Home / Horor / Lupa Cara Pulang / Rumah Tanpa Jalan Keluar

Share

Lupa Cara Pulang
Lupa Cara Pulang
Author: Aji

Rumah Tanpa Jalan Keluar

Author: Aji
last update Last Updated: 2025-08-05 06:09:02

Suara gemerisik daun kering terdengar pelan saat Rey membuka matanya. Rasa berat di kepalanya membuatnya butuh beberapa detik untuk sadar sepenuhnya. Ia terbaring di lantai kayu dingin, di sebuah ruangan asing. Langit-langitnya dipenuhi sarang laba-laba, dan jendela kecil di pojok ruangan memantulkan cahaya redup matahari yang terhalang kabut tebal.

"Di mana aku…?"

Ia bangkit perlahan. Tubuhnya terasa pegal, dan bajunya berdebu. Tidak ada yang familiar di sekelilingnya. Ruangan itu tampak seperti kamar tua tak terpakai, dengan satu lemari kayu besar yang catnya sudah mengelupas dan sebuah cermin berbingkai retak di sisi kanan.

Rey berjalan ke jendela. Apa yang ia lihat di luar membuat jantungnya berdegup lebih cepat.

Sebuah desa. Rumah-rumah kayu tua berdiri di antara kabut, jalanan tanah yang sepi, dan pepohonan tinggi menjulang yang tampak seperti penjaga sunyi. Tidak ada suara kendaraan. Tidak ada sinyal di ponselnya. Bahkan... tidak ada jejak kehidupan.

Ia turun melewati tangga tua yang berderit di setiap langkahnya. Lantai bawah tampak lebih terang—ada dapur sederhana, kursi goyang di pojok ruangan, dan pintu depan yang terbuka setengah.

Rey mendekatinya, hendak melangkah keluar ketika—

"Rey?"

Ia menoleh. Seorang wanita tua berdiri di ambang dapur, mengenakan daster lusuh dan menatapnya dengan mata kosong. Wajahnya keriput, namun ada sesuatu yang mengganggu... senyumnya terlalu lebar. Terlalu lekat.

"Kau sudah bangun, Nak. Syukurlah..."

Rey terdiam. "Anda siapa?"

Wanita itu tertawa kecil, serak. "Jangan bercanda. Kau pasti masih pusing. Ibu masakkan sup kesukaanmu."

"Aku… tidak kenal Anda. Aku bahkan tak tahu tempat apa ini."

Raut wajah wanita itu berubah sedikit, lalu kembali tersenyum.

"Ah, ingatanmu pasti belum pulih. Tak apa. Kau di rumah. Di rumah kita, Rey."

Rey mundur satu langkah. Nafasnya terasa berat. "Aku harus pergi."

"Tak bisa," jawab wanita itu tenang. "Kau sudah pulang."

Ia berbalik dan berlari keluar rumah. Tanah basah di bawah kakinya membuat langkahnya tergelincir, tapi ia terus berlari, melewati jalan utama desa yang sepi. Setiap rumah yang dilewatinya tampak kosong… namun ada mata yang mengintip dari balik tirai. Setiap langkahnya seperti diawasi.

Setelah lima belas menit berlari, ia sampai di ujung desa—jalan kecil yang menurun, menembus hutan. Ia mengambil napas panjang dan menapaki jalan itu tanpa menoleh.

Ia berjalan dan terus berjalan. Setengah jam. Satu jam.

Sampai ia keluar dari pepohonan… dan mendapati rumah tempat ia terbangun tadi, tepat di depannya.

Mustahil.

Ia berbalik. Jalan yang tadi ia lewati menghilang. Pepohonan tampak berbeda. Langit mulai menggelap. Udara terasa lebih dingin. Angin berhembus pelan, membawa suara samar yang tak bisa dijelaskan—seperti bisikan.

Ia menggenggam rambutnya frustasi.

“Tidak mungkin... Aku barusan pergi dari sini…”

Tiba-tiba suara kursi goyang berderit terdengar dari dalam rumah. Rey menoleh ke jendela. Wanita tua itu duduk di sana, tersenyum padanya, seperti tahu ia akan kembali.

Lalu ia menyaksikan hal yang tak masuk akal—wanita itu berdiri… padahal bayangannya masih duduk di kursi goyang. Dua sosok yang sama. Dua wajah yang identik. Tapi hanya satu yang menatapnya dengan mata manusia.

Dan saat itulah, Rey sadar satu hal mengerikan: ia benar-benar lupa cara pulang.

next to episode

kalau kalian suka novel ini aku akan lanjut menulis

mohon dukungan nya ya biar lebih semangat lagi nulisnya🥰

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Lupa Cara Pulang    Pewaris Gerbang

    Udara di pemakaman itu semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Rey berdiri kaku di hadapan pria berjubah hitam, napasnya tak beraturan. Suara jangkrik malam seolah lenyap, digantikan keheningan yang menekan.“Pewaris?” Rey akhirnya bersuara, meski suaranya nyaris tak terdengar.Pria itu melangkah maju, tongkat kayu di tangannya memancarkan cahaya samar dari simbol-simbol yang terukir di permukaannya. “Ya. Kau, anak yang memegang peta itu. Tidak ada yang kebetulan. Darahmu sudah ditentukan sejak lama.”Rey meremas erat peta di genggamannya. “Apa maksudmu? Siapa kau?”Pria itu tersenyum tipis, senyum yang tak membawa kehangatan apa pun. “Namaku tidak penting. Yang penting adalah peranmu. Kau akan membuka Gerbang itu. Dan hanya kau yang bisa.”Kata-kata itu membuat Rey merinding. “Gerbang…? Kau tahu di mana Mama-ku?”Tatapan pria itu berubah dingin. “Ibumu? Ya, aku tahu dia. Dialah yang mencoba menentang takdir. Ia melarikan diri dari tugasnya, berharap bisa hidup tenang bersama anakny

  • Lupa Cara Pulang    Bayangan Yang Mengintai

    Udara malam menusuk kulit Rey ketika ia akhirnya berhasil keluar dari gudang tua itu. Nafasnya terengah, masih bisa merasakan detak jantung yang menghantam dadanya. Di tangannya, peta kuno yang tadi diselamatkannya dari sergapan makhluk-makhluk itu terasa berat—bukan karena bobot kertasnya, melainkan karena beban rahasia yang tersimpan di dalamnya.Rey menoleh sekali lagi ke arah gudang. Lampu neon yang sempat berkelip kini padam sepenuhnya, meninggalkan bangunan itu dalam kegelapan pekat. Sejenak ia ragu, apakah makhluk-makhluk menyeramkan itu masih mengintainya dari dalam, menunggu saat yang tepat untuk kembali muncul?Tanpa menunggu jawaban, Rey melangkah cepat menuju jalan kecil yang jarang dilalui orang. Pikirannya dipenuhi tanda tanya. Apa arti simbol-simbol ini? Apa hubungannya dengan Mama? Pertanyaan-pertanyaan itu membuat kepalanya berdenyut, tapi ia tahu tak ada waktu untuk berdiam diri.Begitu tiba di sebuah halte tua, ia duduk dan membuka kembali peta itu. Kertasnya kasar,

  • Lupa Cara Pulang    Rahasia Ibu

    Langkah-langkah itu terus mengitari gudang, lambat tapi tak henti, seperti predator yang tahu mangsanya tak bisa lari. Rey duduk di lantai tanah, memandangi Bibi yang menatap pintu dengan tatapan kosong namun tegang.“Apa maksudmu tadi… ibu masih hidup?” Rey akhirnya bertanya, suaranya nyaris berbisik.Bibi menghela napas panjang, lalu menunduk. “Rey… atau Aldi, nama yang seharusnya kau ingat… ibumu bukan hanya sekadar manusia biasa. Dia… seorang penjaga gerbang.”Rey mengernyit. “Penjaga… gerbang?”Bibi menatap matanya, serius. “Gerbang antara dunia kita dan dunia mereka. Sejak dulu, keluargamu punya tugas menjaga agar makhluk-makhluk itu tidak bisa bebas masuk ke dunia manusia. Tapi ada malam ketika segalanya berubah…”Rey mencoba mengingat, tapi yang muncul hanya potongan gambar kabur—suara jeritan, cahaya merah, dan tangan dingin yang menariknya.“Waktu kau masih kecil, mereka berhasil menembus gerbang itu. Ibumu berhasil menahan mereka, tapi sebagai gantinya… dia terperangkap di

  • Lupa Cara Pulang    Mereka Datang

    Langkah kaki itu terdengar semakin jelas, menembus suara hujan yang menghantam atap. Rey berdiri di ruang tamu, jantungnya berpacu, sementara Bibi menutup semua gorden dengan gerakan cepat.“Matikan semua lampu,” bisiknya tegas.Rey menuruti, satu demi satu cahaya padam, hingga rumah tenggelam dalam kegelapan. Hanya suara hujan dan detak jantungnya sendiri yang terdengar.Tok… tok… tok…Tiga ketukan pelan di pintu depan. Terlalu pelan untuk tamu biasa, terlalu tenang untuk pencuri.“Jangan buka,” kata Bibi. “Apa pun yang terjadi, jangan buka pintu.”Ketukan itu berhenti, digantikan suara gesekan di jendela, seperti kuku yang menyeret kaca. Rey mundur, matanya terpaku pada bayangan di luar. Bentuknya tinggi, tubuhnya kurus, dan kepalanya sedikit miring.“Bibi…” suara Rey bergetar. “Apa itu manusia?”Bibi tak menjawab, hanya meraih rosario kayu di meja dan menggenggamnya erat.Lalu, suara itu datang lagi—bisikan serak dari luar jendela."Aldi… bukalah. Kami ingin bicara."Rey membeku. N

  • Lupa Cara Pulang    Suara Dari Lorong

    Malam kembali turun, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Rey berbaring di ranjang kayu kamar belakang, menatap langit-langit gelap yang dipenuhi bayangan. Hujan sudah reda, tapi suara tetesan air dari atap terdengar seperti jarum jam yang menghitung waktu menuju sesuatu yang mengerikan.Ia mencoba memejamkan mata, namun pikirannya penuh pertanyaan. Siapa orang-orang yang mengejarnya? Mengapa keluarganya harus menghilang? Dan kenapa Bibi bersikeras menutupi semua itu?Tepat saat ia mulai terlelap, suara itu datang. Sebuah bisikan pelan, memanggil namanya."Rey..."Suara itu bukan milik Bibi. Bukan juga suara Naya. Nada suaranya datar, seperti datang dari ruang kosong. Rey langsung duduk tegak."Siapa?" tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.Tak ada jawaban, hanya bunyi langkah kaki pelan di lorong.Rey membuka pintu kamar. Lorong itu gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lampu minyak di ujung. Lantai kayu berderit di bawah kakinya. Bisikan itu terdengar lagi, kali i

  • Lupa Cara Pulang    Bayangan Di Ambang Pintu

    Hujan turun deras malam itu, membasahi seluruh kota hingga aroma tanah basah menembus setiap sudut jalan. Rey berdiri di depan sebuah rumah tua bercat putih yang sudah memudar. Jantungnya berdebar hebat, bukan karena udara dingin, tapi karena ia tahu—di balik pintu ini mungkin ada jawaban.Rumah itu persis seperti yang ia lihat dalam mimpi-mimpinya. Jendela di lantai dua retak di sudutnya, pagar kayu berderit saat disentuh, dan di teras ada pot bunga tanah liat yang miring. Semua terasa akrab, tapi juga asing.Ia mengetuk pintu tiga kali. Suaranya menggema di bawah rintik hujan.Tak ada jawaban.Rey mencoba lagi, kali ini lebih keras. Langkah kaki terdengar dari dalam, lalu suara kunci diputar. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang wanita tua berwajah lelah. Matanya sayu, tapi penuh kewaspadaan."Ya?" tanyanya singkat.Rey menelan ludah. "Bu... apakah ini rumah keluarga Rahmawan?"Wanita itu terdiam beberapa detik. "Siapa kamu?""Saya..." Rey ragu, kata-kata tersangkut di ten

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status