Beranda / Romansa / Luna dalam Lara / Pertemuan di Tengah Putus Asa

Share

Pertemuan di Tengah Putus Asa

Penulis: Emil
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-23 06:23:44

Di hari ketiga, Lidya tidak bisa lagi menahan rasa lapar. Perutnya terasa perih, dan kepalanya pusing. Ia duduk lemas di sebuah bangku taman yang sepi, menatap kosong kerumunan orang yang berlalu lalang. Di antara semua wajah asing itu, ia merasa benar-benar sendirian. Sebuah suara tiba-tiba memecah kesunyiannya.

"Kamu kelihatannya butuh bantuan."

Lidya mengangkat kepalanya, dan ia melihat seorang wanita paruh baya berdiri di depannya. Wanita itu memiliki rambut yang disanggul rapi dan mengenakan kebaya yang elegan. Mata wanita itu menatap Lidya dengan penuh perhatian, bukan dengan tatapan merendahkan yang sering ia terima.

"Maaf, saya tidak butuh apa-apa," jawab Lidya pelan, mencoba menyembunyikan rasa malu.

Wanita itu tersenyum lembut. "Saya tahu bagaimana rasanya. Saya pernah berada di posisimu." Ia duduk di samping Lidya, mengeluarkan sebotol air mineral dan sepotong roti dari tasnya. "Ambilah. Kamu pasti lapar."

Lidya awalnya ragu, tetapi rasa lapar mengalahkan segalanya. Ia mengambil roti itu dengan tangan gemetar dan memakannya dengan lahap. Wanita itu hanya tersenyum, tidak mengatakan apa-apa sampai Lidya selesai.

"Namaku Tante Rosa," kata wanita itu, mengulurkan tangan. "Dan aku punya tempat di mana kamu bisa mendapatkan uang. Banyak uang."

Lidya memandangnya dengan curiga. "Uang apa, Tante? Saya tidak bisa melakukan pekerjaan yang kotor."

Tante Rosa terkekeh pelan, suaranya terdengar bijak. "Siapa bilang ini pekerjaan kotor? Ini pekerjaan yang jujur, jujur pada dirimu sendiri." Ia melihat ke arah Lidya, tatapannya kini lebih serius. "Aku bisa melihat kepolosan di matamu, Nak. Tapi kepolosan itu bukan kelemahan, itu adalah kekuatan. Kamu bisa menjadi wanita yang kuat, yang tidak akan pernah lagi dimanfaatkan."

Lidya terdiam, kata-kata itu menusuk hatinya. "Saya... saya tidak mengerti."

"Dengarkan aku baik-baik," kata Tante Rosa, suaranya merendah. "Ini bukan tentang menjual diri, Lidya. Ini tentang mengambil kembali apa yang dunia ambil dari kita. Para pria di luar sana, mereka menganggap kita lemah, mereka memanfaatkan kepolosan kita. Di tempatku, kita yang akan memegang kendali. Kita akan membalas dendam."

Kata-kata terakhir itu menusuk hati Lidya. Tante Rosa tidak tahu tentang masa lalu Lidya, tetapi seolah-olah ia bisa membaca pikirannya. "Balas dendam..." gumam Lidya.

"Ya," kata Tante Rosa, suaranya meyakinkan. "Balas dendam pada dunia yang pernah menyakitimu. Aku bisa mengubahmu. Aku bisa membuatmu menjadi wanita yang kuat, yang tidak akan pernah lagi dimanfaatkan."

Lidya memandangi Tante Rosa. Wanita ini, dengan penampilannya yang elegan, seolah-olah menawarkan jalan keluar dari semua rasa sakitnya. Ia tidak lagi peduli pada apa yang orang lain pikirkan. Ia hanya ingin membalaskan dendamnya pada kebodohan masa lalunya.

"Bagaimana caranya?" tanya Lidya, suaranya bergetar.

Tante Rosa tersenyum penuh kemenangan. "Ikut aku. Kau akan tahu."

Lidya mengangguk, menyerahkan dirinya pada takdir yang tidak ia ketahui. Keputusan itu datang bukan dari nafsu, melainkan dari keinginan yang membara untuk menghapus jejak Lidya yang lama. Tante Rosa membawanya ke sebuah apartemen mewah di pusat kota, sebuah tempat yang tampak seperti surga, jauh dari kerasnya jalanan yang Lidya temui sebelumnya.

Di sana, Lidya bertemu dengan beberapa wanita lain. Mereka datang dari latar belakang yang berbeda, tetapi memiliki kisah serupa. Ada yang ditinggalkan, ada yang dimanfaatkan, ada yang dikecewakan. Mereka semua memiliki satu kesamaan, yaitu tekad untuk tidak lagi menjadi korban.

Seorang wanita dengan rambut pirang pendek, yang memperkenalkan dirinya sebagai Siska, menghampiri Lidya. "Wajahmu cantik, tapi masih terlalu lugu," katanya, menyentuh dagu Lidya. "Di sini, wajahmu adalah senjatamu. Tapi otakmu, itu bomnya."

Siska dan wanita-wanita lain mengajarkan Lidya segalanya. Dari cara berjalan dengan kepala tegak, cara berbicara dengan nada berwibawa, hingga cara berpakaian yang dapat menarik perhatian tanpa terlihat murahan.

"Jangan pernah biarkan mereka tahu siapa dirimu sebenarnya," ujar seorang wanita lain bernama Tami. "Pria suka misteri. Jualah fantasi mereka, bukan dirimu."

Lidya adalah murid yang paling cepat. Ia menyerap setiap pelajaran seperti spons. Kepolosannya yang dulu kini menjadi senjata. Ia mempelajari bagaimana memanipulasi orang dengan kebaikan palsu. Ia berlatih di depan cermin, mengubah tatapannya dari tatapan polos menjadi tatapan misterius dan tajam. Setiap hari, ia mematikan sedikit demi sedikit Lidya yang lama.

Tante Rosa memberinya nama baru: Luna.

"Lidya tidak akan pernah kembali ke sini," kata Tante Rosa, saat ia menyerahkan sebuah kartu nama baru kepada Lidya. "Sekarang, kamu adalah Luna."

Nama itu terasa asing di telinganya, tetapi ia menerimanya. Lidya yang lama sudah mati, dan kini ia adalah Luna, seorang wanita yang kuat dan tidak akan pernah lagi dimanfaatkan. Ia menghabiskan berminggu-minggu untuk berlatih, dan setiap kali ia melihat bayangan dirinya di cermin, ia tidak lagi melihat Lidya, gadis desa yang polos. Ia melihat Luna, wanita yang akan membalaskan dendamnya pada dirinya sendiri.

Suatu malam, saat ia sedang berlatih di depan cermin, air mata mengalir dari matanya. Bukan air mata kesedihan, melainkan air mata perpisahan. Ia mengucapkan selamat tinggal pada Lidya yang polos, yang ia tinggalkan di desa. Perpisahan itu menyakitkan, tetapi ia tahu, ini adalah satu-satunya jalan. Ia mengusap air matanya dan menatap bayangannya dengan tekad yang lebih kuat.

"Selamat tinggal, Lidya," bisiknya, suaranya serak. "Mulai sekarang, aku adalah Luna."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Luna dalam Lara   REAKSI SANG NAGA

    Keesokan harinya, seluruh Jakarta diguncang oleh berita utama di media massa. Jurnalis Rina, dengan integritasnya yang tak terbantahkan, memublikasikan laporan investigasi yang sangat rinci mengenai dugaan penggelapan dana bantuan bencana alam oleh Yayasan Harapan Bangsa milik Jenderal Wiratama. Meskipun Luna hanya memberikan sedikit informasi, Rina berhasil mengembangkan kasus itu dengan bukti-bukti tambahan.Luna dan Damon membaca berita itu di safe house, layar laptop mereka memancarkan cahaya yang dingin."Kau berhasil, Lidya," bisik Damon, matanya memancarkan rasa kagum dan cemas. "Seluruh kota membicarakan ini. Citra Jenderal hancur."Luna, yang kembali dikuasai Luna yang strategis, tidak terlihat puas. "Ini hanya pengalih perhatian, Damon. Ini tidak menghancurkannya, hanya membuatnya sibuk. Dia harus membersihkan citranya, memecat beberapa orang, dan menyangkal semuanya di depan publik. Tapi dia tahu, serangan ini datang dariku.""Lalu, ap

  • Luna dalam Lara   UMPAN SANG POLITIKUS

    Luna dan Damon melewati hari-hari berikutnya dalam keheningan yang mencekam di safe house. Damon, meskipun awalnya takut dengan rencana berisiko Luna, kini membantu mengawasi setiap detail yang mungkin terlewat. Namun, ia tetap gelisah."Kau yakin Tuan Dharma tidak akan menyerahkan paket itu langsung pada Jenderal?" tanya Damon, saat ia memandang flash drive cadangan di tangannya."Tuan Dharma adalah politikus," jawab Luna, yang kini menghabiskan waktunya menganalisis laporan media Tuan Dharma. "Politikus tidak takut pada polisi, mereka takut pada opini publik dan skandal. Jika ia menyerahkan paket itu pada Jenderal, Jenderal akan menyelesaikan masalah Rizal, dan Tuan Dharma akan tetap terikat dalam jaringan kejahatan itu. Jika ia bekerja sama dengan kita, ia hanya kehilangan satu rekanan kotor Rizal tapi menyelamatkan reputasinya dan seluruh karir politiknya."Luna telah mengirimkan paket tersebut melalui kurir anonim yang sangat terpercaya, m

  • Luna dalam Lara   SARANG BARU SANG STRATEGIS

    Apartemen yang diberikan Tante Rosa adalah tempat yang sempurna untuk bersembunyi. Lokasinya berada di lantai atas sebuah gedung tua yang tidak mencolok, jauh dari keramaian pusat kota, dengan sistem keamanan yang ketat dan pintu ganda yang tersembunyi. Tempat itu sederhana namun fungsional, sebuah safe house yang hanya diketahui oleh sedikit orang.Luna segera menghubungi Tante Rosa melalui sambungan telepon rahasia yang telah dipasang."Terima kasih, Tante," kata Lidya. "Apartemen ini aman.""Tentu saja aman, Luna," balas Tante Rosa, suaranya terdengar dingin dan efisien. "Aku tidak pernah main-main soal keamanan. Tapi kau harus tahu, ini tidak akan lama. Jenderal itu seperti air, dia akan menemukan celah.""Aku tahu," jawab Luna, yang kini kembali mengambil kendali. "Dia sudah mulai menyerang Damon. Dia membuat Damon dipecat."Damon duduk di samping Lidya, wajahnya terlihat putus asa. "Kita tidak bisa melakukan ini sendirian, Lidya. Dia

  • Luna dalam Lara   HARGA SEBUAH BLUFF

    Luna kembali ke mobil Tante Rosa dengan langkah cepat dan tegas. Di dalam mobil yang melaju membelah keramaian kota, ia segera menghubungi Tante Rosa, suaranya dipenuhi urgensi yang tak terbantahkan."Tante, aku butuh bantuanmu sekarang juga," perintah Luna, nadanya tanpa basa basi. "Dia curiga. Aku berhasil membuatnya ragu tentang dokumen itu, tapi itu hanya akan bertahan beberapa jam. Jenderal itu pasti akan mengincar Damon.""Aku sudah menduga," balas Tante Rosa dari ujung telepon, suaranya tenang. "Kau baru saja menusuk naga di mata. Berikan alamat apartemenmu. Aku akan kirim orang terbaikku untuk mengawasi Damon. Jangan bergerak ke mana mana sampai aku mengirimkan pesan."Luna memberikan alamatnya. Ia tahu, meskipun ia kini adalah Luna yang berani, ia tidak bisa melawan jaringan Jenderal Wiratama sendirian. Kelemahan terbesarnya Damon kini menjadi target utama. Selama perjalanan, ia melepas gaun elegan dan menggantinya dengan kaus hitam dan jaket biasa yang

  • Luna dalam Lara   PERMAINAN SANG NAGA

    Lidya tiba di lokasi pertemuan: sebuah restoran fine dining yang sangat eksklusif, terletak di lantai paling atas gedung pencakar langit yang menjulang tinggi di pusat kota. Pemandangan kota Jakarta di bawahnya berkelip layaknya lautan bintang yang dingin dan tak peduli, seolah menjadi latar yang sempurna untuk pertempuran strategi ini. Lidya, yang kini adalah perpaduan antara Lidya yang hangat dan Luna yang tajam, mengenakan gaun hitam panjang dan elegan. Di lehernya, kalung perak sederhana Damon bersinar samar, menjadi jangkar di tengah kegelisahannya.Ia diantar oleh seorang waiter yang berjas rapi menuju sebuah ruang makan privat. Di dalam, Jenderal Wiratama sudah menunggunya sendirian. Pria itu benar-benar sosok yang mengesankan sekitar enam puluhan, namun memancarkan kekuasaan yang terasa menekan. Ia mengenakan jas mahal berwarna abu-abu gelap. Sikapnya yang tenang dan sorot matanya yang tajam menunjukkan bahwa ia adalah seorang predator yang terbiasa mend

  • Luna dalam Lara   KEMBALINYA SANG STRATEGIS

    Pesan dari Jenderal Wiratama yang datang dalam bentuk kartu nama mewah itu terasa seperti bom waktu yang tiba-tiba diletakkan di tengah apartemen Lidya dan Damon. Mereka duduk di ruang tamu yang sunyi, di bawah cahaya lampu temaram, dengan ketegangan yang lebih menusuk daripada angin malam.Damon berdiri, mondar-mandir di ruangan sempit itu, tangannya mengusap wajahnya berkali-kali. "Kita harus pergi, Lidya," desaknya, suaranya dipenuhi kepanikan. "Kita bisa naik kereta, pergi ke luar pulau. Kita bisa jual perhiasan Tante Rosa. Kita bisa menghilang."Lidya tetap duduk tegak di sofa. Ia memegang kartu nama itu, matanya membaca tulisan nama 'Jenderal Wiratama' berulang kali. "Melarikan diri ke mana, Damon? Kau pikir aku akan lari lagi?""Aku mohon, jangan keras kepala!" Damon berlutut di depannya, menggenggam kedua tangan Lidya. "Ini bukan Rizal! Dia punya tentara, dia punya kekuasaan. Dia bisa menemukan kita di mana pun, dan kali ini, dia tidak akan hanya memukul

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status