Aku terperanjat karena terkena cipratan air juga. Ervan pun langsung berdiri."Apa-apaan ini?" Ervan mengadu saat tahu siapa pelaku penyiraman itu. Melisa."Kamu, Mas, yang apa-apaan. Berdua makan dengan babysitter!" Melisa berkata dengan amarah. Beberapa orang melihat, kami menjadi tontonan, bahkan saat Lukman mencoba mendekat aku menahannya dengan isyarat tangan."Tega-teganya aku di luar negri, kamu main sama seorang pengasuh anakmu! Ngga tau malu!" Melisa masih saja berargumen. Ervan bahkan gelagapan karena tak diberi waktu untuk berbicara."Jadi begitu kelakuanmu, Mas. Kamu benar-benar lelaki tak setia! Dan kamu!" Kali ini ia menunjukku, aku hanya bergeming."Kamu tak akan pernah selevel dengan seorang dokter. Kamu hanya pengasuh! Jangan berharap lebih. Palingan juga Mas Ervan mau karena di guna-guna. Kamu cuma mau hartanya saja kan? Mau meninggikan stratamu!" Dengan jari telunjuk ia mengarahkan padaku."Cukup, Mel!" Akhirnya Ervan bersuara. "Kamu ngomong apa? Pulang dari LN ngga
"Tak semudah itu, Mas! Kami pikir dengan menalak Tari didepanku, aku akan langsung memaafkanmu? Jangan mimpi!" Aku segera beranjak pergi. Malu, masih ada beberapa polisi yang lewat dan memperhatikan kami."Fat! Dek!" Mas Damar memanggil, aku acuh langsung menuju kendaraan. Tak perduli Mas Damar yang mengetuk kaca keras.Kulajukan mobil dengan sedikit kencang. Kepalaku pusing, memikirkan semua masalah yang ada. Rasanya lelah hidup ini. Menghadapi semua masalah yang terus melanda.Ponsel berdering. Dari Lukman!"Hallo, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Bu. Saya mau menginformasikan bahwa resto yang berada di jalan mangga di miliki oleh seseorang dari Pakistan dan menurut yang info saya dapatkan jika perempuan yang di nikahi secara mut'ah bernama Saras."Deg!Mendengar penjelasan Lukman aku kaget. Bukan kaget karena pemilik resto adalah Mbak Saras. Tapi kaget tentang pernikahan mut'ah yang dia lakukan."Kamu yakin jika berita ini akurat, Luk?""Yakin, Bu."Aku menutup sambungan telfon d
"Bun!" Aziz tahu perubahan expresiku. Dia langsung mendekat kearahku yang merasa Tek bertulang. Sedangkan Wulan juga dengan sigap langsung menopangku."Ada apa, Bu?" tanya Wulan, berbarengan dengan Aziz yang sampai di dekatku. Aku harus kuat. Aku tak ingin sampai Aziz tak punya foto kenang-kenangan atas prestasinya."Ngga papa, ayok! Ayah minta maaf tak bisa datang karena keadaan." Aku berusaha untuk melangkah keatas podium. Menyambut uluran tangan kepala sekolah, menerima penghargaan kemudian berfoto. Setelah selesai dan turun dari podium aku meminta berbicara dengan Aziz kebelakang sebentar sebelum ia masuk kembali ke barisan teman-temannya."Bunda mau bicara sebentar. Bisa?" Dia mengganuk dan mengikuti langkahku. Aku memilih untuk keluar karena suara yang riuh. Wulan juga kubawa."Aziz, Ayahmu kecelakaan saat akan kesini. Dia katanya kritis." ucapku dengan menahan serak didada. Bagaimanapun dia telah mengisi hariku puluhan tahun, aku tak mungkin abai disaat seperti ini."A-ayah?"
[Mas, Pulanglah segera bawa juga Tari. Aku sudah mengizinkan kamu menikah lagi.] Kukirim WA pada Suamiku yang tiga hari lalu izin untuk pulang kerumah orang tuanya. Dengan alasan jika Sepupunya masuk rumah sakit. Dia izin dari kantor juga izin padaku. Tadinya aku berinisiatif ikut, namun Mas Damar menolak dengan alasan kasian Wulan dan Aziz yang sedang tes.Namun, kemarin aku melihat Tari mengunggah sebuah foto pernikahan. Pernikahan yang kulihat sederhana. Mungkin karena nikah siri. Kulihat Tari dan Mas Damar tersenyum manis.Tari memang memprivasi postingan itu. Dia tak tahu jika aku memiliki akun lain dan berteman dengannya. Sungguh terlalu gegabah.[Kamu ngomong apa sii?] Jawaban Mas Damar seolah aku belum tahu semuanya. Aku menghela nafas.Kalau ada yang bilang tak sakit rasanya di poligami itu bohong! Sesak dada ini, namun untuk larut dalam kesedihan dan tangis rasanya itu bukan pilihan yang tepat.[Udahlah, Mas. Ngga perlu kamu tutupi. Aku sudah tahu jika kamu telah menikah de
Kalau boleh meminta, cukup kali ini merasakan sakit seperti ini. Teman yang kutolong enam bulan lalu, kini tengah bersanding dengan imamku."Apa benar jika Mas Damar sering memberi perhatian padanya saat Tari di sini? Bukankah saat itu Mas Damar sering lembur. Bahkan bisa aku hitung dengan jari, Mas Damar bertemu Tari."Aku pusing memikirkan ini. Segera beranjak. Masuk kekamar mandi. Merendam diri dalam bathtub serta menyalakan lilin aroma terapi. Semua aku lakukan agar hatiku tenang. Hati yang sebenarnya telah di terjang badai badai.Ahhh!Hidup memang tak selalu mulus. Jika aku memiliki segalanya. Mungkin ini ujian hidupku, memiliki suami yang ternyata tak setia.Setengah jam sudah, aku naik. Rasanya cukup membuat tubuh rileks.Hp terus berbunyi. Notifikasi chat demi chat terus saja kudengar. Siapa yang mengirim pesan?Setelah memakai handuk yang seperti baju, aku duduk pada ranjang perukuran King dengan desain mewah. Kulipat kaki untuk memudahkan membaca setiap chat.[Mbak, memang
Jarum jam menunjukan angka sepuluh lebih lima belas menit. Saat deru mobil milik Mas Damar terdengar. Tak berapa lama, klakson berbunyi.Tentu! Karena tak ada lagi yang membukakan pintu gerbang seperti biasanya.Segera aku turun dan langsung membuka gerbang. Tentu ini untuk yang terakhir kalinya. Besok tugas ini akan di lakukan oleh Tari.Mobil masuk. Dengan angkuh Tari duduk di kursi depan. Aku menutup gerbang kemudian masuk kedalam. Tak ada lagi sambutan hangat untuk suamiku.Ku menunggu di dalam, tak lama masing-masing menyeret satu koper. Koper Tari tentu yang lebih besar. Penampilan yang dulu masih di bilang standar, kini terlihat sudah hampir menyaingiku. Tentu itu yang membuat ia bangga."Dek!" Mas Damar memanggil."Iya, Mas." Aku menjawab dengan tersenyum. Mas Damar dan Tari masih berdiri di ruang tamu yang cukup luas."Mas-mas, mau jelaskan sesuatu. Ini semua tak seperti yang Adek pikirkan. Semua ...." ucapan Mas Damar tertahan."Sudahlah, Mas. Kalian capek kan? Istirahatlah.
"Hati-hati, Mas!" Kusodorkan minuman pada Mas Damar. Kuabaikan Tari yang langsung membersihkan pecahan gelas. Beruntung aku tak minta ganti rugi. Kerja baru sebentar sudah pecahin gelas."Ayo makan yang cepat. Sudah akan terlambat." Aku menyuruh Wulan dan Aziz yang sekali memperhatikan Tari."Mas, setelah antar anak-anak, pulang dulu kerumah lagi. Kita akan bahas sesuatu. Lagian kamu masih punya kesempatan libur satu hari lagi kan?" tanyaku. Aku tahu betul kebijakan di perusahaan di mana Mas Damar bekerja."Iya, Dek. Nanti aku pulang lagi." Mas Damar mengulurkan tangan. Tari mendekat, namun seketika aku langsung mengandeng tangan Mas Damar agar tak sampai bersalaman dengan Tari. Bisa curiga anak-anak.Seperginya Mas Damar, aku kembali masuk. Kulihat Tari yang tengah melihat dari balik kaca jendela. "Kasian! Punya suami tak bisa mengantar pergi kerja. Makanya jangan punya suami orang!" Aku berbisik tepat di telinganya. Ia tentu kaget, namun aku tersenyum dan langsung meninggalkannya.
"Kok bisa begitu, Fat. Pah, jangan diam saja! Ini namanya tak adil!" Tari mulai protes. Tentu hatinya kesal, bagaimana tidak? Sudah tak bisa bermesraan dirumah, lebih lagi ngga boleh bergaya.Dia pikir enak, menikah dengan seorang Damar Wulan Anggito. Seorang manager di sebuah perusahaan minyak. Melihat aku yang mungkin dia pikir bisa cantik, bersih dan nyaman. Tentu ia iri. Apalagi semua dapat kumiliki, walau tentunya semua itu butuh perjuangan. Yang melihat pasti akan mengira jika Mas Damar bergaji besar. Memang, tapi kemewahan ini, bukan hanya hasil kerjanya."Terima saja lah, Tar. Kita memang sudah salah. Aku tak mau menambah salah." Mas Damar berkata dengan sadar."Good! Mas Damar saja sudah menerima, kamu jangan terlalu banyak protes! Mari kita lanjutkan." Aku kembali serius."Selain kepentingan urgent tak boleh sekalipun kamu mengajak Mas Damar. Kalau kamu perlu di antar, pesan taxi ataupun kalau aku sedang bisa, minta antar aku! Bukan Mas Damar! Tak ada alasan ataupun. Tak ada