Share

Bab3

last update Last Updated: 2022-07-12 20:00:37

MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#3

Kamu pikir aku sebo-doh itu? Kamu pikir aku selemah itu. Selama ini aku hanya bersembunyi dibalik wajah sendu yang teraniaya sembari mengumpulkan banyak trik untuk melawanmu. Sekarangpun, aku sedang berusaha terlihat lemah agar kalian bisa tertawa dalam kemenangan semua.

Pun, tak cuma surat rumah dan toko. Aku juga membawa beberapa surat penting, seperti kartu keluarga, surat nikah, BPJS-ku, Khalila, bahkan punyanya mas Mande serta surat BPKB dan STNK mobil juga kubawa. Karena surat apapun yang menurutku penting pasti akan membuat mas Mande sulit dalam berurusan jika semuanya kubawa kecuali surat nikah dan KTP punyanya. Karena, waktu dia membuat surat-surat itu atas namanya kami mempunyai perjanjian kalau aku-lah, istrinya yang berhak menyimpannya. Pun, meskipun semua itu atas namanya kami juga mempunyai surat hitam diatas putih dengan berlebelkan materai sepuluh ribu kalau dia tidak bisa menjualnya seenak hati tanpa persetujuanku. Pun, jika ia menceraikanku maka harta gono-gini akan diberikan kepadaku sebanyak 60 persen. Surat itu ia tanda tangani tanpa ia baca lagi, karena saking senangnya saat aku menyetujui bahwa semua aset dibuat atas namanya.

Ia terkecoh waktu itu, dan semuanya sudah kupegang sekarang. Lihat saja, mas, akan kubuat kamu menyesal.

Aku melangkah melewati wajah-wajah bengis yang menatapku dengan perasaan tidak suka. Tetap tegar adalah jalan satu-satunya, meskipun hati ini ingin sekali menjerit dan menangis. Namun kendati demikian, pertahananku tak boleh runtuh, aku tidak boleh ciut begitu saja.

"Tunggu apalagi? Ayo, pergi!" Teriak mertua, dengan sangar.

"Rani ... Coba dipikir lagi, buat apa mempertahankan bapakmu itu. Sebentar lagi ia juga akan mati!" Teriak mas Mande, diiringi dengan kekehan mereka.

Aku tak perduli, tak kuhiraukan suara mereka yang terus mencemooh kami. Tekad ini sudah bulat untuk keluar dari rumah yang telah kami bangun dengan segala susah payah dan keringat jagung. Walau pada akhirnya aku harus angkat kaki. Akan tetapi, ini bukanlah akhir, melainkan awal bagiku untuk masuk ke dalam permainan mereka.

_________________________

Khalila terbangun dengan tangisnya, gadis kecilku yang baru berusia 3 tahun ini menangis saat di perjalanan. Aku berusaha menenangkan Khalila dan juga berusaha tetap bisa mengawasi bapak, karena, jika lengah sedikit saja bapak bisa-bisa menghilang.

Kuambil jilbab segi empat di dalam tas, lalu mengikat satu tangan bapak pada tanganku. Agar aku bisa tetap menyadari kalau bapak masih bersamaku.

"Bunda, kita mau kemana?" tanya Khalila dengan nada cadelnya.

"Kita mau pulang ke rumah kakek," sahutku. Ah ... Dadaku menjadi sesak dengan pertanyaan Khalila. Bukan berarti aku menangisi keputusanku untuk meninggalkan rumah. Akan tetapi, kepolosan khalila-lah yang membuat hati ini sakit. Ditambah dengan mas Mande yang tega dengan anaknya sendiri.

Walaupun begitu, aku tidak boleh lemah. Jangan menangis Rani, kamu pasti kuat. Mereka tidak pantas ditangisi, apalagi jika sampai airmatamu jatuh hanya karena orang-orang yang tidak punya hati seperti mereka. Kamu pasti kuat Rani, ingat! Bapakmu masih membutuhkanmu.

Aku bergelut dengan bathin, terkadang aku merasa lemah namun di dalam sana bathinku terus memberi semangat.

__________________________________________

Entah berapa jam perjalanan, aku, Khalila dan bapak akhirnya sampai di kampung. Rumah batu yang masih berlantai semen licin mengingatkanku pada masalalu, terakhir pulang ya, setahun yang lalu, saat menjemput bapak dan membawanya ke kota.

Ketika dibuka, kami sudah disambut dengan debu yang berterbangan dan rumah ini sedikit apek karena tidak pernah dibersihkan. Di tambah banyak kotoran cicak dan kecoa di pinggiran sudut.

Keadaan rumah masih lengkap, seperti perabotan dapur dan juga alat masak lainnya. Di rumah ini juga memakai kompor gas sehingga mempermudahku jika ingin memasak, kebetulan seingatku gasnya masih berisi sehingga hanya tinggal dipasang saja lagi dan aku sudah bisa menyalakan kompor.

Hanya saja token listriknya yang habis, mungkin karena sudah terlalu lama dan tidak pernah diisi. Beruntungnya aku selalu menyimpan apa-apa saja yang penting menyangkut rumah ini, seperti nomor token listrik dan kepentingan yang lain. Sehingga, aku bisa mengisinya di konter saat singgah sebentar mencari makan siang waktu di bis tadi.

"Bunda, laper," ucap Khalila. Bapak juga kedip-kedip, sepertinya ia juga kelaparan.

Kuambil keresek hitam, sengaja saat membeli makan siang aku membelinya sedikit banyak, dengan nasi dan lauk yang dipisah agar bisa di makan saat kami sampai di kampung.

____________________________

Saat berberes rumah teleponku berdering. Kulihat beberapa panggilan tak terjawab dari mas Mande, heh! Apakah mereka sedang panik sekarang? Aku tersenyum getir saat ia menelponku berkali-kali namun tak terjawab.

[Rani, apa kamu sudah sampai di kampung?] tanyanya melalui pesan. Untuk apa dia bertanya? Apa dia kehilangan banyak barang?

Kuabaikan pesannya dan kembali berberes rumah sembari mengawasi Khalila dan bapak. Mereka bermain layaknya seperti anak kecil, kadang main kejar-kejaran dan terkadang main kuda-kudaan.

Pun, seperti yang kubilang. Rumah kami di kampung tidak begitu jelek, lantainya sudah permanen dan rumah ini cukup luas jika berada di kampung seperti ini. Soalnya, dulu sebelum bapak mengalami penyakit alzheimer hidup kami lumayan berkecukupan. Entah kenapa mendadak berubah setelah bapak hilang ingatan. Aku juga bingung?

Ponselku berdering lagi, kali ini bapak yang mengotak-atiknya. Aku tidak terlalu perduli karena ponselku itu menggunakan sandi pengaman, namun aku mendengar sesuatu dari seberang sana. Terdengar suara mertua berteriak, sementara bapak mendengarkannya sembari tersenyum.

Aku mencoba mengamati bapak, apa yang akan dia lakukan. Setelah lelah mendengar mertuaku mengoceh tidak jelas bapak kembali meletakkan ponselku di atas meja tanpa mematikan sambungan telepon.

"Dasar orang gila!" kata bapak dan meletakkan ponselku pada tempatnya kemudian ia lanjut bermain dengan Khalila.

Sedikit aku merasa terbahak, bagaiamana perasaan mertua setelah berbicara panjang lebar tapi malah dikatai oleh bapak 'orang gila' haha.

Aku beringsut mendekat, meraih ponsel yang baru saja dilepas bapak dan membukanya. Terlihat ada beberapa pesan yang tak terbaca dari mas Mande.

[Kemana BPKB dan STNK mobilku? Surat rumah dan toko, semua bukannya kamu yang pegang? Di mana kamu menaruhnya? Jangan bilang kalau kamu membawanya bersamamu.] Heh! Aku tersenyum getir, apakah mereka baru menyadarinya. Sekarang kalian mulai tahu bukan, siapa Rani yang selama ini kalian anggap lemah dan kampungan ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN.   Tamat

    MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YABG PIKUN#31Rani dengan berat meninggalkan area pemakaman, saat mereka ingin beranjak pergi dokter Ridwan pun datang."Nyonya Rani, saya baru tahu kalau pak Hamdar mening ...." ucapannya terjeda saat melihat mata Rani yang sembab dan merah."Ehm ... Maaf, saya datang di waktu yang tidak tepat," ujar dokter Ridwan."Tidak papa, Dok," sahut Khalila."Tapi, kami sudah mau pulang," lanjutnya."Silahkan, saya akan menyusul nanti." Dokter Ridwan kemudian mendekat pada kuburan pak Hamdar, ia berjongkok sembari menengadahkan kedua tangannya. Memanjatkan doa-doa dan surat-surat Al-Qur'an, terakhir ia membaca surat Yasin dan menabur bunga.Sementara Hamsar menyarankan agar mereka menunggu dokter Ridwan di gerbang utama, tidak enak saja meninggalkan orang yang datang untuk melayat keluarganya. Apalagi, orang tersebut sudah akrap dengan keluarganya."Eh, kalian masih di sini?" tanya dokter Ridwan saat ia keluar dari gerbang pemakaman umum tersebut."Pulangnya baren

  • MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN.   Bab30

    MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#30Setelah beberapa hari tidur di tempat yang kurang layak, hari ini Mande memutuskan untuk pindah ke hotel yang lebih mewah dan nyaman. Ia juga makan di restoran yang mahal dan tentunya memakan pesanan yang ia pesan hingga tandas tak bersisa.Malam itu Mande dikagetkan dengan kedatangan dua orang polisi ke restoran tersebut, sembari menodongkan senjata api dan menyuruh Mande mengangkat kedua tangannya. Peluh jagung mulai bercucuran dan Mande menjadi tegang."Angkat tangan! anda kami tahan." Salah satu dari polisi tersebut mengancam.Mande pun tak bisa berbuat apa-apa, ia terpaksa manut agar tak di tembak oleh polisi tersebut. Percuma saja ia kabur, yang ada ia akan di dor saat mencoba berlari."Salah saya apa ya, pak?" tanya Mande berpura-pura tidak tahu."Anda kami tangkap atas tindakan pencurian di rumah, nyonya Rani," ujar polisi tersebut dan salah satu dari mereka memborgol tangan Mande."S-saya tidak mencuri, pak," ucap Mande masih mengel

  • MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN.   Bab29

    MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#29 "Heh! Bercanda lagi." Khalila mengangkat satu bibirnya dan menghembuskan nafas kasar. "Apa udah gak punya cara lain, sehingga harus berpura-pura pingsan. Atau ... Emang sengaja mau cari simpati. Bangun, aku enggak akan luluh dengan sandiwara receh seperti ini." Khalila berbalik dan mengguncang tubuh Mande. Namun Mande tak bergerak, tubuhnya begitu lemas. Selain ia menahan sakit, ia juga tidak sempat makan dari pagi. Apalagi, dia juga kelelahan karena berlari kesana-kemari beberapa hari ini. "Enggak bangun, Bun. Apa dia meninggal?" Khalila melirik pada bundanya. Rani yang mendengar ucapan Khalila tersentak dan takut. "Biar kakek periksa," ujar Hamsar mendekat. "Dia pingsan," ucap Hamsar. "Terus gimana dong, kek?" tanya Khalila. "Kita panggil dokter Ridwan saja," usul Hamsar. Khalila dan Rani mengangguk, Lila pun segera mengambil ponsel dan menekan nomor dokter Ridwan, dokter langganan mereka yang biasa di panggil ke rumah. Sekian pu

  • MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN.   Bab28

    MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#28Khalila menyuruh beberapa orang untuk menebar brosur, poster Mande pun sudah terpampang di berbagai jalan. Banyak tiang-tiang yang bertempelkan wajah Mande dengan caption yang sama. Sontak, para pejalan kaki dan pengendara roda dua langsung tergiur dengan hadiah yang dicantumkan oleh Khalila. Di jaman yang serba mahal ini, uang lima juta sangat banyak bagi kaum menengah ke bawah.Ya, mulai hari ini hidup Mande diawali dengan ketidak nyamanan. Tadi pagi saja saat ia membeli sarapan di warung terdekat banyak orang menatapnya dengan tatapan sinis dan aneh, ada juga yang mengikuti ia hingga sampai ke depan gang. Untungnya Mande segera berlari sekencang mungkin untuk menghindar, takut saja jika orang-orang tersebut berniat jahat atau mungkin pencuri organ tubuh. Siapa tau, kan?Nafas Mande dibuat ngos-ngosan karena berlari sekuat yang ia bisa. Tenaganya terkuras dan tenggorokan kering sebab kekurangan dahaga. Mande mengambil botol air mineral lal

  • MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN.   Bab27

    MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#27Badan Mande serasa mau patah gara-gara digempur oleh Khalila dan Rani. Kalau Hamsar sih, tidak seberapa, yang sakit itu pukulan sapu dari Rani. Rasanya pedas dan perih.Dan ternyata membawa Khalila tidak semudah yang ia bayangkan. Ia pikir ia bisa membawa Khalila dengan gampang, sebab hanya Khalila lah penyelamat satu-satunya bagi Mande. Dikarenakan Mande memiliki banyak hutang keliling pinggang pada rentiner sehingga ia kebingungan saat ingin membayarnya. Belum lagi ia dikejar-kejar kesana-kemari bahkan beberapa kalian digebuki karena tidak bisa membayar.Pun, seorang pengusaha kaya-raya yang sudah berumur, dan lebih tepatnya bisa disebut lelaki hidung belang menawarinya uang yang banyak asalkan ia bisa memberikan gadis yang masih perawan untuk dinikahi secara siri. Sementara ia hanya mempunyai satu putri yaitu Khalila."Huh! Kurang ajar! Pukulan Rani kencang juga," decak Mande saat ingin meninggalkan halaman rumah tersebut.Sementara Rani

  • MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN.   Bab26

    MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#26"Hai, Rani!" Mande menyapa Rani dengan senyumnya, diangkatnya tangan sembari melambai pada Rani.Saat itu juga Rani seperti menyaksikan kilatan petir yang bersambaran. Ia merosot ke bawah seakan tak percaya kalau hari ini ia bertemu lagi dengan mantan suaminya."Siapa, Bun?" tanya Khalila, airmata Rani seketika jatuh."Bukan siapa-siapa," sahut Rani."Khalila!" Mande malah sengaja memanggil untuk memancing Khalila keluar."Iya." Khalila mendekat, berjalan menuju arah Rani yang kini mulai tersungkur ke bawah."Anda siapa?" tanya Khalila, ia memang sudah lupa bagaimana sosok dan rupa ayahnya. Sebab, saat sang Bunda memutuskan untuk pindah ia masih kecil dan baru berumur tiga tahun saat itu."Aku adalah .... ""Dia hanya salah alamat." Rani memotong ucapan Mande."Kalau begitu silahkan pergi, mungkin anda salah alamat," ujar Rani mengusir Mande."Tunggu dulu! Tapi, dia tau namaku, Bun," sergah Khalila penasaran."Mungkin kamu yang salah dengar,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status