Danang seolah tertampar dengan pengakuan dari wanita yang selalu memendam rasa cinta untuknya sejak dulu kala. Ia telah memulai sesuatu yang salah dengan Rasti. Dan kini, apa yang terjadi di masa lalu, mengikatnya dalam sebuah belenggu. Dan Firna, juga harus berada dalam lingkaraqn menyakitkan itu. “Maaf,” ujar Danang lirih. Ia sudah berdiri di belakang Firna. Tangannya memegang pundak wanita ayu di depannya. Firna berbalik. Sepsanag mata yang lentik menatap bola mata Danang. “Tetaplah bersikap lembut padaku. Meski aku tidak mendapatkan nafkah batin sebagai istrimu. Karena itu, satu-satunya hal yang bisa membuat aku bertahan,” pintanya penuh harap. Danang menghenbuskan napas kasar. Sebelum akhirnya mengangguk. Dan tanpa sadar, jari jemarinya meremas tangan Firna. “Maafkan aku,” ujarnya lirih. ‘Ingin rasanya aku menghambur ke pelukan kamu, Mas. Menikmati waktu hanya berdua di kamar ini,’ ucap Firna dalam hati. Untuk sejenak, mereka saling tatap. Firna dengan tatapan penuh cinta ber
Rasti keluar dari kantor Aris dengan perasaan yang bercampur. Antara lega, juga geram. Betapa keluarga mantan mertuanya telah menyembunyikan banyak hal. Namun, memperlakukannya seolah dirinya hanyalah sampah yang dipungut dan didaur ulang menjadi sebuah hiasan di rumahnya. Selalu diungkit dengan alasan balas budi.“Sabar, satu bula lagi aku baru bisa bertindak, untuk sementara waktu, aku akan menerima apapun perlakuan mereka,’ ucap rasti dalam hati memberikan kekuatan untuk dirinya sendiri.“mama sudah selesai?” tanya Raline setelah beralri menubruk tubuh rasti.“Sudah, Sayang. Habis ini, mau kemana, ayo? Mama turuti,” jawab Rasti sumringah.“Mau makan steak di tempat biasa itu, Ma. Kakak mau?” tanya Raline pada Nadine. Kakaknya hanya menjawab dengan anggukan.Rasti melirik jam di pergelangan tangan. Sudah menunjukkan pukul empat lewat. “Baiklah,” sahutnya mantap.Sepanjang perjalanan, rasti tidak mendengarkan Raline yang berbicara banyak hal. Anak kelas satu SD itu mengomentari apa s
Giliran Nadine yang memandang ketiga orang tersebut tanpa kedip. Dilihatnya Danang yang menggandeng tangan Yasmin, mendudukkan anak kecil itu dengan begitu lembut. Firna yang tersenyum melihat tingkah manis dua orang yang sangat ia cinta. Semuanya tak lepas dari perhatian Nadine.Rupanya, Danang memang baru saja ke toilet karena mengantar Yasmin menyusul Firna. Sementara makanan telah tersaji di meja. Restaurant itu memang cepat dalam menyajikan makanan.“Suapi,” rengek Yasmin pada Danang.“Suapi Bunda ya, Sayang, Pak Dhe capek. Kasihan,” bujuk Firna. Namun, Yasmin tetap merengek.“Gak papa, sini, aku yang suapi.” Danang mengambil sendok yang ada di tangan Firna, lalu menyuapi Yasmin yang duduk di hadapannya.Sekilas, orang yang tidak tahu akan mengira jika mereka sebuah keluarga. Karena kenyataannya memang, Firna adalah istri Danang meskipun siri. Sikap hangat ketiganya, bisa membuat iri siapapun yang melihat. Tak terkecuali dengan dua kakak beradik yang melihat ayah mereka berada di
Rasti hanya memainkan sendok pada daging yang ada di hadapan. Danang berusaha keras membujuk Raline yang sudah terlanjur ngambek.“Kenapa Papa pergi ngajak Yasmin? Apa Papa mau jadi papanya Yasmin?” Raline masih terus protes.“Sayang, tadi itu, Yasmin minta makan. Bundanya gak bisa naik mobil ….” Danang memberikan alasan.“Kenapa Papa tidak mengejar kami? Kenapa Papa biarkan kami jalan kaki dan Mama kelelahan gendong aku?” Raline terus meracau.“Sayang, jangan keras-keras. Malu dilihat banyak orang nanti,” ujar Danang membujuk. “Maafkan Papa ya, tadi Papa masih ikut acara ulang tahunnya Eyang,” sambungnya lagi.Nadine melakukan hal yang sama dengan Rasti. Memainkan daging di depannya.“Ras ….” Panggil Danang lembut. Terselip rasa bersalah yang begitu besar, mendengar penuturan si Bungsu. “Maaf, ya?” lanjutnya lagi.Rasti masih diam. Ia tidak mungkin menjawab di hadapan kedua anaknya. “Sudah selesai? Kalau sudah, ayo, kita pulang,” ajaknya tanpa mempedulikan keberadaan Danang.“Aku mal
Mobil telah kembali memasuki halaman rumah. Tanpa mempedulikan Firna yang terlihat kerepotan menggendong Yasmin yang tidur, Danang segera keluar mobil dan berlari masuk ke dalam rumah. Dilihatnya kedua orang tuda yang tengah berbahagia, bernyanyi menggunakan mic dengan melihat teks yang terpampang di layar lebar. Tidak peduli waktu menjelang Maghrib, kedua pasang suami istri yang sudah berumur itu judtru terlihat menikmati alunan musik.Tanpa ijin dari Wening maupun Hartono, Danang mematikan televisi.“Danang kenapa sih?” protes Wening tidak terima.“Kenapa Ibu membuatkan seragam yang berbeda untuk mereka?” tanya Danang tanpa basa-basi.Wening menarik napas, dan merubah posisi duduk, lalu berkata, “Danang, jujur saja, ibu sudah lama mengenal orang tua Rasti, jauh sebelum membawa Rasti ke sini. Ada banyak hal yang membuat kami tidak cocok. Termasuk bapakmu sebagai rekan bisnis. Kamu tahu, bukan? Bila sebuah perasaan itu tidak dipaksakan? Tidak semua orang seperti Firna, yang bisa memaa
“Kenapa matamu sembab?” tanya Danang menyelidik saat Rasti baru pulang dari mengantar anaknya ke sekolah. Ia memang tidak berangkat bekerja, karena akan membahas keadaan rumah tangganya dengan Rasti. Pagi hari, istrinya terdengar melakukan panggilan telepon dengan atasan dan membahas tentang toko yang diliburkan.“Tidak apa-apa. Kenapa kamu belum berangkat?” tanya Rasti balik. Meskipun terdengar dingin, tapi Danang sangat bahagia mendengar sang istri berbicara setelah beberapa hari saling diam.“Aku sengaja menunggumu. Aku ingin bicara sama kamu. Aku, aku rindu sama kamu,” aku Danang lirih.“Oh …,” sahut Rasti datar. Ia lalu memasuki kamar, hendak mengambil baju santai.“Jangan seperti ini terus. Aku tidak tahan. Kembalilah seperti dulu. Aku, aku sangat mencintai kalian,” ucap Danang sambil memeluk tubuh Rasti dari belakang.“Keadaan sudah lain, Mas. Semuanya telah berubah, dan kamu sudah memiliki Firna,” lirih Rasti.“Berhentilah membahas dia saat kita bersama. Agar kamu merasa, hany
Betapa terkejutnya Danang, setelah mengetahui kalau mereka sedang mencari sertifikat showroom.“Kenapa bisa gak ada?” tanya Danang ikut heran.“Ya, ibu tidak tahu, Danang. Ibu taruh di sana. Lagian, siapa yang berani masuk kamar ini dan mengambil benda itu? Itu sertifikat ada di balik map yang sudah usang. Tidak berharga sama sekali,” ujar Wening dengan masih meneliti baju yang ada di lantai satu per satu.Danang menggigit bibir bawahnya. Ia mencoba mengingat-ingat sesuatu hal, kemudian menghubungkan dengan pertanyaan rasti tadi pagi. Ia lalu berbalik dan menuju kamarnya.“Apa mungkin, Rasti mengambil sertifikat itu? Makanya dia tadi tanya tentang orang tuanya?” gumam Danang setelah duduk di tepi ranjang. Ia terlihat berpikir keras.Merasa tidak tenang, dirinya bangkit dan berjalan mondar-mandir di dalam kamar.Sebuah ketukan di pintu membuatnya berhenti. Saat ia membukanya, Hartono berada di sana. “Apa ada yang masuk kamar, saat kamu di rumah dan bapak ibu tidak ada di rumah?” tanyan
Hartono memandang wening lekat. “kita ke rumah Danang,” ajaknya.“Kenapa ke sana? Ibu malas ke sana,” tolak Wening.“Karena bapak tahu, siapa yang ambil sertifikat kita,” jawabnya tegas.Meskipun dalam keadaan bingung, Wening akhirnya menurut saja. Ia segera berdandan dan bersiap ke rumah menantu yang tidak diinginkannya.Wanita yang umurnya sudah tidak muda lagi itu, memang selalu menjaga penampilannya, agar terlihat berkelas. Wening akan selalu mempertahankan trah ningrat supaya di mata siapapun, ia akan dipandang sebagai bangsawan.Celana panjang warna abu-abu, dipadukan dengan blouse lengan tiga perempat motif bunga dan riasan yang sempurna serta rambut sepanjang leher yang disisir rapi, membuat tampilannya terlihat mewah dan elegan.Hartono mengendarai mobil dengan masih diam. Pun dengan Wening. Ia sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Karena pikiran dan hatinya sibuk dengan perasaan enggan untuk bertemu dengan Rasti.Halaman rumah Danang tidak cukup untuk parkir kenda