“Tunggu! Apa maskud anda dengan di lempari buku?” Mason ingin mengoreksi pendengarannya, sepertinya ia salah dengar barusan.
Mason bertatapan dengan Aaron.
Aaron tak langsung menjawab, ia justru menunjuk perutnya dengan telunjuknya, “Perutku baru saja di lempar dengan buku super tebal.” Jelas Aaron.
Ini masuk akal, alasan kenapa luka Aaron kembali terbuka dan berdarah. Tapi Mason masih ingin tau.
“Siapa yang berani melempari anda dengan buku?”
&nb
Lusia akan rutin update, mungkin sekitar 3 atau 4 kali dalam seminggu, aku mau kalian tentukan jadwalnya. Silahkan komentar untuk tentukan jadwal update.
“Apa anda tersesat sampai ke sini?” tanya Mason dengan sopan. Leon hanya tersenyum samar, ia tak mungkin menjawab kalau ia sengaja berkeliling hanya untuk ‘mencari’ peluang melihat Lusia. Meski pada akhirnya, upaya Leon membuahkan hasil. Ia bertemu kembali dengan perempuan yang basah kutup tempo hari. Leon mengangguk, berbohong di situasi seperti ini, lebih baik ketimbang berkata jujur. “Yah, aku sedikit tersesat.... “ jawab Leon singkat. Tak terbes
Lusia berbicara dengan Leon cukup lama. Sampai Lusia tidak menyadari keadaan. Leon terkejut begitu Lusia menepuk jidatnya dengan keras. “Kenapa?” tanya Leon dengan penuh perhatian, ia bahkan hendak berdiri namun Lusia menahannya. “Maafkan aku, aku harus kembali ke dapur. Makan siang sebentar lagi dan masih ada banyak pekerjaan di dapur.” Lusia pamit begitu saja, Leon hendak mengejar Lusia namun ia mengurungkan diri. Ini bukanlah rumahnya, sebaiknya ia tak bertindak terlalu jauh. Lusia
Rose Hill seperti biasa, berkabut dan suhunya sedingin biasa. Tapi entah daya tahan Aaron yang sudah beradaptasi dengan Rose Hill atau memang Aaron tidak peduli dengan cuaca sekitarnya. Pagi ini, Aaron duduk bersama Mason dan merundingkan sesuatu. Aaron mengambil cangkir kopinya, cuaca yang dingin memang cocok untuk menikmati kopi. Aaron tengah menunggu Mason mengeluarkan isi pikirannya. Sejak tadi, Mason seperti menunggu waktu yang tepat untuk mengutarakan pikirannya. Dan memang benar, Mason sejak tadi mengamati Aaron. Laki – laki di hadapannya itu nampak tak terganggu dengan tatapan penuh rasa ingin tahu dari Mason.&nbs
Langit sudah berganti malam. Suasana sudah sangat sepi dan tidak terdengar suara langkah berseliweran, tapi mata Lusia masih terjaga. Matanya masih terbuka, nyalang menatap pintu. Berjaga – jaga andai seseorang membuka pintu dengan paksa. Dan seseorang itu adalah Aaron. Lusia sudah mengunci pintu, bahkan menggeser nakas super berat untuk menutupi pintu. Lusia masih tidak bisa melupakan tindakan brutal Aaron di taman sore tadi. Tapi rupanya, kecemasan Lusia tidak terjadi. Sampai tengah malam, engsel pintu tidak bergerak sedikitpun. Tubuh ringkih yang di dera kelelahan itu kini terkulai di atas ranjang dengan mata yang tertutup dan kini, Lusia mulai terlelap.*** “Nona!! Nona!!
Aaron hendak mencari di mana Lusia terlebih dahulu, tapi tanpa diduga Aaron sudah menemukan wanita itu di rurang tengah ia tengah duduk sendirian seperti anak kecil yang tak punya teman. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Aaron tanpa basa – basi. Lusia tidak ingin kabur, ia sangat kelelahan meski hanya untuk menghindari Aaron saat ini. “Istirahat.” Jawab Lusia dengan tanpa minat. Aaron mengatupkan bibir dan mengangguk. Ia mendengar dengan jelas dengkusan Lusia barusan.
Eliona menggantikan tugas Emma sebagai kepala pelayan, ia yang memang di kenal paling terampil dari pelayan – pelayan yang lain, kini tengah sibuk memberikan perintah pada teman – temannya. Piring – piring mahal di keluarkan, selama bekerja di sini, Eliona menyadari kalau satu peralatan makan saja harganya sangat mahal. Pantaslah kalau Emma selalu memerintah pelayan untuk berhati – hati saat menghidangkan makanan dan mencuci peralatan makan. Lampu sudah di nyalakan, meski bangunan terlihat sangat kuno, tapi bagian dalam bangunan sudah di rombak menjadi semodern mungkin. Tidak ada lampu minyak seperti yang di pikirkan orang – orang. Yang ada, adalah lampu kristal su
Pagi ini, bukannya membaik, keadaan Emma malah makin buruk. Ia muntah cukup banyak dan membuat perutnya sakit. Usia Emma memang tak lagi muda, tapi Emma jarang terkena sakit sampai membuatnya harus beristirahat cukup lama. Aaron ingat, terakhir kali Emma sakit dan harus mengambil cuti lama yaitu saat Emma terserang flu kuning. “Silahkan Tuan,” Eliona mempersilahkan Aaron untuk menikmati sarapanya setelah ia selesai menuangkan jus peach ke gelas Aaron. Aaron melihat segala menu yang ada di hadapannya dan mendapati satu hal, ia sendirian. “Kenapa hanya ada satu piring?” tanya Aaron pada Eliona. Eliona tak tau harus merespon apa, tapi Aaron s
“Nona melamun?” tanya Eliona, ia tengah memegang panci berisi adonan tepung yang siap di uleni untuk di panggang kemudian. Lusia yang sadar namanya di panggil segera mengangguk, “Akan aku ambilkan, sebentar.... “ ucap Lusia. Eliona mengernyitkan keningnya, sekarang ia melihat Lusia yang berjalan menuju lemari pendingin dan mengambil beberapa butir telur dan berjalan mendekatinya, tangan Lusia mengulurkan telur itu pada Eliona. “Ini... “ ucap Lusia, ia kembali duduk dan melamun lagi. Eliona tersenyum kecut, “Tidak ada yang meminta anda untuk mengambilkan telur Nona.... “ Kali ini