Pagi itu degup jantung Sabrina berdetak sangat kencang. Tubuhnya lemah. Kakinya seperti tak menapak lagi ke lantai.
Sabrina akhirnya memaksakan dirinya untuk ke kamar mandi dan membawa testpack itu. Doni bersama Nyonya Sania dan kakak Doni, Prita menunggu di depan kamar mandi utama."Bun, kenapa ya lama sekali nggak keluar dari kamar mandi hampir sejam?" Doni pun mulai mengkhawatirkan keadaan Sabrina di dalam kamar mandi mewahnya itu."Ah, paling seperti biasa hasilnya tidak sesuai harapan," timpal Prita ketus..
Erick pun menatap sinis ke arah Prita. Andai saja tidak memandang Bundanya, mungkin ia sudah menampar kakaknya itu."Kak, bisa diam nggak!" bentak Doni."Doni, ada benarnya apa kata kakakmu. Kita sebaiknya cari second opinion. Jadi kalau ada masalah kita bisa tangani segera," ucap Bunda Sania menenangkan dua anaknya yang sedang bertikai itu.Doni pun diam.Di dalam kamar mandi, tubuh Sabrina itu bergetar hebat saat ingin melihat hasil tespack itu. Keberaniannya tiba-tiba menciut saat harus melihat hasilnya. Mungkinkah akan sama seperti biasanya?Ketakutan Sabrina semakin kuat saat Doni terus saja berteriak memanggil Sabrina yang sejak tadi di kamar mandi. Bulir bening itu tidak terasa membasahi pipinya. Doni terus saja memanggil sang istri yang menatap cermin. Memegang testpack itu dengan tangan bergetar."Bun, sebaiknya didobrak saja ya?" Doni semakin panik karena tidak ada jawaban dari Sabrina."Nggak perlu. Nanti juga dia keluar sendiri," sindir Prita.Bella akhirnya mulai memberanikan diri berjalan untuk keluar. Sebelumnya, ia pun membasuh wajahnya agar Doni dan keluarganya tidak mengetahui jika ia habis menangis."Ah, kudobrak saja," pekik Doni.Saat bertepatan Doni ingin mendobraknya, pintu pun terbuka. Dengan wajah sendunya ia pun memberanikan diri menatap sang suami dan mertua juga kakak iparnya yang sinis itu.Doni pun paham jika apa yang diharapkannya belum sesuai dengan impiannya. Doni pun mencoba menghibur sang isteri.Tiba-tiba, tespack itu terjatuh. Doni dengan sigap mengambilnya di lantai. Sabrina pun seketika panik dan ketakutan."Kamu sudah melihatnya?" tanya Doni pada Sabrina yang masih saja menangis pelan .Seketika Doni pun tersenyum bahagia.
"Sayang, kamu positif hamil?" tanya Doni kaget."Ini hasilnya garis dua sayang kamu harus lihat," ucap Doni tersenyum bahagia."Alhamdulillah. Akhirnya, aku akan mempunyai keturunan," ucap Doni dalam hatinya.Doni yang bahagia langsung berlari kencang menuruni anak tangga dan berteriak histeris. "Eh Mang, Mang sini kumpul dulu. Istri gue hamil. Nih buat kalian semua. Buat keluarga kalian di kampung. Nih, ambil ya," ucap Doni penuh semangat.Sang Mertua Bunda Sania pun memeluk menantunya itu dengan hangat."Bunda senang banget, akhirnya kamu hamil," ungkap Bunda Sania pada menantunya itu. Sabrina pun tersenyum. Hanya Prita yang tidak bahagia melihat iparnya itu hamil setelah sekian lama menunggu. Bunda Sania dan Sabrina pun menyusul Doni yang sedang berbagi rezekinya dengan para pekerja di rumahnya.Namun, kebahagiaan itu seketika berubah menjadi tangis airmata saat tiba-tiba Sabrina merasakan ada sesuatu. Sabrina pun melirik dan darah pun mengalir."Bun ...."Bunda Sania pun kaget saat melihat Sabrina yang mengalami pendarahan. Cukup banyak."Doni, Doni!" teriak sang Bunda memanggil putra tunggalnya itu."Ya Allah, Sayang, kamu kenapa?" kata Doni panik.Doni pun panik. Ia berteriak memanggil supir pribadi keluarganya untuk menyiapkan mobil. Doni bersama Bunda membawa Sabrina menuju rumah sakit. Prita pun langsung menyusul saat tahu ipar yang juga musuhnya itu mengalami pendarahan hebat."Semoga saja dia keguguran." Prita tersenyum sinis.****Sesampainya di rumah sakit, Sabrina pun ditangani. Sabrina langsung dibawa menuju ruang UGD ditangani sang dokter yang tidak lain adalah Om Indra, saudara tiri Bunda Sania dan juga Fani sahabat Doni sejak kecil.
"Kalian tunggu di sini saja," cegah Om Indra saat Doni ingin ikut masuk.Beberapa saat kemudianMertua Doni, Papa Martin dan Mama Sinta pun datang tergesa-gesa saat mengetahui jika putri kesayangannya itu sedang mengalami pendarahan."Doni, memang Sabrina hamil?" tanya Mama Sinta."Iya, Ma. Tadi pagi baru Sabrina tes di rumah," ungkap Doni.Hubungan Bunda dan Mama yang kurang harmonis membuat dua wanita itu sering beradu argument.Dua jam berlaluFani pun keluar membuka pintu ruang UGD itu. Doni dan sang Bunda pun bergegas menghampirinya."Fan, gimana keadaan istriku?" tanya Doni yang sejak tadi sudah menunggu dengan cemas."Biar Om Indra saja nanti yang menjelaskannya," jawab Fani yang langsung berpamitan kembali ke ruangannya.Indra pun keluar dari ruang UGD."Om, gimana keadaan Sabrina?" tanya Doni."Mbak, Doni, kita bicara di kamar perawatan Sabrina saja ya. Biar nyaman dan pihak keluarga semua dapat mendengarnya," usul Om Indra.Seorang perawat pun datang mendorong Sabrina yang terbaring lemah diranjang rumah sakit menuju sebuah kamar super lux di rumah sakit itu."Berhubung semua keluarga sudah berkumpul di sini, saya harus menjelaskan ini," kata Dokter Indra.Om Indra sangat hati-hati berbicara. Apa yang akan disampaikannya ini bukanlah berita baik. Ini sebuah berita yang sangat tidak diharapkan Sania tentunya. Ia tahu betul, bagaimana sikap kakak tirinya itu.Semua mata tertuju pada Indra. Termasuk sang keponakan, Prita yang bersikap sinis."Sabrina mengalami keguguran. Janinnya tidak bisa diselamatkan," ungkap Indra.Doni pun menghela nafas. Nyonya Sania pun tak percaya. Kebahagiaannya sirna sudah. Namun, Prita yang tersenyum bahagia.Mama Sinta pun mendekat, merangkul sang putri yang sedang menunggu apalagi yang akan disampaikan Om Indra-nya itu.Indra terdiam sesaat."Sengaja saya kumpulkan kalian semua di sini agar kedua pihak keluarga dapat memahami kondisi Sabrina," ujar Indra memulai pembicaraan."Ada apa sebenarnya dengan Sabrina?Apa ada yang salah dengannya?" tanya Mama Sinta."Sebenarnya nggak ada yang salah. Cuma ini sudah menjadi ketetapan takdir-Nya," lanjut Om Indra."Ketetapan takdir? Apa maksudnya, Om?" tanya Doni yang bangkit dan mendekati sanp paman."Sabrina mempunyai golongan darah O dan waktu 2 tahun lalu Sabrina melahirkan anak harusnya memiliki golongan darah yang sama. Tetapi, mereka berbeda," lanjut dokter Indra."Memangnya kenapa kalau saya memiliki golongan darah yang berbeda, Om?" sela Sabrina."Begini, Sabrina. Jika si anak memiliki golongan darah yang berbeda si Ibu akan membentuk antibodi."Indra pun mendekati Sabrina.
"Apa akibatnya fatal?" tanya Doni yang mulai khawatir dengan kondisi sang istri."Sabrina memiliki golongan darah O dan seharusnya anak yang dilahirkan Sabrina 2 tahun lalu itu memiliki darah yang sama," terang Om Indra."Bukankah sebagai seorang muslim sebagai dokter Om percaya jika Allah sudah berkehendak, apapun bisa saja terjadi," ujar Doni."Iya. Kamu benar, Doni. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Tetaplah berdoa Sabrina. Tetap ikhtiar, Sabrina. Om permisi dulu," pamit Om Indra yang kembali ke ruangannya.Bulir bening itu membasahi wajah sendu Sabrina. Seketika ia menjadi sesosok istri yang tidak berguna. Tidak dapat memberikan keturunan bagi suaminya. Kelahiran bayinya 2 tahun lalu pun hanya sesaat, ia kemudian meninggal."Maafin aku, Mas," ucap Sabrina berlinang airmata.Doni pun mengenggam tangan Sabrina. Memberinya kekuatan agar dapat menerima semua takdir-Nya."Maafin aku, Mas. Maafin atas semua kenyataan ini, Mas," ucap Sabrina."Sudah, Sabrina.Nggak apa-apa. A-aku, aku salat dulu ya," pamit Doni. Ia pun mencium kening Sabrina dan keluar dari ruangan sang istri yang harus beristirahat.Bunda Sania dan Prita pun saling pandang. Begitupun dengan kedua orang tua Sabrina.Doni yang berjalan cepat pun kini berjalan perlahan. Tubuhnya seketika lemah. Airmatanya pun luruh. Ia tidak lagi kuat menahan tangisnya. Kenyataan ini sungguh membuatnya terpukul."Ya Allah, Ya Rabbi. Wahai dzat yang maha suci, kuatkanlah iman hamba untuk menerima ujian ini. Aku mohon ya Allah, ridhoilah hambamu yang lemah ini dalam menjalani amanah dan tanggung jawab sebagai seorang suami. Jangan biarkan aku menyerah menghadapi kenyataan pahit ini. Berikanlah kami kesempatan. Agar bisa menjalani rumah tangga yang sakinah, mawadah, warrohmah."Bersambung ....Prita kembali menghubungi Aryo. Pasangan suami istri ini memang sudah tidak tinggal serumah lagi. Pertengkaran demi pertengkaran membuat Aryo memilih kembali ke rumah pribadinya di sebuah perumahan elite. Yang juga tidak kalah mewah dengan rumah megah sang mertua, Bunda Sabrina. Prita akhirnya berhasil menghubungi suaminya yang sudah beberapa hari ini sulit dihubungi. Bahkan saat Prita meminta Sisil, putri tunggalnya bersama Aryo menghubungi Papanya tetap saja tidak ada jawaban. [Aryo, kamu ini gimana sih? Nggak ada tanggung jawabnya sama anak dan istri kamu. Bahkan dihubungi pun sulit. Dari semalam kuhubungi nggak juga diangkat. Kamu sengaja mau menghindar dari aku kan?] Prita adalah istri yang sangat arogan. Tidak mau mengalah dan sering memancing pertengkaran karena kecemburuannya pada masa lalu Aryo. Wanita yang dianggap Prita menjadi duri dalam rumah tangganya. Aryo pun sudah muak dengan kecemburuan Prita. Itu sebabnya ia jarang pulang ke rum
Tiba-tiba, penyakit jantung Nyonya Sania kambuh. Ia merasakan sakit yang luar biasa. Sania pun tidak dapat menahannya lagi dan nyaris tumbang jika saja Doni tidak sigap. "Bunda, Bunda ...." Doni pun sigap membawa Bundanya itu ke dalam kamarnya. Prita pun langsung menghubungi Fani yang sudah menjadi dokter pribadi sang Bunda sejak lama. Beberapa saat kemudian Fani pun akhirnya sampai di rumah mewah keluarga Sania itu. Ia pun langsung memeriksa kondisi kesehatan sang pasien. "Tekanannya normal 120. Coba Bunda tarik napas yang panjang ya," pinta Fani. "Oh, tolong semuanya keluar dulu. Biar Dokter Fani bisa memeriksa kondisi Bunda," pinta Prita. "Kamu juga Sabrina. Ngapain kamu masih di sini? Bunda sakit itu juga gara-gara kamu," sindir Prita ketus. Sabrina pun menahan air matanya agar tidak jatuh. Netranya pun berkaca-kaca. Ia tahu, Prita memang sangat membencinya. Bukan soal ia yang tidak kunjung hamil, tetapi juga karena
"Aku nggak akan kayak begini kalau kamu bersikap jujur sama aku, Mas! Katakan, siapa perempuan yang sudah merusak rumah tangga kita, Mas," bentak Prita.Aryo tetap diam"Jawab, Aryo!" teriak Prita.Aryo yang sedang menyetir justru tangannya ditarik-tarik oleh Prita hingga mobilnya pun mulai oleng."Eh, Prita! Kamu tenang dong. Aku ini lagi bawa kendaraan," sergah Aryo."Aku nggak perduli. Ayo tabrak, tabrak, Aryo!" pekiknya.Terjadi tarik-menarik hingga Aryo mulai hilang kendali. Mobil yang sedang berjalan di jalanan ibukota yang sedang sepi itu nyaris menabrak beberapa kendaraan, pengguna jalan hingga para pedagang kaki lima disekitar. Hingga akhirnya Aryo berhasil menahan mobilnya dan berhenti di sebuah sudut ibukota.Aryo dan Prita akhirnya menarik napas panjang setelah mobilnya oleng dan nyaris menabrak banyak orang jika saja Aryo tidak bisa mengendalikannya."Astaghfirullah," ucap Aryo."Kamu gila yah?! Apa yang kam
Suara dering telepon rumah Bunda Sania malam itu membuat Doni keluar dari kamarnya. Doni pun mengangkat telepon yang ada di ruang tengah rumah sang Bunda.[Hallo. Iya, betul, saya suaminya][Apa? Istri saya kecelakaan?][Baik, saya segera ke sana]Doni pun langsung mematikan teleponnya.Saat hendak bergegas pergi, Bunda Sania dan kedua saudaranya itu menanyakan apa yang terjadi sebenarnya."Doni, ada apa?" teriak Bunda Sania dari lantai 2 rumahnya."Sabrina kecelakaan, Bun," jawabnya dengan wajah kecemasan.Doni pun langsung pergi begitu saja tanpa mengindahkan panggilan sang Bunda.20 menit berlaluDoni sudah sampai di lokasi kecelakaan. Terlihat sebuah ambulance sudah berada di lokasi dan tubuh wanita yang sangat dicintainya itu sedang dibawa ke dalam ambulance."Sabrina, kamu kenapa, Sayang?" jerit Doni saat melihat Sabrina yang dalam keadaan tidak sadarkan diri."Pak, cepat bawa sekarang. Ayo, ce
"Fani ...."Fani pun menoleh saat ada yang menepuk pundaknya dari belakang. Fani pun terperanjat saat membalikkan badannya, ternyata sosok laki-laki yang selama ini dihindarinya kini sudah berada dihadapannya."Aryo ...."Dua sepasang sejoli yang pernah begitu sangat mencintai itu kini saling bertatapan. Wajah Aryo begitu sumringah saat akhirnya ia bisa kembali bertemu dengan wanita yang masih sangat dicintainya itu."Ya Allah, Aryo,ini kamu?" kata Fani mencoba meyakinkan hatinya jika ini bukan sebuah mimpi. Mimpi yang akhirnya menjadi nyata."Iya, ini aku Aryo," jawab Aryo tersenyum bahagia.Fani tersenyum menahan tangisnya.Aryo pun mengenggam tangan Fani.
"Mereka nggak boleh bicara empat mata?Ini bisa gawat!" batin Martin."Jika Sinta sampai bicara dengan Sania, ini bisa gawat. Ini bisa merusak rumah tanggaku dengan Sinta," gumam Martin dalam hatinya.Sinta pun bangkit dan mendekati Martin yang berdiri di depan jendela."Mama ragu mereka akan mempertahankan rumah tangga. Apalagi Sabrina sedang sakit parah," ujar Sinta."Ya, siapa yang mau sakit, Ma," timpal Martin."Papa nggak aneh? Melihat tingkahnya Sania yang selalu menekan Sabrina. Mama nggak ngerti, seolah dia punya sentimen pribadi terhadap keluarga kita," pikir Sinta."Maksud Mama?" tanya Martin."Kenapa sih, Pa? Jadi aneh, bingung ...." cecar Sinta."Ah, Papa jalan dulu," dalih Martin yang ingin menghindar dan tidak mau Sinta mengetahui lebih soal hubungannya dengan Sania di masa lalu."Papa takut sama Sania?" ucap Sinta membuat langkah Martin terhenti.Martin pun sedikit membalikkan badannya da
"Saya sudah membuat keputusan. Setelah Sabrina sembuh, saya akan meminta anak saya untuk menceraikan anak kamu," pekik Sania menunjuk-nunjuk ke arah Martin yang berdiri dihadapannya. Martin terperangah Sania pun kembali duduk ke kursi kebanggaannya itu. Martin hanya menggelengkan kepalanya tidak percaya dengan sikap Sania yang .... "Kamu kok begitu ekstrim. Apa salah Sabrina?" tanya Martin pada mantan istrinya itu. "Apa salahnya?" cecar Martin. "Anak itu memang tidak pernah punya salah. Tetapi, kesalahan dia satu-satunya adalah dia tidak bisa memberikan keturunan pada anak saya." "Sania, kamu sadar. Kamu nggak berhak menentukan seseorang bisa mempunyai keturunan atau tidak punya keturunan," sergah Martin. Doni pun datang dan mencoba mendengarkan pembicaraan Bunda Sania dan Papa Martin. "Hanya Allah. Hanya Allah pemilik kehidupan ini," ucap Martin tegas. "Sudah. Cukup, cukup!" bentak Sania. Ia pun menutup kedua t
"Sampai aku tua dan mati!" pekik Doni."Selama Sabrina masih bernyawa, aku nggak akan menyerah kecuali Allah berkehendak lain," sahut Doni tegas.Prita dan Dinda tersenyum sinis. Begitupun Bunda Sania yang tidak tahu lagi bagaimana menasihati Doni.Bunda Sania menatap Sabrina yang masih tertidur dengan pandangan nanar."Sabrina, saya nggak tahu apa kamu itu menjadi karunia atau sebaliknya menjadi malapetaka untuk Doni, anakku ...." gumam Sania dalam hatinya.Doni pun tidak mampu menahan tangisnya melihat wajah sendu Bunda Sania.****Sania mengundang Fani untuk datang ke kantornya. Demi menghormati undangan Bunda Sania, Fani pun datang ke kantornya."Assalamualaikum," sapa Fani saat memasuki ruangan mewah Bunda Sania.Wa'alaikumsalam," jawab Sania mempersilakan fani duduk."Bunda ingin membicarakan sesuatu, Fani," kata Sania tersenyum.Tidak lama, Renny, Mama Fani pun datang. Fani dibuat terkejut dengan ked