MasukRasa sakit dan kemarahan pada diri sendiri yang mencekam akhirnya mematangkan sebuah keputusan di hati Lidya. Kepolosan yang dulu membuatnya rentan kini telah mati, digantikan oleh tekad yang membara. Ia tidak bisa lagi bertahan di desa ini, di mana setiap sudutnya adalah pengingat akan kebodohan yang ia sesali.
Suatu malam, Lidya menunggu hingga seluruh anggota keluarganya terlelap. Dengan langkah perlahan, ia mengemasi barang-barang seadanya ke dalam tas kain yang sudah lusuh. Ia memasukkan beberapa helai pakaian, sebuah sisir kayu, dan sebuah foto keluarga yang telah usang. Hatinya terasa sakit, bukan karena ia akan meninggalkan rumah, melainkan karena ia harus meninggalkan keluarganya tanpa sepatah kata pun. Ia tidak ingin melihat tatapan khawatir di mata ibunya, atau tatapan sedih di mata ayahnya. Ia tahu, kepergiannya adalah satu-satunya cara untuk menyembunyikan rasa malu yang hanya ia rasakan. Sebelum pergi, Lidya meletakkan sebuah surat di atas meja. Tangannya bergetar saat menulis setiap kata. Isinya singkat, hanya sebuah permohonan maaf dan janji bahwa ia akan kembali suatu hari nanti. "Maafkan Lidya, Ibu, Ayah. Aku harus pergi untuk sementara waktu. Jangan khawatir. Aku akan kembali saat sudah menemukan diriku." Tentu saja, ia tidak menjelaskan alasan yang sebenarnya. Ia tidak ingin keluarganya menanggung beban yang sama. Sambil memeluk tasnya erat-erat, Lidya berjalan keluar rumah. Ia berhenti sejenak di depan pintu, menatap rumah yang telah menjadi saksi bisu kebahagiaan dan kehancurannya. Ia melirik ke arah kebun melatinya. Bunga-bunga itu tampak layu di bawah sinar rembulan, seolah-olah ikut merasakan kesedihan yang sama. Itu adalah pemandangan terakhir yang ia lihat sebelum berbalik dan melangkah pergi, menuju jalan setapak yang gelap, meninggalkan semua yang ia kenal di belakangnya. Malam itu, Lidya tidak tahu ke mana ia akan pergi atau apa yang akan ia lakukan. Yang ia tahu hanyalah satu hal: ia tidak akan kembali sebagai Lidya yang sama. Ia akan menjadi seseorang yang berbeda, seseorang yang tidak akan pernah lagi membiarkan dirinya dimanfaatkan. Petualangannya bukan hanya untuk menemukan kehidupan baru, tetapi juga untuk membalaskan dendamnya pada dirinya sendiri, pada kebodohan yang telah merusaknya. Lidya tiba di Jakarta saat matahari baru saja terbit, cahayanya yang pucat menyinari jalanan yang sudah dipenuhi oleh deru klakson dan keramaian. Udara yang ia hirup terasa berbeda; bukan lagi aroma tanah basah dan bunga melati, melainkan bau asap knalpot, keringat, dan sampah yang bercampur. Ia turun dari bus dengan langkah ragu, matanya meluas melihat gedung-gedung tinggi yang menjulang ke langit, seolah-olah siap menelan siapa saja yang berani datang. Dibandingkan dengan desanya yang damai, Jakarta adalah monster raksasa yang bergerak tanpa henti. Orang-orang berjalan cepat, wajah mereka tegang dan tanpa ekspresi. Tidak ada senyum ramah yang ia kenal. Semua orang sibuk dengan urusan mereka sendiri, tidak peduli pada seorang gadis dari desa yang kini berdiri bingung di trotoar. Lidya merasa seperti serangga kecil yang terombang-ambing di tengah badai. Dengan hanya sedikit uang di saku, Lidya harus berjuang mencari tempat tinggal dan pekerjaan. Ia mencoba melamar di beberapa toko dan warung makan, tetapi pengalamannya yang minim membuatnya selalu ditolak. "Maaf, kami butuh yang sudah punya pengalaman," kata seorang pemilik toko. "Kamu masih terlalu polos," celetuk seorang ibu-ibu di warung makan. Kalimat-kalimat itu terasa seperti tamparan, menusuk harga diri Lidya dan mengingatkannya betapa kecil dirinya di kota ini. Sehari, dua hari, Lidya hanya makan dari sisa-sisa roti yang ia temukan. Ia mencoba tidur di halte bus yang sepi, namun takut akan kehadiran orang-orang asing. Malam-malam yang dingin ia habiskan di emperan toko, meringkuk ketakutan saat suara-suara aneh dan bayangan menakutkan melintas di sekitarnya. Perutnya kosong, tubuhnya lelah, dan rasa putus asa mulai merayap ke dalam hatinya. Ia mempertanyakan keputusannya untuk pergi. "Apakah aku melakukan hal yang benar?" bisiknya pada diri sendiri. Namun, di tengah keputusasaan itu, bayangan wajahnya yang polos di masa lalu kembali muncul di benaknya. Wajah yang bodoh, yang begitu mudah percaya, yang membuatnya jatuh ke dalam kehancuran. Bayangan itu menguatkan tekadnya untuk membalas dendam pada dirinya yang dulu. Ia tidak boleh menyerah. Ia harus menjadi seseorang yang kuat, seseorang yang tidak akan pernah lagi dimanfaatkan. Ia tahu, untuk bertahan di kota ini, ia harus melakukan sesuatu yang drastis.Keesokan harinya, seluruh Jakarta diguncang oleh berita utama di media massa. Jurnalis Rina, dengan integritasnya yang tak terbantahkan, memublikasikan laporan investigasi yang sangat rinci mengenai dugaan penggelapan dana bantuan bencana alam oleh Yayasan Harapan Bangsa milik Jenderal Wiratama. Meskipun Luna hanya memberikan sedikit informasi, Rina berhasil mengembangkan kasus itu dengan bukti-bukti tambahan.Luna dan Damon membaca berita itu di safe house, layar laptop mereka memancarkan cahaya yang dingin."Kau berhasil, Lidya," bisik Damon, matanya memancarkan rasa kagum dan cemas. "Seluruh kota membicarakan ini. Citra Jenderal hancur."Luna, yang kembali dikuasai Luna yang strategis, tidak terlihat puas. "Ini hanya pengalih perhatian, Damon. Ini tidak menghancurkannya, hanya membuatnya sibuk. Dia harus membersihkan citranya, memecat beberapa orang, dan menyangkal semuanya di depan publik. Tapi dia tahu, serangan ini datang dariku.""Lalu, ap
Luna dan Damon melewati hari-hari berikutnya dalam keheningan yang mencekam di safe house. Damon, meskipun awalnya takut dengan rencana berisiko Luna, kini membantu mengawasi setiap detail yang mungkin terlewat. Namun, ia tetap gelisah."Kau yakin Tuan Dharma tidak akan menyerahkan paket itu langsung pada Jenderal?" tanya Damon, saat ia memandang flash drive cadangan di tangannya."Tuan Dharma adalah politikus," jawab Luna, yang kini menghabiskan waktunya menganalisis laporan media Tuan Dharma. "Politikus tidak takut pada polisi, mereka takut pada opini publik dan skandal. Jika ia menyerahkan paket itu pada Jenderal, Jenderal akan menyelesaikan masalah Rizal, dan Tuan Dharma akan tetap terikat dalam jaringan kejahatan itu. Jika ia bekerja sama dengan kita, ia hanya kehilangan satu rekanan kotor Rizal tapi menyelamatkan reputasinya dan seluruh karir politiknya."Luna telah mengirimkan paket tersebut melalui kurir anonim yang sangat terpercaya, m
Apartemen yang diberikan Tante Rosa adalah tempat yang sempurna untuk bersembunyi. Lokasinya berada di lantai atas sebuah gedung tua yang tidak mencolok, jauh dari keramaian pusat kota, dengan sistem keamanan yang ketat dan pintu ganda yang tersembunyi. Tempat itu sederhana namun fungsional, sebuah safe house yang hanya diketahui oleh sedikit orang.Luna segera menghubungi Tante Rosa melalui sambungan telepon rahasia yang telah dipasang."Terima kasih, Tante," kata Lidya. "Apartemen ini aman.""Tentu saja aman, Luna," balas Tante Rosa, suaranya terdengar dingin dan efisien. "Aku tidak pernah main-main soal keamanan. Tapi kau harus tahu, ini tidak akan lama. Jenderal itu seperti air, dia akan menemukan celah.""Aku tahu," jawab Luna, yang kini kembali mengambil kendali. "Dia sudah mulai menyerang Damon. Dia membuat Damon dipecat."Damon duduk di samping Lidya, wajahnya terlihat putus asa. "Kita tidak bisa melakukan ini sendirian, Lidya. Dia
Luna kembali ke mobil Tante Rosa dengan langkah cepat dan tegas. Di dalam mobil yang melaju membelah keramaian kota, ia segera menghubungi Tante Rosa, suaranya dipenuhi urgensi yang tak terbantahkan."Tante, aku butuh bantuanmu sekarang juga," perintah Luna, nadanya tanpa basa basi. "Dia curiga. Aku berhasil membuatnya ragu tentang dokumen itu, tapi itu hanya akan bertahan beberapa jam. Jenderal itu pasti akan mengincar Damon.""Aku sudah menduga," balas Tante Rosa dari ujung telepon, suaranya tenang. "Kau baru saja menusuk naga di mata. Berikan alamat apartemenmu. Aku akan kirim orang terbaikku untuk mengawasi Damon. Jangan bergerak ke mana mana sampai aku mengirimkan pesan."Luna memberikan alamatnya. Ia tahu, meskipun ia kini adalah Luna yang berani, ia tidak bisa melawan jaringan Jenderal Wiratama sendirian. Kelemahan terbesarnya Damon kini menjadi target utama. Selama perjalanan, ia melepas gaun elegan dan menggantinya dengan kaus hitam dan jaket biasa yang
Lidya tiba di lokasi pertemuan: sebuah restoran fine dining yang sangat eksklusif, terletak di lantai paling atas gedung pencakar langit yang menjulang tinggi di pusat kota. Pemandangan kota Jakarta di bawahnya berkelip layaknya lautan bintang yang dingin dan tak peduli, seolah menjadi latar yang sempurna untuk pertempuran strategi ini. Lidya, yang kini adalah perpaduan antara Lidya yang hangat dan Luna yang tajam, mengenakan gaun hitam panjang dan elegan. Di lehernya, kalung perak sederhana Damon bersinar samar, menjadi jangkar di tengah kegelisahannya.Ia diantar oleh seorang waiter yang berjas rapi menuju sebuah ruang makan privat. Di dalam, Jenderal Wiratama sudah menunggunya sendirian. Pria itu benar-benar sosok yang mengesankan sekitar enam puluhan, namun memancarkan kekuasaan yang terasa menekan. Ia mengenakan jas mahal berwarna abu-abu gelap. Sikapnya yang tenang dan sorot matanya yang tajam menunjukkan bahwa ia adalah seorang predator yang terbiasa mend
Pesan dari Jenderal Wiratama yang datang dalam bentuk kartu nama mewah itu terasa seperti bom waktu yang tiba-tiba diletakkan di tengah apartemen Lidya dan Damon. Mereka duduk di ruang tamu yang sunyi, di bawah cahaya lampu temaram, dengan ketegangan yang lebih menusuk daripada angin malam.Damon berdiri, mondar-mandir di ruangan sempit itu, tangannya mengusap wajahnya berkali-kali. "Kita harus pergi, Lidya," desaknya, suaranya dipenuhi kepanikan. "Kita bisa naik kereta, pergi ke luar pulau. Kita bisa jual perhiasan Tante Rosa. Kita bisa menghilang."Lidya tetap duduk tegak di sofa. Ia memegang kartu nama itu, matanya membaca tulisan nama 'Jenderal Wiratama' berulang kali. "Melarikan diri ke mana, Damon? Kau pikir aku akan lari lagi?""Aku mohon, jangan keras kepala!" Damon berlutut di depannya, menggenggam kedua tangan Lidya. "Ini bukan Rizal! Dia punya tentara, dia punya kekuasaan. Dia bisa menemukan kita di mana pun, dan kali ini, dia tidak akan hanya memukul







