Klub malam itu bersinar lebih terang dari biasanya, tetapi Luna, yang kini mengenakan gaun hitam panjang yang elegan dan berbahaya, bersinar paling gelap. Ia telah membuang sisa-sisa Lidya yang tersisa. Wajahnya dipoles sempurna, dan tatapan matanya beku, tanpa jejak kehangatan yang pernah Damon lihat.
Ia berjalan memasuki ruangan, dan seketika semua mata tertuju padanya. Ia bukan lagi seorang gadis yang mencari pengakuan; ia adalah Luna, sang Dewi Balas Dendam.
Seperti malam-malam sebelumnya, Damon berada di sudut yang sama. Ia mengenakan kemeja sederhana, dan wajahnya tampak pucat karena rasa khawatir. Saat mata mereka bertemu, Damon bangkit, mencoba mendekat.
Namun, sebelum Damon sempat melangkah, seorang pria kaya, Tuan Arya, yang sudah lama terobsesi pada Luna, menghampirinya. Luna memberinya senyum yang memikat, senyum yang tidak pernah ia berikan kepada Damon.
"Luna, kau tampak... luar biasa malam ini," kata Tuan Arya, mencoba memegang tangannya.
"Terima kasih, Tuan Arya," jawab Luna, menarik tangannya perlahan. "Tapi bisakah kita bicara tentang proyek galeri Bapak? Saya dengar, Anda punya ide untuk memasukkan seni kontemporer."
Luna memimpin Tuan Arya menjauh, meninggalkan Damon yang membeku di tempatnya. Luna kini bermain dengan level yang berbeda. Ia menggunakan kecerdasan dan karisma, membuat Tuan Arya merasa istimewa sambil menjaga jarak.
Damon menatap mereka dari jauh. Ia melihat betapa indahnya Luna, tetapi ia juga melihat betapa dinginnya matanya. Ia tidak tahan. Ia berjalan mendekat.
"Luna, bisakah kita bicara sebentar?" sela Damon, suaranya tegang.
Luna menoleh, tatapannya datar. "Maaf, Tuan. Anda siapa? Saya sedang melayani klien."
Tuan Arya melirik Damon dengan jijik. "Hei, anak muda. Pergi dari sini. Kau mengganggu."
Damon mengabaikan Tuan Arya, fokus pada Luna. "Aku mohon. Hanya lima menit."
Luna tersenyum tipis, senyum yang sama persis dengan yang ia berikan kepada Pak Heru di malam pertamanya. "Tuan," katanya kepada Damon, "Anda tidak terlihat seperti klien. Jika Anda ingin berbicara, Anda tahu aturannya."
Kalimat itu, yang berarti Damon harus "membelinya," menghantam Damon telak. Damon mengerti. Luna sedang menghukumnya.
"Aku tidak percaya kau mengatakan itu padaku," bisik Damon, matanya berkaca-kaca.
"Saya tidak tahu apa yang membuat Anda begitu emosional, Tuan," balas Luna dengan dingin, lalu kembali fokus pada Tuan Arya. "Jadi, tentang seni kontemporer, Tuan Arya..."
Damon berdiri di sana selama beberapa saat, menatap Luna yang seolah-olah menjadi orang asing. Ia melihat bahwa Lidya telah mati sepenuhnya, digantikan oleh Luna yang keras dan berdarah dingin. Ia tidak lagi melihat cinta di mata Luna, hanya dendam yang mematikan.
Setelah Tuan Arya pergi, Luna berjalan ke bar. Ia mengambil segelas minuman keras, sesuatu yang tidak pernah Lidya sentuh. Tante Rosa mendekat.
"Permainan yang bagus, Luna," puji Tante Rosa. "Kau memukulnya tepat di tempat yang menyakitkan."
Luna meminum habis minumannya. "Dia pantas mendapatkannya, Tante. Dia adalah bagian dari masa lalu yang ingin saya lupakan."
Tante Rosa mengangguk. "Tapi, dia tidak akan menyerah."
Benar saja, saat Luna sedang bersiap untuk pulang, Damon sudah menunggunya di luar. Wajahnya serius.
"Aku tahu kau marah padaku. Aku tahu kau terluka karena Rizal," kata Damon, langsung ke intinya. "Tapi aku tidak akan membiarkanmu melakukan ini. Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan dirimu sendiri."
Luna membalas tatapannya, kini dengan senyum yang menusuk. "Kau tidak punya hak untuk menghakimiku. Kau dan kakakmu sudah merusak hidupku. Sekarang, giliran aku yang memegang kendali."
Ia melangkah melewati Damon, tetapi Damon meraih pergelangan tangannya. "Aku akan membantumu. Katakan saja apa yang dia lakukan. Aku akan memastikan Rizal membayar mahal."
Luna membeku. Ia menoleh. Inilah saatnya. Kesempatan emas untuk membalaskan dendamnya pada Rizal dan sekaligus menguji hati Damon.
"Kau ingin tahu apa yang Rizal lakukan padaku?" tanya Luna, suaranya bergetar antara amarah dan harapan. "Bantu aku. Tunjukkan padaku seberapa jauh kau rela pergi untukku. Dan aku akan tunjukkan padamu siapa Rizal sebenarnya."
Malam di desa itu terasa dingin dan sunyi, diselimuti kegelapan yang pekat. Luna tiba di bawah pohon beringin tua, tempat Damon memintanya bertemu. Ia mengenakan pakaian kasual, jauh dari gaun mewahnya. Namun, di matanya, Luna yang dingin tetap berkuasa. Ia tahu ini adalah akhir dari perjalanannya. Balas dendamnya akan tuntas malam ini.Luna menunggu. Setiap detik terasa seperti berjam-jam. Ia memikirkan Rizal, rasa sakit yang ia timbulkan. Ia memikirkan Damon, pria yang hampir membuatnya melupakan segalanya. Di saat genting ini, Lidya yang lama, yang rentan dan mencintai, berjuang melawan Luna yang keras dan penuh dendam.Tak lama kemudian, Damon muncul. Wajahnya dipenuhi oleh debu dan kelelahan, tetapi matanya memancarkan tekad. Ia membawa sebuah flash drive kecil di tangannya, menggenggamnya erat seolah itu adalah nyawanya."Kau datang," kata Luna, suaranya pelan."Tentu saja aku datang," balas Damon. Ia melangkah mendekat, tetapi Luna menahan
Rizal berdiri mematung. Wajahnya yang semula angkuh kini dipenuhi keringat dingin. Ia mencoba mengikuti Luna, tetapi kakinya terasa kaku. Gadis desa yang ia campakkan telah kembali sebagai Luna, seorang wanita yang memancarkan aura bahaya dan kekuasaan."Rizal, kau kenapa? Jangan menghalangi jalanku!" tegur Tuan Sanjaya, menatap Rizal dengan tidak sabar.Rizal tersentak. Ia memaksakan senyum tegang. "Tidak, Tuan Sanjaya. Saya... saya hanya terkejut melihat kenalan lama."Tuan Sanjaya mengabaikannya dan menyambut Luna. "Nona Luna, suatu kehormatan. Rizal sudah sering menceritakan tentang proyek kita, tapi saya lebih tertarik pada selera seni Anda."Luna tersenyum memikat. "Saya rasa, seni dan bisnis memiliki kesamaan, Tuan Sanjaya. Keduanya membutuhkan mata yang tajam untuk melihat nilai tersembunyi. Dan keduanya mudah hancur jika fondasinya rapuh."Di tengah keramaian, Luna dan Tuan Sanjaya terlibat dalam percakapan yang intens. Rizal mengawasi dar
Damon menatap Luna. Sorot matanya kini bercampur antara kepedihan dan tekad yang kuat. Ia mengerti, tawaran Luna adalah sebuah ujian, sekaligus jalan satu-satunya untuk mendekatinya."Apa pun itu, aku akan melakukannya," jawab Damon, suaranya mantap. "Aku akan membantumu. Katakan padaku, apa yang harus kulakukan?"Luna tersenyum sinis. Senyum itu tidak mencapai matanya. "Bagus. Aku suka komitmenmu." Ia melangkah lebih dekat, menatap langsung ke mata Damon. "Aku ingin kau tahu segalanya tentang kakakmu, Rizal. Di mana dia bekerja, dengan siapa dia bergaul, dan apa kelemahannya.""Rizal bekerja di perusahaan properti besar. Aku bisa mendapatkan informasinya," kata Damon. "Tapi kenapa? Apa rencanamu?""Rencanaku sederhana," balas Luna, kini berbisik dengan nada mengancam. "Aku akan membuatnya merasakan apa yang kurasakan. Aku akan menghancurkan apa yang paling dia cintai." Luna menjeda, lalu menambahkan, "Dan aku tidak ingin kau bertanya-tanya. Aku hanya ing
Klub malam itu bersinar lebih terang dari biasanya, tetapi Luna, yang kini mengenakan gaun hitam panjang yang elegan dan berbahaya, bersinar paling gelap. Ia telah membuang sisa-sisa Lidya yang tersisa. Wajahnya dipoles sempurna, dan tatapan matanya beku, tanpa jejak kehangatan yang pernah Damon lihat.Ia berjalan memasuki ruangan, dan seketika semua mata tertuju padanya. Ia bukan lagi seorang gadis yang mencari pengakuan; ia adalah Luna, sang Dewi Balas Dendam.Seperti malam-malam sebelumnya, Damon berada di sudut yang sama. Ia mengenakan kemeja sederhana, dan wajahnya tampak pucat karena rasa khawatir. Saat mata mereka bertemu, Damon bangkit, mencoba mendekat.Namun, sebelum Damon sempat melangkah, seorang pria kaya, Tuan Arya, yang sudah lama terobsesi pada Luna, menghampirinya. Luna memberinya senyum yang memikat, senyum yang tidak pernah ia berikan kepada Damon."Luna, kau tampak... luar biasa malam ini," kata Tuan Arya, mencoba memegang tangannya.
Ancaman dingin Luna bahwa ia tidak akan memberinya peringatan kedua menggantung di udara, mencekik Damon. Ia berdiri sendiri di tengah lobi klub yang ramai, pandangannya terpaku pada Rizal yang marah dan Luna yang kejam. Ia tahu, Luna telah memenangkan pertempuran itu, tetapi dengan mengorbankan jiwanya sendiri.Damon segera meninggalkan klub dan kembali ke apartemennya. Ia tidak bisa tidur. Ucapan Luna, "Dia adalah kakakku," terus terngiang, menjelaskan mengapa wanita yang dicintainya kini bertekad untuk menghancurkan keluarganya.Pagi harinya, pintu apartemen Damon didobrak dengan kasar. Rizal berdiri di sana, wajahnya pucat pasi dan matanya memerah. Ia baru saja dipecat. Tuan Sanjaya, setelah dihubungi oleh Luna dengan dalih profesionalisme dan etika bisnis yang buruk, membatalkan semua kesepakatan dan menyebarkan desas-desus tentang perilaku tidak etis Rizal."Kau tahu, Damon, aku kehilangan segalanya!" teriak Rizal, melempar vas bunga ke dinding. "Pekerjaan
"Jangan sentuh aku!" teriak Luna, suaranya bergetar hebat. Ia menepis tangan Damon yang berusaha meraihnya. Mereka berada di tengah keramaian pusat perbelanjaan, tetapi bagi Luna, dunia terasa sunyi, hanya ada suara amarahnya sendiri.Damon terkejut. Wajahnya yang semula teduh kini terlihat panik. "Luna, tunggu! Apa yang kamu bicarakan? Kenapa kamu mengatakan itu?"Luna mundur dua langkah, matanya menatap Damon dengan kebencian yang sama besarnya dengan cinta yang baru ia rasakan. Ia melihat bayangan Rizal di mata Damon, dan semua kebaikan yang Damon tunjukkan kini terasa seperti tipuan yang lebih kejam daripada kebohongan Rizal."Kalian semua sama saja!" bentak Luna, air matanya kini mengalir deras, namun itu adalah air mata kemarahan. "Kalian semua hanya bisa merusak hidup orang lain! Kalian semua penuh janji palsu!""Aku tidak tahu apa yang dilakukan Rizal padamu," kata Damon, suaranya kini dipenuhi kesedihan dan kebingungan. "Tapi aku bukan dia! Aku tidak ada hubungannya dengan ma