Share

Bab3

MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#3

Kamu pikir aku sebo-doh itu? Kamu pikir aku selemah itu. Selama ini aku hanya bersembunyi dibalik wajah sendu yang teraniaya sembari mengumpulkan banyak trik untuk melawanmu. Sekarangpun, aku sedang berusaha terlihat lemah agar kalian bisa tertawa dalam kemenangan semua.

Pun, tak cuma surat rumah dan toko. Aku juga membawa beberapa surat penting, seperti kartu keluarga, surat nikah, BPJS-ku, Khalila, bahkan punyanya mas Mande serta surat BPKB dan STNK mobil juga kubawa. Karena surat apapun yang menurutku penting pasti akan membuat mas Mande sulit dalam berurusan jika semuanya kubawa kecuali surat nikah dan KTP punyanya. Karena, waktu dia membuat surat-surat itu atas namanya kami mempunyai perjanjian kalau aku-lah, istrinya yang berhak menyimpannya. Pun, meskipun semua itu atas namanya kami juga mempunyai surat hitam diatas putih dengan berlebelkan materai sepuluh ribu kalau dia tidak bisa menjualnya seenak hati tanpa persetujuanku. Pun, jika ia menceraikanku maka harta gono-gini akan diberikan kepadaku sebanyak 60 persen. Surat itu ia tanda tangani tanpa ia baca lagi, karena saking senangnya saat aku menyetujui bahwa semua aset dibuat atas namanya.

Ia terkecoh waktu itu, dan semuanya sudah kupegang sekarang. Lihat saja, mas, akan kubuat kamu menyesal.

Aku melangkah melewati wajah-wajah bengis yang menatapku dengan perasaan tidak suka. Tetap tegar adalah jalan satu-satunya, meskipun hati ini ingin sekali menjerit dan menangis. Namun kendati demikian, pertahananku tak boleh runtuh, aku tidak boleh ciut begitu saja.

"Tunggu apalagi? Ayo, pergi!" Teriak mertua, dengan sangar.

"Rani ... Coba dipikir lagi, buat apa mempertahankan bapakmu itu. Sebentar lagi ia juga akan mati!" Teriak mas Mande, diiringi dengan kekehan mereka.

Aku tak perduli, tak kuhiraukan suara mereka yang terus mencemooh kami. Tekad ini sudah bulat untuk keluar dari rumah yang telah kami bangun dengan segala susah payah dan keringat jagung. Walau pada akhirnya aku harus angkat kaki. Akan tetapi, ini bukanlah akhir, melainkan awal bagiku untuk masuk ke dalam permainan mereka.

_________________________

Khalila terbangun dengan tangisnya, gadis kecilku yang baru berusia 3 tahun ini menangis saat di perjalanan. Aku berusaha menenangkan Khalila dan juga berusaha tetap bisa mengawasi bapak, karena, jika lengah sedikit saja bapak bisa-bisa menghilang.

Kuambil jilbab segi empat di dalam tas, lalu mengikat satu tangan bapak pada tanganku. Agar aku bisa tetap menyadari kalau bapak masih bersamaku.

"Bunda, kita mau kemana?" tanya Khalila dengan nada cadelnya.

"Kita mau pulang ke rumah kakek," sahutku. Ah ... Dadaku menjadi sesak dengan pertanyaan Khalila. Bukan berarti aku menangisi keputusanku untuk meninggalkan rumah. Akan tetapi, kepolosan khalila-lah yang membuat hati ini sakit. Ditambah dengan mas Mande yang tega dengan anaknya sendiri.

Walaupun begitu, aku tidak boleh lemah. Jangan menangis Rani, kamu pasti kuat. Mereka tidak pantas ditangisi, apalagi jika sampai airmatamu jatuh hanya karena orang-orang yang tidak punya hati seperti mereka. Kamu pasti kuat Rani, ingat! Bapakmu masih membutuhkanmu.

Aku bergelut dengan bathin, terkadang aku merasa lemah namun di dalam sana bathinku terus memberi semangat.

__________________________________________

Entah berapa jam perjalanan, aku, Khalila dan bapak akhirnya sampai di kampung. Rumah batu yang masih berlantai semen licin mengingatkanku pada masalalu, terakhir pulang ya, setahun yang lalu, saat menjemput bapak dan membawanya ke kota.

Ketika dibuka, kami sudah disambut dengan debu yang berterbangan dan rumah ini sedikit apek karena tidak pernah dibersihkan. Di tambah banyak kotoran cicak dan kecoa di pinggiran sudut.

Keadaan rumah masih lengkap, seperti perabotan dapur dan juga alat masak lainnya. Di rumah ini juga memakai kompor gas sehingga mempermudahku jika ingin memasak, kebetulan seingatku gasnya masih berisi sehingga hanya tinggal dipasang saja lagi dan aku sudah bisa menyalakan kompor.

Hanya saja token listriknya yang habis, mungkin karena sudah terlalu lama dan tidak pernah diisi. Beruntungnya aku selalu menyimpan apa-apa saja yang penting menyangkut rumah ini, seperti nomor token listrik dan kepentingan yang lain. Sehingga, aku bisa mengisinya di konter saat singgah sebentar mencari makan siang waktu di bis tadi.

"Bunda, laper," ucap Khalila. Bapak juga kedip-kedip, sepertinya ia juga kelaparan.

Kuambil keresek hitam, sengaja saat membeli makan siang aku membelinya sedikit banyak, dengan nasi dan lauk yang dipisah agar bisa di makan saat kami sampai di kampung.

____________________________

Saat berberes rumah teleponku berdering. Kulihat beberapa panggilan tak terjawab dari mas Mande, heh! Apakah mereka sedang panik sekarang? Aku tersenyum getir saat ia menelponku berkali-kali namun tak terjawab.

[Rani, apa kamu sudah sampai di kampung?] tanyanya melalui pesan. Untuk apa dia bertanya? Apa dia kehilangan banyak barang?

Kuabaikan pesannya dan kembali berberes rumah sembari mengawasi Khalila dan bapak. Mereka bermain layaknya seperti anak kecil, kadang main kejar-kejaran dan terkadang main kuda-kudaan.

Pun, seperti yang kubilang. Rumah kami di kampung tidak begitu jelek, lantainya sudah permanen dan rumah ini cukup luas jika berada di kampung seperti ini. Soalnya, dulu sebelum bapak mengalami penyakit alzheimer hidup kami lumayan berkecukupan. Entah kenapa mendadak berubah setelah bapak hilang ingatan. Aku juga bingung?

Ponselku berdering lagi, kali ini bapak yang mengotak-atiknya. Aku tidak terlalu perduli karena ponselku itu menggunakan sandi pengaman, namun aku mendengar sesuatu dari seberang sana. Terdengar suara mertua berteriak, sementara bapak mendengarkannya sembari tersenyum.

Aku mencoba mengamati bapak, apa yang akan dia lakukan. Setelah lelah mendengar mertuaku mengoceh tidak jelas bapak kembali meletakkan ponselku di atas meja tanpa mematikan sambungan telepon.

"Dasar orang gila!" kata bapak dan meletakkan ponselku pada tempatnya kemudian ia lanjut bermain dengan Khalila.

Sedikit aku merasa terbahak, bagaiamana perasaan mertua setelah berbicara panjang lebar tapi malah dikatai oleh bapak 'orang gila' haha.

Aku beringsut mendekat, meraih ponsel yang baru saja dilepas bapak dan membukanya. Terlihat ada beberapa pesan yang tak terbaca dari mas Mande.

[Kemana BPKB dan STNK mobilku? Surat rumah dan toko, semua bukannya kamu yang pegang? Di mana kamu menaruhnya? Jangan bilang kalau kamu membawanya bersamamu.] Heh! Aku tersenyum getir, apakah mereka baru menyadarinya. Sekarang kalian mulai tahu bukan, siapa Rani yang selama ini kalian anggap lemah dan kampungan ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status