Share

Pisah Ranjang

Tiba-tiba, penyakit jantung Nyonya Sania kambuh. Ia merasakan sakit yang luar biasa. Sania pun tidak dapat menahannya lagi dan nyaris tumbang jika saja Doni tidak sigap.

"Bunda, Bunda ...."

Doni pun sigap membawa Bundanya itu ke dalam kamarnya. Prita pun langsung menghubungi Fani yang sudah menjadi dokter pribadi sang Bunda sejak lama.

Beberapa saat kemudian

Fani pun akhirnya sampai di rumah mewah keluarga Sania itu. Ia pun langsung memeriksa kondisi kesehatan sang pasien.

"Tekanannya normal 120. Coba Bunda tarik napas yang panjang ya," pinta Fani.

"Oh, tolong semuanya keluar dulu. Biar Dokter Fani bisa memeriksa kondisi Bunda," pinta Prita.

"Kamu juga Sabrina. Ngapain kamu masih di sini? Bunda sakit itu juga gara-gara kamu," sindir Prita ketus.

Sabrina pun menahan air matanya agar tidak jatuh. Netranya pun berkaca-kaca. Ia tahu, Prita memang sangat membencinya. Bukan soal ia yang tidak kunjung hamil, tetapi juga karena masa lalunya dengan Prita saat masih duduk di bangku SMA. Prita adalah kakak kelasnya dulu.

"Udah, Kak. Sekarang bukan waktunya untuk kita bertengkar," ujar Doni membela isterinya.

"Aku tahu kamu sayang sama Bunda. Tetapi, kali ini kita mengalah ya," ujar Doni. Doni pun membawa istrinya itu ke luar dari kamar sang Bunda.

****

Beberapa waktu berlalu

Azan subuh pun berkumandang. Fani  yang malam itu menginap untuk memantau kondisi Nyonya Sania pun ke luar dari kamarnya untuk menunaikan salat subuh di mushalla kecil di lantai 2 rumah Sania itu.

Setelah salat, Fani pun kembali ke kamar Nyonya Sania. Saat melihat Bunda Sania tertidur, Fani pun memilih keluar. Namun, saat bersamaan tangan Fani ditarik. Fani pun duduk ditepian ranjang.

"Fani, dokter kesayangan Bunda," puji Sania.

"Bunda, alhamdulilah Bunda udah bangun. Insya Allah, sekarang Bunda udah baik-baik saja," ujar Fani tersenyum.

"Bunda banyak berutang budi sama kamu. Terimakasih ya, kamu selalu bisa menenangkan Bunda," ujar Nyonya Sania memuji dokter pribadinya itu.

"Bunda kan Bundanya sahabat saya, Doni dan Sabrina. Fani senang bisa merawat Bunda," ungkap Fani tersenyum.

"Fani ...." lirih Sania.

Suara Bunda masih terdengar lemah. Kondisinya memang belum terlalu kuat. Namun, ada hal yang ingin ia bicarakan dengan Fani. Wanita yang sangat dikaguminya. Masih muda tetapi sudah sukses dengan gelar dokternya dan lulus cumlaude dari sebuah universitas di London.

"Bunda ingin terus terang sama kamu. Sesuatu yang selama ini ada dibenak Bunda. Sudah lama Bunda pendam," ujarnya lemah.

"Ada apa Bunda?" tanya Fani.

"Bunda ingin sekali kamu bisa jadi menantu Bunda. Istrinya Doni. Bukannya Sabrina," kata Nyonya Sania mengungkapkan isi hatinya.

Fani pun dibuat salah tingkah mendengar keinginan Bunda Sania, Ibu sahabatnya itu. Fani pun tersenyum tipis.

"Bunda, mungkin Bunda hanya salah bicara," ucap Fani mencoba menenangkan Nyonya Sania.

"Bunda serius. Bunda nggak main-main masalah ini," jawabnya tegas.

Nyonya Sania pun mengelus pipi Fani. Memberikan banyak pujian pada gadis cantik berambut panjang dan berlesung pipi itu.

"Wanita yang cantik. Pintar. Yang bisa memberikan cucu untuk Bunda," lirih Sania.

Doni  yang baru selesai salat di mushalla pun melewati kamar sang Bunda yang pintunya sedikit terbuka dan ia pun mendengarkan pembicaraan sang Bunda dengan sahabat kecilnya itu.

"Bunda, ehm, Bunda pasti bercanda. Sekarang Bunda istirahat saja ya. Bunda butuh istirahat yang cukup. Soal pembicaraan ini, Fani anggap hanya bercanda dan nggak perlu dilanjutkan. Fani nggak mau kalau sampai nanti Doni dengar dan tersinggung. Apalagi kalau sampai Sabrina mendengarnya. Kalau gitu, Fani pamit ya, Bunda," pamit Fani karena tidak nyaman dengan pembicaraan Nyonya Sania.

Kembali, Sania menarik tangan Fani dan menahannya untuk tetap tinggal.

"Nggak. Bunda serius!" ujar Sania dengan suara yang masih lemah.

Fani pun berbalik ke arah Bunda Sania.

"Bunda nggak bercanda. Bunda ingin kamu menjadi istri Doni," ungkap Nyonya Sania.

Doni yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan itu di luar kamar yang terbuka pun menjadi kaget dengan permintaan sang Bunda pada Fani.

"Bunda, istirahat ya. Saya pamit, Bunda." Angel pun langsung bergegas ke luar kamar.

"Bukan Sabrina!" teriak Nyonya Sania.

Doni kini berdiri menghadap ke bawah, ditepi tangga. Fani pun kaget melihat Doni berada di depan kamar sang Bunda.

"Astaghfirullah," ucap Fani.

Fani pun menjadi salah tingkah. Ia yakin, jika sahabatnya itu mendengar pembicaraan sang Bunda yang memintanya menjadi menantunya.

Saat Fani bergegas pergi menghindar dari Doni ia justru terpleset dan Doni dengan sigap membantunya. Tidak lama, Fani pun melepaskan diri dari Doni.

"Maaf, itu hanya spontanitas aja biar kamu nggak jatuh," ujar Doni. Ia pun langsung berpamitan dan hendak turun.

"Doni," cegah Fani.

Fani pun menengok ke arah sang sahabat yang memanggilnya. Fani pun mendekatinya.

"Don, kamu mendengar pembicaraanku dengan Bunda tadi di kamar?" tanya Fani hati-hati.

"Iya," jawab Doni.

"Ok, Doni. Kamu harus tahu, Bunda sekarang ini sedang sakit. Kadang-kadang orang sakit itu suka sadar dan nggak sadar. Kamu mengerti kan maksudku?" ungkap Fani. Ia tak ingin ada kesalahpahaman di antara mereka.

Tiba-tiba ponsel Fani berbunyi, sebuah pesan masuk.

"Ada tindakan di rumah sakit. Aku harus ke sana," terang Fani.

"Aku antar ya. Kamu kan biasa kuantar jemput," kata Doni.

"Itu dulu, Doni. Sekarang kamu sudah menikah dengan Sabrina, sahabat baikku. Aku nggak mau ada fitnah," jawab Fani tegas.

"Iya." Doni pun tersenyum.

Nyonya Sania yang mendengar Fani dan Doni berbicara pun membuka sedikit pintu kamarnya.

"Ya Allah, ijinkan Fani  menjadi menantuku kelak. Berikanlah jalannya," ucap Nyonya Sania. 

"Aku permisi dulu ya, assalamu'alaikum," pamit Fani menunduk dan bergegas turun.

"Wa'alaikumsalam," jawab Doni.

****

Doni pun langsung turun saat dari lantai atas ia melihat sang istri berjalan membawa sebuah koper. Doni pun langsung berlari menyusuri anak tangga.

"Kamu mau ke mana?" cegah Doni.

"Aku mau minta ijin sama kamu. Aku mau pulang ke rumah orang tuaku," kata Sabrina menatap nanar Doni yang berdiri dihadapannya.

Doni pun syok mendengarnya.

"Kejadian semalam membuatku syok. Aku juga nggak mau membuat Bunda dan Kak Prita semakin kalut dan  panik," ungkap Sabrina.

"Wajar aja mereka panik. Tetapi, aku kan nggak panik," jawab Doni menatap Sabrina dengan tatapan penuh cinta.

"Aku masih sangat percaya kalau kamu masih bisa memberikan aku seorang anak," jelas Doni tegas.

"Maka dari itu, Mas, dokter juga bilang sama aku. Aku nggak boleh stres. Nggak boleh banyak pikiran. Dan suasana rumah akhir ini membuatku stres," dalih Sabrina.

Doni pun menarik napas panjang

"Jadi aku mohon, Mas, tolong ijinin aku. Ijinkan aku menginap sementara di rumah orang tuaku," pinta Sabrina memohon.

"Apa kamu yakin dengan keputusan kamu?" tanya Doni.

"Aku yakin, Mas. Ini cara yang terbaik untuk saat ini, Mas. Lagipula kamu kan bisa nengokin aku kapan aja. Kamu bisa datang kapan saja ke rumah orang tuaku," ujar Sabrina.

Doni pun menghela napas.

" Ya udah. Tetapi, aku antar kamu ya. Seminggu di sana, aku akan jemput kamu dan kita akan liburan ke Bali biar kamu bisa beristirahat di sana," ujar Doni memberikan keputusannya.

"Makasih ya, Mas," ucap Sabrina.

Doni  pun pergi bersama Sabrina menuju kediaman orang tuanya.

****

Fani pun sedang berada berada di sebuah cafe. Ia pun berdiri di depan cafe menunggu supirnya itu menjemput.

Di seberang jalan, Aryo pun memperhatikan ke sebuah cafe.

"Itu kayak Fani?" ucapnya.

Aryo pun langsung memutar arah mobilnya menuju cafe itu. Saat sampai diparkiran cafe, Aryo pun bergegas turun dari mobil Chevroletnya.

"Fani!" teriak Aryo saat matanya menemukan di mana keberadaan Fani. Mantan pacar Aryo yang selama ini sangat dicari-cari oleh Prita.

Fani pun berbalik arah mencari siapa yang memanggilnya.

Fani pun kaget tak percaya saat ia melihat Aryo. Sosok laki-laki itu kini ada tidak jauh darinya.

Fani pun menghindar dan memilih pergi. Aryo pun mengejarnya dan berteriak-teriak memanggil nama Fani.

"Fan, Fani ...." teriaknya.

Fani pun langsung berlari dan menuju mobilnya..

Aryo pun berlari ke sana kemari mencari Fani, wanita yang bertahun-tahun ini dicarinya. Aryo pun kehilangan jejak. Ia pun mengeluarkan dompetnya dan menatapnya cukup lama.

Prita  yang sedang berjalan di sekitar cafe bersama Dinda pun akhirnya melihat sang suami yang sedang berlari seperti mencari seseorang.

"Kak, itu kayak Kak Aryo ya?" kata Dinda yang melihatnya pertama kali.

Prita pun meninggalkan adiknya dan menghampiri Aryo yang sedang berdiri tidak jauh darinya.

"Kalau kita berjodoh, kita pasti akan kembali, Fani. Takdir pasti akan mempertemukan kita. Dan aku yakin itu.Aku pasti akan mencari kamu sampai dapat," gumam Aryo.

"Aryo," panggil Prita.

Aryo pun menoleh dan ia kaget saat melihat Prita berdiri tegak tidak jauh darinya membawa beberapa goodie bag belanjaannya.

Mata Aryo mendelik. Aryo pun langsung sigap memasukkan dompetnya ke saku celananya.

Prita pun menghampiri Aryo.

"Aryo, ngapain kamu di sini?" tanyanya.

Aryo diam tak peduli. Ia justru berbalik arah hendak menuju di mana mobilnya terparkir.

"Aryo, aku tanya. Ngapain kamu di sini?" kata Prita mulai dengan nada tinggi.

Aryo tetap diam. Aryo pun menepis tangan Prita yang memegangnya.

"Aryo, aku tanya lo sama kamu baik-baik," ujar Prita.

Dinda pun memperhatikan kakak dan kakak iparnya itu yang terlihat sedang berdebat dari jauh.

"Aryo, aku mau bicara sama kamu!" pekik Prita.

"Aryo, kenapa sejak kita pulang ke Indonesia kamu jadi berubah. Kamu jadi dingin sama aku," pekiknya.

"Aku nggak mau bicara sama orang yang mudah sekali emosi," jawab Aryo kesal.

"Ada apa Aryo?" pekik Prita yang semakin emosi.

"Karena kamu semakin arogan!" kata Aryo ketus.

"Sikap dingin kamu yang membuatku marah," terang Aryo.

Aryo diam. Ia tidak perduli dan tetap bersikap dingin pada sang istri.

" Aryo, mau ke mana kamu?" tanya Prita.

Aryo justru tetap berjalan menuju mobilnya.

"Aryo?!" teriak Prita.

Prita pun mengejar. Dinda yang sejak tadi memperhatikan dari jauh sang kakak akhirnya memilih mengejarnya.

Dinda pun mengetuk kaca mobil Aryo. Aryo dan Prita kini sudah berada di dalam mobil. Aryo pun membuka kaca mobilnya.

*Kak, kakak mau ke mana?" tanya Dinda.

"Kamu pulang aja sendiri ya. Aku masih ada urusan sama Aryo," dalih Prita.

Aryo pun tanpa berbasa-basi langsung menutup kaca mobilnya dan bergegas tancap gas.

Rumah orang tua Sabrina 

Sabrina yang sedang tertidur pun mengigau

"Mas Doni, jangan tinggalin aku. Mas Doni, jangan tinggalin aku Mas. Mas Doni, Mas." jerit Sabrina yang akhirnya terbangun.

Mama dan Papa Sabrina yang mendengar Sabrina yang mengigau pun membangunkannya.

"Nak, bangun, Nak," ujar Mama Sinta.

Sabrina pun terbangun dan langsung memeluk mamanya itu erat.

"Kenapa, Nak? Mimpi buruk, Nak?" tanya Mama Sabrina itu penuh kehangatan.

"Jadi itu hanya mimpi?" pikir Sabrina.

"Nak, tadi kamu berteriak menyebut nama Doni. Kenapa, Nak? Apa sih yang membuatmu ketakutan?" tanya Mama Sinta.

Sabrina pun beranjak dari tempat tidurnya.

"Mas Doni. Dalam mimpi aku, sepertinya Mas Doni mau meninggalkan aku, Ma," ungkap Sabrina ketakutan.

Mamanya itu akhirnya mencoba menenangkan  putri tunggal yang sangat disayangnya. Sejak vonis dokter, Mamanya tahu jika Sabrina lebih sensitif.

"Ya ampun, Nak. Itu hanya mimpi. Doni itu sangat mencintai kamu," ujar Mamanya itu menenangkan Sabrina.

"Mimpi itu hanya bunga tidur, Nak. Nggak perlu dikhawatirkan ya," ucap Mama Sinta.

"Sekarang kamu tidur lagi. Besok pagi, Papa antar kamu pulang. Nggak baik kamu lama-lama. Nanti mereka akan berpikir kamu menghindar," terang Papa Martin.

"Sebenarnya aku mulai takut untuk tinggal di rumah itu, Pa," ungkap Sabrina.

"Mereka selalu saja menanyakan kapan Sabrina hamil. Mereka selalu menekan Sabrina," ungkapnya menetaskan airmata.

"Kalau begitu nanti Papa akan bicara empat mata dengan Doni. Mungkin sudah saatnya kamu dan Doni tinggal sendiri," usul Papa Martin.

"Papa kamu benar, Sabrina," timpal Mama Sinta.

"Seenaknya tinggal di rumah mertua lebih enak di rumah sendiri," bela Mamanya.

"Tetapi, Pa, nggak mungkin Mas Doni tinggal terpisah dari Bundanya," dalih Sabrina.

Sabrina yakin, keluarga suaminya itu pasti tidak akan mengijinkannya tinggal di rumah sendiri bersama Doni.

"Tetapi, semua keputusan kan ada di Doni," ujar Papa Martin.

"Bunda itu mempunyai penyakit jantung. Jadi nggak mungkin Mas Doni tega meninggalkan Bundanya," jelas Sabrina.

"Pa, bisa bicara sebentar?" ajak Mama Sabrina itu pada suaminya.

Orang tua Sabrina itupun akhirnya menepi dan berbicara agak menjauh dari anaknya.

Di dalam mobil, Aryo dan Prita kembali bertengkar. Berdebat terus menerus. Apalagi sikap cemburu Prita yang akhirnya membuat Aryo muak.

"Kamu selingkuh ya?" serang Prita.

"Kamu sengaja kan pisah ranjang dan mempercepat proses perceraian kita agar bisa kembali sama mantan pacar kamu itu kan. Iya kan?" pekik Prita.

"Aryo, jawab aku!" bentak Prita.

"Cukup, Prita! Aku sudah muak dengan pertengkaran ini. Kamu nggak pernah bisa memahamiku. Kamu cemburu buta, Prita!" pekik Aryo yang mulai jengah dengan kecemburuan istrinya yang tidak beralasan itu.

"Aku nggak akan kayak begini kalau kamu bersikap jujur sama aku, Mas! Katakan, siapa perempuan yang sudah merusak rumah tangga kita, Mas," bentak Prita.

Apakah yang akan terjadi selanjutnya?

Bersambung .....

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ucing Ucay
semangat kk
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status