Mag-log in
Suara gemerisik daun kering terdengar pelan saat Rey membuka matanya. Rasa berat di kepalanya membuatnya butuh beberapa detik untuk sadar sepenuhnya. Ia terbaring di lantai kayu dingin, di sebuah ruangan asing. Langit-langitnya dipenuhi sarang laba-laba, dan jendela kecil di pojok ruangan memantulkan cahaya redup matahari yang terhalang kabut tebal.
"Di mana aku…?" Ia bangkit perlahan. Tubuhnya terasa pegal, dan bajunya berdebu. Tidak ada yang familiar di sekelilingnya. Ruangan itu tampak seperti kamar tua tak terpakai, dengan satu lemari kayu besar yang catnya sudah mengelupas dan sebuah cermin berbingkai retak di sisi kanan. Rey berjalan ke jendela. Apa yang ia lihat di luar membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Sebuah desa. Rumah-rumah kayu tua berdiri di antara kabut, jalanan tanah yang sepi, dan pepohonan tinggi menjulang yang tampak seperti penjaga sunyi. Tidak ada suara kendaraan. Tidak ada sinyal di ponselnya. Bahkan... tidak ada jejak kehidupan. Ia turun melewati tangga tua yang berderit di setiap langkahnya. Lantai bawah tampak lebih terang—ada dapur sederhana, kursi goyang di pojok ruangan, dan pintu depan yang terbuka setengah. Rey mendekatinya, hendak melangkah keluar ketika— "Rey?" Ia menoleh. Seorang wanita tua berdiri di ambang dapur, mengenakan daster lusuh dan menatapnya dengan mata kosong. Wajahnya keriput, namun ada sesuatu yang mengganggu... senyumnya terlalu lebar. Terlalu lekat. "Kau sudah bangun, Nak. Syukurlah..." Rey terdiam. "Anda siapa?" Wanita itu tertawa kecil, serak. "Jangan bercanda. Kau pasti masih pusing. Ibu masakkan sup kesukaanmu." "Aku… tidak kenal Anda. Aku bahkan tak tahu tempat apa ini." Raut wajah wanita itu berubah sedikit, lalu kembali tersenyum. "Ah, ingatanmu pasti belum pulih. Tak apa. Kau di rumah. Di rumah kita, Rey." Rey mundur satu langkah. Nafasnya terasa berat. "Aku harus pergi." "Tak bisa," jawab wanita itu tenang. "Kau sudah pulang." Ia berbalik dan berlari keluar rumah. Tanah basah di bawah kakinya membuat langkahnya tergelincir, tapi ia terus berlari, melewati jalan utama desa yang sepi. Setiap rumah yang dilewatinya tampak kosong… namun ada mata yang mengintip dari balik tirai. Setiap langkahnya seperti diawasi. Setelah lima belas menit berlari, ia sampai di ujung desa—jalan kecil yang menurun, menembus hutan. Ia mengambil napas panjang dan menapaki jalan itu tanpa menoleh. Ia berjalan dan terus berjalan. Setengah jam. Satu jam. Sampai ia keluar dari pepohonan… dan mendapati rumah tempat ia terbangun tadi, tepat di depannya. Mustahil. Ia berbalik. Jalan yang tadi ia lewati menghilang. Pepohonan tampak berbeda. Langit mulai menggelap. Udara terasa lebih dingin. Angin berhembus pelan, membawa suara samar yang tak bisa dijelaskan—seperti bisikan. Ia menggenggam rambutnya frustasi. “Tidak mungkin... Aku barusan pergi dari sini…” Tiba-tiba suara kursi goyang berderit terdengar dari dalam rumah. Rey menoleh ke jendela. Wanita tua itu duduk di sana, tersenyum padanya, seperti tahu ia akan kembali. Lalu ia menyaksikan hal yang tak masuk akal—wanita itu berdiri… padahal bayangannya masih duduk di kursi goyang. Dua sosok yang sama. Dua wajah yang identik. Tapi hanya satu yang menatapnya dengan mata manusia. Dan saat itulah, Rey sadar satu hal mengerikan: ia benar-benar lupa cara pulang. next to episode kalau kalian suka novel ini aku akan lanjut menulis mohon dukungan nya ya biar lebih semangat lagi nulisnya🥰Rey terpaku. Sosok itu berdiri hanya beberapa langkah darinya—wajah sama, sorot mata sama, bahkan bekas luka kecil di dagu pun sama persis. Hanya satu yang berbeda: tatapan mata sosok itu jauh lebih gelap, seperti menyimpan sesuatu yang tak pernah Rey akui.“Aku tahu apa yang kau cari,” katanya, suaranya datar namun menusuk. “Ibumu. Jawaban. Kebenaran tentang dirimu.”Rey menelan ludah. “Kalau kau memang… aku. Kenapa kau di sini? Apa kau bagian dari tempat ini?”Sosok itu tersenyum tipis. “Aku adalah kemungkinan yang seharusnya terjadi. Kemungkinan yang tidak pernah kau ingat.” Ia melangkah mendekat, dan Rey merasakan hawa dingin seperti disapu kabut hitam. “Aku adalah dirimu… yang gagal melarikan diri malam itu.”Rey mengerutkan dahi. “Malam itu?”“Ya,” jawabnya sambil menatap lurus ke mata Rey. “Malam ketika ibumu membuka Gerbang. Aku—versi dirimu—tidak sempat keluar. Aku tertangkap. Gerbang menelanku bersama ibumu.”Rey merasa darahnya berhenti mengalir. Dunia seperti memadat di se
Cahaya dari Gerbang Pertama perlahan memudar di belakangnya. Rey berdiri di tengah padang berkabut, dikelilingi reruntuhan bangunan yang seolah pernah menjadi desa. Dinding-dinding bata berlumut, pintu-pintu kayu tergantung setengah patah, dan di udara tercium aroma lembab bercampur logam—bau darah yang telah lama mengering.Langit di atasnya berwarna abu keunguan, tanpa bintang, tanpa bulan.Suara bisikan samar-samar terdengar di antara reruntuhan, seperti orang-orang yang berbicara pelan dari balik kabut.Rey menggenggam erat peta yang kini berubah lagi: lingkaran pertama di ujung atas sudah menyala, sementara enam lainnya bergetar samar, seperti menunggu giliran.“Gerbang berikutnya…” gumamnya. Tapi langkahnya terhenti saat melihat sesuatu.Di tengah reruntuhan itu, ada rumah kecil dengan atap miring.Dan di depan rumah itu—terdapat sosok wanita, berdiri membelakanginya. Rambutnya panjang, hitam, berayun pelan tertiup angin. Tubuhnya tampak rapuh, tapi Rey merasakan sesuatu yang an
Kabut itu menelan segalanya.Suara Naya perlahan menghilang, berganti dengan desir angin yang dinginnya seperti datang dari dunia lain. Rey berusaha melangkah, tapi tanah di bawah kakinya terasa berat—seolah menolak setiap gerakan.“Lihatlah, Pewaris,” suara pria berjubah hitam menggema di sekelilingnya. “Inilah awal jalanmu.”Di depan Rey, celah di udara yang tadi terbuka mulai meluas. Cahaya biru pucat keluar dari dalamnya, membentuk lingkaran raksasa dengan simbol-simbol yang berputar perlahan. Rey menatap dalam diam, merasakan tubuhnya bergetar tanpa kendali.“Masuklah,” ucap pria itu datar. “Gerbang pertama menunggumu.”Rey menelan ludah. Ia menatap celah itu—di baliknya, tampak bayangan pepohonan hitam, kabut tebal, dan suara gemerisik yang tak bisa dijelaskan. Napasnya berat. Tapi tekadnya sudah bulat.“Aku siap.”Begitu langkah pertamanya menembus celah itu, dunia di sekelilingnya langsung berubah.Udara di dalam terasa lebih dingin, menusuk hingga ke tulang. Langitnya berwarn
Udara di pemakaman itu semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Rey berdiri kaku di hadapan pria berjubah hitam, napasnya tak beraturan. Suara jangkrik malam seolah lenyap, digantikan keheningan yang menekan.“Pewaris?” Rey akhirnya bersuara, meski suaranya nyaris tak terdengar.Pria itu melangkah maju, tongkat kayu di tangannya memancarkan cahaya samar dari simbol-simbol yang terukir di permukaannya. “Ya. Kau, anak yang memegang peta itu. Tidak ada yang kebetulan. Darahmu sudah ditentukan sejak lama.”Rey meremas erat peta di genggamannya. “Apa maksudmu? Siapa kau?”Pria itu tersenyum tipis, senyum yang tak membawa kehangatan apa pun. “Namaku tidak penting. Yang penting adalah peranmu. Kau akan membuka Gerbang itu. Dan hanya kau yang bisa.”Kata-kata itu membuat Rey merinding. “Gerbang…? Kau tahu di mana Mama-ku?”Tatapan pria itu berubah dingin. “Ibumu? Ya, aku tahu dia. Dialah yang mencoba menentang takdir. Ia melarikan diri dari tugasnya, berharap bisa hidup tenang bersama anakny
Udara malam menusuk kulit Rey ketika ia akhirnya berhasil keluar dari gudang tua itu. Nafasnya terengah, masih bisa merasakan detak jantung yang menghantam dadanya. Di tangannya, peta kuno yang tadi diselamatkannya dari sergapan makhluk-makhluk itu terasa berat—bukan karena bobot kertasnya, melainkan karena beban rahasia yang tersimpan di dalamnya.Rey menoleh sekali lagi ke arah gudang. Lampu neon yang sempat berkelip kini padam sepenuhnya, meninggalkan bangunan itu dalam kegelapan pekat. Sejenak ia ragu, apakah makhluk-makhluk menyeramkan itu masih mengintainya dari dalam, menunggu saat yang tepat untuk kembali muncul?Tanpa menunggu jawaban, Rey melangkah cepat menuju jalan kecil yang jarang dilalui orang. Pikirannya dipenuhi tanda tanya. Apa arti simbol-simbol ini? Apa hubungannya dengan Mama? Pertanyaan-pertanyaan itu membuat kepalanya berdenyut, tapi ia tahu tak ada waktu untuk berdiam diri.Begitu tiba di sebuah halte tua, ia duduk dan membuka kembali peta itu. Kertasnya kasar,
Langkah-langkah itu terus mengitari gudang, lambat tapi tak henti, seperti predator yang tahu mangsanya tak bisa lari. Rey duduk di lantai tanah, memandangi Bibi yang menatap pintu dengan tatapan kosong namun tegang.“Apa maksudmu tadi… ibu masih hidup?” Rey akhirnya bertanya, suaranya nyaris berbisik.Bibi menghela napas panjang, lalu menunduk. “Rey… atau Aldi, nama yang seharusnya kau ingat… ibumu bukan hanya sekadar manusia biasa. Dia… seorang penjaga gerbang.”Rey mengernyit. “Penjaga… gerbang?”Bibi menatap matanya, serius. “Gerbang antara dunia kita dan dunia mereka. Sejak dulu, keluargamu punya tugas menjaga agar makhluk-makhluk itu tidak bisa bebas masuk ke dunia manusia. Tapi ada malam ketika segalanya berubah…”Rey mencoba mengingat, tapi yang muncul hanya potongan gambar kabur—suara jeritan, cahaya merah, dan tangan dingin yang menariknya.“Waktu kau masih kecil, mereka berhasil menembus gerbang itu. Ibumu berhasil menahan mereka, tapi sebagai gantinya… dia terperangkap di