Kini, Firna harus kembali berada di sebuah ruangan yang menjadi saksi dimana ia mendapat talak dari Danang, lelaki yang sangat ia cintai.Cokro dan Farhan berada dalam lapas yang sama dengan Danang, tapi mereka tinggal dalam sel yang berbeda, sehingga tidak pernah bertemu dengan lelaki yang pernah menjadi suami Firna itu.Ayah dan anak lelakinya itu langsung menangis, saat mendengar kabar bahwa Rianti telah meninggal. Sedih yang sama seperti yang pertama kali Firna rasakan. Bahkan lebih parahnya, mereka tak bisa melihat jasad wanita yang sangat mereka cintai untuk yang terakhir kalinya.“Dan aku juga sudah diceraikan oleh Mas Danang,” aku Firna lirih.Berbeda dengan saat mendengar kabar Rianti meninggal. Kali ini, Farhan tertawa lepas. “Aku bilang apa, Mbak? Kamu terlalu bodoh. Hingga tidak pernah menjenguk kami padahal kami berada dalam satu lapas yang sama dengan Danang,” ujar Farhan sinis.“Aku lupa. Aku ingatnya kalian berada dalam lapas yang berbeda,” kilah Firna.“Kamu bodoh ata
Arini mengangguk paham atas pernyataan Rasti. “Tidak ingin membuka hati untuk lelaki lain?” tanyanya lagi.Rasti tertawa kecil mendengar pertanyaan dari sahabatnya itu. Sebelum akhirnya berkata, “pikiranku tidak melulu tentang pernikahan, tentang seorang lelaki. Dan mencintai atau menerima seseorang yang baru dalam hidup kita, itu bukan hal yang mudah.”“Tapi, kamu perlu seorang pendamping hidup.”“Setidaknya tidak untuk saat ini. Bila pun harus ada sebuah keinginan, aku hanya ingin tahu siapa dan dimana keluargaku yang lain berada. Aku merasa hidup sebatang kara. Aku ingin seperti orang lain, yang bila lebaran datang, ada tempat untuk pulang.” Berkata demikian, pandangan kosong Rasti menatap langit biru.‘Aku yakin, keluargaku memandang langit yang sama denganku. Aku berharap, jika aku bisa bertemu dengan mereka. Menunjukkan makam bapak dan ibu pada kakek nenekku. Itu jika mereka juga masih hidup,’ ucap Rasti dalam hati.Ia lalu berpamitan pada Arini untuk pulang.***“Aku tahu, mama
“Ngapain kamu kesini?” tanya Rasti tegas.“Kenapa? Tidak boleh, Mbak? Ini dulu rumah orang tuaku. Bebas dong, aku ke sini kapan saja. Gimana, enak, Mbak, tinggal di rumah ini sendirian? Rumah yang besar dan mewah. Hasil dari membuat banyak orang menderita dan masuk penjara. Luar biasa memang seorang wanita bernama Rasti. Ah, besok-besok, kalau aku punya anak, mau aku namakan Rasti saja. Biar dia bisa cerdas dan punya sifat kejam seperti kamu.” Firna berbicara dengan memperlihatkan amarahnya.“Bicara apa kamu, Firna?” tanya Rasti bengis.“Apa kamu tidak bisa mengartikan kalimat panjangku tadi, Mbak?” sindir Firna.“Aku hanya mendengar kamu mau punya anak yang akan kamu kasih nama Rasti. Begitu terobsesinya kamu dengan semua yang aku miliki. Hingga nama saja, mau kamu adopsi. Mau punya anak sama siapa? Suami kamu dipenjara. Atau, kamu mau berselingkuh di luar?” Rasti tidak mau lagi berkata yang santun terhadap Firna.“Aku orang yang setia, Mbak. Tidak seperti kamu yang hanya memakan man
“Mau pergi naik mobil, siapa sopirnya?” tanya Rano saat Rasti menelpon dan berpamitan.“Aku sudah punya sopir yang bisa aku ajak. Dia bekerja pada Pak Aris,” jawab Rasti.“Kalau sopirnya orang lain, kamu akan tergesa-gesa di sana. Belum lagi kalau ada sesuatu hal yang terjadi. Kamu berangkat saja sama Huda. Lebih enak. Nanti, saya yang akan bilang sama Maryam,” usul Rano.Rasti tidak langsung menjawab. Ia berjanji akan memikirkannya. Sejak tinggal di rumahnya sendiri, ia jarang bertemu Huda. Menjadikan dia kurang nyaman untuk pergi bersama lelaki yang usianya lebih muda darinya itu.“Tidak apa-apa, Mbak. Mbak akan lebih nyaman pergi bersama Mas Huda. Aku dan emak juga tidak akan merasa khawatir,” desak Maram saat ia bermain ke rumah Rasti. Wanita itu sudah tahu tentang hal tersebut dari ayah mertuanya.Rasti tidak langsung menjawab desakan yang disampaikan Maryam. Namun, tak berapa lama, akhirnya dia mengangguk pelan. “Apa kamu tidak apa-apa, Mar?” tanyanya ragu.“Tidak sama sekali, M
Part 76“Rasti, masuk dulu,” ujar Rano.Rasti tersadar dan berkali-kali mengusap air matanya.“Mbah, ini Rasti namanya. Dia anaknya Pak Rusdi, alias cucu Mbah,” ucap Rano menerangkan.“Anake Rusdi? Cucuku?” tanya Si Mbah dengan bahasa campur. Ia kini yangb berganti memeluk Rasti sambil menangis dan terus menerus berbicara, menyatakan segala ungkapan hati yang dipendamnya selama puluhan tahun.“Kok baru ke sini, ha? Kok ra eling Simbah? (kok tidak ingat simbah) Kok gak pernah pulang kenapa? Mendi bapakmu? (mana bapakmu)” tanya Si Mbah beruntun.Rasti menangis tergugu di pelukan wanita yang dekapannya sangat ia rindu sejak dulu kala. Nadine dan Raline pun ikut menangis melihat sang ibu berperilaku demikian.Setelah puas menumpahkan rasa haru, ibunda Rusdi mengajak mereka masuk.Lantai keramik yang sangat dingin terasa di kaki Rasti dan anak-anaknya. Musim kemarau dengan angina yang sangat kencang memang membuat udara terasa dingin meski matahari bersinar terang.Wanita tua yang bernama
Rasti bernapas lega karena ia tidak perlu memulai pembicaraan itu.“Terus, bagaimana mereka menikah, Mbah?” tanya Rasi penasaran.“Astuti sakit parah karena berusaha dipisahkan dari Rusdi. Akhirnya tidak ada pilihan lain selain menikahkan mereka. Tapi, bapakmu benar-benar tidak dianggap di rumah mereka. Maklum, mereka keluarga paling terpandang di desa ini. Sebuah aib, anak simbah yang miskin sampai menikahi anak gadisnya. Setelah menikah, mereka berusaha dipisahkan, itu sebabnya Rusdi mengajak Astuti kabur.”“Sekarang, mereka bagaimana sama Simbah?” tanya Rasti.“Ya, masih belum mau bertanya kalau ketemu. Mereka itu ada di RT sebelah. Masih satu dusun. Tapi ya, tetap angkuh. Wong Simbah ini tidak pantas untuk jadi besan. Mereka masih hidup, orang tua Astuti masih lengkap. Mas-nya Astuti, pak dhe kamu, jadi kepala KUA. Adiknya ada dua, yang satu polisi, dan yang satu perempuan jadi bidan.”Rasti paham, bahwa profesi pegawai di desa yang jauh dari kota adalah sebuah hal membanggakan. M
Part 77“I-iya,” jawab Rasti terbata.“Aku, aku adalah ibu Astuti,.” Muryani memperkenalkan diri. “Ayo, kita ke rumah,” ajak Muryani.Rasti bergeming. Merasakan keanehan dari cara neneknya mengajaknya. Tidak seperti orang yang baru saja bertemu. Penyambutan yang jauh berbeda dari saat ia bertemu Watri. “Ke rumah siapa?’ tanya Rasti kaku.“Ke rumah ibumu,” jawab Muryani sambil mengusap sudut mata yang basah.“Rumah ibuku ada di Jogja,” jawab Rasti.Muryani celingukan. Bingung hendak berkata apa. “Ke rumah eyang kamu,” jawabnya kaku pula.“Eyang siapa? Aku belum mengenal siapapun di sini,” jawab Rasti jujur.“Ini ibu dari ibumu, Nduk,” jelas Watri. Padahal Muryani sudah memperkenalkan diri sebelumnya.“Ayo, kemasi barang-barang kamu. Kita pindah ke rumah eyang. Rumah ibumu masa kecil dulu. Eyang Kakung sudah menunggu di rumah.” Sebuah ajakan yang kurang sopan dilontarkan Muryani.Watri yang merasa tidak sepadan dengan Muryani, memilih diam. Merasa tidak sepadan jika ikut dalam perbincan
“Alhamdulillah iya, Eyang. Bapak memberiku banyak kasih sayang dan nasehat untuk selalu menghargai orang lain, bagaimanapun keadaannya. Termasuk juga, harta yang banyak. Bapak meninggalkan harta yang sangat banyak untukku. Asal Eyang tahu, ibu berlimpah harta hidup bersama bapak. Bapak memiliki showroom mobil yang besar di sana.”Muryani membelalak tidak percaya dengan apa yang disampaikan oleh sang cucu.“Menjadi kaya tidak harus orang yang berpendidikan tinggi, Eyang,” imbuh Rasti.“Ya sudah, kamu memang mirip dengan bapak kamu. Kalau kamu tidak mau, tidak usah ceramah banyak hal.” Usai berkata demikian, Muryani bangkit dan meninggalkan rumah Watri.***“Kami pulang ya, Mbah? Kapan waktu, kami ke sini lagi,” ucap Rasti saat bersiap untuk masuk mobil. Huda sudah datang sejak semalam untuk menjemput mereka.Watri mengusap mata yang basah. Berat rasanya melepas kepergian cucunya. “Jangan lupa pulang ya, Rasti. Ini rumah kamu,” jawab Watri terbata.“Pasti, Mbah ….”Mereka berpelukan seb