Tiba-tiba, penyakit jantung Nyonya Sania kambuh. Ia merasakan sakit yang luar biasa. Sania pun tidak dapat menahannya lagi dan nyaris tumbang jika saja Doni tidak sigap.
"Bunda, Bunda ...."
Doni pun sigap membawa Bundanya itu ke dalam kamarnya. Prita pun langsung menghubungi Fani yang sudah menjadi dokter pribadi sang Bunda sejak lama.
Beberapa saat kemudian
Fani pun akhirnya sampai di rumah mewah keluarga Sania itu. Ia pun langsung memeriksa kondisi kesehatan sang pasien.
"Tekanannya normal 120. Coba Bunda tarik napas yang panjang ya," pinta Fani.
"Oh, tolong semuanya keluar dulu. Biar Dokter Fani bisa memeriksa kondisi Bunda," pinta Prita.
"Kamu juga Sabrina. Ngapain kamu masih di sini? Bunda sakit itu juga gara-gara kamu," sindir Prita ketus.
Sabrina pun menahan air matanya agar tidak jatuh. Netranya pun berkaca-kaca. Ia tahu, Prita memang sangat membencinya. Bukan soal ia yang tidak kunjung hamil, tetapi juga karena masa lalunya dengan Prita saat masih duduk di bangku SMA. Prita adalah kakak kelasnya dulu.
"Udah, Kak. Sekarang bukan waktunya untuk kita bertengkar," ujar Doni membela isterinya.
"Aku tahu kamu sayang sama Bunda. Tetapi, kali ini kita mengalah ya," ujar Doni. Doni pun membawa istrinya itu ke luar dari kamar sang Bunda.
****
Beberapa waktu berlalu
Azan subuh pun berkumandang. Fani yang malam itu menginap untuk memantau kondisi Nyonya Sania pun ke luar dari kamarnya untuk menunaikan salat subuh di mushalla kecil di lantai 2 rumah Sania itu.
Setelah salat, Fani pun kembali ke kamar Nyonya Sania. Saat melihat Bunda Sania tertidur, Fani pun memilih keluar. Namun, saat bersamaan tangan Fani ditarik. Fani pun duduk ditepian ranjang.
"Fani, dokter kesayangan Bunda," puji Sania.
"Bunda, alhamdulilah Bunda udah bangun. Insya Allah, sekarang Bunda udah baik-baik saja," ujar Fani tersenyum.
"Bunda banyak berutang budi sama kamu. Terimakasih ya, kamu selalu bisa menenangkan Bunda," ujar Nyonya Sania memuji dokter pribadinya itu.
"Bunda kan Bundanya sahabat saya, Doni dan Sabrina. Fani senang bisa merawat Bunda," ungkap Fani tersenyum.
"Fani ...." lirih Sania.
Suara Bunda masih terdengar lemah. Kondisinya memang belum terlalu kuat. Namun, ada hal yang ingin ia bicarakan dengan Fani. Wanita yang sangat dikaguminya. Masih muda tetapi sudah sukses dengan gelar dokternya dan lulus cumlaude dari sebuah universitas di London.
"Bunda ingin terus terang sama kamu. Sesuatu yang selama ini ada dibenak Bunda. Sudah lama Bunda pendam," ujarnya lemah.
"Ada apa Bunda?" tanya Fani.
"Bunda ingin sekali kamu bisa jadi menantu Bunda. Istrinya Doni. Bukannya Sabrina," kata Nyonya Sania mengungkapkan isi hatinya.
Fani pun dibuat salah tingkah mendengar keinginan Bunda Sania, Ibu sahabatnya itu. Fani pun tersenyum tipis.
"Bunda, mungkin Bunda hanya salah bicara," ucap Fani mencoba menenangkan Nyonya Sania.
"Bunda serius. Bunda nggak main-main masalah ini," jawabnya tegas.
Nyonya Sania pun mengelus pipi Fani. Memberikan banyak pujian pada gadis cantik berambut panjang dan berlesung pipi itu.
"Wanita yang cantik. Pintar. Yang bisa memberikan cucu untuk Bunda," lirih Sania.
Doni yang baru selesai salat di mushalla pun melewati kamar sang Bunda yang pintunya sedikit terbuka dan ia pun mendengarkan pembicaraan sang Bunda dengan sahabat kecilnya itu.
"Bunda, ehm, Bunda pasti bercanda. Sekarang Bunda istirahat saja ya. Bunda butuh istirahat yang cukup. Soal pembicaraan ini, Fani anggap hanya bercanda dan nggak perlu dilanjutkan. Fani nggak mau kalau sampai nanti Doni dengar dan tersinggung. Apalagi kalau sampai Sabrina mendengarnya. Kalau gitu, Fani pamit ya, Bunda," pamit Fani karena tidak nyaman dengan pembicaraan Nyonya Sania.
Kembali, Sania menarik tangan Fani dan menahannya untuk tetap tinggal.
"Nggak. Bunda serius!" ujar Sania dengan suara yang masih lemah.
Fani pun berbalik ke arah Bunda Sania.
"Bunda nggak bercanda. Bunda ingin kamu menjadi istri Doni," ungkap Nyonya Sania.
Doni yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan itu di luar kamar yang terbuka pun menjadi kaget dengan permintaan sang Bunda pada Fani.
"Bunda, istirahat ya. Saya pamit, Bunda." Angel pun langsung bergegas ke luar kamar.
"Bukan Sabrina!" teriak Nyonya Sania.
Doni kini berdiri menghadap ke bawah, ditepi tangga. Fani pun kaget melihat Doni berada di depan kamar sang Bunda.
"Astaghfirullah," ucap Fani.
Fani pun menjadi salah tingkah. Ia yakin, jika sahabatnya itu mendengar pembicaraan sang Bunda yang memintanya menjadi menantunya.
Saat Fani bergegas pergi menghindar dari Doni ia justru terpleset dan Doni dengan sigap membantunya. Tidak lama, Fani pun melepaskan diri dari Doni.
"Maaf, itu hanya spontanitas aja biar kamu nggak jatuh," ujar Doni. Ia pun langsung berpamitan dan hendak turun.
"Doni," cegah Fani.
Fani pun menengok ke arah sang sahabat yang memanggilnya. Fani pun mendekatinya.
"Don, kamu mendengar pembicaraanku dengan Bunda tadi di kamar?" tanya Fani hati-hati.
"Iya," jawab Doni.
"Ok, Doni. Kamu harus tahu, Bunda sekarang ini sedang sakit. Kadang-kadang orang sakit itu suka sadar dan nggak sadar. Kamu mengerti kan maksudku?" ungkap Fani. Ia tak ingin ada kesalahpahaman di antara mereka.
Tiba-tiba ponsel Fani berbunyi, sebuah pesan masuk."Ada tindakan di rumah sakit. Aku harus ke sana," terang Fani.
"Aku antar ya. Kamu kan biasa kuantar jemput," kata Doni.
"Itu dulu, Doni. Sekarang kamu sudah menikah dengan Sabrina, sahabat baikku. Aku nggak mau ada fitnah," jawab Fani tegas.
"Iya." Doni pun tersenyum.
Nyonya Sania yang mendengar Fani dan Doni berbicara pun membuka sedikit pintu kamarnya.
"Ya Allah, ijinkan Fani menjadi menantuku kelak. Berikanlah jalannya," ucap Nyonya Sania.
"Aku permisi dulu ya, assalamu'alaikum," pamit Fani menunduk dan bergegas turun.
"Wa'alaikumsalam," jawab Doni.
****
Doni pun langsung turun saat dari lantai atas ia melihat sang istri berjalan membawa sebuah koper. Doni pun langsung berlari menyusuri anak tangga.
"Kamu mau ke mana?" cegah Doni.
"Aku mau minta ijin sama kamu. Aku mau pulang ke rumah orang tuaku," kata Sabrina menatap nanar Doni yang berdiri dihadapannya.
Doni pun syok mendengarnya.
"Kejadian semalam membuatku syok. Aku juga nggak mau membuat Bunda dan Kak Prita semakin kalut dan panik," ungkap Sabrina.
"Wajar aja mereka panik. Tetapi, aku kan nggak panik," jawab Doni menatap Sabrina dengan tatapan penuh cinta.
"Aku masih sangat percaya kalau kamu masih bisa memberikan aku seorang anak," jelas Doni tegas.
"Maka dari itu, Mas, dokter juga bilang sama aku. Aku nggak boleh stres. Nggak boleh banyak pikiran. Dan suasana rumah akhir ini membuatku stres," dalih Sabrina.
Doni pun menarik napas panjang
"Jadi aku mohon, Mas, tolong ijinin aku. Ijinkan aku menginap sementara di rumah orang tuaku," pinta Sabrina memohon.
"Apa kamu yakin dengan keputusan kamu?" tanya Doni.
"Aku yakin, Mas. Ini cara yang terbaik untuk saat ini, Mas. Lagipula kamu kan bisa nengokin aku kapan aja. Kamu bisa datang kapan saja ke rumah orang tuaku," ujar Sabrina.
Doni pun menghela napas.
" Ya udah. Tetapi, aku antar kamu ya. Seminggu di sana, aku akan jemput kamu dan kita akan liburan ke Bali biar kamu bisa beristirahat di sana," ujar Doni memberikan keputusannya.
"Makasih ya, Mas," ucap Sabrina.
Doni pun pergi bersama Sabrina menuju kediaman orang tuanya.
****
Fani pun sedang berada berada di sebuah cafe. Ia pun berdiri di depan cafe menunggu supirnya itu menjemput.Di seberang jalan, Aryo pun memperhatikan ke sebuah cafe.
"Itu kayak Fani?" ucapnya.
Aryo pun langsung memutar arah mobilnya menuju cafe itu. Saat sampai diparkiran cafe, Aryo pun bergegas turun dari mobil Chevroletnya.
"Fani!" teriak Aryo saat matanya menemukan di mana keberadaan Fani. Mantan pacar Aryo yang selama ini sangat dicari-cari oleh Prita.
Fani pun berbalik arah mencari siapa yang memanggilnya.
Fani pun kaget tak percaya saat ia melihat Aryo. Sosok laki-laki itu kini ada tidak jauh darinya.
Fani pun menghindar dan memilih pergi. Aryo pun mengejarnya dan berteriak-teriak memanggil nama Fani.
"Fan, Fani ...." teriaknya.
Fani pun langsung berlari dan menuju mobilnya..
Aryo pun berlari ke sana kemari mencari Fani, wanita yang bertahun-tahun ini dicarinya. Aryo pun kehilangan jejak. Ia pun mengeluarkan dompetnya dan menatapnya cukup lama.
Prita yang sedang berjalan di sekitar cafe bersama Dinda pun akhirnya melihat sang suami yang sedang berlari seperti mencari seseorang.
"Kak, itu kayak Kak Aryo ya?" kata Dinda yang melihatnya pertama kali.
Prita pun meninggalkan adiknya dan menghampiri Aryo yang sedang berdiri tidak jauh darinya.
"Kalau kita berjodoh, kita pasti akan kembali, Fani. Takdir pasti akan mempertemukan kita. Dan aku yakin itu.Aku pasti akan mencari kamu sampai dapat," gumam Aryo.
"Aryo," panggil Prita.
Aryo pun menoleh dan ia kaget saat melihat Prita berdiri tegak tidak jauh darinya membawa beberapa goodie bag belanjaannya.
Mata Aryo mendelik. Aryo pun langsung sigap memasukkan dompetnya ke saku celananya.
Prita pun menghampiri Aryo.
"Aryo, ngapain kamu di sini?" tanyanya.
Aryo diam tak peduli. Ia justru berbalik arah hendak menuju di mana mobilnya terparkir.
"Aryo, aku tanya. Ngapain kamu di sini?" kata Prita mulai dengan nada tinggi.
Aryo tetap diam. Aryo pun menepis tangan Prita yang memegangnya.
"Aryo, aku tanya lo sama kamu baik-baik," ujar Prita.
Dinda pun memperhatikan kakak dan kakak iparnya itu yang terlihat sedang berdebat dari jauh.
"Aryo, aku mau bicara sama kamu!" pekik Prita.
"Aryo, kenapa sejak kita pulang ke Indonesia kamu jadi berubah. Kamu jadi dingin sama aku," pekiknya.
"Aku nggak mau bicara sama orang yang mudah sekali emosi," jawab Aryo kesal.
"Ada apa Aryo?" pekik Prita yang semakin emosi.
"Karena kamu semakin arogan!" kata Aryo ketus.
"Sikap dingin kamu yang membuatku marah," terang Aryo.
Aryo diam. Ia tidak perduli dan tetap bersikap dingin pada sang istri.
" Aryo, mau ke mana kamu?" tanya Prita.
Aryo justru tetap berjalan menuju mobilnya.
"Aryo?!" teriak Prita.
Prita pun mengejar. Dinda yang sejak tadi memperhatikan dari jauh sang kakak akhirnya memilih mengejarnya.
Dinda pun mengetuk kaca mobil Aryo. Aryo dan Prita kini sudah berada di dalam mobil. Aryo pun membuka kaca mobilnya.
*Kak, kakak mau ke mana?" tanya Dinda.
"Kamu pulang aja sendiri ya. Aku masih ada urusan sama Aryo," dalih Prita.
Aryo pun tanpa berbasa-basi langsung menutup kaca mobilnya dan bergegas tancap gas.
Rumah orang tua Sabrina
Sabrina yang sedang tertidur pun mengigau
"Mas Doni, jangan tinggalin aku. Mas Doni, jangan tinggalin aku Mas. Mas Doni, Mas." jerit Sabrina yang akhirnya terbangun.
Mama dan Papa Sabrina yang mendengar Sabrina yang mengigau pun membangunkannya.
"Nak, bangun, Nak," ujar Mama Sinta.
Sabrina pun terbangun dan langsung memeluk mamanya itu erat.
"Kenapa, Nak? Mimpi buruk, Nak?" tanya Mama Sabrina itu penuh kehangatan.
"Jadi itu hanya mimpi?" pikir Sabrina.
"Nak, tadi kamu berteriak menyebut nama Doni. Kenapa, Nak? Apa sih yang membuatmu ketakutan?" tanya Mama Sinta.
Sabrina pun beranjak dari tempat tidurnya.
"Mas Doni. Dalam mimpi aku, sepertinya Mas Doni mau meninggalkan aku, Ma," ungkap Sabrina ketakutan.
Mamanya itu akhirnya mencoba menenangkan putri tunggal yang sangat disayangnya. Sejak vonis dokter, Mamanya tahu jika Sabrina lebih sensitif.
"Ya ampun, Nak. Itu hanya mimpi. Doni itu sangat mencintai kamu," ujar Mamanya itu menenangkan Sabrina.
"Mimpi itu hanya bunga tidur, Nak. Nggak perlu dikhawatirkan ya," ucap Mama Sinta.
"Sekarang kamu tidur lagi. Besok pagi, Papa antar kamu pulang. Nggak baik kamu lama-lama. Nanti mereka akan berpikir kamu menghindar," terang Papa Martin.
"Sebenarnya aku mulai takut untuk tinggal di rumah itu, Pa," ungkap Sabrina.
"Mereka selalu saja menanyakan kapan Sabrina hamil. Mereka selalu menekan Sabrina," ungkapnya menetaskan airmata.
"Kalau begitu nanti Papa akan bicara empat mata dengan Doni. Mungkin sudah saatnya kamu dan Doni tinggal sendiri," usul Papa Martin.
"Papa kamu benar, Sabrina," timpal Mama Sinta.
"Seenaknya tinggal di rumah mertua lebih enak di rumah sendiri," bela Mamanya.
"Tetapi, Pa, nggak mungkin Mas Doni tinggal terpisah dari Bundanya," dalih Sabrina.
Sabrina yakin, keluarga suaminya itu pasti tidak akan mengijinkannya tinggal di rumah sendiri bersama Doni.
"Tetapi, semua keputusan kan ada di Doni," ujar Papa Martin.
"Bunda itu mempunyai penyakit jantung. Jadi nggak mungkin Mas Doni tega meninggalkan Bundanya," jelas Sabrina.
"Pa, bisa bicara sebentar?" ajak Mama Sabrina itu pada suaminya.
Orang tua Sabrina itupun akhirnya menepi dan berbicara agak menjauh dari anaknya.
Di dalam mobil, Aryo dan Prita kembali bertengkar. Berdebat terus menerus. Apalagi sikap cemburu Prita yang akhirnya membuat Aryo muak.
"Kamu selingkuh ya?" serang Prita.
"Kamu sengaja kan pisah ranjang dan mempercepat proses perceraian kita agar bisa kembali sama mantan pacar kamu itu kan. Iya kan?" pekik Prita.
"Aryo, jawab aku!" bentak Prita.
"Cukup, Prita! Aku sudah muak dengan pertengkaran ini. Kamu nggak pernah bisa memahamiku. Kamu cemburu buta, Prita!" pekik Aryo yang mulai jengah dengan kecemburuan istrinya yang tidak beralasan itu.
"Aku nggak akan kayak begini kalau kamu bersikap jujur sama aku, Mas! Katakan, siapa perempuan yang sudah merusak rumah tangga kita, Mas," bentak Prita.
Apakah yang akan terjadi selanjutnya?
Bersambung .....
"Aku nggak akan kayak begini kalau kamu bersikap jujur sama aku, Mas! Katakan, siapa perempuan yang sudah merusak rumah tangga kita, Mas," bentak Prita.Aryo tetap diam"Jawab, Aryo!" teriak Prita.Aryo yang sedang menyetir justru tangannya ditarik-tarik oleh Prita hingga mobilnya pun mulai oleng."Eh, Prita! Kamu tenang dong. Aku ini lagi bawa kendaraan," sergah Aryo."Aku nggak perduli. Ayo tabrak, tabrak, Aryo!" pekiknya.Terjadi tarik-menarik hingga Aryo mulai hilang kendali. Mobil yang sedang berjalan di jalanan ibukota yang sedang sepi itu nyaris menabrak beberapa kendaraan, pengguna jalan hingga para pedagang kaki lima disekitar. Hingga akhirnya Aryo berhasil menahan mobilnya dan berhenti di sebuah sudut ibukota.Aryo dan Prita akhirnya menarik napas panjang setelah mobilnya oleng dan nyaris menabrak banyak orang jika saja Aryo tidak bisa mengendalikannya."Astaghfirullah," ucap Aryo."Kamu gila yah?! Apa yang kam
Suara dering telepon rumah Bunda Sania malam itu membuat Doni keluar dari kamarnya. Doni pun mengangkat telepon yang ada di ruang tengah rumah sang Bunda.[Hallo. Iya, betul, saya suaminya][Apa? Istri saya kecelakaan?][Baik, saya segera ke sana]Doni pun langsung mematikan teleponnya.Saat hendak bergegas pergi, Bunda Sania dan kedua saudaranya itu menanyakan apa yang terjadi sebenarnya."Doni, ada apa?" teriak Bunda Sania dari lantai 2 rumahnya."Sabrina kecelakaan, Bun," jawabnya dengan wajah kecemasan.Doni pun langsung pergi begitu saja tanpa mengindahkan panggilan sang Bunda.20 menit berlaluDoni sudah sampai di lokasi kecelakaan. Terlihat sebuah ambulance sudah berada di lokasi dan tubuh wanita yang sangat dicintainya itu sedang dibawa ke dalam ambulance."Sabrina, kamu kenapa, Sayang?" jerit Doni saat melihat Sabrina yang dalam keadaan tidak sadarkan diri."Pak, cepat bawa sekarang. Ayo, ce
"Fani ...."Fani pun menoleh saat ada yang menepuk pundaknya dari belakang. Fani pun terperanjat saat membalikkan badannya, ternyata sosok laki-laki yang selama ini dihindarinya kini sudah berada dihadapannya."Aryo ...."Dua sepasang sejoli yang pernah begitu sangat mencintai itu kini saling bertatapan. Wajah Aryo begitu sumringah saat akhirnya ia bisa kembali bertemu dengan wanita yang masih sangat dicintainya itu."Ya Allah, Aryo,ini kamu?" kata Fani mencoba meyakinkan hatinya jika ini bukan sebuah mimpi. Mimpi yang akhirnya menjadi nyata."Iya, ini aku Aryo," jawab Aryo tersenyum bahagia.Fani tersenyum menahan tangisnya.Aryo pun mengenggam tangan Fani.
"Mereka nggak boleh bicara empat mata?Ini bisa gawat!" batin Martin."Jika Sinta sampai bicara dengan Sania, ini bisa gawat. Ini bisa merusak rumah tanggaku dengan Sinta," gumam Martin dalam hatinya.Sinta pun bangkit dan mendekati Martin yang berdiri di depan jendela."Mama ragu mereka akan mempertahankan rumah tangga. Apalagi Sabrina sedang sakit parah," ujar Sinta."Ya, siapa yang mau sakit, Ma," timpal Martin."Papa nggak aneh? Melihat tingkahnya Sania yang selalu menekan Sabrina. Mama nggak ngerti, seolah dia punya sentimen pribadi terhadap keluarga kita," pikir Sinta."Maksud Mama?" tanya Martin."Kenapa sih, Pa? Jadi aneh, bingung ...." cecar Sinta."Ah, Papa jalan dulu," dalih Martin yang ingin menghindar dan tidak mau Sinta mengetahui lebih soal hubungannya dengan Sania di masa lalu."Papa takut sama Sania?" ucap Sinta membuat langkah Martin terhenti.Martin pun sedikit membalikkan badannya da
"Saya sudah membuat keputusan. Setelah Sabrina sembuh, saya akan meminta anak saya untuk menceraikan anak kamu," pekik Sania menunjuk-nunjuk ke arah Martin yang berdiri dihadapannya. Martin terperangah Sania pun kembali duduk ke kursi kebanggaannya itu. Martin hanya menggelengkan kepalanya tidak percaya dengan sikap Sania yang .... "Kamu kok begitu ekstrim. Apa salah Sabrina?" tanya Martin pada mantan istrinya itu. "Apa salahnya?" cecar Martin. "Anak itu memang tidak pernah punya salah. Tetapi, kesalahan dia satu-satunya adalah dia tidak bisa memberikan keturunan pada anak saya." "Sania, kamu sadar. Kamu nggak berhak menentukan seseorang bisa mempunyai keturunan atau tidak punya keturunan," sergah Martin. Doni pun datang dan mencoba mendengarkan pembicaraan Bunda Sania dan Papa Martin. "Hanya Allah. Hanya Allah pemilik kehidupan ini," ucap Martin tegas. "Sudah. Cukup, cukup!" bentak Sania. Ia pun menutup kedua t
"Sampai aku tua dan mati!" pekik Doni."Selama Sabrina masih bernyawa, aku nggak akan menyerah kecuali Allah berkehendak lain," sahut Doni tegas.Prita dan Dinda tersenyum sinis. Begitupun Bunda Sania yang tidak tahu lagi bagaimana menasihati Doni.Bunda Sania menatap Sabrina yang masih tertidur dengan pandangan nanar."Sabrina, saya nggak tahu apa kamu itu menjadi karunia atau sebaliknya menjadi malapetaka untuk Doni, anakku ...." gumam Sania dalam hatinya.Doni pun tidak mampu menahan tangisnya melihat wajah sendu Bunda Sania.****Sania mengundang Fani untuk datang ke kantornya. Demi menghormati undangan Bunda Sania, Fani pun datang ke kantornya."Assalamualaikum," sapa Fani saat memasuki ruangan mewah Bunda Sania.Wa'alaikumsalam," jawab Sania mempersilakan fani duduk."Bunda ingin membicarakan sesuatu, Fani," kata Sania tersenyum.Tidak lama, Renny, Mama Fani pun datang. Fani dibuat terkejut dengan ked
Bunda Sania mengajak Dinda serta Prita untuk menemui Doni di rumah sakit. Bunda Sania ingin segera menikahkan Doni dan Fani, di saat Sabrina masih terbaring koma.Sesampainya di ruangan Sabrina"Don, mau sampai kapan kamu menunggu Sabrina seperti ini?" tanya BUnda Sania dengan tatapan nanar.Doni hanya terdiam memandangi istri yang sangat dicintainya itu. Pandangannya nanar. Bulir bening itu terasa mulai jatuh."Don, Fani itu wanita yang baik. Dia pintar dan pastinya akan memberikan kamu keturunan. Cucu yang selama ini diharapkan Bunda," tutur Prita membuat Doni seketika memandanginya dengan sorot mata tajam."Nggak kak, Fani hanya kuanggap sebatas sahabat.Bagaimana mungkin ...." ucap Doni terbata.Tiba-tiba ...Bunda Sania mengalami serangan jantung lagi saat Doni menolak permintaannya menikahi Fani."Don, menikahlah. lihat tuh, Bunda, gara-gara memikirkan kamu, sampai sakit dan ....""Iya, Kak, apa Kakak nggak kasihan
Bunda Sania yang sangat menginginkan pernikahan Doni dan Fani segera terlaksana akhirnya mulai menyusun sebuah rencana. Rencana untuk mendekatkan keduanya sebagai pasangan yang saling mencintai, bukan sebatas sahabat.Bunda Sania siang itu sengaja berbelanja di sebuah mall elite di bilangan Jakarta Selatan dan membuat janji dengan Fani. Fani yang tahu hanya ada Bunda Sania pun mau saja mengikutinya.Tanpa sepengetahuan Fani, Doni pun diminta datang untuk menjemputnya. Bunda Sania beralasan jika sedang tidak ada supir dan meminta putra kesayangannya itu datang ke mall.Bunda Sania akhirnya menghubungi Doni.[Hallo, Bunda, ada apa?][Doni, anak kesayangan Bunda, kamu di mana?][Aku lagi dijalan, Bun. Mau ke rumah sakit. Semoga hari ini ada perkembangan dari kondisi Sabrina]Sambil membawa kendaraannya, Doni mengangkat telepon sang Bunda.[Doni ke mall sekarang ya. Jemput Bunda ke si