Part 89Ada yang berbeda saat Rasti masuk kamar di rumah sang nenek. Terlihat cat yang berbeda warna, spring bed baru, dan juga lemari yang terlihat besar dan baru juga.“Mbah, ini kok baru semua?” tanya Rasti. kedua anaknya sudah lebih dulu berbaring karena kelelahan.“Iya. Kamu kirim uang buat simbah terus, buat beli ini. Kasihan anak-anak kamu kalau tidur di kasur kapuk simbah. Buka jendelanya biar segar,” sahut Watri.“Lha terus Simbah makan apa? Uang itu aku kirim buat biaya hidup Simbah kok.”“Simbah ya tiap hari bekerja, Nduk. Biar tidak jenuh. Kalau nganggur badan pada sakit semua.”“Simbah kerja apa?”“Ambil daun cengkeh yang gugur. Nanti dijual ke penyulingan.”“Daun cengkeh laku, Mbah?”“Ya laku. Sekilo dua ribu kok. Simbah dapat sepuluh sampai lima belas kilo sehari. Buat beli lauk. Wes istirahat sana. Kamu capek pasti. Simbah masak dulu, ya? Likmu (om kamu) sudah nyembeleh ayam. Nanti malam tak urut pakai minyak biar pegel-pegel di badan hilang.”Usai berkata demikian, W
Mereka rombongan berjalan sampai akhirnya sampai di halaman rumah yang dimaksud. Tepat di depan kediaman Priono. Muryani yang tengah merapikan bunga di halaman, memandang dua anak yang tidak ia kenal sama sekali. Ia lalu bertanya pada salah satu anak yang bersama Nadine dan Raline.“Ini cucunya Mbah Watri dari Jogja.”Muryani memandang kedua anak Rasti mereka adalah buyutnya. Ingin memanggil, tapi hati rasanya masih enggan.“Ibuk kenapa melihat anak-anak it uterus?” tanya Hantri, adik kandung Astuti.“Itu, dia anak Rasti.”“Siapa Rasti?”Agak ragu Muryani menjawab, tapi akhirnya ia jujur tentang siapa Rasti.“Diajak kesini to, Bu. Mereka keturunan Ibuk, lho. Lagian, Mbak Astuti dan suaminya sudah meninggal. Mau sampai kapan Ibuk memendam dendam? Apa anak Mbak Astuti tahu kalau dia punya keluarga lain selain keluarga bapaknya?”“Tahu. Ibuk sudah pernah kesana pas dia datang dulu.”“Ya Allah, Buk.” Hantri turun dari terasnya dan menemui Nadine dan raline.“Cucunya Mbak Astuti,” ucap Han
Part 90Kembali ke rumah dengan perasaan yang hampa. Itu yang Rasti rasakan. Waktu singkat yang ia lalui bersama keluarganya, sangat memberi kesan mendalam.Iseng, Rasti bertanya pada kedua anaknya saat mereka bersantai sambil melihat-lihat gambar yang diabadikan ketika mereka pulang kampung, “mau tinggal di sana terus?”Nadine dan Raline kompak menunjukkan wajah jika mereka tengah memikirkan jawaban.“Di sana jauh dari kota. Sepi gak banyak kendaraan. Tapi seneng. Banyak teman bermain,” jawab Nadine.“Iya. Banyak saudara juga. Ada simbah juga di sana. Dan masih banyak lagi,” sambung Raline.Hati Rasti mengalami kebimbangan. Sadar jika di kota tempatnya tinggal saat ini tidak ada saudara. Terlebih, Sumarti seakan menjauh sejak kejadian itu.Banyak pesan dari Hanung yang sengaja tidak Rasti balas. Isinya rata-rata permintaan maaf dan ingin bertemu. Namun, tak ada niat dalam hati Rasti untuk menuruti permintaan ayah Alea.***“Aku mulai merasa bosan di sini, Rin ….” Lagi. Hanya Arini te
“Apakah Anda ada keinginan untuk bersikap ramah dan baik terhadap anak-anakku? Setiap single parent, akan mencarikan sosok pengganti ibu atau ayah yang terbaik untuk anak-anaknya. Itu pasti. Tapi, harus mengukur diri sendiri dulu, apakah ia mampu menjadi ibu tiri atau ayah tiri yang baik buat anak yang akan didapatkan dari pasangan barunya nanti. Anda hanya mengukur apa yang Anda butuhkan saja, berusaha mencari dan mendapatkannya. Namun, Anda tidak ingat jika Anda juga harus bersikap demikian pada anak tiri Anda kelak. Aku sudah melihat, jika Anda hanya menginginkan aku saja, tidak dengan anak-anakku. Pantas saja Alea bersikap demikian. Intinya, aku hanya akan direbut dari Nadine dan Raline, agar menjadi milik Alea.”“Rasti, aku minta maaf. Aku akan memperbaiki semuanya. Berilah aku kesempatan untuk bisa membuktikan, jika aku bisa menjadi ayah tiri yang baik dan adil untuk anak-anak kamu. Alea, dia menangis terus ingin bertemu kamu.”“Sudah terlambat. Kesan pertama akan menunjukkan pe
Part 91“Mbak, aku salah apa, ya? Kenapa Mas Huda berpaling dari aku dan mengejar Mbak Rasti?” Maryam yang datang mengunjungi Rasti bertanya dengan nada sedih.“Aku tidak pernah menginginkan hal ini, Mar. Aku tidak mau berada di posisi orang yang disukai Huda.’ Bingung, Rasti memilih menjawab itu.“Apa karena Mbak Rasti orang kaya?”“Aku tidak tahu, Maryam. Kamu tanya sendiri saja sama suami kamu.”“Dia sekarang ditahan, Mbak. Aku bingung ….”Rasti memilih diam. Percuma baginya menjawab pertanyaan Maryam. Yang terpenting baginya, ia tidak memiliki perasaan yang sama terhadap Huda.Di saat mereka saling bisu, Sumarti datang. Wajahnya tidak menampakkan keramahan pada Rasti. meski ia tahu jika anak mantan majikannya itu tidak menyukai Huda, tapi hatinya tetap saja merasa berbeda. Tidak bisa untuk bersikap baik seperti dulu kala. “Ayo pulang, anak kamu menangis,” ajaknya.“Apa Bik Sum marah sama aku atas apa yang terjadi?” tanya Rasti mencari penjelasan.“Tidak. Aku hanya kasihan sama ana
“Aku belum memikirkan itu,” sahut Rasti. “Kamu harus memikirkannya. Kamu harus menikah lagi dan mempunyai seseorang yang menemani dan melindungi kamu. Kamu tidak bisa hidup seorang diri selamanya. Usia kamu masih muda.” “Jangan membahas hal itu, Mas.” Rasti merasa sedih dengan perkataan mantan suaminya. Ada ruang hampa yang seketika hadir dalam hati. “Rasti. aku serius. Anak-anak butuh figur ayah penggantiku. Dengan siapapun, aku akan merestui. Aku yakin sekali, kamu bisa memilih orang yang tepat. Doakan aku, bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Tinggalkan alamat. Setelah aku bebas, aku akan mencari Nadine dan Raline. Semoga mereka masih mengingatku.” Danang tersenyum getir. Berusaha keras menahan tangisnya untuk tidak keluar. “Iya. Aku berdoa semoga kamu juga bisa menjadi suami dan ayah yang baik buat Firna dan Yasmin. Salam buat mereka.” Danang tertawa. Namun, saat tawa itu keluar, tangisnya juga pecah. “Aku sudah menceraikannya. Aku tidak mencintainya. Itu hanya akan meny
Part 91 Gadis kecil memakai seragam itu berlari menuju rumahnya. Segera berganti baju setelah sampai. Berlalu kembali dengan membawa plastic bungkus permen yang sudah using. Ia menengadahkan tangan ada setiap motor dan mobil yang berhenti di perempatan lampu merah. Setelah dirasa cukup, ia lalu bersiap pulang. “Ayo, setoran!” hardik seorang preman membuatnya ketakutan. “Jangan ambil, Om. Aku butuh uang ini,” pinta Yasmin memelas. “Hanya kamu pengemis yang tidak pernah setor. Mau kamu, aku bawakan satpol PP buat menangkap kamu biar masuk penjara?” Yasmin menggeleng. “Tapi aku butuh uang ini,” ucapnya dengan bibir bergetar. “Ibu kamu kemana?” “Bunda mengamen, mau buat beli mesin cuci biar bisa kerja di rumah,” jawab Yasmin jujur. Di saat bersamaan, serombongan satpol PP bergerak menertibkan pengemis yang dirasa semakin banyak. Biasanya akan ada pembinaan dan pelatihan kerja bagi orang dewasa. Preman yang menghardik Yasmin dengan cepat mengangkat tubuh anak kecil dan membawanya
“Kalau ketemu lagi, namaku Dion,” ucap preman itu kemudian melangkah cepat.“Jangan mengemis lagi. Bentar lagi Bunda akan bisa beli mesin cuci. Bunda mau buka laundry saja. Biar bisa bekerja di rumah. Nanti, Bunda akan pasang iklan,” ucap Firna.Hari setelah itu, pria yang mengaku bernama Dion sering datang ke kontrakan. Lama kelamaan, Yasmin menjadi terbiasa dan akrab. Dibalik tubuhnya yang kekar dan sangar, ia ternyata memiliki sebuah kepedulian. Sikap Firna masih cuek. Namun, berkali-kali pria itu datang membawakan setumpuk cucian kotor. Lalu memaksa Firna untuk memberikan cucian yang sudah bersih dan mengantarkannya ke pelanggan.Terkadang Dion datang di pagi hari, membawa cucian kotor, lalu mengantarkan yang bersih sambil mengantar Yasmin ke sekolah. Lalu ia akan pergi dan kembali lagi keesokan harinya. Seolah hal seperti itu adalah rutinitas Dion saat ini.Di dalam sel tahanan, Danang mengenal seorang narapidana yang sangat taat beragama. Hal itu membuat ayah Nadine dan Raline s