Suasana dalam rumah itu makin sesak.
Rey berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh orang-orang yang tersenyum namun tak menunjukkan kehangatan. Di luar, bayangan-bayangan tanpa wajah berjalan pelan membentuk lingkaran, mengitari rumah tua itu. Seperti perangkap yang mengunci rapat. “Aku harus keluar dari sini,” gumam Rey. “Ini semua… gila.” Tiba-tiba si anak kecil yang tadi berbicara melangkah maju. Ia menatap Rey dengan kepala miring, mata hitamnya mengerikan. “Kenapa kamu takut?” tanyanya polos. “Bukankah ini rumahmu?” “Bukan,” tegas Rey. “Aku bahkan tidak tahu nama kalian. Aku bahkan tak tahu namaku sendiri sepenuhnya!” Wanita tua itu tersenyum, lalu berjalan menuju lemari tua yang mengelupas catnya. Dengan perlahan, ia membuka pintunya yang berderit keras. Dari dalam, ia mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil berwarna hitam. Di bagian atasnya, tertulis ukiran huruf yang Rey tidak kenal. Tapi anehnya… terasa familiar. Wanita itu membawanya ke meja, membuka tutup kotak itu, dan di dalamnya—tergeletak sebuah kalung kecil dengan liontin bundar. Rey melangkah pelan, mendekat, dan saat matanya menyentuh liontin itu… dadanya berdebar hebat. Kilatan aneh muncul dalam pikirannya. Suara seseorang. Tawa. Cahaya matahari. Sebuah taman. Seorang perempuan muda memanggil namanya. Tapi semuanya kabur. Seperti mimpi yang nyaris hilang saat bangun tidur. “Kalung ini… milikku?” bisik Rey. Wanita tua itu mengangguk perlahan. “Dulu.” “Dulu?” “Ketika kamu masih ingat siapa dirimu. Ketika kamu belum melupakan segalanya.” Rey mengambil kalung itu. Jari-jarinya gemetar saat menyentuh permukaannya. Begitu ringan, tapi ada sesuatu yang berat di baliknya. Sebuah rasa… kehilangan. “Aku pernah hidup di luar tempat ini, kan?” “Ya,” jawab pria botak dengan suara rendah. “Tapi kau kembali. Kau selalu kembali.” Rey menggeleng. “Tidak. Tidak, aku ingin keluar. Aku tidak seharusnya di sini.” Tiba-tiba terdengar ketukan keras di pintu. Duk. Duk. Duk. Semua sosok di dalam rumah itu serempak menoleh ke arah pintu. Wajah mereka tegang. Bahkan si wanita tua kehilangan senyum anehnya. “Kita tak punya waktu,” katanya cepat. “Mereka mencium ingatanmu mulai kembali.” “Apa yang terjadi jika mereka masuk?” tanya Rey. “Jika mereka menyentuhmu sebelum kamu mengingat nama lengkapmu, kamu akan… menghilang.” Rey menelan ludah. Nafasnya memburu. “Nama lengkapku? Aku hanya ingat… Rey.” “Pikirkan kembali. Tanyakan pada hatimu. Kau hanya punya satu kesempatan.” Ketukan di pintu makin keras. Duk! Duk! Duk! Kini terdengar seperti tangan yang menghantam penuh amarah. Pegangan pintu mulai bergerak. Rey mundur, sementara para penghuni rumah berdiri membentuk lingkaran di sekelilingnya. “Cepat!” teriak mereka. “Ingat siapa dirimu!” Rey menutup mata. Ia meremas kalung itu erat-erat. Di dalam kegelapan pikirannya, ia mencoba menyusuri lorong-lorong memori yang kabur. Lalu… suara itu muncul. Lembut. Penuh kasih. “Reyandra.” Satu kata. Satu nama yang membelah keheningan pikirannya. Lalu datang lagi… “Reyandra Mahesa.” Matanya terbuka. “Aku… Reyandra Mahesa!” teriaknya. Tiba-tiba semuanya berhenti. Suara ketukan menghilang. Udara menjadi ringan. Bayangan-bayangan di luar rumah tak bergerak. Seolah waktu berhenti. Sosok wanita tua itu menatapnya dengan senyum lembut. Tapi kali ini, senyumnya bukan senyum aneh… melainkan senyum yang hangat. Manusiawi. “Kau berhasil, Nak.” Rey menarik napas panjang. Tubuhnya terasa ringan, tapi juga kosong. “Apa yang akan terjadi padaku sekarang?” Wanita tua itu menunjuk ke arah pintu. “Kau bisa membuka jalanmu sendiri… jika kau berani melewatinya.” Rey memandang pintu itu, yang kini tak lagi dijaga bayangan. Gagang pintunya terlihat biasa. Tak ada kegelapan, tak ada kabut. Hanya keheningan. Langkahnya maju satu demi satu. Tangan kirinya masih menggenggam kalung itu, erat, seperti jangkar yang menahannya agar tetap sadar. Ia membuka pintu perlahan… Dan cahaya putih menyambutnya. Namun sebelum melangkah keluar, ia menoleh ke belakang. Semua sosok yang tadi mengelilinginya kini berdiri diam, perlahan memudar seperti asap. Dan suara terakhir yang ia dengar sebelum cahaya menelannya adalah: “Jangan pernah lupakan namamu lagi.”Udara di pemakaman itu semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Rey berdiri kaku di hadapan pria berjubah hitam, napasnya tak beraturan. Suara jangkrik malam seolah lenyap, digantikan keheningan yang menekan.“Pewaris?” Rey akhirnya bersuara, meski suaranya nyaris tak terdengar.Pria itu melangkah maju, tongkat kayu di tangannya memancarkan cahaya samar dari simbol-simbol yang terukir di permukaannya. “Ya. Kau, anak yang memegang peta itu. Tidak ada yang kebetulan. Darahmu sudah ditentukan sejak lama.”Rey meremas erat peta di genggamannya. “Apa maksudmu? Siapa kau?”Pria itu tersenyum tipis, senyum yang tak membawa kehangatan apa pun. “Namaku tidak penting. Yang penting adalah peranmu. Kau akan membuka Gerbang itu. Dan hanya kau yang bisa.”Kata-kata itu membuat Rey merinding. “Gerbang…? Kau tahu di mana Mama-ku?”Tatapan pria itu berubah dingin. “Ibumu? Ya, aku tahu dia. Dialah yang mencoba menentang takdir. Ia melarikan diri dari tugasnya, berharap bisa hidup tenang bersama anakny
Udara malam menusuk kulit Rey ketika ia akhirnya berhasil keluar dari gudang tua itu. Nafasnya terengah, masih bisa merasakan detak jantung yang menghantam dadanya. Di tangannya, peta kuno yang tadi diselamatkannya dari sergapan makhluk-makhluk itu terasa berat—bukan karena bobot kertasnya, melainkan karena beban rahasia yang tersimpan di dalamnya.Rey menoleh sekali lagi ke arah gudang. Lampu neon yang sempat berkelip kini padam sepenuhnya, meninggalkan bangunan itu dalam kegelapan pekat. Sejenak ia ragu, apakah makhluk-makhluk menyeramkan itu masih mengintainya dari dalam, menunggu saat yang tepat untuk kembali muncul?Tanpa menunggu jawaban, Rey melangkah cepat menuju jalan kecil yang jarang dilalui orang. Pikirannya dipenuhi tanda tanya. Apa arti simbol-simbol ini? Apa hubungannya dengan Mama? Pertanyaan-pertanyaan itu membuat kepalanya berdenyut, tapi ia tahu tak ada waktu untuk berdiam diri.Begitu tiba di sebuah halte tua, ia duduk dan membuka kembali peta itu. Kertasnya kasar,
Langkah-langkah itu terus mengitari gudang, lambat tapi tak henti, seperti predator yang tahu mangsanya tak bisa lari. Rey duduk di lantai tanah, memandangi Bibi yang menatap pintu dengan tatapan kosong namun tegang.“Apa maksudmu tadi… ibu masih hidup?” Rey akhirnya bertanya, suaranya nyaris berbisik.Bibi menghela napas panjang, lalu menunduk. “Rey… atau Aldi, nama yang seharusnya kau ingat… ibumu bukan hanya sekadar manusia biasa. Dia… seorang penjaga gerbang.”Rey mengernyit. “Penjaga… gerbang?”Bibi menatap matanya, serius. “Gerbang antara dunia kita dan dunia mereka. Sejak dulu, keluargamu punya tugas menjaga agar makhluk-makhluk itu tidak bisa bebas masuk ke dunia manusia. Tapi ada malam ketika segalanya berubah…”Rey mencoba mengingat, tapi yang muncul hanya potongan gambar kabur—suara jeritan, cahaya merah, dan tangan dingin yang menariknya.“Waktu kau masih kecil, mereka berhasil menembus gerbang itu. Ibumu berhasil menahan mereka, tapi sebagai gantinya… dia terperangkap di
Langkah kaki itu terdengar semakin jelas, menembus suara hujan yang menghantam atap. Rey berdiri di ruang tamu, jantungnya berpacu, sementara Bibi menutup semua gorden dengan gerakan cepat.“Matikan semua lampu,” bisiknya tegas.Rey menuruti, satu demi satu cahaya padam, hingga rumah tenggelam dalam kegelapan. Hanya suara hujan dan detak jantungnya sendiri yang terdengar.Tok… tok… tok…Tiga ketukan pelan di pintu depan. Terlalu pelan untuk tamu biasa, terlalu tenang untuk pencuri.“Jangan buka,” kata Bibi. “Apa pun yang terjadi, jangan buka pintu.”Ketukan itu berhenti, digantikan suara gesekan di jendela, seperti kuku yang menyeret kaca. Rey mundur, matanya terpaku pada bayangan di luar. Bentuknya tinggi, tubuhnya kurus, dan kepalanya sedikit miring.“Bibi…” suara Rey bergetar. “Apa itu manusia?”Bibi tak menjawab, hanya meraih rosario kayu di meja dan menggenggamnya erat.Lalu, suara itu datang lagi—bisikan serak dari luar jendela."Aldi… bukalah. Kami ingin bicara."Rey membeku. N
Malam kembali turun, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Rey berbaring di ranjang kayu kamar belakang, menatap langit-langit gelap yang dipenuhi bayangan. Hujan sudah reda, tapi suara tetesan air dari atap terdengar seperti jarum jam yang menghitung waktu menuju sesuatu yang mengerikan.Ia mencoba memejamkan mata, namun pikirannya penuh pertanyaan. Siapa orang-orang yang mengejarnya? Mengapa keluarganya harus menghilang? Dan kenapa Bibi bersikeras menutupi semua itu?Tepat saat ia mulai terlelap, suara itu datang. Sebuah bisikan pelan, memanggil namanya."Rey..."Suara itu bukan milik Bibi. Bukan juga suara Naya. Nada suaranya datar, seperti datang dari ruang kosong. Rey langsung duduk tegak."Siapa?" tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.Tak ada jawaban, hanya bunyi langkah kaki pelan di lorong.Rey membuka pintu kamar. Lorong itu gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lampu minyak di ujung. Lantai kayu berderit di bawah kakinya. Bisikan itu terdengar lagi, kali i
Hujan turun deras malam itu, membasahi seluruh kota hingga aroma tanah basah menembus setiap sudut jalan. Rey berdiri di depan sebuah rumah tua bercat putih yang sudah memudar. Jantungnya berdebar hebat, bukan karena udara dingin, tapi karena ia tahu—di balik pintu ini mungkin ada jawaban.Rumah itu persis seperti yang ia lihat dalam mimpi-mimpinya. Jendela di lantai dua retak di sudutnya, pagar kayu berderit saat disentuh, dan di teras ada pot bunga tanah liat yang miring. Semua terasa akrab, tapi juga asing.Ia mengetuk pintu tiga kali. Suaranya menggema di bawah rintik hujan.Tak ada jawaban.Rey mencoba lagi, kali ini lebih keras. Langkah kaki terdengar dari dalam, lalu suara kunci diputar. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang wanita tua berwajah lelah. Matanya sayu, tapi penuh kewaspadaan."Ya?" tanyanya singkat.Rey menelan ludah. "Bu... apakah ini rumah keluarga Rahmawan?"Wanita itu terdiam beberapa detik. "Siapa kamu?""Saya..." Rey ragu, kata-kata tersangkut di ten