Aku tau surga seorang istri letaknya pada suami. Aku juga tau kalau seorang istri harus patuh dan taat pada suami. Tapi, tidak termasuk dengan suamiku. Suami yang tega ingin menelantarkan bapakku yang pikun dan memulangkannya sendirian ke kampung. sementara bapak sudah tidak punya siapa-siapa lagi di kampung halaman. sebab, ibuku sudah meninggal dan aku anak tunggal. Jika sudah seperti itu apakah aku harus bertahan hanya karena sebuah ketaatan pada suami. sementara suami menyuruhku untuk mengusir bapak, hingga pada akhirnya aku memilih bapak dan meninggalkan suami dengan caraku yang lugu namun cerdas. klik subcribe, rate bintang lima dan follow akun author agar bisa dapat notifikasi saat author up bab terbaru. jangan lupa berlangganan, ya.
View MoreMAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN.
"Mas, ayam goreng yang tinggal sepotong di atas meja itu siapa yang makan?" tanyaku.
"Ibuku. Tadi, dia mau lagi jadi aku berikan saja," sahutnya dengan santai.
"Mas, itukan buat bapakku. Beliau belum ada makan apa-apa dari tadi, lagian ibu kamu juga udah makan beberapa potong," ujarku.
"Bapak kamu itu kan, pikun. Kasih aja nasi sama garam. Lagian dia juga pasti udah lupa dengan rasa makanan," ucapnya.
Bapakku menderita penyakit alzheimer semenjak sepuluh tahun yang lalu, sebelumnya ada ibu yang merawat bapak di kampung. Namun, setahun yang lalu ibu meninggal dan aku terpaksa membawa bapak ke kota untuk tinggal bersamaku. Akan tetapi hal itu membuat Mas Mande cemburu, sehingga ia juga memboyong ibu serta dua adiknya ke rumah ini. Ia tak suka jika bapakku saja yang hidup enak-enak di rumah ini, katanya.
Kami mempunyai sebuah usaha, yaitu toko baju. Lumayan laris, sih. Usaha itu kami rintis bersama meskipun dengan atas nama Mas Mande, kami juga mempunyai seorang anak yang bernama Khalila Maharani, ujung namanya mirip denganku, Rani.
"Bapakku memang pikun, mas. Tapi, setidaknya kalian yang tidak pikun sedikit mempunyai hati. Tidak mungkin bapakku makan nasi sama garam, bagaimanapun ia juga butuh nutrisi," ujarku, mata ini memanas. Selalu saja Mas Mande memperlakukan bapak seenak hati. Mentang-mentang bapak orang kampung dan mengalami penyakit alzheimer. Sehingga, ia hilang rasa hormat pada bapak.
"Ih ... Bau pesing! Rani ..! Bapak kamu ngompol!" teriak mertua dengan nyaring.
Aku berlari menuju sumber suara, di mana di ruang tamu kulihat bapak sedang terduduk sembari memainkan air kencingnya. Seperti layaknya anak kecil yang sedang asyik bermain air.
"Pak, bapak ken-cing, di lantai?" tanyaku, namun bapak menggeleng.
Gegas aku membantu bapak untuk bangkit, membawanya ke kamar mandi lalu menutup pintunya. Sebab, aku harus membersihkan sisa air ken-cing bapak yang ada di lantai.
Setelah selesai, aku kembali ke kamar mandi. Tubuh bapak sudah basah dengan air dan bapak menumpahkan sebotol sabun ke bak mandi sampai habis.
"Pak, mandi dulu, yuk?" Aku berusaha sabar menghadapi bapak yang mengalami penyakit lupa, ia tidak hanya pikun tapi tingkahnya juga terkadang bisa seperti anak-anak. Entahlah! Aku juga tidak mengerti jenis penyakit ini, yang jelas kata dokter terjadi penyusutan pada otaknya. Namun, sepertinya tidak hanya otaknya yang menyusut namun juga tingkahnya juga bisa berubah-ubah.
"Ha? Ini kan, sabun mahalku!" Manisah lewat saat aku baru selesai memandikan bapak. Sementara tadi botol sabun yang dibuang-buang oleh bapak kuletakkan di depan pintu. Masih ada sisa sedikit, makanya kutaruh disitu agar bapak tak memainkannya lagi.
Dulu, sebelum bapak mengalami penyakit alzheimer kehidupan kami lumayan enak, akan tetapi semua itu berubah saat bapak mengalami kecelakan dan kepalanya terbentur hebat. Sehingga, dokter memvonis bapak mengalami penyakit itu. Penyakit yang sampai sekarang tak kumengerti, mungkin karena aku orang kampung jadi tidak terlalu faham dengan penyakit seperti itu. Yang jelas aku tahunya bapakku menjadi pikun setelah kecelakaan.
"Mbak! Buka pintunya!" teriak Manisah.
"Ada apa Manisah? Ini mbak juga mau keluar," ujarku.
"Ini sabun mahalku, baru kubeli. Kenapa bisa habis? Apa bapakmu yang menghabiskannya?!" Manisah berteriak, sementara bapak hanya tersenyum cengengesan.
"Ada apa lagi ribut-ribut? Apa pak Hamdar berulah lagi?" tanya Juleha, mertuaku.
"Ini, Bu. Sabun mahalku habis gara-gara si kakek pikun ini!" Manisah memberut kesal.
"Rani, pulangkan saja bapakmu itu ke kampung. Dia itu di sini hanya akan menyusahkan kami saja!" ujar mertua kasar.
"Tapi ini rumahku, kami membelinya bersama. Kenapa aku tidak boleh membawa bapakku, beliau tidak ada sesiapa di kampung. Aku tidak bisa memulangkannya," ucapku dengan lantang.
"Kalau begitu kamu saja yang pergi sekalian! Biar bapakmu tidak membuat kami susah lagi!" tekannya.
"Loh, apa hak ibu mengusirku dari rumahku sendiri. Kalau ibu mau, ibu saja yang pergi," jawabku.
"Berani kamu sekarang ya, Rani. Hanya karena membela bapakmu yang pikun itu, kamu berani menentang ku?!" Mertua mulai emosi.
"Setidaknya berkat emas warisan bapak dan ibukulah kami bisa merintis usaha sampai sesukses ini. Seharusnya ibu bersyukur akan hal itu," jawabku.
"Halah! Tapi kalau bukan anakku yang bekerja keras kalian pasti gak akan sukses seperti sekarang, dan itu juga berkat doa dariku," ucap ibu mertua.
"Cukup, Bu! Aku sudah sabar dengan kalian selama ini. Kalau ibu tidak suka dengan bapakku, ibu saja yang pergi!" teriakku. Entah keberanian dari mana kudapatkan, sehingga aku mampu untuk melawan.
"Oh ... Jadi, perempuan kampung ini sudah berani membantah! Heh! Kamu itu tidak pantas tinggal di rumah sebesar ini. Cuma gadis kampung, dipungut oleh anakku dibawa ke kota dan tiba-tiba hidup enak. Cuma modal beberapa gram emas saja bangganya minta ampun. Kalau bukan anakku yang banting tulang, kamu itu gak akan ada apa-apanya. Sekolah aja cuma tamat SMP malah belagu," hinanya. Sudah terbiasa aku diperlakukan seperti ini. Namun, jika menyangkut dengan harga diri bapak, aku sepertinya tidak bisa tinggal diam.
"Benar! Kamu itu seharusnya nurut apa kata suami. Aku juga setuju dengan ibuku, pulangkan saja bapakmu ke kampung. Lagian rumah kalian masih ada, kan, di sana?" Mas Mande tiba -tiba muncul dan ikut mengusir bapakku.
"Tidak! Aku tidak akan memulangkan bapak. Bapakku tidak punya siapa-siapa lagi di sana," ucapku berusaha melindungi bapak.
"Kamu tau, kan, rumah dan usaha kita semuanya atas namaku. Kalau kamu tidak mau nurut dengan semua perkataanku, lebih baik kamu pergi saja dari sini. Sekarang kamu pilih saja, mau tetap tinggal di sini atau pulang bersama bapakmu yang pikun itu." Hah! Apa Mas Mande baru saja mengusirku, tidak! Aku tidak boleh lemah. Aku tidak bisa menelantarkan bapakku begitu saja.
Sejenak aku terdiam. Aku yakin, aku bisa memutuskan.
"Aku pilih bapak," sahutku.
"Kalau begitu pergi dari rumah ini! Dan jangan bawa apa-apa selain pakaianmu. Oh ... Satu lagi! Bawa serta Khalila bersamamu, karena aku tidak ingin repot-repot mengurus anak," ujarnya tanpa belas kasihan, namun sedikitpun aku tidak akan meminta belas kasih darinya. Sudah cukup aku menahan rasa sakit hati pada keluarga mereka, kali ini akan kubuktikan kalau aku bisa pergi dari rumah ini meskipun tanpa membawa apa-apa.
"Baiklah! Aku akan membawa Khalila. Tapi, camkan satu hal! Aku akan kembali dan merebut semua Hakku," ujarku memberi ancaman tanpa rasa gentar.
Test ....
MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YABG PIKUN#31Rani dengan berat meninggalkan area pemakaman, saat mereka ingin beranjak pergi dokter Ridwan pun datang."Nyonya Rani, saya baru tahu kalau pak Hamdar mening ...." ucapannya terjeda saat melihat mata Rani yang sembab dan merah."Ehm ... Maaf, saya datang di waktu yang tidak tepat," ujar dokter Ridwan."Tidak papa, Dok," sahut Khalila."Tapi, kami sudah mau pulang," lanjutnya."Silahkan, saya akan menyusul nanti." Dokter Ridwan kemudian mendekat pada kuburan pak Hamdar, ia berjongkok sembari menengadahkan kedua tangannya. Memanjatkan doa-doa dan surat-surat Al-Qur'an, terakhir ia membaca surat Yasin dan menabur bunga.Sementara Hamsar menyarankan agar mereka menunggu dokter Ridwan di gerbang utama, tidak enak saja meninggalkan orang yang datang untuk melayat keluarganya. Apalagi, orang tersebut sudah akrap dengan keluarganya."Eh, kalian masih di sini?" tanya dokter Ridwan saat ia keluar dari gerbang pemakaman umum tersebut."Pulangnya baren
MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#30Setelah beberapa hari tidur di tempat yang kurang layak, hari ini Mande memutuskan untuk pindah ke hotel yang lebih mewah dan nyaman. Ia juga makan di restoran yang mahal dan tentunya memakan pesanan yang ia pesan hingga tandas tak bersisa.Malam itu Mande dikagetkan dengan kedatangan dua orang polisi ke restoran tersebut, sembari menodongkan senjata api dan menyuruh Mande mengangkat kedua tangannya. Peluh jagung mulai bercucuran dan Mande menjadi tegang."Angkat tangan! anda kami tahan." Salah satu dari polisi tersebut mengancam.Mande pun tak bisa berbuat apa-apa, ia terpaksa manut agar tak di tembak oleh polisi tersebut. Percuma saja ia kabur, yang ada ia akan di dor saat mencoba berlari."Salah saya apa ya, pak?" tanya Mande berpura-pura tidak tahu."Anda kami tangkap atas tindakan pencurian di rumah, nyonya Rani," ujar polisi tersebut dan salah satu dari mereka memborgol tangan Mande."S-saya tidak mencuri, pak," ucap Mande masih mengel
MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#29 "Heh! Bercanda lagi." Khalila mengangkat satu bibirnya dan menghembuskan nafas kasar. "Apa udah gak punya cara lain, sehingga harus berpura-pura pingsan. Atau ... Emang sengaja mau cari simpati. Bangun, aku enggak akan luluh dengan sandiwara receh seperti ini." Khalila berbalik dan mengguncang tubuh Mande. Namun Mande tak bergerak, tubuhnya begitu lemas. Selain ia menahan sakit, ia juga tidak sempat makan dari pagi. Apalagi, dia juga kelelahan karena berlari kesana-kemari beberapa hari ini. "Enggak bangun, Bun. Apa dia meninggal?" Khalila melirik pada bundanya. Rani yang mendengar ucapan Khalila tersentak dan takut. "Biar kakek periksa," ujar Hamsar mendekat. "Dia pingsan," ucap Hamsar. "Terus gimana dong, kek?" tanya Khalila. "Kita panggil dokter Ridwan saja," usul Hamsar. Khalila dan Rani mengangguk, Lila pun segera mengambil ponsel dan menekan nomor dokter Ridwan, dokter langganan mereka yang biasa di panggil ke rumah. Sekian pu
MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#28Khalila menyuruh beberapa orang untuk menebar brosur, poster Mande pun sudah terpampang di berbagai jalan. Banyak tiang-tiang yang bertempelkan wajah Mande dengan caption yang sama. Sontak, para pejalan kaki dan pengendara roda dua langsung tergiur dengan hadiah yang dicantumkan oleh Khalila. Di jaman yang serba mahal ini, uang lima juta sangat banyak bagi kaum menengah ke bawah.Ya, mulai hari ini hidup Mande diawali dengan ketidak nyamanan. Tadi pagi saja saat ia membeli sarapan di warung terdekat banyak orang menatapnya dengan tatapan sinis dan aneh, ada juga yang mengikuti ia hingga sampai ke depan gang. Untungnya Mande segera berlari sekencang mungkin untuk menghindar, takut saja jika orang-orang tersebut berniat jahat atau mungkin pencuri organ tubuh. Siapa tau, kan?Nafas Mande dibuat ngos-ngosan karena berlari sekuat yang ia bisa. Tenaganya terkuras dan tenggorokan kering sebab kekurangan dahaga. Mande mengambil botol air mineral lal
MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#27Badan Mande serasa mau patah gara-gara digempur oleh Khalila dan Rani. Kalau Hamsar sih, tidak seberapa, yang sakit itu pukulan sapu dari Rani. Rasanya pedas dan perih.Dan ternyata membawa Khalila tidak semudah yang ia bayangkan. Ia pikir ia bisa membawa Khalila dengan gampang, sebab hanya Khalila lah penyelamat satu-satunya bagi Mande. Dikarenakan Mande memiliki banyak hutang keliling pinggang pada rentiner sehingga ia kebingungan saat ingin membayarnya. Belum lagi ia dikejar-kejar kesana-kemari bahkan beberapa kalian digebuki karena tidak bisa membayar.Pun, seorang pengusaha kaya-raya yang sudah berumur, dan lebih tepatnya bisa disebut lelaki hidung belang menawarinya uang yang banyak asalkan ia bisa memberikan gadis yang masih perawan untuk dinikahi secara siri. Sementara ia hanya mempunyai satu putri yaitu Khalila."Huh! Kurang ajar! Pukulan Rani kencang juga," decak Mande saat ingin meninggalkan halaman rumah tersebut.Sementara Rani
MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#26"Hai, Rani!" Mande menyapa Rani dengan senyumnya, diangkatnya tangan sembari melambai pada Rani.Saat itu juga Rani seperti menyaksikan kilatan petir yang bersambaran. Ia merosot ke bawah seakan tak percaya kalau hari ini ia bertemu lagi dengan mantan suaminya."Siapa, Bun?" tanya Khalila, airmata Rani seketika jatuh."Bukan siapa-siapa," sahut Rani."Khalila!" Mande malah sengaja memanggil untuk memancing Khalila keluar."Iya." Khalila mendekat, berjalan menuju arah Rani yang kini mulai tersungkur ke bawah."Anda siapa?" tanya Khalila, ia memang sudah lupa bagaimana sosok dan rupa ayahnya. Sebab, saat sang Bunda memutuskan untuk pindah ia masih kecil dan baru berumur tiga tahun saat itu."Aku adalah .... ""Dia hanya salah alamat." Rani memotong ucapan Mande."Kalau begitu silahkan pergi, mungkin anda salah alamat," ujar Rani mengusir Mande."Tunggu dulu! Tapi, dia tau namaku, Bun," sergah Khalila penasaran."Mungkin kamu yang salah dengar,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments