Malam kembali turun, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Rey berbaring di ranjang kayu kamar belakang, menatap langit-langit gelap yang dipenuhi bayangan. Hujan sudah reda, tapi suara tetesan air dari atap terdengar seperti jarum jam yang menghitung waktu menuju sesuatu yang mengerikan.
Ia mencoba memejamkan mata, namun pikirannya penuh pertanyaan. Siapa orang-orang yang mengejarnya? Mengapa keluarganya harus menghilang? Dan kenapa Bibi bersikeras menutupi semua itu? Tepat saat ia mulai terlelap, suara itu datang. Sebuah bisikan pelan, memanggil namanya. "Rey..." Suara itu bukan milik Bibi. Bukan juga suara Naya. Nada suaranya datar, seperti datang dari ruang kosong. Rey langsung duduk tegak. "Siapa?" tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar. Tak ada jawaban, hanya bunyi langkah kaki pelan di lorong. Rey membuka pintu kamar. Lorong itu gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lampu minyak di ujung. Lantai kayu berderit di bawah kakinya. Bisikan itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas. "Rey... ikut aku..." Rey mengikuti suara itu, setiap langkah membuat bulu kuduknya berdiri. Lorong itu terasa lebih panjang dari biasanya, seperti memanjang tanpa ujung. Ia tahu secara logika itu mustahil—rumah ini kecil—tapi kakinya terus melangkah. Di ujung lorong, ia melihat pintu yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Catnya terkelupas, dan di tengahnya ada simbol aneh yang diukir kasar. Rey meraih gagang pintu itu. Dingin, seperti logam yang dibiarkan di bawah hujan. Ia membukanya perlahan. Di baliknya, bukan ruangan biasa, melainkan sebuah tangga menurun ke kegelapan. Aroma tanah lembap memenuhi hidungnya. Suara bisikan itu datang lagi, kali ini dari bawah. "Kau ingin tahu kebenaran, bukan?" Rey menelan ludah. Ia tahu ini mungkin jebakan, tapi rasa penasaran menekan rasa takutnya. Ia menuruni tangga, langkah demi langkah, hingga akhirnya tiba di sebuah ruangan kecil yang diterangi cahaya lilin. Di tengah ruangan, ada sebuah meja kayu tua. Di atasnya tergeletak album foto—persis seperti yang ia temukan di desa—tapi lebih besar, dengan sampul kulit hitam. Rey membuka halaman pertama. Foto keluarganya. Ayah, ibu, dan seorang anak laki-laki kecil—dirinya. Tapi ada sesuatu yang aneh. Di setiap foto, wajah salah satu anggota keluarga itu dicoret dengan tinta merah. Halaman demi halaman, Rey melihat foto yang semakin aneh. Ada gambar rumah mereka, tapi di jendela, tampak bayangan hitam berdiri. Di foto lain, mereka sedang tersenyum di ruang makan, tapi di latar belakang ada sosok samar seperti pria tinggi berwajah kabur. Halaman terakhir membuat Rey terhenti. Foto keluarganya saat liburan terakhir. Wajah semua orang jelas—kecuali dirinya, yang digantikan oleh bayangan hitam sepenuhnya. Tiba-tiba, lilin-lilin di ruangan itu padam. "Siapa kau?!" Rey berteriak, suaranya menggema. Dari kegelapan, muncul suara berat yang bukan lagi bisikan. "Kau seharusnya tidak kembali." Sebuah tangan pucat muncul dari kegelapan, mencoba meraih lehernya. Rey mundur, menabrak meja hingga album jatuh. Foto-foto berhamburan di lantai, beberapa di antaranya bergerak sendiri seperti ditiup angin tak terlihat. Rey berlari menaiki tangga secepat mungkin. Nafasnya terengah-engah, dadanya seperti terbakar. Begitu ia tiba di lorong, pintu di belakangnya menutup dengan suara keras. Lorong itu kini kembali normal, panjangnya seperti biasa. Rey berbalik, tapi pintu tadi sudah hilang—seolah tak pernah ada. Bibi muncul dari ruang tamu, wajahnya pucat pasi. "Kau sudah ke sana, ya?" Rey terdiam, tubuhnya masih gemetar. "Ke mana?" Bibi memandangnya lama. "Kalau kau sudah melihatnya, tak ada jalan kembali. Mereka akan tahu kau sudah menemukan jejaknya." "Siapa mereka, Bibi?!" Rey memaksa, nadanya penuh kemarahan. Bibi menatap ke arah jendela, lalu menutup tirai dengan cepat. "Kau akan segera bertemu mereka. Dan saat itu terjadi... pilihannya hanya dua: ikut mereka, atau hilang untuk selamanya." Di luar, hujan kembali turun, dan dari kejauhan, Rey bisa mendengar suara langkah kaki mendekat ke rumah.Udara di pemakaman itu semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Rey berdiri kaku di hadapan pria berjubah hitam, napasnya tak beraturan. Suara jangkrik malam seolah lenyap, digantikan keheningan yang menekan.“Pewaris?” Rey akhirnya bersuara, meski suaranya nyaris tak terdengar.Pria itu melangkah maju, tongkat kayu di tangannya memancarkan cahaya samar dari simbol-simbol yang terukir di permukaannya. “Ya. Kau, anak yang memegang peta itu. Tidak ada yang kebetulan. Darahmu sudah ditentukan sejak lama.”Rey meremas erat peta di genggamannya. “Apa maksudmu? Siapa kau?”Pria itu tersenyum tipis, senyum yang tak membawa kehangatan apa pun. “Namaku tidak penting. Yang penting adalah peranmu. Kau akan membuka Gerbang itu. Dan hanya kau yang bisa.”Kata-kata itu membuat Rey merinding. “Gerbang…? Kau tahu di mana Mama-ku?”Tatapan pria itu berubah dingin. “Ibumu? Ya, aku tahu dia. Dialah yang mencoba menentang takdir. Ia melarikan diri dari tugasnya, berharap bisa hidup tenang bersama anakny
Udara malam menusuk kulit Rey ketika ia akhirnya berhasil keluar dari gudang tua itu. Nafasnya terengah, masih bisa merasakan detak jantung yang menghantam dadanya. Di tangannya, peta kuno yang tadi diselamatkannya dari sergapan makhluk-makhluk itu terasa berat—bukan karena bobot kertasnya, melainkan karena beban rahasia yang tersimpan di dalamnya.Rey menoleh sekali lagi ke arah gudang. Lampu neon yang sempat berkelip kini padam sepenuhnya, meninggalkan bangunan itu dalam kegelapan pekat. Sejenak ia ragu, apakah makhluk-makhluk menyeramkan itu masih mengintainya dari dalam, menunggu saat yang tepat untuk kembali muncul?Tanpa menunggu jawaban, Rey melangkah cepat menuju jalan kecil yang jarang dilalui orang. Pikirannya dipenuhi tanda tanya. Apa arti simbol-simbol ini? Apa hubungannya dengan Mama? Pertanyaan-pertanyaan itu membuat kepalanya berdenyut, tapi ia tahu tak ada waktu untuk berdiam diri.Begitu tiba di sebuah halte tua, ia duduk dan membuka kembali peta itu. Kertasnya kasar,
Langkah-langkah itu terus mengitari gudang, lambat tapi tak henti, seperti predator yang tahu mangsanya tak bisa lari. Rey duduk di lantai tanah, memandangi Bibi yang menatap pintu dengan tatapan kosong namun tegang.“Apa maksudmu tadi… ibu masih hidup?” Rey akhirnya bertanya, suaranya nyaris berbisik.Bibi menghela napas panjang, lalu menunduk. “Rey… atau Aldi, nama yang seharusnya kau ingat… ibumu bukan hanya sekadar manusia biasa. Dia… seorang penjaga gerbang.”Rey mengernyit. “Penjaga… gerbang?”Bibi menatap matanya, serius. “Gerbang antara dunia kita dan dunia mereka. Sejak dulu, keluargamu punya tugas menjaga agar makhluk-makhluk itu tidak bisa bebas masuk ke dunia manusia. Tapi ada malam ketika segalanya berubah…”Rey mencoba mengingat, tapi yang muncul hanya potongan gambar kabur—suara jeritan, cahaya merah, dan tangan dingin yang menariknya.“Waktu kau masih kecil, mereka berhasil menembus gerbang itu. Ibumu berhasil menahan mereka, tapi sebagai gantinya… dia terperangkap di
Langkah kaki itu terdengar semakin jelas, menembus suara hujan yang menghantam atap. Rey berdiri di ruang tamu, jantungnya berpacu, sementara Bibi menutup semua gorden dengan gerakan cepat.“Matikan semua lampu,” bisiknya tegas.Rey menuruti, satu demi satu cahaya padam, hingga rumah tenggelam dalam kegelapan. Hanya suara hujan dan detak jantungnya sendiri yang terdengar.Tok… tok… tok…Tiga ketukan pelan di pintu depan. Terlalu pelan untuk tamu biasa, terlalu tenang untuk pencuri.“Jangan buka,” kata Bibi. “Apa pun yang terjadi, jangan buka pintu.”Ketukan itu berhenti, digantikan suara gesekan di jendela, seperti kuku yang menyeret kaca. Rey mundur, matanya terpaku pada bayangan di luar. Bentuknya tinggi, tubuhnya kurus, dan kepalanya sedikit miring.“Bibi…” suara Rey bergetar. “Apa itu manusia?”Bibi tak menjawab, hanya meraih rosario kayu di meja dan menggenggamnya erat.Lalu, suara itu datang lagi—bisikan serak dari luar jendela."Aldi… bukalah. Kami ingin bicara."Rey membeku. N
Malam kembali turun, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Rey berbaring di ranjang kayu kamar belakang, menatap langit-langit gelap yang dipenuhi bayangan. Hujan sudah reda, tapi suara tetesan air dari atap terdengar seperti jarum jam yang menghitung waktu menuju sesuatu yang mengerikan.Ia mencoba memejamkan mata, namun pikirannya penuh pertanyaan. Siapa orang-orang yang mengejarnya? Mengapa keluarganya harus menghilang? Dan kenapa Bibi bersikeras menutupi semua itu?Tepat saat ia mulai terlelap, suara itu datang. Sebuah bisikan pelan, memanggil namanya."Rey..."Suara itu bukan milik Bibi. Bukan juga suara Naya. Nada suaranya datar, seperti datang dari ruang kosong. Rey langsung duduk tegak."Siapa?" tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.Tak ada jawaban, hanya bunyi langkah kaki pelan di lorong.Rey membuka pintu kamar. Lorong itu gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lampu minyak di ujung. Lantai kayu berderit di bawah kakinya. Bisikan itu terdengar lagi, kali i
Hujan turun deras malam itu, membasahi seluruh kota hingga aroma tanah basah menembus setiap sudut jalan. Rey berdiri di depan sebuah rumah tua bercat putih yang sudah memudar. Jantungnya berdebar hebat, bukan karena udara dingin, tapi karena ia tahu—di balik pintu ini mungkin ada jawaban.Rumah itu persis seperti yang ia lihat dalam mimpi-mimpinya. Jendela di lantai dua retak di sudutnya, pagar kayu berderit saat disentuh, dan di teras ada pot bunga tanah liat yang miring. Semua terasa akrab, tapi juga asing.Ia mengetuk pintu tiga kali. Suaranya menggema di bawah rintik hujan.Tak ada jawaban.Rey mencoba lagi, kali ini lebih keras. Langkah kaki terdengar dari dalam, lalu suara kunci diputar. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang wanita tua berwajah lelah. Matanya sayu, tapi penuh kewaspadaan."Ya?" tanyanya singkat.Rey menelan ludah. "Bu... apakah ini rumah keluarga Rahmawan?"Wanita itu terdiam beberapa detik. "Siapa kamu?""Saya..." Rey ragu, kata-kata tersangkut di ten