menyuruh pulang. Tapi aku tak bisa berdiam diri diranjang ini. Ada anak-anak didikku yang menunggu kehadiranku disekolah. Dan aku juga merasa sudah merasa fit seperti sedia kala. 

"Loh Ibu. Ibu mau kemana?" kata Dokter yang baru saja masuk. 

"Mau pulang saja Dok. Uda ga merasa sakit lagi."

"Saya cek dulu ya Bu, apakah Ibu sudah bisa pulang atau belum."

'Toh aku juga cuma pingsan aja Dok' Batinku. 

"Tensinya normal ya Bu, demamnya juga udah turun. Ibu udah bisa pulang ya. Tapi harus banyak istirahat ya Ibu. Jangan banyak pikiran juga."

'Gimana saya ga banyak pikiran Bu Dokter, anak saya nikah tapi kayak beli sayur' Batinku lagi. 

"Iya Dok. Makasih banyak ya Dok."

"Sama-sama Ibu."

***

Dirumah, 

"Pak, gimana Laras Pak?"

Aku memecah keheningan. 

Bapak yang sejak tadi diam aja, kaget mendengar suaraku. 

Apa yang Pak Rahmat pikirkan? 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status