Beranda / Romansa / Luna dalam Lara / Hilangnya Sebuah Janji

Share

Hilangnya Sebuah Janji

Penulis: Emil
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-23 06:08:38

Kaki Lidya membeku di jalan setapak. Jantungnya berdebar kencang, suaranya terasa begitu keras di telinganya. Suara itu begitu akrab, dan begitu menakutkan, datang dari bayangan gelap di bawah pohon beringin tua. Suara itu begitu akrab, dan begitu menakutkan, membuat Lidya membeku di tempatnya.

"Tidak kusangka kita akan bertemu lagi, Lidya."

Bayangan itu melangkah keluar dari kegelapan. Lidya terkesiap. Itu bukan Rizal. Itu adalah seorang wanita. Seorang wanita muda, dengan mata yang dingin dan senyum yang sinis. Wanita itu melangkah lebih dekat, dan Lidya bisa melihatnya dengan jelas. Ia adalah Mira, sahabat masa kecil Lidya.

"Aku pikir kau sudah mati," kata Mira, suaranya dipenuhi kebencian.

Lidya tidak bisa bicara. Ia terlalu terkejut melihat Mira, sahabat yang ia anggap saudara, berdiri di depannya. "Mira... apa yang kau lakukan di sini?"

Mira tertawa sinis. "Apa yang aku lakukan? Seharusnya aku yang bertanya, Lidya. Apa yang kau lakukan di sini? Kau pikir kau bisa pergi begitu saja?"

Lidya tidak mengerti. Ia tidak tahu apa yang Mira bicarakan. "Aku harus pergi, Mira. Aku tidak bisa tinggal di sini lagi."

"Tentu saja kau tidak bisa tinggal di sini lagi," kata Mira, suaranya terdengar seperti bisikan ular. "Kau merenggutnya dariku, Lidya. Kau merenggut kebahagiaanku."

Dunia Lidya seakan runtuh untuk ketiga kalinya. Ia tidak mengerti apa yang Mira bicarakan. "Aku... aku tidak tahu apa yang kau bicarakan."

Mira tertawa sinis lagi. "Kau tahu, Lidya. Kau tahu tentang Rizal. Kau tahu betapa aku mencintainya. Dan kau... kau merebutnya dariku."

Kebenaran itu menghantam Lidya seperti badai. Rizal... pria yang telah menyakitinya, ternyata adalah pria yang dicintai sahabatnya. Lidya tidak tahu harus merasa apa. Ia merasa bersalah, sedih, dan marah. Marah pada Rizal, dan marah pada dirinya sendiri.

"Aku tidak tahu, Mira. Aku bersumpah, aku tidak tahu," bisik Lidya, air mata mengalir dari matanya.

"Kau pembohong!" teriak Mira, suaranya memecah kesunyian malam. "Kau pembohong, Lidya! Kau menghancurkan hidupku!"

Lidya tidak bisa menjawab. Ia hanya bisa menangis. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki segalanya. Ia hanya bisa berlari. Ia berbalik dan berlari sekuat tenaga, meninggalkan Mira di belakangnya, menangis di tengah kegelapan.


Lidya tiba di Jakarta saat matahari baru saja terbit, cahayanya yang pucat menyinari jalanan yang sudah dipenuhi oleh deru klakson dan keramaian. Udara yang ia hirup terasa berbeda; bukan lagi aroma tanah basah dan bunga melati, melainkan bau asap knalpot, keringat, dan sampah yang bercampur. Ia turun dari bus dengan langkah ragu, matanya meluas melihat gedung-gedung tinggi yang menjulang ke langit, seolah-olah siap menelan siapa saja yang berani datang.

Dibandingkan dengan desanya yang damai, Jakarta adalah monster raksasa yang bergerak tanpa henti. Orang-orang berjalan cepat, wajah mereka tegang dan tanpa ekspresi. Tidak ada senyum ramah yang ia kenal. Semua orang sibuk dengan urusan mereka sendiri, tidak peduli pada seorang gadis dari desa yang kini berdiri bingung di trotoar. Lidya merasa seperti serangga kecil yang terombang-ambing di tengah badai.

Dengan hanya sedikit uang di saku, Lidya harus berjuang mencari tempat tinggal dan pekerjaan. Ia mencoba melamar di beberapa toko dan warung makan, tetapi pengalamannya yang minim membuatnya selalu ditolak. "Maaf, kami butuh yang sudah punya pengalaman," kata seorang pemilik toko. "Kamu masih terlalu polos," celetuk seorang ibu-ibu di warung makan. Kalimat-kalimat itu terasa seperti tamparan, menusuk harga diri Lidya dan mengingatkannya betapa kecil dirinya di kota ini.

Sehari, dua hari, Lidya hanya makan dari sisa-sisa roti yang ia temukan. Ia mencoba tidur di halte bus yang sepi, namun takut akan kehadiran orang-orang asing. Malam-malam yang dingin ia habiskan di emperan toko, meringkuk ketakutan saat suara-suara aneh dan bayangan menakutkan melintas di sekitarnya. Perutnya kosong, tubuhnya lelah, dan rasa putus asa mulai merayap ke dalam hatinya. Ia mempertanyakan keputusannya untuk pergi. "Apakah aku melakukan hal yang benar?" bisiknya pada diri sendiri.

Namun, di tengah keputusasaan itu, bayangan wajahnya yang polos di masa lalu kembali muncul di benaknya. Wajah yang bodoh, yang begitu mudah percaya, yang membuatnya jatuh ke dalam kehancuran. Bayangan itu menguatkan tekadnya untuk membalas dendam pada dirinya yang dulu. Ia tidak boleh menyerah. Ia harus menjadi seseorang yang kuat, seseorang yang tidak akan pernah lagi dimanfaatkan. Ia tahu, untuk bertahan di kota ini, ia harus melakukan sesuatu yang drastis.

Di hari ketiga, Lidya tidak bisa lagi menahan rasa lapar. Perutnya terasa perih, dan kepalanya pusing. Ia duduk lemas di sebuah bangku taman yang sepi, menatap kosong kerumunan orang yang berlalu lalang. Di antara semua wajah asing itu, ia merasa benar-benar sendirian. Sebuah suara tiba-tiba memecah kesunyiannya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Luna dalam Lara   AKHIR DARI PERMAINAN

    Malam di desa itu terasa dingin dan sunyi, diselimuti kegelapan yang pekat. Luna tiba di bawah pohon beringin tua, tempat Damon memintanya bertemu. Ia mengenakan pakaian kasual, jauh dari gaun mewahnya. Namun, di matanya, Luna yang dingin tetap berkuasa. Ia tahu ini adalah akhir dari perjalanannya. Balas dendamnya akan tuntas malam ini.Luna menunggu. Setiap detik terasa seperti berjam-jam. Ia memikirkan Rizal, rasa sakit yang ia timbulkan. Ia memikirkan Damon, pria yang hampir membuatnya melupakan segalanya. Di saat genting ini, Lidya yang lama, yang rentan dan mencintai, berjuang melawan Luna yang keras dan penuh dendam.Tak lama kemudian, Damon muncul. Wajahnya dipenuhi oleh debu dan kelelahan, tetapi matanya memancarkan tekad. Ia membawa sebuah flash drive kecil di tangannya, menggenggamnya erat seolah itu adalah nyawanya."Kau datang," kata Luna, suaranya pelan."Tentu saja aku datang," balas Damon. Ia melangkah mendekat, tetapi Luna menahan

  • Luna dalam Lara   PENGKHIANATAN DI ATAS PANGGUNG

    Rizal berdiri mematung. Wajahnya yang semula angkuh kini dipenuhi keringat dingin. Ia mencoba mengikuti Luna, tetapi kakinya terasa kaku. Gadis desa yang ia campakkan telah kembali sebagai Luna, seorang wanita yang memancarkan aura bahaya dan kekuasaan."Rizal, kau kenapa? Jangan menghalangi jalanku!" tegur Tuan Sanjaya, menatap Rizal dengan tidak sabar.Rizal tersentak. Ia memaksakan senyum tegang. "Tidak, Tuan Sanjaya. Saya... saya hanya terkejut melihat kenalan lama."Tuan Sanjaya mengabaikannya dan menyambut Luna. "Nona Luna, suatu kehormatan. Rizal sudah sering menceritakan tentang proyek kita, tapi saya lebih tertarik pada selera seni Anda."Luna tersenyum memikat. "Saya rasa, seni dan bisnis memiliki kesamaan, Tuan Sanjaya. Keduanya membutuhkan mata yang tajam untuk melihat nilai tersembunyi. Dan keduanya mudah hancur jika fondasinya rapuh."Di tengah keramaian, Luna dan Tuan Sanjaya terlibat dalam percakapan yang intens. Rizal mengawasi dar

  • Luna dalam Lara   PERMAINAN HATI

    Damon menatap Luna. Sorot matanya kini bercampur antara kepedihan dan tekad yang kuat. Ia mengerti, tawaran Luna adalah sebuah ujian, sekaligus jalan satu-satunya untuk mendekatinya."Apa pun itu, aku akan melakukannya," jawab Damon, suaranya mantap. "Aku akan membantumu. Katakan padaku, apa yang harus kulakukan?"Luna tersenyum sinis. Senyum itu tidak mencapai matanya. "Bagus. Aku suka komitmenmu." Ia melangkah lebih dekat, menatap langsung ke mata Damon. "Aku ingin kau tahu segalanya tentang kakakmu, Rizal. Di mana dia bekerja, dengan siapa dia bergaul, dan apa kelemahannya.""Rizal bekerja di perusahaan properti besar. Aku bisa mendapatkan informasinya," kata Damon. "Tapi kenapa? Apa rencanamu?""Rencanaku sederhana," balas Luna, kini berbisik dengan nada mengancam. "Aku akan membuatnya merasakan apa yang kurasakan. Aku akan menghancurkan apa yang paling dia cintai." Luna menjeda, lalu menambahkan, "Dan aku tidak ingin kau bertanya-tanya. Aku hanya ing

  • Luna dalam Lara   KUPU-KUPU YANG MEMATIKAN

    Klub malam itu bersinar lebih terang dari biasanya, tetapi Luna, yang kini mengenakan gaun hitam panjang yang elegan dan berbahaya, bersinar paling gelap. Ia telah membuang sisa-sisa Lidya yang tersisa. Wajahnya dipoles sempurna, dan tatapan matanya beku, tanpa jejak kehangatan yang pernah Damon lihat.Ia berjalan memasuki ruangan, dan seketika semua mata tertuju padanya. Ia bukan lagi seorang gadis yang mencari pengakuan; ia adalah Luna, sang Dewi Balas Dendam.Seperti malam-malam sebelumnya, Damon berada di sudut yang sama. Ia mengenakan kemeja sederhana, dan wajahnya tampak pucat karena rasa khawatir. Saat mata mereka bertemu, Damon bangkit, mencoba mendekat.Namun, sebelum Damon sempat melangkah, seorang pria kaya, Tuan Arya, yang sudah lama terobsesi pada Luna, menghampirinya. Luna memberinya senyum yang memikat, senyum yang tidak pernah ia berikan kepada Damon."Luna, kau tampak... luar biasa malam ini," kata Tuan Arya, mencoba memegang tangannya.

  • Luna dalam Lara   JEBAKAN BALAS DENDAM

    Ancaman dingin Luna bahwa ia tidak akan memberinya peringatan kedua menggantung di udara, mencekik Damon. Ia berdiri sendiri di tengah lobi klub yang ramai, pandangannya terpaku pada Rizal yang marah dan Luna yang kejam. Ia tahu, Luna telah memenangkan pertempuran itu, tetapi dengan mengorbankan jiwanya sendiri.Damon segera meninggalkan klub dan kembali ke apartemennya. Ia tidak bisa tidur. Ucapan Luna, "Dia adalah kakakku," terus terngiang, menjelaskan mengapa wanita yang dicintainya kini bertekad untuk menghancurkan keluarganya.Pagi harinya, pintu apartemen Damon didobrak dengan kasar. Rizal berdiri di sana, wajahnya pucat pasi dan matanya memerah. Ia baru saja dipecat. Tuan Sanjaya, setelah dihubungi oleh Luna dengan dalih profesionalisme dan etika bisnis yang buruk, membatalkan semua kesepakatan dan menyebarkan desas-desus tentang perilaku tidak etis Rizal."Kau tahu, Damon, aku kehilangan segalanya!" teriak Rizal, melempar vas bunga ke dinding. "Pekerjaan

  • Luna dalam Lara   Cinta Yang Terkhianati

    "Jangan sentuh aku!" teriak Luna, suaranya bergetar hebat. Ia menepis tangan Damon yang berusaha meraihnya. Mereka berada di tengah keramaian pusat perbelanjaan, tetapi bagi Luna, dunia terasa sunyi, hanya ada suara amarahnya sendiri.Damon terkejut. Wajahnya yang semula teduh kini terlihat panik. "Luna, tunggu! Apa yang kamu bicarakan? Kenapa kamu mengatakan itu?"Luna mundur dua langkah, matanya menatap Damon dengan kebencian yang sama besarnya dengan cinta yang baru ia rasakan. Ia melihat bayangan Rizal di mata Damon, dan semua kebaikan yang Damon tunjukkan kini terasa seperti tipuan yang lebih kejam daripada kebohongan Rizal."Kalian semua sama saja!" bentak Luna, air matanya kini mengalir deras, namun itu adalah air mata kemarahan. "Kalian semua hanya bisa merusak hidup orang lain! Kalian semua penuh janji palsu!""Aku tidak tahu apa yang dilakukan Rizal padamu," kata Damon, suaranya kini dipenuhi kesedihan dan kebingungan. "Tapi aku bukan dia! Aku tidak ada hubungannya dengan ma

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status