Kumenatap ruangan berukuran 2X2. Tak ada siapapun disana. Hanya ada sprei yang berantakan. Kemana mereka?
Aku menerka-nerka, berfikir sejenak. Kira-kira kemana? Jangan-jangan mereka sedang di ruang tamu atau?Segera aku menuju kesana. Saat baru sampai ruang tengah. Aku mendengar suara orang yang tengah sedikit berdebat. Kupelankan langkah. Aku harus tahu apa yang sedang mereka lakukan."Ayo, Pah. Lama bener cuma buka pintu saja!" Terdengar suara Tari.Apa maksudnya? Jangan-jangan ia sedang membuka pintu kamar tamu. Aku segera datang tak lagi mengenap-endap."Apa yang kalian lakukan!" Aku memencet saklar lampu. Sontak mereka terperanjat.Obeng yang di pegang Mas Damar jatuh kelantai. Aku yakin, Mas Damar sedang berusaha membuka kunci kamar. Sedangkan Tari membantu dengan menyenteri agar Mas Damar dapat melihat lubang baud.Mereka berdiri salah tingkah, seperti maling yang ketangkap basah."Kamu mau buka pintu kamar itu, Mas? Mau buat kelon!" Selidikku."Eee, a-anu, Dek. Tari bilang di kamar belakang banyak tikus. Dia ketakutan. Dari pada aku harus terganggu dengan Tari yang terus menerorku jadi aku pikir untuk ....""Untuk membuka kamar tamu dan kalian bisa tidur bersama?!" Aku memotong ucapan Mas Damar."Memangnya kenapa kalau iya, Fat! Mas Damar milikku. Dia juga berhak tidur denganku!" Kali ini Tari yang maju. Aku rasa dia mulai berani."Lah memangnya aku juga melarang. Terserah kalian mau apa, aku juga tau kalau kamu sekarang istrinya Mas Damar. Tapi kan sudah aku berikan kamu kamar! Jangan semena-mena dirumah orang.""Kamar apaan, itu lebih tepatnya kandang ayam!" cebiknya.Aku memutar bola mata malas. Memang orang yang selalu memandang dengan kilau harta, dia tak pernah mau terima untuk sekedar prihatin. Harusnya dia bersyukur, tidak di tempatkan pada kontrakan yang kecil. Aku yakin jika tak di bawa kesini, palingan di tinggal di rumah Ibu, kalaupun di bawa kekota ini, paling di kosan atau kontrakan. Aku yakin Mas Damar masih tak mampu untuk sekedar membeli rumah kecil saja."Lebih baik terima saja atau keluar dari rumah ini!" ujarku. Aku sudah kesal dengannya. Sungguh dia sudah keterlaluan, menganggap kamar seperti kandang ayam. Memangnya semewah apa rumahnya dulu."Sudahlah, aku mau tidur! Kalau mau ya tidur di kamarmu, jangan coba-coba merusak di rumah orang dan kamu, Mas. Bukankah kamu tahu jika kamu tak punya hak secuilpun di rumah ini!" Aku tegaskan pada Mas Damar. Karena memang sudah tertulis jika rumah serta semua finansial yang di miliki akan jadi milik anak-anak tanpa tersisa secuilpun untuk si pelaku penghianat. Itu berlaku juga jika aku yang berkhianat."Jangan sampai membangunkan anak-anak apalagi membuat ia curiga!" Kembali aku berkata, namun saat ingin melangkah menuju tangga, Terlihat Aziz yang akan turun kebawah.Tentu aku harus kembali ketempat semula. Kembali pada mereka yang tengah berdua.Terlihat mereka masih disana. Mas Damar sedang mengemas peralatan dan Tari sibuk dengan HPnya."Azka bangun, Mas. Ayo kita keatas. Aku tak mau dia curiga.""Yah, Bun. Kok belum pada tidur. Mba Tari juga, ada apa?" Aziz penasaran. Mungkin ia heran karena sudah hampir tengah malam."Ini, Ziz. Pintu kamar tamu rusak dan Ayah sedang perbaiki," ucapku berbohong."Oh ... Kenapa ngga siang aja. Nanti Aziz bantuin ayah!""Ngga papa, Ziz. Kan kalau siang ayah sibuk." Kali ini Mas Damar yang berucap."Kamu mau minum?" tanyaku dengan langsung mendekat kearahnya."Iya, Bun. Ini tekonya kosong. Mba Tari lupa ngisi ya?" tanya Aziz. Ia memang selalu sedia air di kamar. Tentu dengan temannya, seperti camilan dan jajanan."Ya sudah, biar Bunda isi!" Aku meminta teko itu, mengisi air mineral di galon dan memberikannya. "Tidurlah, besok sekolah kan?""Iya, Bun." Aziz berjalan kembali menuju keatas. Kupastikan dia telah menaiki tangga. Aku kesal karena mereka tetap saja tak bisa jaga jarak. Apalagi Tari yang kaya ulat bulu itu.Setelah kupastikan Aziz masuk, aku melihat kearah Mereka. Benar-benar Tari wanita yang kegatelan. Ia masih saja nempel pada Mas Damar."Ayo, Pah. Kita tidur di hotel saja!" Ajaknya terang-terangan didepanku. Aku tak habis pikir. Dimana urat malunya. Meminta Seperti itu secara langsung di depanku. Apa ia pikir dengan begitu, merasa bangga jika Mas Damar mengabulkan. Merasa jika Mas Damar lebih menyayanginya?"Kamu mau tidur di hotel, Mas?" tanyaku dengan menatap penuh pada Mas Damar."E-enggak, Dek. Buat apa kehotel!""Tapi, Pah. Aku ngga bisa tidur! Aku juga pengen tidur di peluk kamu, Pah. Malam ini saja!" rayunya dengan tangan bergelayut manja."Baik, kalian boleh tidur di hotel. Ini uang untuk bayar kamarnya." Kuletakan uang merah lima, aku malu melihat tingkah Tari yang seperti kegatelan. Mungkin dengan begitu, dia tak akan terus meronta. Semoga saja!Telihat Mas Damar ragu, tapi menerima juga uang itu. Pasti semua hanya pura-pura. Hatinya bersorak gembira."Tapi jangan bawa mobil. Nanti anak-anak curiga dan pulang sebelum subuh agar Tari bisa menyiapkan sarapan. Pergilah pake motor!"Setelah Mas Damar mengambil jaket, mereka berangkat. Aku melihat kepergian mereka lewat kaca jendela. Aku yakin tak lama lagi mereka akan pulang kembali, kalaupun sudah di hotel, bisa jadi Mas Damar yang pulang. Aku sangat yakin!Aku tersenyum karena sebuah rencanaku berjalan dengan mulus. Aku akan sambut kepulanganmu kembali tak lama!~~~®®®®~~~Terdengar deru gerbang di buka. Betulkan apa yang aku katakan. Baru Lima belas menit yang lalu mereka pergi, sudah balik lagi.Mas Damar terlihat masuk dengan gegoboh. Dia sendirian. Kemana Tari?"Loh, Mas. Kok udah balik?" tanyaku pura-pura. Dalam hati bersorak ria."Aku tinggal di jalan. Abis maksa tetap pergi. Padahal badanku gatal semua!" ujar Mas Damar dengan tangan tak henti menggaruk.Apa? Di tinggal di jalan? Duh kasian sekali dia. Bagaimana coba kalau tersesat? Ah ...sudahlah. bukan itu baik. Biar KAPOK! Mas Damar masih terus menggaruk. Bahkan ia sampai melepas bajunya. "Gatal banget nih, Dek. Garukin dong!" Ia meminta tolong padaku. Tadinya aku mau menolak, namun ... Sepertinya suasana tidak tepat. Biar aku garuk saja sekarang. Biar nanti saat Tari lewat akan kupanas-panasi.Mas Damar duduk. Aku menggaruk pungungnya yang sudah merah-merah. Bagaimana akan sembuh kalau terus di garuk. Serbuk ini kan akan lebih efektif jika digaruk. Reaksinya akan nyata.Aku memang sengaja me
"Yah, ngapain Mbak Tari dandan begitu? Apalagi mau ikut kita. Memangnya Ayah mengajaknya!" Wulan bersuara. Entah kenapa aku merasa jika Wulan tak menyukai Tari sejak ia datang kemarin."Apa perlu aku katakan sejujurnya, Mas?!" Bisikku pada telinga Mas Damar."Ja-Jangan, Dek!" jawab Mas Damar bergetar."Kalau begitu, urus dia! Aku tak mau dia menjadi pengacau di acara keluarga seperti ini!" Mas Damar menurut. Iya turun dan menyuruh Tari untuk masuk. Entah apa yang di katakan Mas Damar hingga akhirnya dia keluar sendirian."Ayuk berangkat!" ujar Mas Damar. Aku heran, tapi tak berani bertanya karena posisi sedang bersama anak-anak.Tiba disana, acara sudah mulai. Cukup riuh tamu yang hadir. Dari semua yang hadir, aku hanya kenal beberapa saja. Itu juga karena satu grup di WA."Hai, Fatwa!" Panggil seseorang yang kutahu dia adalah istri direktur."Hai juga, Nay!" Kami berpelukan, tak ketinggalan juga beberapa rekan yang lain. Saling menyalami dan berbasa basi sekedar menanyakan kabar."Ib
"Dek! Aku bisa jelaskan. Apa yang kamu lihat tak seperti yang kamu bayangkan. Tadi itu ...."Mas Damar mencoba mengajakku untuk berdamai. Tapi, hati ini rasanya perih melihat pemandangan itu."Sudahlah, Mas. Tidur! Ini sudah malam." Segera aku meraih selimut. Menutupi hingga keatas bahu. Hawa tubuhku serasa dingin dan bergetar. Tenyata sakit di ulu hati mampu membuat semua tubuh merasakan sakit.Aku masih belum terlelap saat Mas Damar mulai menaiki ranjang. Dia melingkarkan tangannya pada pinggangku. Sakit dan jijik! Namun, aku hanya diam tak merespon ataupun mengambil tindakan untuk menyingkirkan. Tangan yang sama yang tadi ia gunakan untuk memeluk wanita lain. Wanita, sahabatku sendiri yang kalau itu drop karena depresi.Air mata yang sedari tadi kubendung, nyatanya lolos juga dari mataku. Wonder women sekalipun, pasti hatinya lembut. Tak akan bisa sekeras baja. Ada masanya dia terpuruk dan terjatuh.Keputusan yang kuambil untuk mempertahankan pernikahan ini, rasanya membuat nyawaku
PoV Damar"Apa? Fatwa kecelakaan!" Bergegas aku turun kebawah. Aku panik menerima telfon dari pihak rumah sakit yang mengabarkan tentang Fatwa.Ini masih pukul sepuluh pagi, akupun langsung pergi menuju rumah sakit Mitra Siaga. Sampai di sana aku langsung ke IGD. Kata suster Fatwa masih di tangani.Kuhubungi semua keluarga. Tentu aku tak ingin melakukan kesalahan. Ibu Fatwa bilang ia akan segera datang berbeda dengan Ibuku. Dia bilang belum bisa datang karena terkendala ongkos. Aku khawatir, bagaimanapun dia adalah Ibu dari anak-anakku. Selama ini dia tak punya cela. Hanya aku saja yang memang lelaki bodoh. Naluri sebagai lelaki tertantang saat Tari mengungkapkan perasaannya.Ternyata imanku masih lemah. Aku tak kuat menahan godaan setan yang terus berbisik. Terlebih melihat penampilan Tari yang terlihat masih energik di usianya yang sama seperti Fatwa. Mungkin karena Tari belum pernah turun mesin.Saat Tari depresi karena di ceraikan. Memang aku tak pernah melihatnya. Itu semua kar
Aku mencoba membuka mata, rasanya berat sekali. Setelah aku merasa jika aku sudah tidur terlalu lama. Badan sakit, kaki, dada bahkan kepala terasa nyeri. Silau dari cahaya lampu membuat aku mengedipkan mata beberapa kali."Dok, pasien sudah sadar!" terdengar suara perempuan. Aku masih menatap lamat lampu ruangan bernuansa putih hijau."Aku di rumah sakit?" gumamku dalam hati. Mencoba mengingat apa yang terjadi padaku.Ah! Aku kecelakaan, membanting setir saat tiba-tiba ada gerobak yang menyebrang."Kamu sudah sadar, Fat?" Suara Ibu. Aku meliriknya. Tak salah itu suara ibuku."Biar kami periksa dulu!" Seorang dokter langsung menggunakan stetoskopnya.Setelahnya mencabut selang oksigen dan beberapa yang menempel di bagian tubuh. Kini hanya tinggal infus saja."Ibu sejak kapan di sini?" tanya dengan suara masih tertahan."Baru tadi, Fat. Damar yang mengabari," ujarnya membuat aku sadar. Di mana dia? Apa dia menggunakan kesempatan ini untuk berdua dengan Tari. Memang kurang ajar!"Di man
"Jawab, Mar!" Ibu membentak Mas Damar. Baru kali ini selama 15 tahun lebih, ibu membentak menantunya itu."Kamu, Fat! Kenapa tak jujur sama Ibu. Dia itu telah menodai sucinya pernikahan dan kamu ... Justru memasukan dalam istanamu!" Ibu mengeleng keras. Pasti ibu sangat kecewa dengan apa yang aku lakukan."Bu, semua tak seperti yang Ibu pikirkan!" Mas Damar berusaha membela diri. Nyatanya memang dia tetap saja salah. Apapun alasannya."Terus apa? Apa namanya lelaki yang berkhianat! Dia tak lebih dari lelaki yang pengecut!" Ibu berdecis.Mas Damar terlihat frustasi. Mungkin ia merasa begitu tersinggung atas apa yang baru saja di ucapkan oleh Mertuanya."Pokoknya, kamu ceraikan Tari, atau aku bawa pulang Fatwa!" ancam Ibu. Tentu aku terpana. Tak menyangka jika Ibu semarah ini."Bu!" Aku mencoba menenangkan Ibu."Diam kamu, Fat! Kamu itu terlalu membela dia, terlalu patuh padanya dan terlalu cinta. Hingga membuat kamu buta, bahwa laki-laki yang dulunya kere! Sekarang bisa seperti ini kar
"Apa? Tari pingsan di gudang!" Mbak Ani mengabarkan. Dia seperti gemetar ketakutan. Itu pasti karena semalam ia di takuti oleh Ibu dan Mbak Ani."Bu, bagaimana ini? Tari pingsan!" ujarku pada Ibu. Ibu juga sepertinya terlihat bingung."Tolong coba kamu sadarkan dulu! Kalau tidak berhasil, baru hubungi ambulan agar segera di bawa ke RS!" Perintahku pada Mbak Ani. Aku menyuruhnya untuk tenang dan tak panik."Bu, bagaimana kalau Tari kenapa-kenapa?" tanyaku pada Ibu. Tentu aku khawatir."Alah ngga usah terlalu di pikirkan. Pasti dia itu cuma pingsan biasa!" ujar Ibu. Aku menghela nafas."Kalau Mas Damar tahu, pasti dia marah!" "Biar! Suruh marah. Suruh bawa pelakor itu keluar dari rumah! Enak saja mau jadi benalu!" Ibu berdecis. Pikiran Ibu dengan pikiranku tak sejalan. Aku makin bimbang.Sekarang kamu tak usah pikirkan macam-macam. Pikirkan agar kondisimu segera pulih.Aku mengangguk. Tak lama Mbak Ani kembali mengabari jika dia memanggil ambulan. Ternyata Tari terkena gigitan tikus, m
"Ziz?" Kali ini Ibu yang bertanya. Dia masih diam, namun pandangannya tak luput dariku. Apa aku salah?"Kamu ada masalah?" tanyaku dengan mendekat kearahnya. Dia kemudian berdiri dari duduknya. Namun kali ini wajahnya tak lagi menatapku. Justru membuang muka."Katakan! Kamu ada masalah apa di sekolah hingga tak mau berangkat?" Aku berusaha agar dia mau membuka mulutnya.Dia tak menjawab justru langsung pergi keatas meninggalkanku. Aku bingung, Ibu kutatap juga mengangkat tangannya."Bu, coba bujuk dia agar mau berbicara!" Jujur aku khawatir ia memiliki masalah yang besar. Namun, ia enggan untuk bercerita."Baik, coba ibu bujuk dulu. Mbak Ani tolong tata kamar tamu. Sementara waktu biar Fatwa di kamar bawah. Biar ngga susah untuk naik turun." Mbak Ani mengangguk, Ibu menyusul Aziz keatas. "Ayo, Non!" Aku mengangguk. Kemudian menuju kamar tamu yang berada didepan."Tolong nanti ambilkan barang yang kubutuhkan di atas. Jangan lupa kunci lagi!" "Baik, Non. Saya permisi dulu!" Aku me