Tibra menarik napas panjang. Sejak mereka menikah beberapa bulan yang lalu, dia memang sengaja meminta Andhira tidur di rumah. Selain dia bisa tetap menjaga Zahir dan Zafar, dia juga bisa menjaga Andhira. Perasaannya sering tidak tenang meninggalkan wanita itu, berbeda dengan Aruna. Dia tidak perlu takut wanita itu akan kenapa-kenapa. Aruna pandai menjaga diri dan bisa berpikir cepat.
Bisa berpikir cepat, inilah yang sedikit dikhawatirkan Tibra. Sepuluh tahun berumah tangga, dia masih kesulitan menyelami pikiran Aruna. Dia tidak bisa menebak tindakan apa yang akan diambil Aruna. Satu yang pasti, dia harus menemukan Aruna malam ini. Bukan karena dia khawatir, tetapi agar dia bisa memastikan wanita itu tidak pergi jauh dan tetap dalam pengawasannya.“Mas?” suara di seberang sana kembali terdengar.“Ah iya, Dhir. sudah dulu ya? Mas sudah mengantuk ini.” Tibra berpikir cepat mencari alasan. Lebih baik menyudahi obrolan segera daripada harus menjelaskan pada Andhira apa yang terjadi. Salah-salah, malah bisa menambah masalah karena Andhira bisa dipastikan akan panik.“Mas tidak marah, kan?” Suara Andhira terdengar khawatir.“Tidak, Sayang. Mas cuma kelelahan saja.” Tibra berusaha menekan suara. Dia tidak mau ketenangan malam Andhira terganggu karena pikirannya yang sedang kalut.“Ok, deh. Oh iya, jangan lupa janjinya ya? Mas Tibra janji mau membelikan aku kalung seperti yang dipakai Mbak Aruna minggu lalu.”“Iya, nanti kita ke tokonya saja langsung.” Tibra mengembuskan napas pelan. Walau kalut, sebisa mungkin dia tetap bersikap manis pada istri sirinya.“Yeai, selamat istirahat, Sayang.”Tibra tersenyum mendengar suara serak-serak basah Andhira. Seharusnya malam ini mereka bisa menikmati waktu bersama andai Aruna pulang sesuai jadwal. Semua gara-gara Zahir dan Zafar yang membolos entah untuk urusan apa. Nanti dia pastikan lagi, apa tujuan anak lelakinya itu tidak masuk sekolah.Lelaki itu akhirnya berdiri setelah sepuluh menit sambungan telepon ditutup. Dia memutuskan menyisir kota untuk menemukan Aruna. Wanita itu tidak mungkin pergi jauh. Dia tidak membawa kendaraan, ATM bahkan ponselnya. Gerakan Aruna terbatas.Sejenak dia merutuki kebodohannya sendiri kenapa mencari Aruna sampai kemari. Bagaimana caranya wanita itu berjalan kaki sejauh ini? Aruna juga tidak mungkin pulang ke rumah mertuanya. Walau masih dalam satu kota, jaraknya lebih jauh dari resto, sekitar satu jam perjalanan.Tibra bergegas menyambar kunci mobil dan melangkah keluar. Dia harus bisa mengajak Aruna bicara. Bisa kacau urusan kalau sampai wanita mengadukannya ke kantor polisi karena tindak kekerasan.Tibra mengangguk saat beberapa karyawan menyapa. Outlet masih ramai. Hujan yang semakin deras membuat beberapa pengunjung tertahan tidak bisa pulang. Beberapa pengunjung lain pun baru saja datang dan memesan makanan. Tibra hanya memperhatikan sekilas. Dia punya urusan lain yang lebih penting daripada sekedar mengontrol kinerja karyawan.Namun, dia menjadi sedikit lebih tenang saat menyadari Aruna tidak mungkin melaporkannya. Itu bisa menjadi konsumsi publik dan merusak nama baik keluarga dan usaha mereka. Mana mungkin wanita itu mau menghancurkan begitu saja usaha yang sudah susah payah mereka bangun bersama.Akan tetapi, dia harus tetap menemukan Aruna malam ini agar bisa mengontrol pergerakan wanita itu. Dia tidak mau nama baiknya hancur kalau sampai Aruna melakukan hal diluar dugaannya. Lelaki itu menerobos hujan. Dia mengibas-ngibaskan bajunya yang sedikit basah saat sudah di dalam mobil.Setengah jam menyisir kota, membuat Tibra mulai kesal dan lelah. Hujan deras seperti ini seharusnya dia tidur nyenyak di kasur empuk dan selimut tebal yang nyaman. Lampu merah di depan sana membuatnya semakin kesal. Dalam tiga puluh menit terakhir, ini lampu merah keempat yang dia jumpai.“Kemana kamu Aruna?” Tibra memukul kemudinya kencang karena buta arah kemana yang akan dituju.“Saya sudah di depan, Bu.”Aruna yang baru saja menyelesaikan sarapan tersenyum tipis membaca pesan di ponselnya. Dia segera kembali ke kamar dan bergegas mengambil paper bag yang dia bawa. Wanita itu kemudian berjalan anggun menuju lobby depan hotel tempat mobil mewah warna biru tua sedang parkir.Sebelum niat Aruna mengetuk kaca mobil terlaksana. Pintu mobil terbuka, lelaki berusia kurang dari empat puluh tahun berpenampilan perlente tersenyum lebar pada Aruna. Aruna langsung masuk setelah dipersilakan.“Saya Lendra.” Lelaki itu mengulurkan tangan sambil melepaskan kaca mata hitam yang dia kenakan. "Pak, tolong suara musiknya agak dikecilkan sedikit." Lendra memberi perintah pada supirnya. Suara musik yang sedikit kencang bisa mengganggu pembicaraan serius yang akan mereka mulai.Aruna tertawa kecil menatap Lendra. Dia langsung membalas jabat tangan pria matang di sampingnya. Siapa yang tidak tahu pengacara yang sedang naik daun ini? Penampilannya yang selalu modis dan rapi namun
Lendra menatap wanita disampingnya lamat-lamat. Lipstik warna merah maroon yang Aruna gunakan tidak dapat menutupi jejak kekerasan yang dia dapatkan tadi malam. Bengkak dan sedikit pecah karena sobek, menjadi bukti kuat ucapan wanita di sampingnya ini bukan sekedar omong kosong belaka.“Saya sengaja tidak mengobatinya.” Aruna tiba-tiba berbicara sambil menoleh pada Lendra yang sedang mengamati wajahnya. Lendra tersenyum sambil mengangkat kedua alisnya, sedikit salah tingkah karena Aruna bisa membaca pikirannya.“Saya paham maksud pernyataan anda.” Aruna mengangguk pada asisten Lendra yang menawarinya permen. Dia mengambil satu untuk menyegarkan mulut. Mint, adalah rasa yang sangat disukainya.“Thank you.” Aruna tersenyum pada gadis yang memperkenalkan diri dengan nama Viana.“Kita masih punya waktu hingga sampai di kantor polisi, Bu Aruna.” Lendra menatap Aruna lamat-lamat. Wanita di sampingnya ini bahkan masih dibawah tiga puluh tahun. Usia yang masih sangat muda.“Untuk?” Aruna mena
Untuk visum, dia memang berharap visum bisa segera dilakukan. Tanda-tanda penganiayaan masih terlihat jelas di tubuhnya. Lebam bekas tendangan Tibra, telapak tangannya yang membiru dan terluka karena diinjak, bibirnya yang bengkak dan pecah, bahkan kulit kepalanya terasa perih karena Tibra menarik sisir dengan kasar sehingga rambutnya ikut terseret kencang.Namun di atas semua itu, hatinya jauh lebih sakit karena pengakuan Tibra tentang pernikahannya dengan Andhira, wanita yang sudah dia anggap saudara sendiri. Seseorang yang tidak tahu cara berterima kasih pada orang yang telah mengangkat derajat hidup dan menolongnya dari kesulitan dan kesengsaraan.Bukan dia egois hanya memikirkan perasaannya sendiri. Jauh sebelum ini dia telah berpikir matang. Dia bahkan masih bertahan di rumah, bersikap seolah semua baik-baik saja di depan anak-anak setelah memergoki suaminya dan sang wanita penggoda tengah bermesraan.Namun, kejadian tadi malam benar-benar mengikis habis kebesaran hati Aruna. T
“Mas!” Andhira menerobos masuk ke ruangan Tibra. Wanita terlihat panik sehingga lupa kalau mereka sedang dalam suasana kerja. “Maaf, Pak Tibra, ada masalah genting di luar.” Andhira sedikit salah tingkah karena ternyata Tibra sedang ada tamu. Dia berdiri kikuk di depan pintu. Dengan sebelah tangan, Andhira menyibakkan rambut panjangnya yang terurai untuk menetralisir rasa gugup dalam dada. Tibra mengangguk pada Andhira dan memberi kode pada wanita itu untuk meninggalkan ruangannya dengan pandangan mata. Dia bisa melihat wanita bertubuh sintal dengan pakaian membentuk tubuh itu bergegas meninggalkan ruangan.“Maaf, boleh Saya izin sebentar?” Tibra menunjuk arah pintu dengan jempol tangannya. Wajahnya menampilkan senyum lebar pada beberapa tamunya. Mereka memang sedang ada pertemuan khusus.Jauh sebelum pertengkarannya dengan Aruna. Mereka memang berencana membuka usaha baru di luar pulau jawa. Menurut pengamatan Aruna, prospek usaha ini cukup menjanjikan. Wanita itu ingin melakukan p
“Apakah ada kemungkinan masuknya pihak ketiga?”Tibra melihat Lendra tersenyum menanggapi pertanyaan dari salah satu awak media. Sementara di sebelahnya, Andhira mencengkram lengannya kencang. Suara napas wanita itu mendengus cepat, terdengar tidak beraturan karena gugup.“Tadi anda mengatakan masalah ini sudah tidak bisa diselesaikan melalui jalan kekeluargaan. Apakah itu berarti akan ada perceraian antara Aruna dan Tibra? Bukankah kejadiannya baru tadi malam? Tidakkah terlalu cepat Aruna mengambil keputusan? Atau masalah yang mereka hadapi sangat serius?”“Betul. Setelah dari sini kami akan melakukan visum terlebih dahulu sesuai dengan surat perintah yang dikeluarkan kepolisian pada saat laporan ini dibuat. Begitu proses visum selesai, kami akan langsung menuju kantor pengadilan agama untuk memasukkan berkas pengajuan gugatan cerai.Mengenai alasan kenapa cepat sekali klein kami mengambil keputusan, masih akan dibicarakan nanti. Namun, dari keterangan yang saya dapat, dia sudah mant
“Jadi, tadi malam Mbak Aruna sudah pulang? Jangan-jangan saat hujan-hujan aku datang itu kalian sedang berseteru, Mas?” Andhira berdiri dan mempersilakan Tibra duduk.“Sebelum itu, hujan turun deras setelah Aruna keluar dari rumah.” Tibra menarik Andhira hingga wanita itu terduduk di pangkuannya. Aroma minyak wangi yang dikenakan wanita itu memenuhi hidungnya.“Untung tadi malam aku telat datang, Mas. Kalau aku datang di jam biasa, bisa-bisa Mbak Aruna memergoki kita berdua.” Aruna menoleh pada Tibra yang memeluk pinggangnya erat.“Hmm ….” Tibra hanya berdehem pelan. Tubuh Andhira terasa hangat hingga membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Dia butuh pelepasan agar tidak pening memikirkan permasalahan yang sangat semrawut dan tidak bisa dia kendalikan lagi.“Ini di kantor, Mas. Lagi pula, Mas sedanga da rapat penting tadi.” Andhira melepaskan tangan Tibra di pinggangnya. Wanita itu langsung berdiri dan tersenyum lebar menatap suaminya. “Kemana Mbak Aruna? Kenapa hanya kuasa hukumnya yang
“Assalamualaikum.” Aruna memencet bel sekali lagi setelah menunggu beberapa lama belum ada jawaban dari dalam. Wanita itu memperhatikan teras rumah. Dua gelas dengan sisa air teh dan setangkai melati di dalamnya terletak di atas meja.Aruna tersenyum tipis. Sudah menjadi kebiasaan Ibu dan bapaknya sejak dulu menikmati pagi sambil menunggu matahari terbit di teras mereka. Selepas shubuh, ibunya akan menyeduh dua gelas teh dan meletakkan setangkai melati segar di dalam gelas teh.Sambil menikmati suasana pagi yang sejuk ditemani segelas teh hangat dan sepiring kudapan, Ibu dan bapaknya akan menghabiskan waktu dengan bercerita. Tentang masa muda saat masih sekolah, kehidupan awal saat pengantin baru, membahas tentang anak dan cucu bahkan mereka juga membahas berita terkini terkait kabar-kabar yang sedang banyak dibicarakan.“Waalaikum Salam.” Aruna menarik nafas lega saat mendengar suara yang sangat dia rindukan. Suara kunci diputar terdengar khas. Tidak lama, pintu dengan ukiran lama it
Kesadaran itu akhirnya datang setelah kini bahtera rumah tangganya hampir karam. Perasaan bersalah karena menentang kedua orangtuanya bertahun-tahun lalu menghujam setiap titik di relung terdalam perasan Aruna.Dia bahkan sempat sesumbar pada keluarga besar, mengatakan keputusannya dulu memilih Tibra adalah benar. Aruna terisak kencang saat mengingat peristiwa itu. Ibu dan Bapaknya hanya mengangguk dan tersenyum, saat dia dengan wajah yang sumringah di acara peresmian cabang kelima mereka setengah tahun lalu mengatakan beruntung dulu dia mengikuti hatinya.Tidak disangka, satu bulan kemudian peristiwa itu terjadi, seolah Tuhan menjawab kesombongan Aruna pada kedua orangtuanya. Aruna yang saat itu melakukan kunjungan mendadak ke cabang luar kota yang bisa ditempuh dengan jarak kurang dari dua jam perjalanan harus mendapati kenyataan pahit.Dia menyaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri Tibra memeluk Andhira dari belakang sambil menciumi leher wanita tidak tahu terima kasih itu, memb