Home / Horor / Lupa Cara Pulang / Mereka Yang Tak Tidur

Share

Mereka Yang Tak Tidur

Author: Aji
last update Last Updated: 2025-08-10 16:41:06

Rey tak bisa bergerak.

Kedua kakinya seakan terpaku di tanah, membeku oleh pandangan itu. Dua sosok identik di balik jendela—yang satu duduk, yang lain berdiri. Wajah mereka sama, tetapi mata mereka berbeda. Satu penuh senyum hangat, satunya lagi seperti sumur gelap tanpa dasar, kosong... dan menatap langsung ke dalam jiwanya.

Rey mundur perlahan. Napasnya memburu, udara dingin menusuk hingga ke tulangnya. Pohon-pohon di sekelilingnya bergoyang pelan meskipun angin nyaris tak terasa. Ia menoleh ke belakang, berharap ada jalan lain—apa pun—tapi hanya ada kabut. Tebal. Menelan semuanya.

Tiba-tiba terdengar suara langkah dari balik pepohonan.

Tap. Tap. Tap.

Rey menahan napas. Suaranya lambat, berat… dan bukan satu. Ada lebih dari satu orang, atau mungkin bukan orang, bergerak mendekat dari berbagai arah. Suara ranting patah. Daun terinjak. Napas yang terdengar serak.

Tanpa pikir panjang, Rey kembali ke rumah itu. Pintu depan terbuka seakan menunggu. Ia melangkah masuk dan menutupnya dengan cepat.

Ruangan di dalam terasa lebih hangat, tapi bukan hangat yang nyaman. Lebih seperti perangkap yang lembut. Wanita tua itu tak lagi tampak di sana. Tidak yang duduk, tidak yang berdiri.

Rey menyusuri ruang tamu, matanya liar mengamati setiap sudut. Cermin besar di ruang tengah memantulkan sosoknya sendiri—tapi pantulan itu... bergerak lebih lambat darinya. Saat ia menoleh cepat ke arah cermin, sosok di dalamnya masih menatap lurus ke depan. Diam. Tersenyum tipis.

"Rey."

Suara itu muncul dari belakang.

Ia berbalik, napas tercekat.

Kini, bukan hanya wanita tua tadi. Ada lima orang berdiri di ruang tengah—dua pria, dua wanita, dan seorang anak kecil. Mereka semua mengenakan pakaian gaya lama. Lusuh, kusam, dan tidak sesuai zaman. Wajah mereka pucat, tapi semua tersenyum.

"Selamat datang kembali," ujar salah satu dari mereka, seorang pria botak dengan mata cekung.

"Apa kalian orang desa ini?" tanya Rey, mencoba menenangkan diri.

"Desa ini... bukan lagi milik siapa pun," jawab wanita di sebelahnya. "Kecuali mereka yang lupa jalan pulang. Seperti kamu."

"Apa maksud kalian? Aku hanya... aku ingin keluar dari sini!"

Mereka tertawa pelan. Bukan tawa bahagia, melainkan tawa datar—seperti mengikuti skrip yang diulang-ulang.

"Kau sudah keluar," kata si anak kecil, "tapi tetap kembali, kan?"

Rey terdiam.

"Ada hal-hal yang tak bisa dihindari, Rey," lanjut pria tua itu. "Seperti tempat ini. Sekali kau di sini, kau akan selalu kembali. Bahkan jika kau mati sekalipun."

Tiba-tiba, salah satu jendela terbuka dengan keras. Angin dingin menyapu ruangan. Tirai tipis berkibar liar. Dari luar, terdengar lagi langkah kaki. Semakin banyak. Lebih dekat. Rey berlari ke jendela, dan matanya membelalak.

Seluruh desa kini hidup.

Bayangan manusia tanpa wajah berjalan di jalanan tanah, perlahan mengelilingi rumah. Mereka datang dari segala arah, satu demi satu. Diam. Hening. Tapi bergerak dengan tujuan jelas.

Rey mundur ke tengah ruangan. Tubuhnya gemetar.

"Apa mereka... siapa mereka?"

"Yang tinggal," jawab si wanita tua. "Dan juga... yang belum kembali."

"Yang belum kembali... ke mana?"

Wajah-wajah di sekelilingnya serempak menatapnya dengan mata yang kini tak lagi kosong—tapi hitam pekat, memantulkan sesuatu yang bukan dari dunia ini.

"Ke tempat asalnya," bisik mereka bersamaan.

Dan Rey tahu—kalau dia tidak segera menemukan cara untuk mengingat siapa dirinya dan dari mana dia datang, maka cepat atau lambat… ia akan jadi salah satu dari mereka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Lupa Cara Pulang    Pewaris Gerbang

    Udara di pemakaman itu semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Rey berdiri kaku di hadapan pria berjubah hitam, napasnya tak beraturan. Suara jangkrik malam seolah lenyap, digantikan keheningan yang menekan.“Pewaris?” Rey akhirnya bersuara, meski suaranya nyaris tak terdengar.Pria itu melangkah maju, tongkat kayu di tangannya memancarkan cahaya samar dari simbol-simbol yang terukir di permukaannya. “Ya. Kau, anak yang memegang peta itu. Tidak ada yang kebetulan. Darahmu sudah ditentukan sejak lama.”Rey meremas erat peta di genggamannya. “Apa maksudmu? Siapa kau?”Pria itu tersenyum tipis, senyum yang tak membawa kehangatan apa pun. “Namaku tidak penting. Yang penting adalah peranmu. Kau akan membuka Gerbang itu. Dan hanya kau yang bisa.”Kata-kata itu membuat Rey merinding. “Gerbang…? Kau tahu di mana Mama-ku?”Tatapan pria itu berubah dingin. “Ibumu? Ya, aku tahu dia. Dialah yang mencoba menentang takdir. Ia melarikan diri dari tugasnya, berharap bisa hidup tenang bersama anakny

  • Lupa Cara Pulang    Bayangan Yang Mengintai

    Udara malam menusuk kulit Rey ketika ia akhirnya berhasil keluar dari gudang tua itu. Nafasnya terengah, masih bisa merasakan detak jantung yang menghantam dadanya. Di tangannya, peta kuno yang tadi diselamatkannya dari sergapan makhluk-makhluk itu terasa berat—bukan karena bobot kertasnya, melainkan karena beban rahasia yang tersimpan di dalamnya.Rey menoleh sekali lagi ke arah gudang. Lampu neon yang sempat berkelip kini padam sepenuhnya, meninggalkan bangunan itu dalam kegelapan pekat. Sejenak ia ragu, apakah makhluk-makhluk menyeramkan itu masih mengintainya dari dalam, menunggu saat yang tepat untuk kembali muncul?Tanpa menunggu jawaban, Rey melangkah cepat menuju jalan kecil yang jarang dilalui orang. Pikirannya dipenuhi tanda tanya. Apa arti simbol-simbol ini? Apa hubungannya dengan Mama? Pertanyaan-pertanyaan itu membuat kepalanya berdenyut, tapi ia tahu tak ada waktu untuk berdiam diri.Begitu tiba di sebuah halte tua, ia duduk dan membuka kembali peta itu. Kertasnya kasar,

  • Lupa Cara Pulang    Rahasia Ibu

    Langkah-langkah itu terus mengitari gudang, lambat tapi tak henti, seperti predator yang tahu mangsanya tak bisa lari. Rey duduk di lantai tanah, memandangi Bibi yang menatap pintu dengan tatapan kosong namun tegang.“Apa maksudmu tadi… ibu masih hidup?” Rey akhirnya bertanya, suaranya nyaris berbisik.Bibi menghela napas panjang, lalu menunduk. “Rey… atau Aldi, nama yang seharusnya kau ingat… ibumu bukan hanya sekadar manusia biasa. Dia… seorang penjaga gerbang.”Rey mengernyit. “Penjaga… gerbang?”Bibi menatap matanya, serius. “Gerbang antara dunia kita dan dunia mereka. Sejak dulu, keluargamu punya tugas menjaga agar makhluk-makhluk itu tidak bisa bebas masuk ke dunia manusia. Tapi ada malam ketika segalanya berubah…”Rey mencoba mengingat, tapi yang muncul hanya potongan gambar kabur—suara jeritan, cahaya merah, dan tangan dingin yang menariknya.“Waktu kau masih kecil, mereka berhasil menembus gerbang itu. Ibumu berhasil menahan mereka, tapi sebagai gantinya… dia terperangkap di

  • Lupa Cara Pulang    Mereka Datang

    Langkah kaki itu terdengar semakin jelas, menembus suara hujan yang menghantam atap. Rey berdiri di ruang tamu, jantungnya berpacu, sementara Bibi menutup semua gorden dengan gerakan cepat.“Matikan semua lampu,” bisiknya tegas.Rey menuruti, satu demi satu cahaya padam, hingga rumah tenggelam dalam kegelapan. Hanya suara hujan dan detak jantungnya sendiri yang terdengar.Tok… tok… tok…Tiga ketukan pelan di pintu depan. Terlalu pelan untuk tamu biasa, terlalu tenang untuk pencuri.“Jangan buka,” kata Bibi. “Apa pun yang terjadi, jangan buka pintu.”Ketukan itu berhenti, digantikan suara gesekan di jendela, seperti kuku yang menyeret kaca. Rey mundur, matanya terpaku pada bayangan di luar. Bentuknya tinggi, tubuhnya kurus, dan kepalanya sedikit miring.“Bibi…” suara Rey bergetar. “Apa itu manusia?”Bibi tak menjawab, hanya meraih rosario kayu di meja dan menggenggamnya erat.Lalu, suara itu datang lagi—bisikan serak dari luar jendela."Aldi… bukalah. Kami ingin bicara."Rey membeku. N

  • Lupa Cara Pulang    Suara Dari Lorong

    Malam kembali turun, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Rey berbaring di ranjang kayu kamar belakang, menatap langit-langit gelap yang dipenuhi bayangan. Hujan sudah reda, tapi suara tetesan air dari atap terdengar seperti jarum jam yang menghitung waktu menuju sesuatu yang mengerikan.Ia mencoba memejamkan mata, namun pikirannya penuh pertanyaan. Siapa orang-orang yang mengejarnya? Mengapa keluarganya harus menghilang? Dan kenapa Bibi bersikeras menutupi semua itu?Tepat saat ia mulai terlelap, suara itu datang. Sebuah bisikan pelan, memanggil namanya."Rey..."Suara itu bukan milik Bibi. Bukan juga suara Naya. Nada suaranya datar, seperti datang dari ruang kosong. Rey langsung duduk tegak."Siapa?" tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.Tak ada jawaban, hanya bunyi langkah kaki pelan di lorong.Rey membuka pintu kamar. Lorong itu gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lampu minyak di ujung. Lantai kayu berderit di bawah kakinya. Bisikan itu terdengar lagi, kali i

  • Lupa Cara Pulang    Bayangan Di Ambang Pintu

    Hujan turun deras malam itu, membasahi seluruh kota hingga aroma tanah basah menembus setiap sudut jalan. Rey berdiri di depan sebuah rumah tua bercat putih yang sudah memudar. Jantungnya berdebar hebat, bukan karena udara dingin, tapi karena ia tahu—di balik pintu ini mungkin ada jawaban.Rumah itu persis seperti yang ia lihat dalam mimpi-mimpinya. Jendela di lantai dua retak di sudutnya, pagar kayu berderit saat disentuh, dan di teras ada pot bunga tanah liat yang miring. Semua terasa akrab, tapi juga asing.Ia mengetuk pintu tiga kali. Suaranya menggema di bawah rintik hujan.Tak ada jawaban.Rey mencoba lagi, kali ini lebih keras. Langkah kaki terdengar dari dalam, lalu suara kunci diputar. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang wanita tua berwajah lelah. Matanya sayu, tapi penuh kewaspadaan."Ya?" tanyanya singkat.Rey menelan ludah. "Bu... apakah ini rumah keluarga Rahmawan?"Wanita itu terdiam beberapa detik. "Siapa kamu?""Saya..." Rey ragu, kata-kata tersangkut di ten

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status