Bab 2

Kepatuhanku mengejutkan keluargaku. Setelah hening sejenak, ayahku akhirnya bicara.

"Gitu dong. Kita kan keluarga, bicarakan saja. Semua yang kulakukan itu demi kebaikanmu sendiri."

"Ya, aku tahu."

Aku mengangguk patuh, senyum kaku terlukis di bibirku.

Melihat aku tampak benar-benar tidak peduli, mereka akhirnya lega dan membawa Wulan kembali ke ruang tamu.

Langkahku terhenti sejenak, lalu berlanjut menuju kamar di lantai atas.

Saat mendekati tangga, seseorang menarik pergelangan tanganku.

Elian muncul di sampingku, berbisik di telingaku, "Kamu beneran nggak marah?"

Nada khawatir itu membuat air mata kembali mengalir dari mataku.

Di dalam hatiku penuh rasa sakit, tapi aku hanya menggelengkan kepala dalam diam, menahan air mata dan tidak mampu bicara sedikit pun.

Elian pun tersenyum senang.

"Sudah kuduga kamu bisa pengertian, nggak marah karena masalah sepele lagi. Aku mau bicara sesuatu ...."

Dia memalingkan kepala, menghindari tatapanku.

"Pernikahannya kita tunda minggu depan saja. Aku sudah janji sama adikmu, kalau dia sudah 18 tahun, aku harus temani dia pergi ke Islandia buat lihat aurora. Pestanya sudah dirayakan, tapi anak itu ganggu aku terus minta aku menepati janji. Jadi, aku niatnya mau pergi sama seluruh keluargamu ke Islandia beberapa hari lagi. Gimana menurutmu?"

Elian tersenyum tipis, matanya bersinar dengan kasih sayang yang lembut.

"Undangannya juga belum disebar, kok. Kan cuma pernikahan, ditunda beberapa hari harusnya nggak masalah."

Hatiku membeku seketika. Air mata terharuku tadi terasa sangat konyol.

Setelah dikecewakan 99 kali, bagaimana mungkin aku masih bisa mengharapkan cinta dari mereka?

Melihatku tidak bicara cukup lama, Elian menggaruk kepalanya dengan sedikit kesal.

"Wulan belum pernah ke luar negeri seumur hidupnya. Ini pertama kali dia pergi sejauh ini. Sebagai keluarganya, kita harus temani dia. Lagian kamu juga belum pernah lihat aurora, 'kan? Anggap saja bulan madu lebih awal."

"Oke."

Elian hampir melanjutkan bujukannya dan tiba-tiba terkejut mendengar kata-kataku.

"Kamu bilang apa?"

Aku menghela napas panjang dan berkata dengan tenang, "Oke, batalkan saja pernikahannya."

Elian mengernyit, membetulkanku dengan nada tidak setuju.

"Apa maksudmu batal? Cuma ditunda, kenapa sampai batal?"

Aku menundukkan kepala, senyum sinis tersungging di bibirku.

Apa bedanya? Selama Wulan masih ada, dia tidak akan membiarkan pernikahan kami berjalan mulus.

Dia membenciku dan menginginkan segala yang aku miliki.

Aku tahu ini sejak kecil.

Tapi sejak kecil sampai sekarang, tidak peduli seberapa keras aku berjuang, aku tidak pernah bisa mengalahkannya. Keluarga ini pilih kasih kepadanya, dan itu memberinya kepercayaan diri untuk terus menginjak-injak aku.

Sekarang, bahkan tunanganku mulai pilih kasih padanya.

Mataku terasa perih dan kering, dan tubuhku perlahan mulai gatal.

Jus mangga itu akhirnya memicu alergiku.

Aku pun mengangguk sekadarnya dan berbalik ke tangga.

Aku selalu menyimpan obat alergi di kamar tidurku. Aku ingin cepat-cepat meminumnya sebelum alergiku kambuh.

"Kak, kamu marah ya aku minta Kak Elian pergi menemaniku ke Islandia?"

Suara Wulan malah terdengar dari belakangku, penuh kesedihan.

Tapi aku tidak menghiraukannya dan mempercepat langkahku ke atas.

Wulan selalu begitu. Bahkan jika aku tidak melakukan apa-apa, dia hanya perlu menangis dan membuat keributan di depan keluarga agar semua orang mendukungnya.

Damar yang paling cepat marah.

"Cukup! Hana, Wulan ngomong sama kamu, apa kamu nggak dengar? Tadi bilang nggak marah, detik berikutnya malah mukanya dingin dan cuek. Apa begini cara memperlakukan keluarga?"

Aku juga mengabaikan omelan Damar. Tuduhan-tuduhan tak berdasar seperti itu telah menghiasi seluruh masa kecilku. Aku pun sudah belajar menghadapinya tanpa bergeming.

Tapi, begitu kakiku menyentuh anak tangga lantai dua, rasa sakit yang tajam tiba-tiba menusuk kulit kepalaku. Seseorang menarik rambutku dengan kasar.