Masuk"Jangan sentuh aku!" teriak Luna, suaranya bergetar hebat. Ia menepis tangan Damon yang berusaha meraihnya. Mereka berada di tengah keramaian pusat perbelanjaan, tetapi bagi Luna, dunia terasa sunyi, hanya ada suara amarahnya sendiri.
Damon terkejut. Wajahnya yang semula teduh kini terlihat panik. "Luna, tunggu! Apa yang kamu bicarakan? Kenapa kamu mengatakan itu?"
Luna mundur dua langkah, matanya menatap Damon dengan kebencian yang sama besarnya dengan cinta yang baru ia rasakan. Ia melihat bayangan Rizal di mata Damon, dan semua kebaikan yang Damon tunjukkan kini terasa seperti tipuan yang lebih kejam daripada kebohongan Rizal.
"Kalian semua sama saja!" bentak Luna, air matanya kini mengalir deras, namun itu adalah air mata kemarahan. "Kalian semua hanya bisa merusak hidup orang lain! Kalian semua penuh janji palsu!"
"Aku tidak tahu apa yang dilakukan Rizal padamu," kata Damon, suaranya kini dipenuhi kesedihan dan kebingungan. "Tapi aku bukan dia! Aku tidak ada hubungannya dengan masa lalumu!"
"Tentu saja ada!" balas Luna, suaranya pecah. "Dia adalah kakakmu! Itu artinya kau adalah bagian dari kehancuranku! Aku sudah menceritakan segalanya padamu, Damon! Aku sudah percaya padamu!"
Damon terdiam. Kebenaran itu menghantamnya, membuat ia menyadari seberapa dalam luka Luna. "Luna... demi Tuhan, aku mencintaimu. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan. Aku bersumpah."
"Cinta?" Luna tertawa hampa, air mata membasahi pipinya. "Cintamu datang setelah dia merenggut segalanya dariku! Cinta dari seorang adik pengkhianat! Kau pikir aku akan percaya lagi?"
Ia berbalik dan lari sekuat tenaga. Ia tidak peduli ke mana kakinya melangkah, yang penting jauh dari Damon, jauh dari ingatan Rizal. Ia meninggalkan Damon berdiri bingung dan patah hati di tengah keramaian.
Luna kembali ke apartemen Tante Rosa. Ia merobek gaun yang ia kenakan, menyisakan dirinya dalam balutan kegelapan. Ia berdiri di depan cermin, tetapi kini yang ia lihat bukanlah gadis desa bernama Lidya, melainkan seorang wanita yang hancur, dikhianati oleh cinta untuk kedua kalinya.
"Dasar bodoh," bisiknya pada bayangannya sendiri, suaranya serak. "Aku sudah janji pada diriku sendiri! Aku tidak akan pernah percaya lagi!"
Ia memukul cermin itu, dan retakan panjang menyebar, mencerminkan hatinya yang hancur. Ia memejamkan mata, membiarkan kemarahan menguasainya. Rasa sakit itu, rasa malu itu, kini berubah menjadi tekad yang membara. Damon, dengan ketulusannya, hampir berhasil membawa Lidya kembali. Hampir berhasil menghancurkan misinya.
Malam itu, Tante Rosa menemukan Luna duduk di lantai kamar, dikelilingi oleh pecahan kaca.
"Apa yang terjadi, Luna?" tanya Tante Rosa, suaranya penuh kekhawatiran.
Luna mendongak, matanya kini berkilat tajam. Tidak ada lagi Lidya di sana. Hanya Luna yang dingin.
"Misi saya belum selesai, Tante," kata Luna, suaranya datar dan mengerikan. "Saya hampir melupakan siapa saya. Saya hampir melupakan kenapa saya di sini."
Tante Rosa mengangguk, mengerti tanpa perlu banyak kata. "Lalu, apa yang akan kamu lakukan?"
Luna mengambil pecahan cermin terbesar, menatap bayangannya yang terdistorsi. "Saya akan kembali ke klub. Dan saya akan pastikan tidak ada lagi pria yang bisa melihat siapa saya sebenarnya. Saya akan menjadi Luna yang paling mematikan. Dan saya akan membalas dendam saya, pada semua pria yang seperti kakak Damon, termasuk Damon sendiri."
Tante Rosa terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Selamat datang kembali, Luna. Malam ini, kau akan menjadi bulan yang paling bersinar... dan paling berbahaya."
Keesokan malamnya, Luna kembali. Ia tidak hanya mengenakan gaun merah yang memikat, tetapi juga tatapan mata yang beku. Ia bukan lagi seorang aktris yang memainkan peran. Ia adalah seorang predator. Dan di sudut ruangan, Damon menunggunya, berharap ada secercah Lidya yang tersisa di balik topeng Luna.
Keesokan harinya, seluruh Jakarta diguncang oleh berita utama di media massa. Jurnalis Rina, dengan integritasnya yang tak terbantahkan, memublikasikan laporan investigasi yang sangat rinci mengenai dugaan penggelapan dana bantuan bencana alam oleh Yayasan Harapan Bangsa milik Jenderal Wiratama. Meskipun Luna hanya memberikan sedikit informasi, Rina berhasil mengembangkan kasus itu dengan bukti-bukti tambahan.Luna dan Damon membaca berita itu di safe house, layar laptop mereka memancarkan cahaya yang dingin."Kau berhasil, Lidya," bisik Damon, matanya memancarkan rasa kagum dan cemas. "Seluruh kota membicarakan ini. Citra Jenderal hancur."Luna, yang kembali dikuasai Luna yang strategis, tidak terlihat puas. "Ini hanya pengalih perhatian, Damon. Ini tidak menghancurkannya, hanya membuatnya sibuk. Dia harus membersihkan citranya, memecat beberapa orang, dan menyangkal semuanya di depan publik. Tapi dia tahu, serangan ini datang dariku.""Lalu, ap
Luna dan Damon melewati hari-hari berikutnya dalam keheningan yang mencekam di safe house. Damon, meskipun awalnya takut dengan rencana berisiko Luna, kini membantu mengawasi setiap detail yang mungkin terlewat. Namun, ia tetap gelisah."Kau yakin Tuan Dharma tidak akan menyerahkan paket itu langsung pada Jenderal?" tanya Damon, saat ia memandang flash drive cadangan di tangannya."Tuan Dharma adalah politikus," jawab Luna, yang kini menghabiskan waktunya menganalisis laporan media Tuan Dharma. "Politikus tidak takut pada polisi, mereka takut pada opini publik dan skandal. Jika ia menyerahkan paket itu pada Jenderal, Jenderal akan menyelesaikan masalah Rizal, dan Tuan Dharma akan tetap terikat dalam jaringan kejahatan itu. Jika ia bekerja sama dengan kita, ia hanya kehilangan satu rekanan kotor Rizal tapi menyelamatkan reputasinya dan seluruh karir politiknya."Luna telah mengirimkan paket tersebut melalui kurir anonim yang sangat terpercaya, m
Apartemen yang diberikan Tante Rosa adalah tempat yang sempurna untuk bersembunyi. Lokasinya berada di lantai atas sebuah gedung tua yang tidak mencolok, jauh dari keramaian pusat kota, dengan sistem keamanan yang ketat dan pintu ganda yang tersembunyi. Tempat itu sederhana namun fungsional, sebuah safe house yang hanya diketahui oleh sedikit orang.Luna segera menghubungi Tante Rosa melalui sambungan telepon rahasia yang telah dipasang."Terima kasih, Tante," kata Lidya. "Apartemen ini aman.""Tentu saja aman, Luna," balas Tante Rosa, suaranya terdengar dingin dan efisien. "Aku tidak pernah main-main soal keamanan. Tapi kau harus tahu, ini tidak akan lama. Jenderal itu seperti air, dia akan menemukan celah.""Aku tahu," jawab Luna, yang kini kembali mengambil kendali. "Dia sudah mulai menyerang Damon. Dia membuat Damon dipecat."Damon duduk di samping Lidya, wajahnya terlihat putus asa. "Kita tidak bisa melakukan ini sendirian, Lidya. Dia
Luna kembali ke mobil Tante Rosa dengan langkah cepat dan tegas. Di dalam mobil yang melaju membelah keramaian kota, ia segera menghubungi Tante Rosa, suaranya dipenuhi urgensi yang tak terbantahkan."Tante, aku butuh bantuanmu sekarang juga," perintah Luna, nadanya tanpa basa basi. "Dia curiga. Aku berhasil membuatnya ragu tentang dokumen itu, tapi itu hanya akan bertahan beberapa jam. Jenderal itu pasti akan mengincar Damon.""Aku sudah menduga," balas Tante Rosa dari ujung telepon, suaranya tenang. "Kau baru saja menusuk naga di mata. Berikan alamat apartemenmu. Aku akan kirim orang terbaikku untuk mengawasi Damon. Jangan bergerak ke mana mana sampai aku mengirimkan pesan."Luna memberikan alamatnya. Ia tahu, meskipun ia kini adalah Luna yang berani, ia tidak bisa melawan jaringan Jenderal Wiratama sendirian. Kelemahan terbesarnya Damon kini menjadi target utama. Selama perjalanan, ia melepas gaun elegan dan menggantinya dengan kaus hitam dan jaket biasa yang
Lidya tiba di lokasi pertemuan: sebuah restoran fine dining yang sangat eksklusif, terletak di lantai paling atas gedung pencakar langit yang menjulang tinggi di pusat kota. Pemandangan kota Jakarta di bawahnya berkelip layaknya lautan bintang yang dingin dan tak peduli, seolah menjadi latar yang sempurna untuk pertempuran strategi ini. Lidya, yang kini adalah perpaduan antara Lidya yang hangat dan Luna yang tajam, mengenakan gaun hitam panjang dan elegan. Di lehernya, kalung perak sederhana Damon bersinar samar, menjadi jangkar di tengah kegelisahannya.Ia diantar oleh seorang waiter yang berjas rapi menuju sebuah ruang makan privat. Di dalam, Jenderal Wiratama sudah menunggunya sendirian. Pria itu benar-benar sosok yang mengesankan sekitar enam puluhan, namun memancarkan kekuasaan yang terasa menekan. Ia mengenakan jas mahal berwarna abu-abu gelap. Sikapnya yang tenang dan sorot matanya yang tajam menunjukkan bahwa ia adalah seorang predator yang terbiasa mend
Pesan dari Jenderal Wiratama yang datang dalam bentuk kartu nama mewah itu terasa seperti bom waktu yang tiba-tiba diletakkan di tengah apartemen Lidya dan Damon. Mereka duduk di ruang tamu yang sunyi, di bawah cahaya lampu temaram, dengan ketegangan yang lebih menusuk daripada angin malam.Damon berdiri, mondar-mandir di ruangan sempit itu, tangannya mengusap wajahnya berkali-kali. "Kita harus pergi, Lidya," desaknya, suaranya dipenuhi kepanikan. "Kita bisa naik kereta, pergi ke luar pulau. Kita bisa jual perhiasan Tante Rosa. Kita bisa menghilang."Lidya tetap duduk tegak di sofa. Ia memegang kartu nama itu, matanya membaca tulisan nama 'Jenderal Wiratama' berulang kali. "Melarikan diri ke mana, Damon? Kau pikir aku akan lari lagi?""Aku mohon, jangan keras kepala!" Damon berlutut di depannya, menggenggam kedua tangan Lidya. "Ini bukan Rizal! Dia punya tentara, dia punya kekuasaan. Dia bisa menemukan kita di mana pun, dan kali ini, dia tidak akan hanya memukul







