Share

Bab2

MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN.#2

"Bagus! Kalau begitu jangan mengulur-ulur waktu lagi," ujar Mertua, seharusnya jika mereka tidak menyukaiku setidaknya mereka kasian pada Khalila. Karena, Khalila adalah cucu dan anaknya Mas Mande.

Namun tak apa, aku tidak ingin terlihat lemah. Kugiring bapak menuju kamar lalu menggantikan pakaiannya, dan aku pun mengemas pakaian bapak terlebih dahulu. Kemudian, aku kembali ke kamarku dengan tetap membawa bapak agar aku bisa mengawasinya.

Kutatap Khalila yang sedang tertidur pulas, sembari mengemasi pakaian. Mungkin karena aku hanya lulusan SMP jadi mereka menilaiku sangat rendah. Aku terpaksa berenti sekolah waktu dulu karena bapak sedang parah-parahnya. Sehingga, ibu tidak bisa memperhatikanku dan pada akhirnya aku tidak melanjutkan sekolah.

 Memang saat ia ingin membuat surat rumah dan toko ia meminta agar surat rumah itu hanya namanya saja yang tercantum. Ia bilang kalau kita harus memilih salah satu nama dari istri atau suami yang akan ditaruh di atas surat kuasa itu. Awalnya aku meminta namaku lah yang harus menjadi pemilik rumah dan aset lainnya namun mas Mande menolak. Ia meminta agar namanya saja yang tercantum dan aku harus menyetujui itu, akan tetapi aku tidak sebo-doh yang mereka bayangkan. 

Aku meminta jeda waktu beberapa hari untuk mengurus sebuah surat rahasia yang pastinya tak akan membuatku rigi bandar. Setelah siap barulah aku mengajak mas Mande duduk berdua dan berbicara empat mata saja. Dengan pelan aku meminta mas Mande untuk bertanda tangan pada surat itu, maka aku akan setuju kalau rumah semua aset dibuat atas namanya saja. Karena saking senangnya mas Mande pun tak ingin membaca apa isi dari surat itu sehingga ia langsung memberikan tanda tangan tanpa ingin melihatnya lagi.

Dengan cepat aku tak ingin menungulur waktu lagi, sebelum Mas Mande ingat kalau semua surat rumah dan toko berada di tanganku. Aku yakin, sekarang itu dia sedang lupa makanya dia tidak mengatakan apapun tentang itu.

Pun, aku juga tidak terlalu bodoh. Meskipun selama ini aku hanya diam saja, tidak menutup kemungkinan aku mempunyai simpanan di dalam kartu ATM yang kubuat dengan secara diam-diam. Pelan-pelan aku menyisipkan uang ke dalam kartu itu untuk jaga-jaga sebagai simpanan. Awalnya, aku hanya ingin berjaga-jaga kalau-kalau bapak nge-drop dan harus dirawat di rumah sakit. Hah! Tapi ... Tak pernah kubayangkan, aku harus pergi meninggalkan rumahku sendiri. Untungnya aku mempunyai sedikit tabungan yang menurutku akan cukup memenuhi kebutuhan hidup di kampung dalam beberapa bulan.

"Besar juga nyalinya, ingin minggat dari sini. Kita lihat saja, seberapa tahan dia akan hidup dalam kemiskinan," ucap ibu mertua menyilangkan kedua tangannya sambil berdiri di daun pintu kamarku.

Aku sedikit hati-hati, menyelipkan kartu ATM dalam kacamata pribadiku. Karena, jika tidak seperti itu aku takut nanti mereka akan memeriksa dompetku. Memang, di dalam dompet aku hanya menyisakan uang seratus ribu saja.

"Mana dompetmu? Sudah diperingatkan oleh Mande, bukan? Kalau kamu tidak boleh membawa apa-apa dari rumah ini selain baju-baju kalian saja," ucap mertua dengan garang.

Tanpa ragu aku menyerahkan dompet, dan membiarkan mertua mengobrak-abriknya biar dia merasa puas.

"Uang seratus ribu ini pun sangat berharga, dan kamu tidak boleh membawanya. Kamu harus pergi dengan tangan kosong!" cetusnya merampas uangku.

Oke! Tidak apa! Memang itu yang aku harapkan. Biarkan mereka berpikir bahwa aku pergi tanpa membawa apapun dari rumah ini, sehingga mereka akan melupakan tentang surat-surat penting yang akan kubawa.

Kendati demikian, aku tidak boleh lengah. Bisa saja mereka akan memeriksa koper, aku harus lebih pintar dari mereka.

Sengaja aku memakai baju tebal. Lebih tepatnya memakai sweater dan menggunakan celana cutbray besar lalu memasukkan ujung baju ke dalam celana. Kutunggu mereka lengah, lalu mengambil surat-surat penting dan langsung memasukkannya ke dalam baju. Tak lupa pula, aku memakai jaket kulit yang lumayan besar agar tidak ketahuan.

Setalah selesai dengan segala persiapan, aku menuntun bapak dan menggendong Khalila-ku yang baru berumur 3 tahun. Dengan perasaan sesak aku menghapus airmata yang terasa memanas, tak akan kubiarkan mereka meremehkan orang kampung sepertiku. Lihat saja, akan kupastikan setelah ini mereka akan sibuk mencari ku kesana-kemari.

"Punya mental apa kamu, mbak, pergi tanpa uang sepeserpun," ucap Manisah tersenyum miring.

Kubalas ejekkannya dengan tersenyum getir, silahkan saja kalian tertawa sepuasnya. Tapi, setelah ini pasti kalian akan merasa panik seperti ada gempa dadakan.

"Bisa apa sih, orang kampung seperti Rani ini. Sudah kampungan tidak punya kelulusan lagi! Paling juga bakalan jadi gelandangan di jalanan karena gak punya uang untuk pulang. Atau ... Palingan jual di-ri. Heh!" Senyum ejekkan itu kuterima. Its okay, aku tidak akan melawan. Silahkan saja mereka mengataiku sepuas hati mereka.

"Lebih baik kamu memohon saja padaku, dek. Lalu, pulangkan bapakmu sendirian ke kampung. Aku akan memberikannya uang untuk pulang, biar hidup kita tidak ada gangguan lagi, dan ibuku bisa tinggal di sini dengan tenang," ujar Mas Mande. Sepertinya dia ingin memberiku kesempatan, akan tetapi aku sedang tidak membutuhkan.

"Tidak akan! Aku akan pergi dari rumah ini, dan aku harap kalian tidak akan pernah mencariku lagi. Ingat, mas! Aku akan kembali!" ancamku.

"Heh! Sombong sekali perempuan kampung ini. Memangnya bisa apa sih, kamu, tanpa anakku. Cuma modal selang-kangan doang belagu. Dasar miskin!" ketus mertua.

"Siapa yang miskin di sini? Aku, atau kalian? Kurasa kalian-lah yang miskin, merebut Hakku di rumah ini. Tapi tak apa, karena kutahu kalian miskin maka aku akan mengalah. Sepertinya kalian belum pernah ya, merasakan tinggal di rumah yang besar, makanya kalian mendadak sok kaya setelah menumpang di rumah orang lain. Satu hal lagi aku tekankan pada kalian, di rumah ini masih tersisa harta warisan dari kedua orang tuaku dan aku akan mengambilnya nanti." Aku memberi peringatan.

"Seberapa banyak sih, harta warisan orang tuamu. Hanya seuprit itu saja diungkit-ungkit, kalau sudah dijadikan usaha bersama berarti kamu sudah bukan pemiliknya lagi."

Heh! Aku tersenyum getir mendengar ucapan mertuaku yang maruk ini. Sekarang aku harus cepat-cepat pergi dari sini sebelum mereka membahas lebih panjang kali lebar masalah uang dan harta, dan tentunya aku tidak ingin membuat mereka ingat tentang surat rumah dan toko. Setidaknya jika surat-surat ini berada di tanganku, mereka tidak akan bisa menjualnya.

"Cepat pergi sekarang!" Usir mertua.

Aku menghela nafas pelan, mencoba untuk abai dengan ucapan mertuaku yang tak tahu diri ini. Kulangkahkan kaki sembari membawa bapak dan Khalila.

"Dek!" Tiba-tiba saja Mas Mande memanggil.

"Sudah Mande, jangan disergah. Ibu yakin, wanita miskin ini pasti akan kembali karena dia itu udah gak punya apa-apa lagi sekarang," tahan mertua.

Heh! Sekali lagi aku tersenyum getir, membayangkan bagaimana ekspresi mereka setelah tahu surat rumah dan toko ternyata aku bawa. Lihat saja, kalian pasti akan panik. 

Bhatinku terus bergumam sembari melangkah keluar dari rumah ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status