Share

Robek

“Untukmu.” Cahyo menyodorkan

kotak coklat berpita putih kepada Yuni.


“Trimakasih, Mas.” Yuni membuka

kotak itu dan menemukan gaun yang hampir sama dengan yang diingininya tadi di

mall, “Kapan Mas belinya? Kok bisa sama?” Yuni tidak ingin membahas yang lain

sekarang.


“Tadi nemu, langsung aku bawa ke

kasir.”


“Besok aku pake Mas.”


Lagi. Meski sudah tidak terlalu

canggung, Cahyo tetap saja keluar lebih dulu untuk menunggu Yuni tertidur,

dan  Yuni tidak mau memusingkan itu

sekarang. Kalau memang begini, biar saja dia menerimanya.


~


Yuni benar-benar dihantar sopir

sekarang. Memakai setelan santai seperti biasanya dia memilih segera bergabung

dengan Ratih yang ada di kantin bersama Hendra.


“Entar malem ikut gak? Aku mau ngadain

ultah kecil-kecilan buat aku sendiri.” Ratih yang sibuk makan gorengan tidak

terlalu melihat ke Yuni.


“Aku nanya mamaku dulu.” Yuni

memang tidak bilang kalau sudah menikah.


“Dateng ya? Ini ultah pertama aku

sama kamu loh.”


Yuni pun mengangguk, dia tidak akan

tega jika tidak datang ke ultah sahabatnya.


~


Yuni cukup senang karena mamanya

mengizinkannya. Dia memilih datang lebih awal dan memakai gaun yang dibelikan

oleh Cahyo. Yuni juga memiliki kartu debit yang diberikan oleh Cahyo, jadi dia

bisa membelikan kado kecil untuk Ratih.


“Hendra! Barengan ya masuknya?”

Yuni yang baru datang dan menemukan Hendra di pelataran parkir sedikit berlari

agar tidak tertinggal.


Bukannya cepat masuk, Hendra

malah bengong dan menatap Yuni dari bawah sampai atas, seakan tidak percaya

jika gadis manis yang berdiri di depannya ini adalah Yuni yang sama dengan Yuni

yang dia kenal selama ini. Rambut panjang yang tergerai menutupi punggung dan

juga lengan mulusnya karena gaun itu tidak memiliki lengan, membuat desiran

aneh tersendiri untuk Hendra.


“Hey?!” Yuni mendadakan tangan

kanannya ke depan wajah serius Hendra karena tangan kirinya sedang memegang

hadiah untuk Ratih, “Malah bengong. Ayo masuk ... .”


Hendra berdehem dan segera masuk

tanpa berniat mengatakan apa pun.


Ratih sudah menunggu dengan

seseorang di sebelahnya, kue ulang tahun yang tidak terlalu besar juga ikut

menghiasi meja yang ada tatanan bunga esternya di tengah sana, “Hey! Aku pikir

gak dateng.” Ratih segera berdiri dan memeluk Yuni.


“Ini untukmu, aku harap kamu suka.”

Yuni menyodorkan kadonya ke Ratih setelah melepas pelukan singkat itu.


“A ... aaa ... trimakasih. Eh kenalin,

ini Surya pacar aku.” Seseorang yang di sebelah Ratih pun berdiri dan

mengulurkan tangannya ke Yuni.


Setelah perkenalan itu, mereka

pun merayakan pesta sederhana itu sambil bersenda gurau bersama. Mengobrol dan

bertukar cerita, dan juga tertawa bersama.


Tapi bereda dengan Hendra, dia

malah semakin diam dan sesekali mencuri pandang ke Yuni. Rasanya dia melihat

sosok yang lain malam ini. Meski dia tahu Yuni cenderung tertutup dengan

kehidupan pribadinya, tapi keceriaan Yuni mulai terlihat yang semakin manis saja

di mata Hendra.


“Kalian berangkat bareng?” tanya

Ratih.


Yuni menggeleng dengan cepat, “Enggak,

aku sama sopirku.”


“Kamu?” Ratih bertanya ke Hendra.


Bukan menjawab, Hendra malah tersenyum

setelah melihat Yuni juga tersenyum ke arahnya.


“Eh! Kutu kupret! Kesambet Lu?”

Ratih berdiri dan menabok kening Hendra dengan sendok bekasnya makan.


“Apaan sih? Kotor nih!” Hendra

segera mengambil tisu dan membersihkan keningnya yang terasa agak basah. Sedangkan

Yuni dan Ratih tertawa bersama. Bahkan Surya yang diam dari tadi saja juga ikut terbahak melihat Hendra yang sedang kesal.


Waktu terus berlalu, semakin

larut meski pesta itu seakan baru saja dimulai. Yuni yang tidak ingin membuat

mama Cahyo khawatir, segera berpamitan untuk pulang.


“Yun.” panggil Hendra.


“Ya?” Yuni berbalik, mungkin

Hendra akan mengatakan sesuatu yang penting.


“Mau balik bareng?”


“Aku kan sama sopir?”


Hendra menggaruk tengkuknya yang tidak

gatal, “Aku bisa mengantarmu lebih cepat dengan motor sportku.”


Yuni terkekeh, “Trimakasih, aku

sama sopirku saja.” sungguh Yuni sangat tahu degan statusnya saat ini.


“Okey. Tapi lain kali jangan

menolakku.”


“Aku tidak bisa berjanji, maafkan

aku.”


Tin. Tin.


Yuni menoleh karena merasa klakson

mobil itu sedang memanggilnya, “Maaf, Hendra. Aku harus pulang sekarang.” Yuni

yang mengenali mobil siapa itu, segera mempercepat jalannya meninggalkan Hendra

yang terlihat heran dengan sikapnya yang buru-buru.


“Aku membelikan gaun itu bukan digunakan

untuk menggoda lelaki di luar sana.” suara tegas dan dalam langsung menggema

memenuhi mobil yang baru saja melaju itu.


“Aku tidak menggodanya, Mas.” Yuni

cepat memasang sabuk pengamannya sendiri karena Cahyo langsung saja melaju

tadi.


“Trus? Itu tadi apa? Katamu yang

ultah Ratih? Dia yang namanya Ratih?” Cahyo tidak mengerti dengan dirinya

karena merasa tidak rela melihat Yuni mengobrol dengan seorang pria di depan

kafe tadi.


“Itu Hendra, Mas. Yang---“


“Ratihnya ganti Hendra? Kuliah 1

bulan sudah pinter ya kamu?”


“Bukan, Mas. Kita bertiga

temenan.”


Cahyo terkekeh, “Mataku gak buta,

Yun. Buat tahu itu bertiga apa berdua.”


“Ratih masih di dalam, Mas. Sama cowoknya,

dia---“


Cahyo semakin terbahak agar omong

kosong Yuni tidak membuatnya semakin marah.


Yuni pun yang merasa terpojok

memilih untuk diam, dia tidak ingin Cahyo semakin marah jika dia menentangnya.


“Gimana, Sayang? Seru acaranya?”

mama Cahyo selalu memeluk Yuni saat menantunya itu baru pulang dari mana saja.


“Mulai besok aku yang nganter Yuni

kuliah.” tanpa berniat berhenti, Cahyo segera menuju ke kamarnya setelah mengatakan

itu.


Kening mamanya berkerut, bahkan

tadi saat dia bercerita kalau Yuni akan ke pesta ultah temannya, putranya itu

cuek seakan tidak peduli, “Ada apa, Sayang?”


“Mas salah paham, Ma.” Yuni tidak

ingin mengatakan terlalu detail kepada mama Cahyo.


Mama Cahyo tersenyum dan mengelus

rambut panjang Yuni, “Istirahat saja, sudah malam. Besok kuliah kan?”


Yuni pun mengangguk, beristirahat

memang pilihan yang tepat sekarang kerena waktu memang sudah cukup larut.


Yuni baru saja masuk ke dalam

kamarnya, Cahyo langsung menarik pergelangan tangannya dan menghempaskannya ke atas

ranjang.


Sriekkk.


Gaun Yuni terkoyak dari tubuhnya.

Tidak berbentuk karena sudah terbelah menjadi dua bagian dengan sisi yang masih

menempel di badan Yuni.


Yuni segera menutup tubuhnya

dengan ke dua tangannya dan menangis sesegukan sekarang.


“Aku. Tidak. Suka. Melihatmu. Memakai.

Gaun. Ini.”


Yuni mengangguk mendengar kalimat

Cahyo yang ditekan di setiap katanya itu.


“Mandi dan segeralah tidur.”


Yuni mengangguk kembali, dia akan

menuruti semua perkataan Cahyo.


“Bagus.” Setelah mengatakan itu,

Cahyo meninggalkan Yuni dan keluar dari kamarnya.


Yuni menangis. Dia bingung dan

tidak tahu. Apakah Cahyo menganggapnya berarti? Apakah Cahyo sedang cemburu? Apa

dia tidak pantas memakai gaun itu tadi? Apa dia terlihat murahan? Begitu banyak

pertanyaan yang berputar di kepala Yuni, dan dia tidak tahu apa jawabannya.


Setelah lelah menangis, Yuni segera

melepas gaun itu dan menyimpannya di lemari pakaiannya. Meski tidak bisa

diperbaiki lagi, setidaknya itu adalah gaun pertama yang dibelikan Cahyo untuknya,

dan dia tidak ingin membuangnya sia-sia meski sudah rusak sekali pun.


Hampir dini hari, Cahyo masuk ke

dalam kamarnya dan melihat wajah sembab itu. Matanya yang sedikit bengkak

seakan membenarkan dia menangis cukup lama.


Cahyo menyapu pipi pucat itu dengan

punggung tangan kanannya. Dia pun tidak tahu kenapa melakukan itu tadi, yang

dia tahu dia hanya tidak suka melihat Yuni bisa tertawa bersama pria asing di luar

sana.​

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status