“Lain kali, berjalanlah yang cepat.” Aaron mulai mengomel saat Lusia sudah berada di depan pintu kamar mandi.
Aku sudah berjalan sangat cepat sampai melampaui batas kemampuanku. Batin Lusia membela diri.
Tapi yang Lusia lakukan malah sebaliknya, ia memberikan tatapan penuh peperangan pada Aaron dari balik pintu.
“Kamar ini yang terlalu luas.” Bantah Lusia. Dan ia menutup pintu, tepat di depan wajah Aaron.
Lusia tak akan lupa, ekspresi keterkejutan Aaron saat mendengar jawabannya.
@@@
Lusia tertatih berjalan memasuki kamar mandi. Dan berjalan di kamar mandi, menjadi siksaan baru untuk Lusia. Kamar mandi ini sangat luas dan itu sangatlah menyiksa.
Lusia menarik nafas dengan putus asa, ia sudah tak bisa menahan rasa sakit di pangkah pa – ha – nya lebih lama lagi.
Lusia kembali ambruk di lantai kamar mandi yang lembab, dengan sangat keras, ia menangis sejadi jadinya.
Lahir tanpa orang tua. Di adopsi di keluarga buruk bahkan dengan ayah tiri yang berusaha melecehkannya, Lusia hanya ingin hidup meski dengan secuil kebahagiaan.
Tangan Lusia bergerak mengusap air matanya. Meratapi nasib sendiri memang sangat menyesakan.
Lusia takan pernah menyangka, kemalangan apa lagi yang akan hadir. Ia justru di jebak dan di jual. Di jadikan budak s – e – k – s oleh laki – laki berwatak keras.
Lusia kembali menangis, menumpahkan kemelut di hidupnya yang tak kunjung surut malah justru semakin kusut.
Pntu di banting. Lusia sampai terlonjak kaget, ia sangat yakin kalau pintu kamar mandi sudah ia kunci barusan. Tapi sosok Aaron dengan mudahnya muncul dan laki – laki tanpa ekspresi itu menunduk, ia tak banyak bicara dan hanya mengulurkan tanganya.
Tanpa Lusia duga, Aaron membantunya bangkit tanpa harus di minta.
Aaron mengangkat tubuh Lusia tanpa kesulitan yang berarti. Aaron bahkan tak menyangka Lusia punya tubuh yang sangat ringan.
Apa karena dia sangat ringan, jadi semalam ia tak bisa melawanku? Batin Aaron. Semalam, perlawanan Lusia benar – benar tak berarti untuk seorang Aaron.
Aaron menggelengkan kepalanya, menepis isi otaknya dan mulai fokus mendudukan Lusia di closet.
Lusia tak melawan. Ia benar – benar kehilangan tenaganya. Dan Lusia membiarkan Aaron membersihkan tubuhnya. Lusia pasrah tanpa adanya pilihan
Aaron membuka cardigan satin yang sudah sangat kusut dan koyak karena ulahnya.
Ulahku. Batin Aaron. Tanpa sadar, Aaron puas melihat perbuatannya sendiri. Ia menyeringai tipis dan tak di sadari oleh Lusia.
“Aku akan membantumu membersihkan diri.” Ucap Aaron dengan nada dingin dan sangat tenang.
Lusia tak menanggapi, tapi tak menolak.
Melihat kediaman Lusia, Aaron menganggapnya sebagai bentuk persetujuan. Aaron mulai melepaskan cardigan itu. Warnanya senada dengan gaun tidur yang Lusia kenakan. Aaron melihat banyak sekali jejak merah yang ia tinggalkan semalam.
Aaron sendiri tercengang, begitu melihat hasil perbuatannya. Kulit Lusia yang putih bersih, kini di penuhi dengan banyak ruam merah. Menyadari mata Aaron sejak tadi memperhatikan sepanjang lehernya, Lusia memalingkan pandangan.
Respon Lusia bisa di mengerti, dan Aaron tak berkomentar. Ia melanjutkan membantu Lusia membersihkan diri.
Aaron bahkan tak mengerti, daya magis apa yang di miliki gadis mungil di hadapanya ini. Hingga semalam ia kehilangan kendali. Bahkan, sekarang. Saat Lusia berada di bawah pandangan Aaron. Hanya mengenakan gaun tidur yang tidak layak untuk menutupi tubuhnya. Aaron semakin tergelitik. Aaron memang berniat membantu, tapi ia tak tau ia harus membantu sampai di mana.
Ah. Sialan! Rasa kemanusiaanku menghalangiku. Maki Aaron di dalam hati. Kemudian, otaknya kembali menyuarakan bantahan.
Tapi semalam, aku bahkan telah melewati batas. Batin Aaron lagi.
Aaron menyalahan shower, air hangat langsung mengucur begitu Aaron menyalakannya.
Dan setelahnya, Aaron mengambil handuk kecil yang masih bersih, ia membasahi handuk itu untuk membersihkan tubuh Lusia.
Ketakutan di dalam diri Aaron kembali muncul. Ia takut kehilangan kendali begitu menyentuh gadis di hadapannya ini.
Dengan sedikit keraguan yang menghalangi, Aaron tetap mengulurkan tanganya.
Di detik yang sama, tangan Lusia menghalangi tangan Aaron.
“Aku bisa sendiri.”
Suara Lusia terdengar sangat dingin, dan juga bergetar. Aaron mengetahui, kalau Lusia memejamkan matanya ketakutan. Ketakutan karenanya.
Lusia tersentak, ia benar benat takut akan di lecehkan lagi seperti semalam. Apalagi, mereka berada di posisi yang tidak menguntungkan untuk Lusia.
Tapi hal yang mengejutkan terjadi, Lusia merasakan kain yang basah dan terasa hangat.
Saat ia membuka matanya, sosok pria yang tak ia ketahui namanya itu, tengah berdiri menjulang.
“Bersihkan tubuhmu dengan cepat.” Ucapnya sembari berlalu dan menutup pintu kamar mandi.
Entah harus berkata apa. Lusia hanya bisa bernafas lega, sangat - sangat lega.
Dengan tangan yang gemetar, Lusia mulai mengusap tubuhnya dengan handuk basah di tanganya.
***
Setelah sampai di kamar, rupanya Lusia masih tertidur dengan pulas. Kini ia tak lagi bermimpi buruk, Aaron sangat yakin itu. Karena ia bisa mendengar dengkuran lembut Lusia. Meski begitu, badai di luaran sana masih bergejolak. Aaron memutuskan untuk menikmati kopi yang sudah ia buat. Memandang ke luar dan jendela yang sesekali bergetar, suara hujan yang seperti hendak menerobos masuk. Tapi Aaron masih terdiam membatu. Selang cukup lama, kopi pun telah habis. Aaron beringsut menuju ranjang. Ia menarik selimut dengan hati – hati dan memandang Lusia untuk sesaat. “Kamu menggemaskan juga rupanya.... “ gumam Aaron lirih, ia mengusap kening Lusia dan sengatan kecil menghentikannya. Tangan Aaron mengambang di udara. Ia tak tau apa yang tengah ia lakukan sekarang.&nb
Lusia tertunduk karena menghindari kontak mata dengan Aaron. Sebenarnya, jauh di dasar hati sana, Aaron sangat tersentuh. Ia tau, betapa gemetarnya mata Lusia saat ia berbicara tentang ibunya. Kemarahan terpendam Aaron pada nasibnya, tak seharusnya ia lampiaskan pada Lusia yang tidak tau apa – apa. Aku benci diriku ketika aku marah, karena aku kehilangan kendali. Batin Aaron. Ia menyesap rasa masam di dalam mulutnya, mengulum bibir dan tak lagi menatap Lusia karena wanita itu tetap tertunduk sembari menghadap ke arah lain. “Lucu.... “ celetuk Aaron, ia belum menanggapi permintaan maaf Lusia. Sedangkan Lusia yang mendengar ucapan barusan, malah tak mengerti.&nb
Lusia berjalan di samping Aaron, ia masih mencoba untuk mengimbangi kecepatan langkah pria itu. Namun tidak bisa, nafas Lusia malah tersengal – sengal. Dan akhirnya, Lusia tidak tahan lagi. Ia membungkuk sembari memegang lututnya. “Ber--- ah---- “ Lusia menarik nafas panjang dan Aaron sudah berbalik badan, “Berhen... ti!” rengak Lusia. Aaron yang melihat betapa kesulitannya Lusia dalam mengambil nafas hanya bisa menyilangkan tangan sembari memberikan pandangan meremehkan, “Apa kamu selemah itu?” ejek Aaron. Lusia melirik tajam, “Tidak. Aku tidak lemah, hanya saja berjalan kaki bagi kamu, sama dengan berlari untukku.... &l
Lusia makan dengan lahap, begitu pula dengan Emma. Dan yang mengejutkan, Aaron adalah orang yang hampir menghabiskan makanan siang itu. Setelah selesai makan, Lusia bergerak cepat mengambil semua piring kotor dan bergegas mencucinya. Sebenarnya, Lusia masih ingin menemani Emma tapi karena Aaron ada di sini, Lusia jadi ingin segera pergi. Ia malah jadi melupakan niatan awalnya untuk meminta maaf pada Aaron. Gemericik air terdengar jelas, karena bangunan ini di design tanpa adanya sekat kecuali untuk kamar dan kamar mandinya. Jadi, dari sudut manapun, suara air, televisi, tidak bisa di redam. Begitu juga dengan pandangan. Aaron bisa melihat dengan jelas gerakan tangan Lusia yang mengusapkan sabun. “Kamu harus istirahat Emma,” tutur Aaron
“Kamu makan siang barusan?” tanya Emma dengan nada yang lebih bersahabat. Dalam situasi seperti ini, Emma bukan lagi seorang yang melayani tuannya, ia akan menjadi orang terdekat Aaron. Aaron mengangguk, ia tak terlalu senang dengan topik pembicaraan ini. Dan Emma melihat dengan jelas ekspresi Aaron yang tak berminat itu. “Hanya duduk di depan meja makan tanpa menyentuh makanan,” jelas Aaron. Ia tak berselera makan sama sekali. Dan saat Aaron memikirkan makanan, ia teringat pada Emma dan tanpa sadar sudah sampai di depan bangunan tempat Emma beristirahat. Dan saat Aaron menemukan Emma, ia juga melihat Lusia yang tengah berdiri memunggunginya, dengan tangan yang bergerak lincah dan sibuk, suara pisau yang beradu.
Begitu sampai di dapur, kesibukan terlihat sangat jelas. Semua pelayan mondar – mandir sibuk mencari, menata, memasak dan membawakan sesuatu. Dapur bising dengan bunyi kompor dan sutil yang bergesekan dengan wajan, bunyi percikan minyak goreng dan harumnya makanan. Eliona yang bertugas menggantikan Emma selagi ia belum pulih sepenuhnya, terlihat sangat cakap dalam mengatur kinerja orang – orang. Ia memerintah untuk membuatkan sesuatu, memastikan hidangan dan masih banyak lagi. Dan brak! Seseorang memecahkan piring, dan semua orang menatap cemas, karena pecahan piring itu berhasil melukai si kaki pelayan itu. “Ayo cepat bereskan, bereskan kekacauan ini.... “ gumam dua orang yang mencoba membantu yang terluka.&n
“Nona melamun?” tanya Eliona, ia tengah memegang panci berisi adonan tepung yang siap di uleni untuk di panggang kemudian. Lusia yang sadar namanya di panggil segera mengangguk, “Akan aku ambilkan, sebentar.... “ ucap Lusia. Eliona mengernyitkan keningnya, sekarang ia melihat Lusia yang berjalan menuju lemari pendingin dan mengambil beberapa butir telur dan berjalan mendekatinya, tangan Lusia mengulurkan telur itu pada Eliona. “Ini... “ ucap Lusia, ia kembali duduk dan melamun lagi. Eliona tersenyum kecut, “Tidak ada yang meminta anda untuk mengambilkan telur Nona.... “ Kali ini
Pagi ini, bukannya membaik, keadaan Emma malah makin buruk. Ia muntah cukup banyak dan membuat perutnya sakit. Usia Emma memang tak lagi muda, tapi Emma jarang terkena sakit sampai membuatnya harus beristirahat cukup lama. Aaron ingat, terakhir kali Emma sakit dan harus mengambil cuti lama yaitu saat Emma terserang flu kuning. “Silahkan Tuan,” Eliona mempersilahkan Aaron untuk menikmati sarapanya setelah ia selesai menuangkan jus peach ke gelas Aaron. Aaron melihat segala menu yang ada di hadapannya dan mendapati satu hal, ia sendirian. “Kenapa hanya ada satu piring?” tanya Aaron pada Eliona. Eliona tak tau harus merespon apa, tapi Aaron s
Eliona menggantikan tugas Emma sebagai kepala pelayan, ia yang memang di kenal paling terampil dari pelayan – pelayan yang lain, kini tengah sibuk memberikan perintah pada teman – temannya. Piring – piring mahal di keluarkan, selama bekerja di sini, Eliona menyadari kalau satu peralatan makan saja harganya sangat mahal. Pantaslah kalau Emma selalu memerintah pelayan untuk berhati – hati saat menghidangkan makanan dan mencuci peralatan makan. Lampu sudah di nyalakan, meski bangunan terlihat sangat kuno, tapi bagian dalam bangunan sudah di rombak menjadi semodern mungkin. Tidak ada lampu minyak seperti yang di pikirkan orang – orang. Yang ada, adalah lampu kristal su