Bab 3

Damar menarikku ke bawah dari lantai dua dengan menjambak rambutku.

"Wulan sudah dewasa sekarang! Kamu nggak bisa mengabaikan perasaannya kayak dulu lagi!"

Aku terjatuh ke lantai dengan keras, kedua lututku terasa sakit sekali.

Elian mengerutkan kening di sampingku dan mencoba menjelaskan, "Hana, menunda pernikahan itu ideku, nggak ada hubungannya sama Wulan. Kalau marah, luapkanlah padaku, jangan buat Wulan sedih."

Aku meringkuk di lantai, tidak dapat membedakan apakah rasa sakit luar biasa itu berasal dari lututku atau hatiku.

"Jangan marah sama Kak Hana. Ini semua salahku. Harusnya aku tunda pesta ulang tahunku biar nggak tabrakan dengan pernikahan kalian."

Wulan menyeka matanya, tapi aku dapat melihat dengan jelas ekspresi puas di bibirnya.

"Jangan asal bicara! Mana kamu bisa putuskan tanggal ulang tahunmu! Dia yang salah tanggal pernikahan, nggak ada hubungannya sama kamu!"

Tatapannya tertuju padaku, ekspresinya penuh rasa benci.

"Kalau kamu suka marah, sana lanjut marah di pojokan!"

Damar menarikku dan mendorongku ke gudang di samping tangga.

Panik akhirnya melandaku. Aku buru-buru memutar pegangan pintu, berusaha untuk keluar, tapi bunyi klik terdengar dari luar saat Damar mengunci pintu.

"Tetap di sana. Kamu bisa keluar kalau sudah sadar kesalahanmu."

"Nggak! Tolong keluarkan aku! Aku kena alergi, aku butuh obat!"

Aku teriak-teriak meminta tolong, tapi Damar sudah mendorong Wulan ke pintu depan. Aku samar-samar mendengar suara mereka.

"Aku sudah pesan meja di restoran seafood. Ayo, kita harus berangkat lebih awal!"

"Tapi Hana ..."

"Nggak apa-apa. Kurung dia beberapa jam, biar dia sadar."

"Iya, Hana terlalu gampang emosi. Dikurung sebentar nggak akan masalah. Nanti kubungkuskan udang kesukaannya."

"Elian, ayo ikut juga. Jangan pikirkan Hana, dikurung beberapa jam saja bukan masalah."

Rasa takut yang mendalam melanda diriku. Aku memukuli pintu sambil berteriak, "Aku nggak marah lagi! Aku mau minta maaf sama Wulan! Aku rela bersujud kalau memang perlu! Tolong keluarkan aku! Aku kena alergi! Aku bisa mati kalau nggak minum obat! Tolong!"

Suaraku pecah karena berteriak, tapi tidak ada respons dari luar.

Aku pun terjatuh ke lantai dalam keputusasaan. Gatal-gatal menyebar dari punggung ke wajahku, dan mungkin karena terlalu emosi, tenggorokanku juga mulai gatal.

Orang tuaku melihatku minum jus mangga itu dengan mata kepala sendiri. Mereka tahu aku alergi. Tapi dalam sekejap, mereka melupakanku.

Mereka ingat restoran yang pernah disebutkan Wulan, tapi lupa jus mangga yang kuminum lima menit lalu akan memicu alergiku.

Keinginan kuat untuk bertahan hidup memaksaku bangkit kembali. Aku memutar pegangan pintu dengan sekuat tenaga.

Tapi pintu itu sudah dikunci dari luar. Tidak bergerak sedikit pun.

Aku panik mencari saku-sakuku. Ponsel yang aku pegang telah terlempar ke suatu tempat saat Damar menyeretku.

Ruam telah menyebar ke seluruh tubuhku. Wajahku membengkak, mataku menyempit menjadi secelah.

Aku mulai kesulitan bernapas. Kalau aku tidak bisa keluar, aku pasti akan mati di gudang ini!

Saat aku mencari-cari alat yang berguna untuk membuka kunci, aku akhirnya menemukan ponsel yang terlempar di sudut.

Dengan gembira, aku mengambilnya sambil gemetaran.

Tapi orang tuaku, kakakku, maupun tunanganku tidak menjawab.

Akhirnya, kakakku mengirim pesan.

[Kamu mending nggak ikut ke Islandia nanti. Takutnya malah bikin Wulan sedih.]

Air mata berlinang di wajahku. Aku tahu saat itu juga mereka tidak lagi layak untuk kuharapkan.

Aku segera menghubungi nomor darurat.

Menanti kedatangan bantuan terasa tak berujung. Tenggorokanku membengkak, membuat bernapas terasa menyakitkan. Aku memaksa diri untuk mengarahkan tim penyelamat, bahkan hampir mati lemas karena kekurangan oksigen.

Saat pintu didobrak dengan paksa, kegelapan akhirnya menyelimuti penglihatanku dan aku pingsan.