Home / Romansa / Luna dalam Lara / sebuah keputusan pahit

Share

sebuah keputusan pahit

Author: Emil
last update Last Updated: 2025-09-23 06:21:49

Rasa sakit dan kemarahan pada diri sendiri yang mencekam akhirnya mematangkan sebuah keputusan di hati Lidya. Kepolosan yang dulu membuatnya rentan kini telah mati, digantikan oleh tekad yang membara. Ia tidak bisa lagi bertahan di desa ini, di mana setiap sudutnya adalah pengingat akan kebodohan yang ia sesali.

Suatu malam, Lidya menunggu hingga seluruh anggota keluarganya terlelap. Dengan langkah perlahan, ia mengemasi barang-barang seadanya ke dalam tas kain yang sudah lusuh. Ia memasukkan beberapa helai pakaian, sebuah sisir kayu, dan sebuah foto keluarga yang telah usang. Hatinya terasa sakit, bukan karena ia akan meninggalkan rumah, melainkan karena ia harus meninggalkan keluarganya tanpa sepatah kata pun. Ia tidak ingin melihat tatapan khawatir di mata ibunya, atau tatapan sedih di mata ayahnya. Ia tahu, kepergiannya adalah satu-satunya cara untuk menyembunyikan rasa malu yang hanya ia rasakan.

Sebelum pergi, Lidya meletakkan sebuah surat di atas meja. Tangannya bergetar saat menulis setiap kata. Isinya singkat, hanya sebuah permohonan maaf dan janji bahwa ia akan kembali suatu hari nanti. "Maafkan Lidya, Ibu, Ayah. Aku harus pergi untuk sementara waktu. Jangan khawatir. Aku akan kembali saat sudah menemukan diriku." Tentu saja, ia tidak menjelaskan alasan yang sebenarnya. Ia tidak ingin keluarganya menanggung beban yang sama.

Sambil memeluk tasnya erat-erat, Lidya berjalan keluar rumah. Ia berhenti sejenak di depan pintu, menatap rumah yang telah menjadi saksi bisu kebahagiaan dan kehancurannya. Ia melirik ke arah kebun melatinya. Bunga-bunga itu tampak layu di bawah sinar rembulan, seolah-olah ikut merasakan kesedihan yang sama. Itu adalah pemandangan terakhir yang ia lihat sebelum berbalik dan melangkah pergi, menuju jalan setapak yang gelap, meninggalkan semua yang ia kenal di belakangnya.

Malam itu, Lidya tidak tahu ke mana ia akan pergi atau apa yang akan ia lakukan. Yang ia tahu hanyalah satu hal: ia tidak akan kembali sebagai Lidya yang sama. Ia akan menjadi seseorang yang berbeda, seseorang yang tidak akan pernah lagi membiarkan dirinya dimanfaatkan. Petualangannya bukan hanya untuk menemukan kehidupan baru, tetapi juga untuk membalaskan dendamnya pada dirinya sendiri, pada kebodohan yang telah merusaknya.

Lidya tiba di Jakarta saat matahari baru saja terbit, cahayanya yang pucat menyinari jalanan yang sudah dipenuhi oleh deru klakson dan keramaian. Udara yang ia hirup terasa berbeda; bukan lagi aroma tanah basah dan bunga melati, melainkan bau asap knalpot, keringat, dan sampah yang bercampur. Ia turun dari bus dengan langkah ragu, matanya meluas melihat gedung-gedung tinggi yang menjulang ke langit, seolah-olah siap menelan siapa saja yang berani datang.

Dibandingkan dengan desanya yang damai, Jakarta adalah monster raksasa yang bergerak tanpa henti. Orang-orang berjalan cepat, wajah mereka tegang dan tanpa ekspresi. Tidak ada senyum ramah yang ia kenal. Semua orang sibuk dengan urusan mereka sendiri, tidak peduli pada seorang gadis dari desa yang kini berdiri bingung di trotoar. Lidya merasa seperti serangga kecil yang terombang-ambing di tengah badai.

Dengan hanya sedikit uang di saku, Lidya harus berjuang mencari tempat tinggal dan pekerjaan. Ia mencoba melamar di beberapa toko dan warung makan, tetapi pengalamannya yang minim membuatnya selalu ditolak. "Maaf, kami butuh yang sudah punya pengalaman," kata seorang pemilik toko. "Kamu masih terlalu polos," celetuk seorang ibu-ibu di warung makan. Kalimat-kalimat itu terasa seperti tamparan, menusuk harga diri Lidya dan mengingatkannya betapa kecil dirinya di kota ini.

Sehari, dua hari, Lidya hanya makan dari sisa-sisa roti yang ia temukan. Ia mencoba tidur di halte bus yang sepi, namun takut akan kehadiran orang-orang asing. Malam-malam yang dingin ia habiskan di emperan toko, meringkuk ketakutan saat suara-suara aneh dan bayangan menakutkan melintas di sekitarnya. Perutnya kosong, tubuhnya lelah, dan rasa putus asa mulai merayap ke dalam hatinya. Ia mempertanyakan keputusannya untuk pergi. "Apakah aku melakukan hal yang benar?" bisiknya pada diri sendiri.

Namun, di tengah keputusasaan itu, bayangan wajahnya yang polos di masa lalu kembali muncul di benaknya. Wajah yang bodoh, yang begitu mudah percaya, yang membuatnya jatuh ke dalam kehancuran. Bayangan itu menguatkan tekadnya untuk membalas dendam pada dirinya yang dulu. Ia tidak boleh menyerah. Ia harus menjadi seseorang yang kuat, seseorang yang tidak akan pernah lagi dimanfaatkan. Ia tahu, untuk bertahan di kota ini, ia harus melakukan sesuatu yang drastis.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Luna dalam Lara   AKHIR DARI PERMAINAN

    Malam di desa itu terasa dingin dan sunyi, diselimuti kegelapan yang pekat. Luna tiba di bawah pohon beringin tua, tempat Damon memintanya bertemu. Ia mengenakan pakaian kasual, jauh dari gaun mewahnya. Namun, di matanya, Luna yang dingin tetap berkuasa. Ia tahu ini adalah akhir dari perjalanannya. Balas dendamnya akan tuntas malam ini.Luna menunggu. Setiap detik terasa seperti berjam-jam. Ia memikirkan Rizal, rasa sakit yang ia timbulkan. Ia memikirkan Damon, pria yang hampir membuatnya melupakan segalanya. Di saat genting ini, Lidya yang lama, yang rentan dan mencintai, berjuang melawan Luna yang keras dan penuh dendam.Tak lama kemudian, Damon muncul. Wajahnya dipenuhi oleh debu dan kelelahan, tetapi matanya memancarkan tekad. Ia membawa sebuah flash drive kecil di tangannya, menggenggamnya erat seolah itu adalah nyawanya."Kau datang," kata Luna, suaranya pelan."Tentu saja aku datang," balas Damon. Ia melangkah mendekat, tetapi Luna menahan

  • Luna dalam Lara   PENGKHIANATAN DI ATAS PANGGUNG

    Rizal berdiri mematung. Wajahnya yang semula angkuh kini dipenuhi keringat dingin. Ia mencoba mengikuti Luna, tetapi kakinya terasa kaku. Gadis desa yang ia campakkan telah kembali sebagai Luna, seorang wanita yang memancarkan aura bahaya dan kekuasaan."Rizal, kau kenapa? Jangan menghalangi jalanku!" tegur Tuan Sanjaya, menatap Rizal dengan tidak sabar.Rizal tersentak. Ia memaksakan senyum tegang. "Tidak, Tuan Sanjaya. Saya... saya hanya terkejut melihat kenalan lama."Tuan Sanjaya mengabaikannya dan menyambut Luna. "Nona Luna, suatu kehormatan. Rizal sudah sering menceritakan tentang proyek kita, tapi saya lebih tertarik pada selera seni Anda."Luna tersenyum memikat. "Saya rasa, seni dan bisnis memiliki kesamaan, Tuan Sanjaya. Keduanya membutuhkan mata yang tajam untuk melihat nilai tersembunyi. Dan keduanya mudah hancur jika fondasinya rapuh."Di tengah keramaian, Luna dan Tuan Sanjaya terlibat dalam percakapan yang intens. Rizal mengawasi dar

  • Luna dalam Lara   PERMAINAN HATI

    Damon menatap Luna. Sorot matanya kini bercampur antara kepedihan dan tekad yang kuat. Ia mengerti, tawaran Luna adalah sebuah ujian, sekaligus jalan satu-satunya untuk mendekatinya."Apa pun itu, aku akan melakukannya," jawab Damon, suaranya mantap. "Aku akan membantumu. Katakan padaku, apa yang harus kulakukan?"Luna tersenyum sinis. Senyum itu tidak mencapai matanya. "Bagus. Aku suka komitmenmu." Ia melangkah lebih dekat, menatap langsung ke mata Damon. "Aku ingin kau tahu segalanya tentang kakakmu, Rizal. Di mana dia bekerja, dengan siapa dia bergaul, dan apa kelemahannya.""Rizal bekerja di perusahaan properti besar. Aku bisa mendapatkan informasinya," kata Damon. "Tapi kenapa? Apa rencanamu?""Rencanaku sederhana," balas Luna, kini berbisik dengan nada mengancam. "Aku akan membuatnya merasakan apa yang kurasakan. Aku akan menghancurkan apa yang paling dia cintai." Luna menjeda, lalu menambahkan, "Dan aku tidak ingin kau bertanya-tanya. Aku hanya ing

  • Luna dalam Lara   KUPU-KUPU YANG MEMATIKAN

    Klub malam itu bersinar lebih terang dari biasanya, tetapi Luna, yang kini mengenakan gaun hitam panjang yang elegan dan berbahaya, bersinar paling gelap. Ia telah membuang sisa-sisa Lidya yang tersisa. Wajahnya dipoles sempurna, dan tatapan matanya beku, tanpa jejak kehangatan yang pernah Damon lihat.Ia berjalan memasuki ruangan, dan seketika semua mata tertuju padanya. Ia bukan lagi seorang gadis yang mencari pengakuan; ia adalah Luna, sang Dewi Balas Dendam.Seperti malam-malam sebelumnya, Damon berada di sudut yang sama. Ia mengenakan kemeja sederhana, dan wajahnya tampak pucat karena rasa khawatir. Saat mata mereka bertemu, Damon bangkit, mencoba mendekat.Namun, sebelum Damon sempat melangkah, seorang pria kaya, Tuan Arya, yang sudah lama terobsesi pada Luna, menghampirinya. Luna memberinya senyum yang memikat, senyum yang tidak pernah ia berikan kepada Damon."Luna, kau tampak... luar biasa malam ini," kata Tuan Arya, mencoba memegang tangannya.

  • Luna dalam Lara   JEBAKAN BALAS DENDAM

    Ancaman dingin Luna bahwa ia tidak akan memberinya peringatan kedua menggantung di udara, mencekik Damon. Ia berdiri sendiri di tengah lobi klub yang ramai, pandangannya terpaku pada Rizal yang marah dan Luna yang kejam. Ia tahu, Luna telah memenangkan pertempuran itu, tetapi dengan mengorbankan jiwanya sendiri.Damon segera meninggalkan klub dan kembali ke apartemennya. Ia tidak bisa tidur. Ucapan Luna, "Dia adalah kakakku," terus terngiang, menjelaskan mengapa wanita yang dicintainya kini bertekad untuk menghancurkan keluarganya.Pagi harinya, pintu apartemen Damon didobrak dengan kasar. Rizal berdiri di sana, wajahnya pucat pasi dan matanya memerah. Ia baru saja dipecat. Tuan Sanjaya, setelah dihubungi oleh Luna dengan dalih profesionalisme dan etika bisnis yang buruk, membatalkan semua kesepakatan dan menyebarkan desas-desus tentang perilaku tidak etis Rizal."Kau tahu, Damon, aku kehilangan segalanya!" teriak Rizal, melempar vas bunga ke dinding. "Pekerjaan

  • Luna dalam Lara   Cinta Yang Terkhianati

    "Jangan sentuh aku!" teriak Luna, suaranya bergetar hebat. Ia menepis tangan Damon yang berusaha meraihnya. Mereka berada di tengah keramaian pusat perbelanjaan, tetapi bagi Luna, dunia terasa sunyi, hanya ada suara amarahnya sendiri.Damon terkejut. Wajahnya yang semula teduh kini terlihat panik. "Luna, tunggu! Apa yang kamu bicarakan? Kenapa kamu mengatakan itu?"Luna mundur dua langkah, matanya menatap Damon dengan kebencian yang sama besarnya dengan cinta yang baru ia rasakan. Ia melihat bayangan Rizal di mata Damon, dan semua kebaikan yang Damon tunjukkan kini terasa seperti tipuan yang lebih kejam daripada kebohongan Rizal."Kalian semua sama saja!" bentak Luna, air matanya kini mengalir deras, namun itu adalah air mata kemarahan. "Kalian semua hanya bisa merusak hidup orang lain! Kalian semua penuh janji palsu!""Aku tidak tahu apa yang dilakukan Rizal padamu," kata Damon, suaranya kini dipenuhi kesedihan dan kebingungan. "Tapi aku bukan dia! Aku tidak ada hubungannya dengan ma

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status