Hujan turun deras malam itu, membasahi seluruh kota hingga aroma tanah basah menembus setiap sudut jalan. Rey berdiri di depan sebuah rumah tua bercat putih yang sudah memudar. Jantungnya berdebar hebat, bukan karena udara dingin, tapi karena ia tahu—di balik pintu ini mungkin ada jawaban.
Rumah itu persis seperti yang ia lihat dalam mimpi-mimpinya. Jendela di lantai dua retak di sudutnya, pagar kayu berderit saat disentuh, dan di teras ada pot bunga tanah liat yang miring. Semua terasa akrab, tapi juga asing. Ia mengetuk pintu tiga kali. Suaranya menggema di bawah rintik hujan. Tak ada jawaban. Rey mencoba lagi, kali ini lebih keras. Langkah kaki terdengar dari dalam, lalu suara kunci diputar. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang wanita tua berwajah lelah. Matanya sayu, tapi penuh kewaspadaan. "Ya?" tanyanya singkat. Rey menelan ludah. "Bu... apakah ini rumah keluarga Rahmawan?" Wanita itu terdiam beberapa detik. "Siapa kamu?" "Saya..." Rey ragu, kata-kata tersangkut di tenggorokan. "Saya... mungkin Aldi. Anak yang hilang itu." Mata wanita itu membesar. Ia mundur setapak, memegang gagang pintu lebih erat. "Itu tidak mungkin..." gumamnya, tapi suaranya gemetar. "Aku punya bukti," kata Rey cepat. Ia mengeluarkan foto lama yang ditemukannya. Wanita itu menatapnya lama, lalu mempersilakan Rey masuk. Di dalam rumah, aroma kayu tua dan teh melati memenuhi udara. Dindingnya penuh foto keluarga, sebagian sudah pudar. Rey menatapnya satu per satu, matanya mencari wajah-wajah yang ia kenal. Wanita itu duduk di kursi rotan dan menunjuk foto besar di dinding. "Itu ayah dan ibumu. Aku adik ibumu." Rey menahan napas. "Berarti... aku benar?" Wanita itu mengangguk pelan, tapi tatapannya penuh kesedihan. "Ya. Tapi kau harus tahu, tidak semua orang senang kau kembali." Rey terdiam, bulu kuduknya meremang. "Maksud Bibi?" Wanita itu menatap ke jendela, seolah khawatir ada yang menguping. "Kecelakaan itu... bukan kecelakaan biasa. Ada yang ingin keluargamu hilang. Dan kalau mereka tahu kau masih hidup, mereka akan datang lagi." Rey merasa dunia di sekelilingnya berputar. Semua pertanyaan yang selama ini ia simpan mulai menemukan bentuknya—dan jawabannya jauh lebih mengerikan dari yang ia bayangkan. "Bibi... siapa mereka?" Wanita itu menggeleng cepat. "Kamu belum siap mendengar semuanya. Untuk sekarang, kamu harus tetap menggunakan nama Rey. Jangan sampai identitasmu terbongkar. Bahkan tetangga pun tidak boleh tahu siapa kamu." Hening sejenak. Hanya suara hujan yang terdengar, membentuk irama menegangkan di atap seng. Tiba-tiba, pintu depan diketuk keras. Wanita itu langsung memegang tangan Rey, matanya penuh ketakutan. "Cepat, sembunyi di kamar belakang. Jangan bersuara." Rey menuruti perintah itu. Ia masuk ke kamar gelap yang hanya diterangi cahaya tipis dari celah pintu. Dari dalam, ia mendengar suara percakapan samar di ruang tamu. "Bu, kami dapat laporan ada orang asing berkeliaran di sekitar sini," kata suara berat seorang pria. "Katanya mirip anak yang hilang bertahun-tahun lalu." Rey menahan napas. "Ah, itu cuma gosip," jawab wanita itu cepat, tapi terdengar dipaksakan. "Tak ada orang baru di sini." Pria itu terdiam sejenak, lalu suaranya terdengar lebih dekat. "Kalau begitu, boleh kami memeriksa rumah ini?" Langkah-langkah mulai mendekat ke arah kamar tempat Rey bersembunyi. Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin mengalir di pelipis. Pintu kamar berderit perlahan, celahnya semakin melebar... Rey bersiap, tidak tahu apakah ia harus melawan atau kabur. Tapi tepat sebelum pintu terbuka sepenuhnya, suara wanita itu memanggil dari ruang tamu. "Pak, hujan semakin deras. Bagaimana kalau kembali besok? Saya akan siapkan teh hangat." Pria itu terdiam, lalu menutup kembali pintu kamar. Langkahnya menjauh. Tak lama kemudian, suara pintu depan tertutup, dan Rey menghela napas lega. Wanita itu masuk ke kamar, wajahnya pucat. "Kamu lihat? Mereka masih mencarimu. Kau harus berhati-hati, Rey. Mulai sekarang, setiap langkahmu akan diawasi." Rey menatapnya, mata penuh tekad. "Kalau begitu, aku harus mencari tahu semua kebenarannya. Tidak peduli siapa yang mencoba menghentikanku." Wanita itu hanya mengangguk pelan, tapi sorot matanya mengatakan satu hal: jalan pulang yang Rey cari ternyata berlapis bahaya yang jauh lebih besar dari yang ia duga.Udara di pemakaman itu semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Rey berdiri kaku di hadapan pria berjubah hitam, napasnya tak beraturan. Suara jangkrik malam seolah lenyap, digantikan keheningan yang menekan.“Pewaris?” Rey akhirnya bersuara, meski suaranya nyaris tak terdengar.Pria itu melangkah maju, tongkat kayu di tangannya memancarkan cahaya samar dari simbol-simbol yang terukir di permukaannya. “Ya. Kau, anak yang memegang peta itu. Tidak ada yang kebetulan. Darahmu sudah ditentukan sejak lama.”Rey meremas erat peta di genggamannya. “Apa maksudmu? Siapa kau?”Pria itu tersenyum tipis, senyum yang tak membawa kehangatan apa pun. “Namaku tidak penting. Yang penting adalah peranmu. Kau akan membuka Gerbang itu. Dan hanya kau yang bisa.”Kata-kata itu membuat Rey merinding. “Gerbang…? Kau tahu di mana Mama-ku?”Tatapan pria itu berubah dingin. “Ibumu? Ya, aku tahu dia. Dialah yang mencoba menentang takdir. Ia melarikan diri dari tugasnya, berharap bisa hidup tenang bersama anakny
Udara malam menusuk kulit Rey ketika ia akhirnya berhasil keluar dari gudang tua itu. Nafasnya terengah, masih bisa merasakan detak jantung yang menghantam dadanya. Di tangannya, peta kuno yang tadi diselamatkannya dari sergapan makhluk-makhluk itu terasa berat—bukan karena bobot kertasnya, melainkan karena beban rahasia yang tersimpan di dalamnya.Rey menoleh sekali lagi ke arah gudang. Lampu neon yang sempat berkelip kini padam sepenuhnya, meninggalkan bangunan itu dalam kegelapan pekat. Sejenak ia ragu, apakah makhluk-makhluk menyeramkan itu masih mengintainya dari dalam, menunggu saat yang tepat untuk kembali muncul?Tanpa menunggu jawaban, Rey melangkah cepat menuju jalan kecil yang jarang dilalui orang. Pikirannya dipenuhi tanda tanya. Apa arti simbol-simbol ini? Apa hubungannya dengan Mama? Pertanyaan-pertanyaan itu membuat kepalanya berdenyut, tapi ia tahu tak ada waktu untuk berdiam diri.Begitu tiba di sebuah halte tua, ia duduk dan membuka kembali peta itu. Kertasnya kasar,
Langkah-langkah itu terus mengitari gudang, lambat tapi tak henti, seperti predator yang tahu mangsanya tak bisa lari. Rey duduk di lantai tanah, memandangi Bibi yang menatap pintu dengan tatapan kosong namun tegang.“Apa maksudmu tadi… ibu masih hidup?” Rey akhirnya bertanya, suaranya nyaris berbisik.Bibi menghela napas panjang, lalu menunduk. “Rey… atau Aldi, nama yang seharusnya kau ingat… ibumu bukan hanya sekadar manusia biasa. Dia… seorang penjaga gerbang.”Rey mengernyit. “Penjaga… gerbang?”Bibi menatap matanya, serius. “Gerbang antara dunia kita dan dunia mereka. Sejak dulu, keluargamu punya tugas menjaga agar makhluk-makhluk itu tidak bisa bebas masuk ke dunia manusia. Tapi ada malam ketika segalanya berubah…”Rey mencoba mengingat, tapi yang muncul hanya potongan gambar kabur—suara jeritan, cahaya merah, dan tangan dingin yang menariknya.“Waktu kau masih kecil, mereka berhasil menembus gerbang itu. Ibumu berhasil menahan mereka, tapi sebagai gantinya… dia terperangkap di
Langkah kaki itu terdengar semakin jelas, menembus suara hujan yang menghantam atap. Rey berdiri di ruang tamu, jantungnya berpacu, sementara Bibi menutup semua gorden dengan gerakan cepat.“Matikan semua lampu,” bisiknya tegas.Rey menuruti, satu demi satu cahaya padam, hingga rumah tenggelam dalam kegelapan. Hanya suara hujan dan detak jantungnya sendiri yang terdengar.Tok… tok… tok…Tiga ketukan pelan di pintu depan. Terlalu pelan untuk tamu biasa, terlalu tenang untuk pencuri.“Jangan buka,” kata Bibi. “Apa pun yang terjadi, jangan buka pintu.”Ketukan itu berhenti, digantikan suara gesekan di jendela, seperti kuku yang menyeret kaca. Rey mundur, matanya terpaku pada bayangan di luar. Bentuknya tinggi, tubuhnya kurus, dan kepalanya sedikit miring.“Bibi…” suara Rey bergetar. “Apa itu manusia?”Bibi tak menjawab, hanya meraih rosario kayu di meja dan menggenggamnya erat.Lalu, suara itu datang lagi—bisikan serak dari luar jendela."Aldi… bukalah. Kami ingin bicara."Rey membeku. N
Malam kembali turun, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Rey berbaring di ranjang kayu kamar belakang, menatap langit-langit gelap yang dipenuhi bayangan. Hujan sudah reda, tapi suara tetesan air dari atap terdengar seperti jarum jam yang menghitung waktu menuju sesuatu yang mengerikan.Ia mencoba memejamkan mata, namun pikirannya penuh pertanyaan. Siapa orang-orang yang mengejarnya? Mengapa keluarganya harus menghilang? Dan kenapa Bibi bersikeras menutupi semua itu?Tepat saat ia mulai terlelap, suara itu datang. Sebuah bisikan pelan, memanggil namanya."Rey..."Suara itu bukan milik Bibi. Bukan juga suara Naya. Nada suaranya datar, seperti datang dari ruang kosong. Rey langsung duduk tegak."Siapa?" tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.Tak ada jawaban, hanya bunyi langkah kaki pelan di lorong.Rey membuka pintu kamar. Lorong itu gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lampu minyak di ujung. Lantai kayu berderit di bawah kakinya. Bisikan itu terdengar lagi, kali i
Hujan turun deras malam itu, membasahi seluruh kota hingga aroma tanah basah menembus setiap sudut jalan. Rey berdiri di depan sebuah rumah tua bercat putih yang sudah memudar. Jantungnya berdebar hebat, bukan karena udara dingin, tapi karena ia tahu—di balik pintu ini mungkin ada jawaban.Rumah itu persis seperti yang ia lihat dalam mimpi-mimpinya. Jendela di lantai dua retak di sudutnya, pagar kayu berderit saat disentuh, dan di teras ada pot bunga tanah liat yang miring. Semua terasa akrab, tapi juga asing.Ia mengetuk pintu tiga kali. Suaranya menggema di bawah rintik hujan.Tak ada jawaban.Rey mencoba lagi, kali ini lebih keras. Langkah kaki terdengar dari dalam, lalu suara kunci diputar. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang wanita tua berwajah lelah. Matanya sayu, tapi penuh kewaspadaan."Ya?" tanyanya singkat.Rey menelan ludah. "Bu... apakah ini rumah keluarga Rahmawan?"Wanita itu terdiam beberapa detik. "Siapa kamu?""Saya..." Rey ragu, kata-kata tersangkut di ten