Di hari ketiga, Lidya tidak bisa lagi menahan rasa lapar. Perutnya terasa perih, dan kepalanya pusing. Ia duduk lemas di sebuah bangku taman yang sepi, menatap kosong kerumunan orang yang berlalu lalang. Di antara semua wajah asing itu, ia merasa benar-benar sendirian. Sebuah suara tiba-tiba memecah kesunyiannya.
"Kamu kelihatannya butuh bantuan."
Lidya mengangkat kepalanya, dan ia melihat seorang wanita paruh baya berdiri di depannya. Wanita itu memiliki rambut yang disanggul rapi dan mengenakan kebaya yang elegan. Mata wanita itu menatap Lidya dengan penuh perhatian, bukan dengan tatapan merendahkan yang sering ia terima.
"Maaf, saya tidak butuh apa-apa," jawab Lidya pelan, mencoba menyembunyikan rasa malu.
Wanita itu tersenyum lembut. "Saya tahu bagaimana rasanya. Saya pernah berada di posisimu." Ia duduk di samping Lidya, mengeluarkan sebotol air mineral dan sepotong roti dari tasnya. "Ambilah. Kamu pasti lapar."
Lidya awalnya ragu, tetapi rasa lapar mengalahkan segalanya. Ia mengambil roti itu dengan tangan gemetar dan memakannya dengan lahap. Wanita itu hanya tersenyum, tidak mengatakan apa-apa sampai Lidya selesai.
"Namaku Tante Rosa," kata wanita itu, mengulurkan tangan. "Dan aku punya tempat di mana kamu bisa mendapatkan uang. Banyak uang."
Lidya memandangnya dengan curiga. "Uang apa, Tante? Saya tidak bisa melakukan pekerjaan yang kotor."
Tante Rosa terkekeh pelan, suaranya terdengar bijak. "Siapa bilang ini pekerjaan kotor? Ini pekerjaan yang jujur, jujur pada dirimu sendiri." Ia melihat ke arah Lidya, tatapannya kini lebih serius. "Aku bisa melihat kepolosan di matamu, Nak. Tapi kepolosan itu bukan kelemahan, itu adalah kekuatan. Kamu bisa menjadi wanita yang kuat, yang tidak akan pernah lagi dimanfaatkan."
Lidya terdiam, kata-kata itu menusuk hatinya. "Saya... saya tidak mengerti."
"Dengarkan aku baik-baik," kata Tante Rosa, suaranya merendah. "Ini bukan tentang menjual diri, Lidya. Ini tentang mengambil kembali apa yang dunia ambil dari kita. Para pria di luar sana, mereka menganggap kita lemah, mereka memanfaatkan kepolosan kita. Di tempatku, kita yang akan memegang kendali. Kita akan membalas dendam."
Kata-kata terakhir itu menusuk hati Lidya. Tante Rosa tidak tahu tentang masa lalu Lidya, tetapi seolah-olah ia bisa membaca pikirannya. "Balas dendam..." gumam Lidya.
"Ya," kata Tante Rosa, suaranya meyakinkan. "Balas dendam pada dunia yang pernah menyakitimu. Aku bisa mengubahmu. Aku bisa membuatmu menjadi wanita yang kuat, yang tidak akan pernah lagi dimanfaatkan."
Lidya memandangi Tante Rosa. Wanita ini, dengan penampilannya yang elegan, seolah-olah menawarkan jalan keluar dari semua rasa sakitnya. Ia tidak lagi peduli pada apa yang orang lain pikirkan. Ia hanya ingin membalaskan dendamnya pada kebodohan masa lalunya.
"Bagaimana caranya?" tanya Lidya, suaranya bergetar.
Tante Rosa tersenyum penuh kemenangan. "Ikut aku. Kau akan tahu."
Lidya mengangguk, menyerahkan dirinya pada takdir yang tidak ia ketahui. Keputusan itu datang bukan dari nafsu, melainkan dari keinginan yang membara untuk menghapus jejak Lidya yang lama. Tante Rosa membawanya ke sebuah apartemen mewah di pusat kota, sebuah tempat yang tampak seperti surga, jauh dari kerasnya jalanan yang Lidya temui sebelumnya.
Di sana, Lidya bertemu dengan beberapa wanita lain. Mereka datang dari latar belakang yang berbeda, tetapi memiliki kisah serupa. Ada yang ditinggalkan, ada yang dimanfaatkan, ada yang dikecewakan. Mereka semua memiliki satu kesamaan, yaitu tekad untuk tidak lagi menjadi korban.
Seorang wanita dengan rambut pirang pendek, yang memperkenalkan dirinya sebagai Siska, menghampiri Lidya. "Wajahmu cantik, tapi masih terlalu lugu," katanya, menyentuh dagu Lidya. "Di sini, wajahmu adalah senjatamu. Tapi otakmu, itu bomnya."
Siska dan wanita-wanita lain mengajarkan Lidya segalanya. Dari cara berjalan dengan kepala tegak, cara berbicara dengan nada berwibawa, hingga cara berpakaian yang dapat menarik perhatian tanpa terlihat murahan.
"Jangan pernah biarkan mereka tahu siapa dirimu sebenarnya," ujar seorang wanita lain bernama Tami. "Pria suka misteri. Jualah fantasi mereka, bukan dirimu."
Lidya adalah murid yang paling cepat. Ia menyerap setiap pelajaran seperti spons. Kepolosannya yang dulu kini menjadi senjata. Ia mempelajari bagaimana memanipulasi orang dengan kebaikan palsu. Ia berlatih di depan cermin, mengubah tatapannya dari tatapan polos menjadi tatapan misterius dan tajam. Setiap hari, ia mematikan sedikit demi sedikit Lidya yang lama.
Tante Rosa memberinya nama baru: Luna.
"Lidya tidak akan pernah kembali ke sini," kata Tante Rosa, saat ia menyerahkan sebuah kartu nama baru kepada Lidya. "Sekarang, kamu adalah Luna."
Nama itu terasa asing di telinganya, tetapi ia menerimanya. Lidya yang lama sudah mati, dan kini ia adalah Luna, seorang wanita yang kuat dan tidak akan pernah lagi dimanfaatkan. Ia menghabiskan berminggu-minggu untuk berlatih, dan setiap kali ia melihat bayangan dirinya di cermin, ia tidak lagi melihat Lidya, gadis desa yang polos. Ia melihat Luna, wanita yang akan membalaskan dendamnya pada dirinya sendiri.
Suatu malam, saat ia sedang berlatih di depan cermin, air mata mengalir dari matanya. Bukan air mata kesedihan, melainkan air mata perpisahan. Ia mengucapkan selamat tinggal pada Lidya yang polos, yang ia tinggalkan di desa. Perpisahan itu menyakitkan, tetapi ia tahu, ini adalah satu-satunya jalan. Ia mengusap air matanya dan menatap bayangannya dengan tekad yang lebih kuat.
"Selamat tinggal, Lidya," bisiknya, suaranya serak. "Mulai sekarang, aku adalah Luna."
Malam di desa itu terasa dingin dan sunyi, diselimuti kegelapan yang pekat. Luna tiba di bawah pohon beringin tua, tempat Damon memintanya bertemu. Ia mengenakan pakaian kasual, jauh dari gaun mewahnya. Namun, di matanya, Luna yang dingin tetap berkuasa. Ia tahu ini adalah akhir dari perjalanannya. Balas dendamnya akan tuntas malam ini.Luna menunggu. Setiap detik terasa seperti berjam-jam. Ia memikirkan Rizal, rasa sakit yang ia timbulkan. Ia memikirkan Damon, pria yang hampir membuatnya melupakan segalanya. Di saat genting ini, Lidya yang lama, yang rentan dan mencintai, berjuang melawan Luna yang keras dan penuh dendam.Tak lama kemudian, Damon muncul. Wajahnya dipenuhi oleh debu dan kelelahan, tetapi matanya memancarkan tekad. Ia membawa sebuah flash drive kecil di tangannya, menggenggamnya erat seolah itu adalah nyawanya."Kau datang," kata Luna, suaranya pelan."Tentu saja aku datang," balas Damon. Ia melangkah mendekat, tetapi Luna menahan
Rizal berdiri mematung. Wajahnya yang semula angkuh kini dipenuhi keringat dingin. Ia mencoba mengikuti Luna, tetapi kakinya terasa kaku. Gadis desa yang ia campakkan telah kembali sebagai Luna, seorang wanita yang memancarkan aura bahaya dan kekuasaan."Rizal, kau kenapa? Jangan menghalangi jalanku!" tegur Tuan Sanjaya, menatap Rizal dengan tidak sabar.Rizal tersentak. Ia memaksakan senyum tegang. "Tidak, Tuan Sanjaya. Saya... saya hanya terkejut melihat kenalan lama."Tuan Sanjaya mengabaikannya dan menyambut Luna. "Nona Luna, suatu kehormatan. Rizal sudah sering menceritakan tentang proyek kita, tapi saya lebih tertarik pada selera seni Anda."Luna tersenyum memikat. "Saya rasa, seni dan bisnis memiliki kesamaan, Tuan Sanjaya. Keduanya membutuhkan mata yang tajam untuk melihat nilai tersembunyi. Dan keduanya mudah hancur jika fondasinya rapuh."Di tengah keramaian, Luna dan Tuan Sanjaya terlibat dalam percakapan yang intens. Rizal mengawasi dar
Damon menatap Luna. Sorot matanya kini bercampur antara kepedihan dan tekad yang kuat. Ia mengerti, tawaran Luna adalah sebuah ujian, sekaligus jalan satu-satunya untuk mendekatinya."Apa pun itu, aku akan melakukannya," jawab Damon, suaranya mantap. "Aku akan membantumu. Katakan padaku, apa yang harus kulakukan?"Luna tersenyum sinis. Senyum itu tidak mencapai matanya. "Bagus. Aku suka komitmenmu." Ia melangkah lebih dekat, menatap langsung ke mata Damon. "Aku ingin kau tahu segalanya tentang kakakmu, Rizal. Di mana dia bekerja, dengan siapa dia bergaul, dan apa kelemahannya.""Rizal bekerja di perusahaan properti besar. Aku bisa mendapatkan informasinya," kata Damon. "Tapi kenapa? Apa rencanamu?""Rencanaku sederhana," balas Luna, kini berbisik dengan nada mengancam. "Aku akan membuatnya merasakan apa yang kurasakan. Aku akan menghancurkan apa yang paling dia cintai." Luna menjeda, lalu menambahkan, "Dan aku tidak ingin kau bertanya-tanya. Aku hanya ing
Klub malam itu bersinar lebih terang dari biasanya, tetapi Luna, yang kini mengenakan gaun hitam panjang yang elegan dan berbahaya, bersinar paling gelap. Ia telah membuang sisa-sisa Lidya yang tersisa. Wajahnya dipoles sempurna, dan tatapan matanya beku, tanpa jejak kehangatan yang pernah Damon lihat.Ia berjalan memasuki ruangan, dan seketika semua mata tertuju padanya. Ia bukan lagi seorang gadis yang mencari pengakuan; ia adalah Luna, sang Dewi Balas Dendam.Seperti malam-malam sebelumnya, Damon berada di sudut yang sama. Ia mengenakan kemeja sederhana, dan wajahnya tampak pucat karena rasa khawatir. Saat mata mereka bertemu, Damon bangkit, mencoba mendekat.Namun, sebelum Damon sempat melangkah, seorang pria kaya, Tuan Arya, yang sudah lama terobsesi pada Luna, menghampirinya. Luna memberinya senyum yang memikat, senyum yang tidak pernah ia berikan kepada Damon."Luna, kau tampak... luar biasa malam ini," kata Tuan Arya, mencoba memegang tangannya.
Ancaman dingin Luna bahwa ia tidak akan memberinya peringatan kedua menggantung di udara, mencekik Damon. Ia berdiri sendiri di tengah lobi klub yang ramai, pandangannya terpaku pada Rizal yang marah dan Luna yang kejam. Ia tahu, Luna telah memenangkan pertempuran itu, tetapi dengan mengorbankan jiwanya sendiri.Damon segera meninggalkan klub dan kembali ke apartemennya. Ia tidak bisa tidur. Ucapan Luna, "Dia adalah kakakku," terus terngiang, menjelaskan mengapa wanita yang dicintainya kini bertekad untuk menghancurkan keluarganya.Pagi harinya, pintu apartemen Damon didobrak dengan kasar. Rizal berdiri di sana, wajahnya pucat pasi dan matanya memerah. Ia baru saja dipecat. Tuan Sanjaya, setelah dihubungi oleh Luna dengan dalih profesionalisme dan etika bisnis yang buruk, membatalkan semua kesepakatan dan menyebarkan desas-desus tentang perilaku tidak etis Rizal."Kau tahu, Damon, aku kehilangan segalanya!" teriak Rizal, melempar vas bunga ke dinding. "Pekerjaan
"Jangan sentuh aku!" teriak Luna, suaranya bergetar hebat. Ia menepis tangan Damon yang berusaha meraihnya. Mereka berada di tengah keramaian pusat perbelanjaan, tetapi bagi Luna, dunia terasa sunyi, hanya ada suara amarahnya sendiri.Damon terkejut. Wajahnya yang semula teduh kini terlihat panik. "Luna, tunggu! Apa yang kamu bicarakan? Kenapa kamu mengatakan itu?"Luna mundur dua langkah, matanya menatap Damon dengan kebencian yang sama besarnya dengan cinta yang baru ia rasakan. Ia melihat bayangan Rizal di mata Damon, dan semua kebaikan yang Damon tunjukkan kini terasa seperti tipuan yang lebih kejam daripada kebohongan Rizal."Kalian semua sama saja!" bentak Luna, air matanya kini mengalir deras, namun itu adalah air mata kemarahan. "Kalian semua hanya bisa merusak hidup orang lain! Kalian semua penuh janji palsu!""Aku tidak tahu apa yang dilakukan Rizal padamu," kata Damon, suaranya kini dipenuhi kesedihan dan kebingungan. "Tapi aku bukan dia! Aku tidak ada hubungannya dengan ma