Share

MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN.
MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN.
Author: PejuangOnline99

Bab1

MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN.

"Mas, ayam goreng yang tinggal sepotong di atas meja itu siapa yang makan?" tanyaku.

"Ibuku. Tadi, dia mau lagi jadi aku berikan saja," sahutnya dengan santai.

"Mas, itukan buat bapakku. Beliau belum ada makan apa-apa dari tadi, lagian ibu kamu juga udah makan beberapa potong," ujarku.

"Bapak kamu itu kan, pikun. Kasih aja nasi sama garam. Lagian dia juga pasti udah lupa dengan rasa makanan," ucapnya.

Bapakku menderita penyakit alzheimer semenjak sepuluh tahun yang lalu, sebelumnya ada ibu yang merawat bapak di kampung. Namun, setahun yang lalu ibu meninggal dan aku terpaksa membawa bapak ke kota untuk tinggal bersamaku. Akan tetapi hal itu membuat Mas Mande cemburu, sehingga ia juga memboyong ibu serta dua adiknya ke rumah ini. Ia tak suka jika bapakku saja yang hidup enak-enak di rumah ini, katanya.

Kami mempunyai sebuah usaha, yaitu toko baju. Lumayan laris, sih. Usaha itu kami rintis bersama meskipun dengan atas nama Mas Mande, kami juga mempunyai seorang anak yang bernama Khalila Maharani, ujung namanya mirip denganku, Rani.

"Bapakku memang pikun, mas. Tapi, setidaknya kalian yang tidak pikun sedikit mempunyai hati. Tidak mungkin bapakku makan nasi sama garam, bagaimanapun ia juga butuh nutrisi," ujarku, mata ini memanas. Selalu saja Mas Mande memperlakukan bapak seenak hati. Mentang-mentang bapak orang kampung dan mengalami penyakit alzheimer. Sehingga, ia hilang rasa hormat pada bapak.

"Ih ... Bau pesing! Rani ..! Bapak kamu ngompol!" teriak mertua dengan nyaring.

Aku berlari menuju sumber suara, di mana di ruang tamu kulihat bapak sedang terduduk sembari memainkan air kencingnya. Seperti layaknya anak kecil yang sedang asyik bermain air.

"Pak, bapak ken-cing, di lantai?" tanyaku, namun bapak menggeleng.

Gegas aku membantu bapak untuk bangkit, membawanya ke kamar mandi lalu menutup pintunya. Sebab, aku harus membersihkan sisa air ken-cing bapak yang ada di lantai.

Setelah selesai, aku kembali ke kamar mandi. Tubuh bapak sudah basah dengan air dan bapak menumpahkan sebotol sabun ke bak mandi sampai habis.

"Pak, mandi dulu, yuk?" Aku berusaha sabar menghadapi bapak yang mengalami penyakit lupa, ia tidak hanya pikun tapi tingkahnya juga terkadang bisa seperti anak-anak. Entahlah! Aku juga tidak mengerti jenis penyakit ini, yang jelas kata dokter terjadi penyusutan pada otaknya. Namun, sepertinya tidak hanya otaknya yang menyusut namun juga tingkahnya juga bisa berubah-ubah.

"Ha? Ini kan, sabun mahalku!" Manisah lewat saat aku baru selesai memandikan bapak. Sementara tadi botol sabun yang dibuang-buang oleh bapak kuletakkan di depan pintu. Masih ada sisa sedikit, makanya kutaruh disitu agar bapak tak memainkannya lagi.

Dulu, sebelum bapak mengalami penyakit alzheimer kehidupan kami lumayan enak, akan tetapi semua itu berubah saat bapak mengalami kecelakan dan kepalanya terbentur hebat. Sehingga, dokter memvonis bapak mengalami penyakit itu. Penyakit yang sampai sekarang tak kumengerti, mungkin karena aku orang kampung jadi tidak terlalu faham dengan penyakit seperti itu. Yang jelas aku tahunya bapakku menjadi pikun setelah kecelakaan.

"Mbak! Buka pintunya!" teriak Manisah.

"Ada apa Manisah? Ini mbak juga mau keluar," ujarku.

"Ini sabun mahalku, baru kubeli. Kenapa bisa habis? Apa bapakmu yang menghabiskannya?!" Manisah berteriak, sementara bapak hanya tersenyum cengengesan.

"Ada apa lagi ribut-ribut? Apa pak Hamdar berulah lagi?" tanya Juleha, mertuaku.

"Ini, Bu. Sabun mahalku habis gara-gara si kakek pikun ini!" Manisah memberut kesal.

"Rani, pulangkan saja bapakmu itu ke kampung. Dia itu di sini hanya akan menyusahkan kami saja!" ujar mertua kasar.

"Tapi ini rumahku, kami membelinya bersama. Kenapa aku tidak boleh membawa bapakku, beliau tidak ada sesiapa di kampung. Aku tidak bisa memulangkannya," ucapku dengan lantang.

"Kalau begitu kamu saja yang pergi sekalian! Biar bapakmu tidak membuat kami susah lagi!" tekannya.

"Loh, apa hak ibu mengusirku dari rumahku sendiri. Kalau ibu mau, ibu saja yang pergi," jawabku.

"Berani kamu sekarang ya, Rani. Hanya karena membela bapakmu yang pikun itu, kamu berani menentang ku?!" Mertua mulai emosi.

"Setidaknya berkat emas warisan bapak dan ibukulah kami bisa merintis usaha sampai sesukses ini. Seharusnya ibu bersyukur akan hal itu," jawabku.

"Halah! Tapi kalau bukan anakku yang bekerja keras kalian pasti gak akan sukses seperti sekarang, dan itu juga berkat doa dariku," ucap ibu mertua.

"Cukup, Bu! Aku sudah sabar dengan kalian selama ini. Kalau ibu tidak suka dengan bapakku, ibu saja yang pergi!" teriakku. Entah keberanian dari mana kudapatkan, sehingga aku mampu untuk melawan.

"Oh ... Jadi, perempuan kampung ini sudah berani membantah! Heh! Kamu itu tidak pantas tinggal di rumah sebesar ini. Cuma gadis kampung, dipungut oleh anakku dibawa ke kota dan tiba-tiba hidup enak. Cuma modal beberapa gram emas saja bangganya minta ampun. Kalau bukan anakku yang banting tulang, kamu itu gak akan ada apa-apanya. Sekolah aja cuma tamat SMP malah belagu," hinanya. Sudah terbiasa aku diperlakukan seperti ini. Namun, jika menyangkut dengan harga diri bapak, aku sepertinya tidak bisa tinggal diam.

"Benar! Kamu itu seharusnya nurut apa kata suami. Aku juga setuju dengan ibuku, pulangkan saja bapakmu ke kampung. Lagian rumah kalian masih ada, kan, di sana?" Mas Mande tiba -tiba muncul dan ikut mengusir bapakku.

"Tidak! Aku tidak akan memulangkan bapak. Bapakku tidak punya siapa-siapa lagi di sana," ucapku berusaha melindungi bapak.

"Kamu tau, kan, rumah dan usaha kita semuanya atas namaku. Kalau kamu tidak mau nurut dengan semua perkataanku, lebih baik kamu pergi saja dari sini. Sekarang kamu pilih saja, mau tetap tinggal di sini atau pulang bersama bapakmu yang pikun itu." Hah! Apa Mas Mande baru saja mengusirku, tidak! Aku tidak boleh lemah. Aku tidak bisa menelantarkan bapakku begitu saja.

Sejenak aku terdiam. Aku yakin, aku bisa memutuskan.

"Aku pilih bapak," sahutku.

"Kalau begitu pergi dari rumah ini! Dan jangan bawa apa-apa selain pakaianmu. Oh ... Satu lagi! Bawa serta Khalila bersamamu, karena aku tidak ingin repot-repot mengurus anak," ujarnya tanpa belas kasihan, namun sedikitpun aku tidak akan meminta belas kasih darinya. Sudah cukup aku menahan rasa sakit hati pada keluarga mereka, kali ini akan kubuktikan kalau aku bisa pergi dari rumah ini meskipun tanpa membawa apa-apa.

"Baiklah! Aku akan membawa Khalila. Tapi, camkan satu hal! Aku akan kembali dan merebut semua Hakku," ujarku memberi ancaman tanpa rasa gentar.

Test ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status