Kesadaran itu akhirnya datang setelah kini bahtera rumah tangganya hampir karam. Perasaan bersalah karena menentang kedua orangtuanya bertahun-tahun lalu menghujam setiap titik di relung terdalam perasan Aruna.Dia bahkan sempat sesumbar pada keluarga besar, mengatakan keputusannya dulu memilih Tibra adalah benar. Aruna terisak kencang saat mengingat peristiwa itu. Ibu dan Bapaknya hanya mengangguk dan tersenyum, saat dia dengan wajah yang sumringah di acara peresmian cabang kelima mereka setengah tahun lalu mengatakan beruntung dulu dia mengikuti hatinya.Tidak disangka, satu bulan kemudian peristiwa itu terjadi, seolah Tuhan menjawab kesombongan Aruna pada kedua orangtuanya. Aruna yang saat itu melakukan kunjungan mendadak ke cabang luar kota yang bisa ditempuh dengan jarak kurang dari dua jam perjalanan harus mendapati kenyataan pahit.Dia menyaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri Tibra memeluk Andhira dari belakang sambil menciumi leher wanita tidak tahu terima kasih itu, memb
Sementara Adya menunggu dengan wajah harap-harap cemas di samping suaminya, berharap ada kabar dari anak semata wayang mereka. Wanita itu sangat hafal sifat Aruna. Putri mereka itu tidak pernah menceritakan masalah apapun yang sedang menimpanya. Aruna selalu bercerita justru setelah masalah yang dia hadapi berhasil diselesaikannya.Wajar, karena itu hasil dari didikan Wira. Lelaki itu tidak mau Aruna menjadi anak yang manja karena hanya anak satu-satunya. Dari kecil dia sudah memberi pemahaman pada Aruna, jika menginginkan sesuatu maka dia harus berusaha untuk mendapatkannya. Bukan dengan rengekan, tangisan, ataupun amukan tetapi dengan kerja keras.Aruna tumbuh seperti yang diharapkan bapaknya. Dia menjadi gadis yang tangguh dan pantang menyerah. Karena didikan ayahnya juga dia menjadi berbeda dari teman-teman wanitanya yang gampang menangis karena diganggu teman lelaki sebaya. Saat dijaili, dia bukannya menangis tetapi malah menyusun rencana bagaimana cara membalas mereka agar jera
“Kamu yakin tidak apa-apa kesana sendirian?” Adya menatap Aruna yang sedang mengisikan ayam rica-rica ke dalam wadah. Sejak pagi tadi, anaknya itu memang sudah sibuk di dapur memasak makanan kesukaan kedua anaknya. “Tunggu Bapak pulang saja ya? Biar ada yang menemani?”“Tidak apa-apa, Bu.” Aruna mengelus bahu Adya. “Mas Tibra paling masih kerja, siang jarang di rumah. Lagi pula, kalau pun ada orangnya ya nggak apa-apa. Kami belum bicara lagi sejak malam itu. Mungkin saja setelah masalah ini masuk ke kantor polisi dan menjadi pemberitaan, kami jadi bisa bicara baik-baik demi anak.”“Alah! Kamu itu seperti tidak tahu saja suamimu seperti apa.” Adya berdecak sebal.“Doakan saja yang terbaik untuk kami, Bu.” Aruna terkekeh. “Aku sudah kangen sekali sama Zahir dan Zafar. Belum pernah kami berpisah selama ini. Paling lama tiga hari kalau aku ke luar kota.” Aruna mengulurkan tangan untuk berpamitan. Dia langsung mengambil tas tangan dan wadah yang berisi lauk kesukaan Zahir dan Zafar.“Hati-
“Bawa Zahir dan Zafar masuk!” Dendra, sepupu Tibra dengan cepat menarik dua keponakannya dari pelukan Aruna dan menyerahkannya pada Riri. Aruna memicingkan mata mendengar kalimat perintah yang barusan dia dengar.Riri, gadis berusia dua puluh dua tahun yang pekerjaannya bertugas menemani Zahir dan Zafar selama Aruna mengurus usaha di siang hari itu menggandeng Zahir dan Zafar. Kedua anak lelaki itu memberontak dan menangis, membuat Riri kewalahan. Dendra akhirnya turun tangan, dia langsung mengangkat Zafar ke pundaknya sementara Zahir diseret paksa. Setelah itu, sepupu Tibra mengunci rumah agar kedua keponakannya tidak bisa keluar lagi."Ibu! Ibu!" Suara tangan beradu dengan kaca terdengar jelas. Jendela bahkan bergetar-getar karena Zahir dan Zafar memukulinya tanpa henti.Kejadian yang sangat cepat di depan mata Aruna membuat wanita itu terpana. Dia bahkan seperti tidak menyadari apa yang terjadi sampai dia melihat Zahir dan Zafar menangis memukul jendela kaca sambil meneriakkan nama
"APA YANG KAU LAKUKAN ARUNA?!” Aruna mengerutkan kening. Dia seperti mendengar suara yang tak asing. Otaknya masih belum sepenuhnya bisa mencerna apa yang terjadi.“Kalian lihat?” Aruna langsung menoleh saat menyadari orang yang ada di sampingnya adalah Tibra.Dia mengalihkan pandangan ke arah halaman rumah, di sana terlihat sekitar sepuluh orang awak media yang tengah mengacungkan kamera kepadanya, beberapa sibuk membawa alat perekam suara dan buku catatan.“Apa menurut kalian masuk akal, saya seorang yang selama ini dikenal sangat menyayangi istri dan anak-anak bisa melakukan kekerasan? Sementara di sini, kalian lihat sendiri kan apa yang terjadi?”Aruna mengerutkan kening. Dia masih berusaha membaca dan memahami situasi.“Lihat? Bukankah kalian menjadi saksi bagaimana kasarnya Aruna yang katanya korban KDRT ini memperlakukan sepupu saya?” Tibra menunjuk ke arah Dendra yang meringis kesakitan.Aruna mengepalkan tangan, Tibra menjebaknya. Lelaki itu tersenyum tipis ke arahnya, rencan
“Saya rasa cukup dulu ya teman-teman. Sepertinya kejadian yang sangat kebetulan terjadi hari ini tentu sudah menjawab pertanyaan dari kalian bukan? Apa mungkin seorang Tibra yang terkenal family man ini bisa melakukan KDRT? Kalau sekarang saya bersikap dingin pada Aruna ya karena semua kekacauan yang dia sebabkan sendiri.” Tibra mengangkat kedua tangan sambil menggelengkan kepala.“Satu pertanyaan lagi, apakah benar akan terjadi perceraian? Bagaimana tanggapan anda tentang Aruna yang sudah mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama?” Salah satu awak media kembali bertanya. Dia merasa berita yang dia perlukan belum cukup informasinya.“Lihat nanti. Saya hanya memikirkan kondisi kedua anak saya. Cukup dulu ya saya rasa?” Tibra mengangguk sopan ke arah awak media yang berkerumun. Dia memberi kode pada Dendra untuk meminta mereka meninggalkan halaman.Aruna mendengus mendengar ucapan Tibra. Memikirkan anak-anak? Menikah lagi itu apakah salah satunya yang termasuk memikirkan anak-anak? D
Selama ini Aruna akan terjun kembali setelah usaha berjalan. Dia akan mengatur operasional usaha dan pemenuhan karyawan. Setelah itu dia hanya tinggal menjalankan usaha dan mengembangkan ide-ide peluang usaha lainnya.Wanita itu menggigit bibir. Tibra benar, walau selama ini mereka dikenal sebagai pasangan pengusaha yang serasi, namun secara hukum namanya tidak ada dalam struktur usaha. Bahkan semua deposito, giro dan tabungan semuanya atas nama Tibra.“Gila!” Aruna terkekeh sambil menggelengkan kepala. Dia baru menyadari semua itu saat ini. Lagipula, siapa yang menyangka hari ini akan tiba? Hari ketika rumah tangganya karam dan tidak bisa diselamatkan lagi? Kapal itu tenggelam. jalan satu-satunya agar mereka selamat adalah menggunakan pelampung dan berjuang sendiri-sendiri.“Cabut laporan itu dan mari kita berdamai, Aruna. Lakukan konferensi pers dan katakan kau melakukannya karena alasan yang bisa kita cari nanti. Kita jalani rumah tangga seperti selama ini agar Zahir dan Zafar bi
“Asal bukan suamiku,” desis Aruna. Wanita itu tersenyum sinis pada Tibra yang menatapnya dengan sayu. Sepuluh tahun bersama, Aruna paham sekali bagaimana suaminya. Gerak gerik lelaki itu jelas menginginkan dirinya.“Apa maksudmu?” Tibra menautkan alis. Dia sedikit bingung dengan perubahan sikap Aruna. Bukankah mereka baru saja bicara dengan baik-baik dan akan terjadi gencatan senjata?“Aku tidak pernah menentang lelaki boleh memiliki lebih dari satu istri. Silahkan. Mau dua, tiga ataupun empat, terserah. Asal bukan suamiku!”Mata Tibra dan Aruna beradu. Saat itulah Aruna menyadari, Tibra bukan lagi orang yang sama. Lelaki itu bukan seseorang yang dia kenal bertahun-tahun lalu. Dia telah berubah. Walau sekejap tadi dia bisa melihat kerinduan itu memenuhi tatapan Tibra, tapi lelaki itu sudah tidak seperti dulu lagi. Kekuasaan dan kekayaan telah membuatnya menajdi orang yang berbeda.“Kau akan menyesal, Aruna. Sungguh, kau akan menyesal.” Tibra melepaskan tangan Aruna saat wanita itu men